Oleh: Nurbani Yusuf
Narasi politik identitas telah demikian mengeras. Sebagian malah tak
lagi bisa bedakan antara narasi agama dan narasi politik yang dibalut
agama: kezaliman, kafir, munafik, kriminalisasi ulama, nahy munkar,
telah mengalami reduksi apakah menjadi ranah politik atau ranah agama.
Politisasi agama telah demikian massif dan terstruktur–saya pikir
inilah kemenangan yang lebih besar daripada jabatan Presiden yang hanya
berbatas lima tahun. Tapi Framing politik identitas akan menjadi sebuah
gurita yang sangat menentukan perjalanan bangsa ke depan.
Muhammadiyah berada pada pusaran konflik konsep identitas yang terus
menggerus akal sehat menjadi akal jahat. Sebuah permufakatan untuk
menggulingkan sebuah rezim dibebankan kepada Muhammadiyah. Ada upaya
serius mendorong Muhammadiyah menjadi bagian terdepan atas nama nahy
munkar. Sebagian tidak bersabar dan menganggap Muhammadiyah kurang
reaktif–melempem lamban– tidak responsif bahkan ada yang keji menuduh
pimpinan Muhammadiyah sudah dibeli–satu fitnah keji terhadap ulama dan
pimpinan Muhammadiyah. Saya menyangkal semua tuduhan itu dan akan
menjadi yang terdepan melakukan pembelaan terhadap sikap PP.
Syahwat politik sebagian jamaah menjadi pemantik–menagih agar
Muhamadiyah menjadi semacam pengawal revolusi–menumbangkan rezim atau
apapun yan
g mereka inginkan. Muhammadiyah bukan pesawat tempur untuk
bermanuver. Atau menjadi semacam buldozer atau kapal keruk pengangkut
sampah segala kemungkaran bagi kelompok atau partai politik tertentu.
Realitasnya konsep nahy munkar menjadi alat paling ampuh untuk
membenarkan semua keinginan dan kehendak politik overdosis. Narasi
politik telah diubah menjadi narasi agama yang bernuansa teologis.
Lantas dicarikan pembenaran lewat ayat ayat.
Imam besar Habib Rizieq dan ustadz Bahtiar Nashir pun sedang khusyu’
Itikaf di tanah haram, FPI yang biasanya penuh ghirah pun rehat. BPN
telah menyerahkan kepada MK. PA 212 juga sudah mencukupkan diri. AHY dan
Zulhas telah merapat ke istana sementara para anggota partai koalisi
sibuk menghitung kursi di parlemen kenapa ada sebagian jamaah
Muhammadiyah pada ribut.
Kenapa Muhamadiyah diseret-seret? Jawabnya jelas : karena aktisfis
politik Identias tak mau kehilangan legitimasi teologis– setelah FPI
dan HTI tiarap maka Muhammadiyah menjadi kapal pesiar yang layak
dijadikan tempat persinggahan–syukur bisa mempengaruhi nahkoda untuk
belok arah.
Para ulama Muhamadiyah menjadi sangat berat antara tetap menjaga
Khittah atau mengikuti syahwat politik–bahkan lebih berat ketimbang
membangun sebuah Universitas–menjaga dan menyeimbangkan cara pandang
adalah pekerjaan berat yang melelahkan butuh energi dan pikiran jernih.
Saya bersyukur semoga para ulama MuhammadiyJ diberi keteguhan,
keberkahan, kebersihan hati, kebeningan pikir dan kearifan dalam
memutuskan. Aamiin
Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar
http://www.suaramuhammadiyah.id/2019/05/29/beda-tipis-nahy-munkar-dan-back-up-perbuatan-makar/
Wednesday, May 29, 2019
Tuesday, May 14, 2019
Tradisi Iqra dan The Death of Expertise
Pengajian Ramadan PP Muhammadiyah, di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 9-11 Mei 2019 tentang Risalah Pencerahan: Reaktualisasi Nilai Iqra dalam Kehidupan Universal. My paper: "Tradisi Iqra dan The Death of Expertise"
Subscribe to:
Posts (Atom)