Pidato KH Ahmad Dahlan pada Muktamar Muhammadiyah tahun 1922 (Album Muhammadiyah 1923)
TALI PENGIKAT HIDUP MANUSIA
Ahmad Dahlan
Tali pengikat hidup manusia adalah suatu pengetahuan yang terlalu amat besar bagi kemanusiaan umumnya, sehingga memenuhi bumi. Oleh karena itu, Tuan-tuan Pembaca diharap mau memikirkan benar-benar dan mengingat-ingat dan jangan tergesa-gesa.
Untuk memimpin suatu kehidupan itu seharusnya dan sepatutnya memakai suatu alat, yaitu Al-Qur’an. Bukankah manusia itu perlu bersatu hati karena beberapa sebab?
Pertama, Sebab manusia, bangsa apa saja, sesungguhnya nenek-moyangnya satu, yaitu Nabi Adam dan Ibu Hawa. Jadi, semua manusia itu satu daging dan satu darah. Kedua, supaya semua manusia dapat hidup senang bersama-sama di dunia. Jika manusia lalai akan tali pengikat ini, maka akan rusak dan merusakkan. Ini suatu kenyataan yang tidak boleh dipungkiri lagi.
Pikirkanlah pemimpin-pemimpin! Sejak Rasul-rasul (Utusan-utusan), sahabat-sahabatnya dan pemimpin kemajuan Islam pada jaman dahulu hingga sekarang, sudah sementara lama pemimpin-pemimpin itu bekerja. Mereka itu orang yang ternama, sebagian sudah mendapat pengajaran di perguruan tinggi. Walau begitu, belum dapat mereka bersatu hati.
Jangan pemimpin-pemimpin terkejut, lihatlah kanan-kiri, di muka dan di belakang dengan baik, bukankah masih tidak karuan? Ingatlah, saya tidak hanya memandang satu bangsa saja, akan tetapi semua bangsa manusia. Meskipun kita melihat hanya satu bangsa belum juga satu hati. Hal itu sesungguhnya tidak enak, akan tetapi lawannya (enak) yakni berbahaya. Apakah sebabnya begitu?
Pertama, kami pemimpin-pemimpin, belum bersatu hati, yang satu mengabaikan yang lain, tolak-menolak pengetahuan, padahal pengetahuan-pengetahuan itu perlu bagi manusia. Jadi, sudah tentu pengetahuan pemimpin-pemimpin itu kurang. Kurangnya pengetahuan itu menjadikan pendek-pikiran (cupet ing pamanggih, Jawa). Jadi, sesungguhnya pemimpin-pemimpin itu masih meraba-raba pada kegelapan. Apakah jadinya? Lalu tumbuh perbantahan antara pemimpin-pemimpin itu (rusak).
Kedua, pemimpin-pemimpin belum memimpin dengan tenaga atau tindakan (lampahlampah, Jawa). Kebanyakan masih memimpin dengan suara saja. Sesungguhnya mereka baru mencari pengertian dan menaburkan pengertian itu kepada orang banyak, belum memperhatikan tindakan (mrihatosaken lampah, Jawa) bagi dirinya sendiri dan orang banyak. Jadi, pemimpin-pemimpin itu sebagian besar baru memerlukan suara agar supaya kelihatan pendapat baiknya walaupun kelakuannya sendiri masih mengecewakan, yakni rusak dan merusakkan.
Terangnya, pemimpin-pemimpin itu banyak yang dipermainkan hawa nafsunya sendiri tanpa mengerti dan merasa. Misalnya, hawa nafsu mengajak malas dan kikir jika untuk suatu keperluan dan tidak malas dan kikir jika untuk suatu kesenangan. Begitulah hawa nafsu itu mempermainkannya, sehingga hawa nafsu itu menyesatkan kepada penipuan, kebohongan, main gila dan sebagainya. Bukankah hal itu rusak dan merusakkan?
Ketiga, kebanyakan pemimpin-pemimpin belum mempunyai tujuan untuk baik dan enaknya semua manusia. Mereka baru mementingkan kaumnya (golongannya) sendiri, lebih-lebih lagi ada yang hanya mementingkan badannya sendiri, kaumnya pun tidak dipedulikan. Maka, jika badannya sendiri sudah mendapat kesenangan, pada perasaannya sudah berpahala, dan sudah sampai maksudnya. Hal yang demikian itu sudah banyak yang diketahui (cacatnya) sehingga perkumpulan menjadi rusak dan menyebabkan cerai-berainya yang dipimpin; kembali mereka seperti keadaannya sebelum dipimpin, kemudian hati mereka meradang dan jera.
Jalan PersatuanPemimpin-pemimpin harus tahu benar kelakuan, keadaan dan adat-istiadat orang yang dipimpin, supaya dapat berbuat dengan mengingat “ukur badan sendiri” dan jangan tergesa-gesa, harus terang dan paham terhadap barang yang diterima atau ditolak, serta jangan dengan jalan paksa. Dengan begitu akan dapat menumbuhkan pembicaraan yang enak, menuju keperluan (tujuan) yang amat penting, yaitu manusia bersatu hati.
Sudah menjadi adat kebiasaan orang, bahwa apa yang sudah dipahami dan dikerjakan menurut pengajaran gurunya atau pergaulan teman-temannya dan menurut pikirannya sendiri akan menjadikan gembira dan senang hatinya. Dan hal itu akan dipegang lahir dan batin, lebih-lebih jika hal itu sudah dijalani oleh nenek-moyangnya. Hal itu akan dikira-kira dan dipercaya mendatangkan kebahagiaan. Siapa yang menyalahinya akan mendapat kecelakaan dan kesusahan. Pemimpin-pemimpin dipersilahkan menengok, apakah sikap yang demikian itu hanya ada pada kaum kita, orang Islam, saja? Tidakkah kaum lain, misalnya Budha, Kristen dan Yahudi juga demikian keadaannya?
Pemimpin-pemimpin! Oleh sebab “benar” itu sesungguhnya hanya satu, maka bagaimanakah kita mendapatkan yang “Benar” itu agar tidak mendapatkan kesalahan di hadapan Allah Yang Maha-suci.
Begitu pula telah menjadi kebiasaan orang, mereka segan dan tidak mau menerima apa saja yang kelihatan “baru” yang tidak sama dengan apa yang sudah dijalani. Karena menurut perasaannya barang yang baru itu akan menjadikan celaka dan susah, meskipun sudah jelas dan nyata bahwa orang yang mengerjakan dan menjalani barang “baru” itu misalnya, mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan. Yang demikian itu terkecuali orang yang memang banyak dan senang berpikir dan merasa dengan panjang dan dalam.
Apakah kelakuan seperti tersebut di atas dapat disebut baik atau betul? Sudah tentu tidak, sebab orang yang tersebut di atas itu hanya berhukumkan adat kebiasaan dan adat-istiadat, karena adat-istiadat tidak boleh dijadikan hukum untuk menentukan “baik” dan “tidak baik”, “betul” dan “salah”. Yang dapat dijadikan hukum untuk menentukan betul dan salah, baik dan tidak baik hanya hukum yang sah dan sesuai dengan hati yang suci.
Uraian tersebut di atas harus dipikirkan dan dirasakan dengan sungguh-sungguh secara panjang dan dalam perlunya manusia bersatu-hati, sebab di dalamnya tergantung sesuatu yang amat besar, yaitu bahagia dan celaka. Sebab itu, saya sangat berhasrat hati meminta agar pemimpin-pemimpin itu secara bersama-sama mempersatu-hatikan semua manusia. Sebelum semua manusia bersatu hati, tidakkah wajib pemimpin-pemimpin itu bersatu hati lebih dahulu? Sudah barang tentu wajib dan wajib sungguh.
Marilah, segera kita, pemimpin-pemimpin, berkumpul membicarakan kebenaran (haq) itu tanpa memilih-milih bangsa, semuanya saja. Dan jangan sekal—kali puas atau bosan sehingga kebenaran itu terdapat (diketemukan). Sesudah itu lalu kita berasaskan satu, berpengetahuan satu, dan bertenaga satu rupa. Pendeknya, manusia semuanya harus bersatu hati karena adanya permufakatan dengan memakai hukum (wewaton, Jawa) yang sah dengan hati suci dan tidak jera sehingga semua manusia bersatu-hati.
Apakah yang menyebabkan orang mengabaikan atau menolak kebenaran? Disebabkan karena:
1. Bodoh, ini yang banyak sekali
2. Tidak setuju kepada orang yang ketempatan (membawa) kebenaran
3. Sudah mempunyai kebiasaan sendiri dari nenek moyangnya
4. Khawatir tercerai dengan sanak-saudaranya dan teman-temannya dan
5. Khawatir kalau berkurang atau kehilangan kemuliaan, pangkat, kebesaran, kesenangannya dan sebagainya.
Sedikit peringatan supaya menjadi pemikiran:
1. Orang itu perlu dan harus beragama
2. Agama itu pada mulanya bercahaya, berkilai-kilauan, akan tetapi makin lama makin suram. Padahal yang suram bukan agamanya, akan tetapi manusianya yang memakai agama
3. Orang itu harus menurut aturan dari syarat yang sah dan yang sudah sesuai dengan pikiran yang suci, jangan sampai membuat putusan sendiri.
4. Orang itu harus dan wajib mencari tambahan pengetahuan, jangan sekali-kali merasa cukup dengan pengetahuannya sendiri, apalagi menolak pengetahuan orang lain
5. Orang itu perlu dan wajib menjalankan pengetahuannya yang utama, jangan sampai hanya tinggal pengetahuan saja.
Makhluk Allah
Segala makhluk Allah itu mempunyai kehendak (hajat). Semua kehendak itu mesti ada maksud (tujuan)nya. Dan sampainya (tercapainya) maksud itu pasti dengan jalan.
Sudah nyata bahwa Tuhan Allah telah mengadakan masa (waktu) dan mengadakan jalan untuk menyampaikan (mencapai) segala maksud. Kalau demikian, maka semua maksud (tujuan) makhluk itu pasti tercapai asalkan menurut jalan dan masanya. Sebab segala keadaan itu kehendak Allah, dan Tuhan telah menyediakan segala keadaan yang dimaksud.
ManusiaBahwa sesungguhnya tiada yang lebih dikehendaki oleh manusia itu selain keselamatan dunia dan akhirat.
Adapun jalannya untuk dapat mencapai barang yang dimaksudkan, manusia memakai akal yang waras, artinya akal yang tidak terkena bahaya. Sifat akal yang waras itu ialah akal yang dapat memilih sembarang perkara dengan teliti dengan perhatian dan dengan pertimbangan. Sesudah dipilih lalu ditempatkan dalam keteguhan hati.
AkalWatak akal itu menerima segala pengetahuan dan memang pengetahuan itulah yang menjadi kebutuhan akal, sebab akal itu seperti biji yang terbenam di dalam bumi. Agar biji itu dapt tumbuh menjadi pohon yang besar, tentu perlu disiram secara ajek dan dipenuhi kebutuhan lainnya. Demikian juga akal manusia, niscaya tidak dapat bertambah sampai kepada kesempurnaannya, apabila tidak diberi siraman dengan pengetahuan. Dan semuanya itu mesti sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Kuasa.
Pendidikan Akal
Sehabis-habisnya pendidikan akal ialah dengan Ilmu Manthiq (Pembicaraan yang cocok dengan kenyataan), semua ilmu pembicaraan harus dengan belajar, sebab tidak ada manusia yang mengetahui berbagai nama dan bahasa, tanpa ada yang mengajarnya. Demikian juga yang mengajar itu dapat mengerti dari guru-gurunya, dan demikian seterusnya.
Maka dari itu, hal di atas menunjukkan bahwa manusia tidak berdaya mengetahui asal pengetahuan kecuali orang yang mendapat petunjuk dari Tuhan Yang Mengetahui dan Bijaksana.
Adapun manusia yang bisa lebih dari pokoknya pengajaran sesungguhnya hanya sebagaimana orang yang menemukan lebarnya lobang cincin, lalu mendapatkan berlian, lalu menemukan berlian dengan lobangnya dan menjadi pakaian yang ‘peni’. Demikian juga bagi orang yang bisa berbicara dengan tajam dan tepat, hal itu hanyalah sanggul-bersanggulnya pengetahuan-pengetahuan lainnya.
Jadi orang yang bisa berbuat demikian itu sesungguhnya tidak mengherankan. Akan tetapi jika ada orang yang dapat menerima pembicaraan yang baik yang datang dari orang lain lalu senang membicarakannya dengan orang-orang lain, sesungguhnya hal yang demikian itu bukan orang yang lemah walaupun orang itu tidak dapat menambah sebab tidak ada suatu perbuatan yang lebih baik daripada menghidup-hidupkan perkataan orang yang bijaksana.
Kesempurnaan Akal
Untuk hidupnya akal yang sempurna dan agar dapat tetap sebagai akal harus terkumpul enam perkara:
Pertama, memilih berbagai perkara harus dengan belas kasihan. Manusia tidak akan sampai kepada keutamaan apabila tidak mempunyai beas kasihan, sebab watak orang yang tidak mempunyai belas kasihan itu segala perbuatan yang dilakukannya karena kesenangan yang akhirnya bosan dan terus sia-sia.
Kedua, harus bersungguh-sungguh mencari, sebab keutamaan dunia dan akhirat itu tidak akan dapat tercapai apabila tidak dicari dengan daya upaya dan ikhtiar, dengan pengorbanan harta-benda, kekuatan dan pikiran.
Ketiga, harus dengan terang benderang dalam memilihnya, sebab adanya suatu petunjuk itu kebersamaan dengan adanya kesesatan (penasaran) dan barang yang baik itu pasti berpasangan dengan yang buruk. Oleh karena itu, kebanyakan orang yang mencari barang yang dikehendaki, akhirnya mendapatkan barang yang mestinya ditolak, sebab dalam mencarinya, ia hanya ikut-ikutan dan tidak mengetahui kenyataannya atau hanya karena adat-istiadat saja.
Keempat, harus mengi’tikadkan kebaikan barang yang dipilih, agar tetap teguh dalam hati, yang akhirnya bisa benar dan betul dan tetap pekerjaannya.
Kelima, harus baik dalam memeliharanya. Artinya, sesudah mendapatkan barang yang dicari, harus dipelihara dengan baik, sebab sifat manusia itu, tidak jauh dari lupa dan lena.
Keenam, harus dapat menempatkan. Artinya, segala pengetahuan itu tidak bisa menjadi manfaat apabila tidak diperbuat yang sementara.
Kebutuhan Manusia
Semua manusia pasti mempunyai kebutuhan, sebab hidup manusia di dunia tidak ditempatkan di atas tempat kaya dan hina, akan tetapi manusia dihidupkan di tempat kebutuhan dan kepayahan. Oleh karena itu, manusia haruys mengerti benar akan tempat kebutuhannya.
Sesungguhnya pengajaran yang berguna dalam mengisi akal itu lebih dibutuhkan oleh manusia daripada makanan yang mengisi perutnya, sebab pengajaran tu lebih cepat menambah besarnya akal daripada makanan yang membesarkan badan. Dan mencari harta benda dunia itu tidak lebih payah dari mencari pengetahuan yang berguna dalam memperbaiki perbuatan dan kelakuan, Sebab apabila dipikir dan diteliti, manusia itu banyak yang hanya ngawur (membuta-tuli) daripada yang memang setiti, hati-hati dan mengerti. Dan orang yang mengerti itu lebih banyak daripada orang yang menjalankan pengertiannya. Maka dari itu orang yang mempunyai akal yang sempurna, harus melihat dan meneliti dirinya sendiri di manakah dirinya sendiri itu.
Orang yang Mempunyai Akal
Akal manusia itu kalau terperosok dalam bahaya sesungguhnya sudah mempunyai bagian hati suci, yaitu mempunyai dasar tidak suka dan cinta pada keluhuran dunia. Oleh karena itu, orang yang mempunyai akal harus menjaga dari bahaya yang merusak kesucian hati.
Tidak ada yang berguna tingkatnya pangkat budiman, kecuali hati yang suci. Dan tidak ada manusia yang dapt meraih keluhuran dunia dan akhirat, melainkan orang yang mempunyai sifat budiman. Oleh karena itu, barangsiap ingin mengejar menjadi orang yang berpangkat budiman, hendaklah menyediakan dirinya kepada jalannya budiman, yaitu tahan dan kuat mengalahkan hawa nafsunya. Sebab watak orang yang senantiasa mengalahkan hawa nafsunya itu tentu tidak lengah akan perkara keluhuran dunia yang bisa menyambung kepada keluhuran aklhirat, dan segala usaha dan perbuatannya itu dikerjakan dengan keteguhan hati dan tidak dikalahkan oleh pembicaraan dan kehendak supaya mendapatkan yang enak dan kesenangan dirinya sendiri.
Oleh karena itu, sudahlah nyata bagi orang yang menginginkan dan menghendaki keluhuran dunia dan akhirat, bahwa tidaklah pantas apabila perbuatannya dikerjakan dengan segampangnya saja dan atau iri hati. Berbeda sekali dengan yang mempunyai tujuan keluhuran hanya di dalam dunia. Barangkali bisa terdapat usaha dan pekerjaan yang sedang dikerjakan segampangnya dan seenaknya saja, malah yang sebagian banyak dapat berhasil dengan pendapatnya sendiri saja.
Perbedaan Pintar dengan Bodoh
Kata pintar dan bodoh itu ialah suatu bahasa yang artinya berbeda sebaliknya , akan tetapi sebagian banyak manusia itu sama saja antara yang pintar dengan yang bodoh, yakni senang kepada barang yang disetujui dan sengit kepada barang yang tidak disetujui. Lagi pula dalam beberapa hal yang diputuskan oleh yang pintar dan pandai itu bisa juga diputuskan oleh orang yang bodoh. Oleh karena itu, orang yang mempunyai akal yang sempurna harus mengerti perbedaan antara yang pintar dan yang bodoh.
Sesungguhnya perbedaan antara yang pintar dan yang bodoh itu akan terlihat berkumpul antara yang benar dan yang salah. Di situlah akan terlihat kemantapan orang pintar dan goyahnya orang yang bodoh.
Adapun perbedaan pintar dan bodoh itu ada tiga. Antara lain, orang yang pintar itu pasti mengerti barang yang akan menjadikan senang dan susah, orang yang bodoh tidak mengerti.
Orang yang pintar itu sudah barang tentu sewaktu-waktu berikhtiar mencari jalan yang menuju kepada kesenangan dan menyingkir dari lingkungan yang akan menuju kepada kesusahan yang akan diderita. Akan tetapi orang yang pintar yang melalaikan petunjuk Tuhan Allah, tidak takut kepadaNya, dan menuruti ajakan nafsu dengan pelan-pelan ia akan terjerumus ke lingkungan kesusahan karena kealpaannya.
*) Tali Pengikat Hidup Manusia merupakan pemikiran KHA Dahlan semasa hidupnya, dimuat dalam Album Muhammadiyah Tahun 1923, diterbitkan oleh Hoofd Bestuur Moehammadijah bg Taman Poestaka, Djokjakarta. Tulisan di atas ini dikutip dari buku Perkembangan Pemikiran Muhammadiyah dari Masa ke Masa, 1985, Sukrianta AR & Abdul Munir Munir Malkhan (penyunting), PT Dua Dimensi Yogyakarta.
http://kurzman.unc.edu/modernist-islam/
http://kurzman.unc.edu/files/2011/06/Dachlan.pdf
Related article:
Muhammadiyah dan Keindonesiaan
Tuesday, February 20, 2018
Wednesday, February 14, 2018
The typology of Muhammadiyah Sufism: tracing its figures’ thoughts and exemplary lives
JIIS, 7 (2/2017): 221-249
Biyanto Biyanto
Abstract
This article explores the style of sufism from the perspective of Muhammadiyah. It is a literature study on the official fatwa given by Muhammadiyah on sufism as a part of spiritual dimension in Islamic teaching. This study places a number of Muhammadiyah figures as the subject of study. This study concludes that the views of Muhammadiyah and its figures on sufism are very positive. Sufistic life in fact also becomes a trend among the followers of Muhammadiyah. Important styles of Muhammadiyah sufism include: first, Muhammadiyah sufistic teachings are based on pure monotheism. The second, Muhammadiyah sufistic is practiced under the frame of shari‘ah, on the basis of the Qur’an and Hadith. Third, the substance of sufism in the Muhammadiyah perspective is noble character that should be realized in daily life. Fourth, the orientation of Muhammadiyah sufism emphasizes the dimension of righteous deeds, social praxis, and of moving from theory to practice. Fifth, Muhammadiyah sufism presents sufistic teachings adjusted to the spirit of modernity so that it may be called modern sufism. Sixth, Muhammadiyah sufism is expressed in more active and dynamic styles. A sufi is not allowed to do nothing, but is obliged to work actively and to interact with society. Seventh, Muhammadiyah sufism stays away from the philosophical sufism discourse that may potentially cause debates. Muhammadiyah views that to become sufi, one should not become the member of sufi order with the style of “teacher-centered” in practice.
Artikel ini membahas corak sufisme dalam perspektif Muhammadiyah. Kajian ini merupakan studi literatur terhadap fatwa resmi Muhammadiyah terhadap sufisme sebagai bagian dari dimensi spiritual ajaran Islam. Kajian ini juga menempatkan sejumlah tokoh Muhammadiyah sebagai subjek studi. Kajian ini menyimpulkan bahwa perspektif Muhammadiyah dan tokoh-tokohnya terhadap sufisme sangat positif. Kehidupan sufistik dalam kenyataannya juga menjadi trend di kalangan pengikut Muhammadiyah. Corak sufisme Muhammadiyah yang penting meliputi: pertama, ajaran sufisme Muhammadiyah berbasis pada tauhid murni. Kedua, sufisme Muhammadiyah dipraktekkan dalam bingkai syariah, berdasar al-Qur’an dan hadits. Ketiga, substansi sufisme dalam perspektif Muhammadiyah adalah akhlak mulia dan harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Keempat, orientasi sufisme Muhammadiyah menekankan dimensi amal salih, praksis sosial, dan bergerak dari teori ke praktek. Kelima, sufisme Muhammadiyah menampilkan ajaran tasawuf yang disesuaikan dengan spirit modernitas sehingga layak disebut tasawuf modern. Keenam, sufisme Muhammadiyah diekspresikan dalam corak yang lebih aktif dan dinamis. Seorang sufi tidak boleh berpangku tangan, melainkan harus aktif bekerja dan berinteraksi dengan masyarakat. Ketujuh, sufisme Muhammadiyah
menjauhi wacana tasawuf falsafi yang potensial mengundang perdebatan. Terakhir, Muhammadiyah berpandangan untuk menjadi sufi, seseorang tidak harus menjadi anggota tarekat yang dalam prakteknya bercorak guru sentris.
Keywords: Progressive sufism; Sufi order; Muhammadiyah; ulama
http://ijims.iainsalatiga.ac.id/index.php/ijims/article/view/1292
Biyanto Biyanto
Abstract
This article explores the style of sufism from the perspective of Muhammadiyah. It is a literature study on the official fatwa given by Muhammadiyah on sufism as a part of spiritual dimension in Islamic teaching. This study places a number of Muhammadiyah figures as the subject of study. This study concludes that the views of Muhammadiyah and its figures on sufism are very positive. Sufistic life in fact also becomes a trend among the followers of Muhammadiyah. Important styles of Muhammadiyah sufism include: first, Muhammadiyah sufistic teachings are based on pure monotheism. The second, Muhammadiyah sufistic is practiced under the frame of shari‘ah, on the basis of the Qur’an and Hadith. Third, the substance of sufism in the Muhammadiyah perspective is noble character that should be realized in daily life. Fourth, the orientation of Muhammadiyah sufism emphasizes the dimension of righteous deeds, social praxis, and of moving from theory to practice. Fifth, Muhammadiyah sufism presents sufistic teachings adjusted to the spirit of modernity so that it may be called modern sufism. Sixth, Muhammadiyah sufism is expressed in more active and dynamic styles. A sufi is not allowed to do nothing, but is obliged to work actively and to interact with society. Seventh, Muhammadiyah sufism stays away from the philosophical sufism discourse that may potentially cause debates. Muhammadiyah views that to become sufi, one should not become the member of sufi order with the style of “teacher-centered” in practice.
Artikel ini membahas corak sufisme dalam perspektif Muhammadiyah. Kajian ini merupakan studi literatur terhadap fatwa resmi Muhammadiyah terhadap sufisme sebagai bagian dari dimensi spiritual ajaran Islam. Kajian ini juga menempatkan sejumlah tokoh Muhammadiyah sebagai subjek studi. Kajian ini menyimpulkan bahwa perspektif Muhammadiyah dan tokoh-tokohnya terhadap sufisme sangat positif. Kehidupan sufistik dalam kenyataannya juga menjadi trend di kalangan pengikut Muhammadiyah. Corak sufisme Muhammadiyah yang penting meliputi: pertama, ajaran sufisme Muhammadiyah berbasis pada tauhid murni. Kedua, sufisme Muhammadiyah dipraktekkan dalam bingkai syariah, berdasar al-Qur’an dan hadits. Ketiga, substansi sufisme dalam perspektif Muhammadiyah adalah akhlak mulia dan harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Keempat, orientasi sufisme Muhammadiyah menekankan dimensi amal salih, praksis sosial, dan bergerak dari teori ke praktek. Kelima, sufisme Muhammadiyah menampilkan ajaran tasawuf yang disesuaikan dengan spirit modernitas sehingga layak disebut tasawuf modern. Keenam, sufisme Muhammadiyah diekspresikan dalam corak yang lebih aktif dan dinamis. Seorang sufi tidak boleh berpangku tangan, melainkan harus aktif bekerja dan berinteraksi dengan masyarakat. Ketujuh, sufisme Muhammadiyah
menjauhi wacana tasawuf falsafi yang potensial mengundang perdebatan. Terakhir, Muhammadiyah berpandangan untuk menjadi sufi, seseorang tidak harus menjadi anggota tarekat yang dalam prakteknya bercorak guru sentris.
Keywords: Progressive sufism; Sufi order; Muhammadiyah; ulama
http://ijims.iainsalatiga.ac.id/index.php/ijims/article/view/1292
Friday, February 9, 2018
Suara Muhammadiyah dan Jurnalisme Kaum Modernis
Tirto.id
Kolumnis: Muhammad Yuanda Zara
09 Februari, 2018
Selain warga Muhammadiyah dan lingkaran intelektual Muslim tertentu, hanya sedikit orang mengetahui Majalah Suara Muhammadiyah (SM). Sekilas ini mudah dipahami karena SM diterbitkan oleh Muhammadiyah dan terutama sekali ditujukan pada warga Muhammadiyah. Orang tidak akan menemukan SM di lapak koran. Bahkan, para pengamat media juga kerap melupakan SM dalam kajiannya tentang sejarah pers di Indonesia. Cara berpikirnya sederhana: karena SM (dinilai) semata media internal Muhammadiyah (Budi Irawanto dalam Khrisna Sen & David T. Hill [ed.], 2011).
Padahal bila dilihat dari berbagai aspek, SM punya bobot yang tak bisa diremehkan. Majalah ini hadir sejak 1915, atau tiga tahun setelah Muhammadiyah berdiri dan tiga dekade sebelum Republik Indonesia lahir. Satu lagi: SM masih tetap terbit hingga hari ini. Artinya, usianya telah mencapai seabad lebih.
Catatan lain bisa ditambahkan: SM adalah majalah yang turut membentuk generasi baru intelektual Muslim Indonesia di paruh kedua abad ke-20. Saat para intelektual itu masih muda, mereka berkali-kali menulis dan muncul di SM. Daftarnya merentang dari Ahmad Syafii Maarif, Amien Rais, Emha Ainun Nadjib, M. Diponegoro, dan Haedar Nashir. Nama pertama yang kini begitu terkenal, Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah dan guru besar Sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta, dulu bahkan merupakan wartawan SM dari tahun 1965 sampai 1972. Ia terjun ke lapangan untuk mengumpulkan bahan berita dan pergi ke berbagai kota untuk mewawancarai narasumber.
Penghargaan datang silih berganti untuk menghargai pencapaian SM, mulai dari Museum Rekor Indonesia (MURI) yang menyebutnya sebagai Majalah Islam yang Terbit Berkesinambungan Terlama dan Serikat Perusahaan Pers (SPS) yang mendaulatnya sebagai Salah Satu Majalah Tertua di Indonesia. Yang terbaru, dalam Peringatan Hari Pers Nasional di Padang pada 9 Februari 2018, SM diberi penghargaan untuk kategori Kepeloporan sebagai Media Dakwah Perjuangan Kemerdekaan RI dalam Bahasa Indonesia.
Bisa dikatakan usaha memahami sejarah pers sekaligus sejarah Islam di Indonesia tanpa menyinggung SM niscaya tidak akan lengkap.
Baca juga: Kiai Dahlan & Muhammadiyah: Usaha Melumat Kejumudan Umat
Islam, Kebangsaan dan Kemajuan
Ada tiga elemen yang secara konstan hadir di SM: (1) upaya memurnikan ajaran Islam, (2) gagasan untuk memajukan umat Islam dan Indonesia, dan (3) usaha membangun kesadaran kebangsaan.
Salah satu fungsi SM adalah sebagai media dakwah yang bertujuan memurnikan ajaran Islam; sesuatu yang memang beririsan rapat dengan "ideologi" Muhammadiyah. Sejak awal kelahirannya, SM senantiasa mengulas berbagai aspek agama Islam, misalnya tentang puasa Ramadan, tauhid, ziarah kubur, hingga soal hukum memotong gigi. Pada 1923, SM menulis bahwa “keroesakan orang Islam tanah Hindia pada waktoe ini soedah sebegitoe kerasnja”. Ini mengacu berbagai tafsiran dan praktik Islam yang dinilai keliru oleh SM. Maka SM bertekad membawa kaum Muslim ke ajaran Islam yang sebenarnya. Al Quran dan Hadis Nabi Muhammad saw dijadikan sebagai pegangan.
SM merupakan salah satu tempat kaum Muslim Hindia Belanda belajar Islam yang murni. Ini tercermin dari surat pembaca seorang pembaca SM pada 1923. Sang pembaca menyebut dirinya “seorang jang koerang pengetahoean”, dan ia mencari ilmu agama dari SM untuk “memberi penerang hati kami jang gelap”.
Baca juga: Kisah Ahmad Dahlan dan Koreksi Waktu Subuh Muhammadiyah
Di luar soal pemurnian agama, SM juga mencita-citakan kemajuan intelektualitas pembacanya. Rasionalitas dan penyesuaian dengan dunia modern menjadi ciri khas SM sejak awal terbit hingga kini. Pendiri SM, KH Ahmad Dahlan, memilih sarana komunikasi terkini di zamannya bernama percetakan dan penerbitan untuk menyebarkan gagasannya daripada terpaku pada metode tradisional berupa tatap muka di masjid.
Apresiasi SM pada pencapaian intelektual dan kemajuan ilmu pengetahuan tampak dari besarnya tempat yang diberikan pada para ahli, baik dalam ilmu agama maupun dalam subjek sekuler, untuk menyuarakan opininya di setiap edisi SM. Direktur Islamic Studies di McGill University, Kanada, Dr. Wilfred Cantwell Smith, bahkan pernah muncul di sampul depan SM pada 1973.
SM mendorong pembacanya berpandangan ke luar dengan berpikir mondial. Sejak awal SM sudah berbicara tentang luar negeri, walau masih sebatas perjalanan naik haji ke Mekkah. Dalam dekade-dekade berikutnya, dunia yang ditampilkan SM kian luas. Berbagai reportase SM berbicara tentang, umpamanya, dinamika politik di daerah konflik seperti India-Kashmir dan Palestina-Israel, serta perkembangan Islam, baik di negara mayoritas muslim seperti Pakistan dan Malaysia, atau di wilayah-wilayah yang muslimnya menjadi minoritas.
Mungkin mengherankan pengamat media Islam, namun beginilah adanya: SM bahkan berbicara soal teknologi tinggi, khususnya perkembangannya di Barat. Contoh yang paling menonjol saat SM turut mengabadikan salah satu pencapaian teknologi terbesar umat manusia di abad ke 20 yaitu pendaratan manusia di bulan tahun 1969. Dari tahun itu hingga beberapa tahun setelahnya, SM mengupas banyak hal teknis soal pendaratan ini, mulai dari modul lunar eagle yang dipakai, tarikan gravitas bumi, hingga kecepatan pesawat. Untuk mempertajam analisis, SM tidak sungkan mengeksplorasi imajinasi manusia tentang bulan di dalam novel karya Jules Verne tahun 1865, De la Terre a la Lune (Dari Bumi ke Bulan).
Sedangkan dalam soal kesadaran kebangsaan, SM membangunnya lewat berbagai macam cara. Pertama, lewat kebijakan bahasa. SM awalnya terbit dalam bahasa dan aksara Jawa, tapi di era 1920an SM mengadopsi bahasa Melayu yang kala itu merupakan salah satu wujud dukungan terhadap emansipasi sosial-politik pribumi dan sikap anti-kolonialisme Belanda. Istilah “Indonesia”, sebagai kata ganti Hindia Belanda, sudah dipakai SM sejak 1924, empat dekade setelah Adolf Bastian mempopulerkan kata “Indonesien” lewat bukunya, Indonesien: Oder, die Inseln des Malayischen Archipel (1884), dan dua tahun setelah Indische Vereniging di Belanda berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (1922).
Di sisi lain, SM membangun kesadaran spasial para pembacanya tentang wilayah geografis Hindia Belanda, dan kemudian Indonesia. Pembaca diajak membayangkan, dan kemudian menyadari, bahwa dunia tak hanya Yogyakarta saja. Sejak era 1920an, seiring dengan sirkulasi SM ke luar Yogyakarta, hadirlah nama wilayah lain Hindia Belanda di SM, mulai dari Solo, Surabaya, Batavia, Garut, Pekalongan, Prianger (Priangan), Sumatra hingga Celibes (Sulawesi).
Tulisan-tulisan SM tentang berbagai belahan dunia (dan belahan alam semesta) ini memberi kesempatan pembacanya untuk tak hanya paham perihal persoalan organisasi Muhammadiyah atau Indonesia semata, tapi juga konstelasi sosial dan politik di seantero bumi, dan bahkan teknologi maju untuk menuju luar angkasa. Terselip pula pesan dari SM agar orang Indonesia turut ambil bagian dalam perlombaan kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan sains.
Baca juga: Kiprah KH Fakhruddin, Putra Lurah Keraton, Membesarkan Muhammadiyah
Pada 1960an, SM melaporkan berbagai usaha Muhammadiyah untuk melepaskan “anak panah”-nya ke pelosok Indonesia, misalnya ke pedalaman Lombok dan Papua. Reportase ini mengomunikasikan berbagai problem yang ada di luar Jawa kepada para pembaca SM di seluruh Indonesia. Lahirlah simpati dan perhatian terhadap daerah-daerah tersebut. Via reportase semacam ini, SM membawa daerah terpencil ke dalam peta besar Indonesia.
Dengan umurnya yang telah satu abad lebih, SM telah menjadi saksi berbagai peristiwa besar di Indonesia dan dunia, dan bergerak melintasi berbagai zaman yang sering kali kejam bagi media massa (SM, misalnya, sempat berhenti terbit di masa pendudukan Jepang). SM secara konstan menyuarakan kemajuan bagi umat Islam dan Indonesia.
Bisa dimengerti jika jika Dr. James Peacock dan Prof. DC Mulder, dua peneliti asing yang fokus mengkaji Indonesia, menjadi pelanggan SM pada 1970an. Bagi mereka, SM adalah salah satu sumber penting untuk penelitian. Memang, SM merupakan jendela jurnalistik yang tepat untuk melihat perkembangan Islam di Indonesia yang dipelopori kaum modernis, yang percaya bahwa progres hanya bisa dicapai dengan pemahaman agama yang murni dan adaptasi dengan dunia modern.
Sumber:
Soewara Moehammadijah, Januari I, 1923
Suara Muhammadiyah No. 12 Th. 49, 1969
Suara Muhammadiyah No. 13-14, Th. 49, 1969
Suara Muhammadiyah No. 21-22, Th. 51, November I-II, 1971
Suara Muhammadiyah No. 1, Th. 52, Januari I, 1972
Suara Muhammadiyah, No. 17 Th. 53, September I, 1973
Sen, Khrisna & David T. Hill (ed.). 2011. Politics and the Media in Twenty-First Century in Indonesia: Decade of Democracy. London & New York: Routledge.
*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi tirto.id.
https://tirto.id/suara-muhammadiyah-dan-jurnalisme-kaum-modernis-cExK
Kolumnis: Muhammad Yuanda Zara
09 Februari, 2018
Selain warga Muhammadiyah dan lingkaran intelektual Muslim tertentu, hanya sedikit orang mengetahui Majalah Suara Muhammadiyah (SM). Sekilas ini mudah dipahami karena SM diterbitkan oleh Muhammadiyah dan terutama sekali ditujukan pada warga Muhammadiyah. Orang tidak akan menemukan SM di lapak koran. Bahkan, para pengamat media juga kerap melupakan SM dalam kajiannya tentang sejarah pers di Indonesia. Cara berpikirnya sederhana: karena SM (dinilai) semata media internal Muhammadiyah (Budi Irawanto dalam Khrisna Sen & David T. Hill [ed.], 2011).
Padahal bila dilihat dari berbagai aspek, SM punya bobot yang tak bisa diremehkan. Majalah ini hadir sejak 1915, atau tiga tahun setelah Muhammadiyah berdiri dan tiga dekade sebelum Republik Indonesia lahir. Satu lagi: SM masih tetap terbit hingga hari ini. Artinya, usianya telah mencapai seabad lebih.
Catatan lain bisa ditambahkan: SM adalah majalah yang turut membentuk generasi baru intelektual Muslim Indonesia di paruh kedua abad ke-20. Saat para intelektual itu masih muda, mereka berkali-kali menulis dan muncul di SM. Daftarnya merentang dari Ahmad Syafii Maarif, Amien Rais, Emha Ainun Nadjib, M. Diponegoro, dan Haedar Nashir. Nama pertama yang kini begitu terkenal, Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah dan guru besar Sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta, dulu bahkan merupakan wartawan SM dari tahun 1965 sampai 1972. Ia terjun ke lapangan untuk mengumpulkan bahan berita dan pergi ke berbagai kota untuk mewawancarai narasumber.
Penghargaan datang silih berganti untuk menghargai pencapaian SM, mulai dari Museum Rekor Indonesia (MURI) yang menyebutnya sebagai Majalah Islam yang Terbit Berkesinambungan Terlama dan Serikat Perusahaan Pers (SPS) yang mendaulatnya sebagai Salah Satu Majalah Tertua di Indonesia. Yang terbaru, dalam Peringatan Hari Pers Nasional di Padang pada 9 Februari 2018, SM diberi penghargaan untuk kategori Kepeloporan sebagai Media Dakwah Perjuangan Kemerdekaan RI dalam Bahasa Indonesia.
Bisa dikatakan usaha memahami sejarah pers sekaligus sejarah Islam di Indonesia tanpa menyinggung SM niscaya tidak akan lengkap.
Baca juga: Kiai Dahlan & Muhammadiyah: Usaha Melumat Kejumudan Umat
Islam, Kebangsaan dan Kemajuan
Ada tiga elemen yang secara konstan hadir di SM: (1) upaya memurnikan ajaran Islam, (2) gagasan untuk memajukan umat Islam dan Indonesia, dan (3) usaha membangun kesadaran kebangsaan.
Salah satu fungsi SM adalah sebagai media dakwah yang bertujuan memurnikan ajaran Islam; sesuatu yang memang beririsan rapat dengan "ideologi" Muhammadiyah. Sejak awal kelahirannya, SM senantiasa mengulas berbagai aspek agama Islam, misalnya tentang puasa Ramadan, tauhid, ziarah kubur, hingga soal hukum memotong gigi. Pada 1923, SM menulis bahwa “keroesakan orang Islam tanah Hindia pada waktoe ini soedah sebegitoe kerasnja”. Ini mengacu berbagai tafsiran dan praktik Islam yang dinilai keliru oleh SM. Maka SM bertekad membawa kaum Muslim ke ajaran Islam yang sebenarnya. Al Quran dan Hadis Nabi Muhammad saw dijadikan sebagai pegangan.
SM merupakan salah satu tempat kaum Muslim Hindia Belanda belajar Islam yang murni. Ini tercermin dari surat pembaca seorang pembaca SM pada 1923. Sang pembaca menyebut dirinya “seorang jang koerang pengetahoean”, dan ia mencari ilmu agama dari SM untuk “memberi penerang hati kami jang gelap”.
Baca juga: Kisah Ahmad Dahlan dan Koreksi Waktu Subuh Muhammadiyah
Di luar soal pemurnian agama, SM juga mencita-citakan kemajuan intelektualitas pembacanya. Rasionalitas dan penyesuaian dengan dunia modern menjadi ciri khas SM sejak awal terbit hingga kini. Pendiri SM, KH Ahmad Dahlan, memilih sarana komunikasi terkini di zamannya bernama percetakan dan penerbitan untuk menyebarkan gagasannya daripada terpaku pada metode tradisional berupa tatap muka di masjid.
Apresiasi SM pada pencapaian intelektual dan kemajuan ilmu pengetahuan tampak dari besarnya tempat yang diberikan pada para ahli, baik dalam ilmu agama maupun dalam subjek sekuler, untuk menyuarakan opininya di setiap edisi SM. Direktur Islamic Studies di McGill University, Kanada, Dr. Wilfred Cantwell Smith, bahkan pernah muncul di sampul depan SM pada 1973.
SM mendorong pembacanya berpandangan ke luar dengan berpikir mondial. Sejak awal SM sudah berbicara tentang luar negeri, walau masih sebatas perjalanan naik haji ke Mekkah. Dalam dekade-dekade berikutnya, dunia yang ditampilkan SM kian luas. Berbagai reportase SM berbicara tentang, umpamanya, dinamika politik di daerah konflik seperti India-Kashmir dan Palestina-Israel, serta perkembangan Islam, baik di negara mayoritas muslim seperti Pakistan dan Malaysia, atau di wilayah-wilayah yang muslimnya menjadi minoritas.
Mungkin mengherankan pengamat media Islam, namun beginilah adanya: SM bahkan berbicara soal teknologi tinggi, khususnya perkembangannya di Barat. Contoh yang paling menonjol saat SM turut mengabadikan salah satu pencapaian teknologi terbesar umat manusia di abad ke 20 yaitu pendaratan manusia di bulan tahun 1969. Dari tahun itu hingga beberapa tahun setelahnya, SM mengupas banyak hal teknis soal pendaratan ini, mulai dari modul lunar eagle yang dipakai, tarikan gravitas bumi, hingga kecepatan pesawat. Untuk mempertajam analisis, SM tidak sungkan mengeksplorasi imajinasi manusia tentang bulan di dalam novel karya Jules Verne tahun 1865, De la Terre a la Lune (Dari Bumi ke Bulan).
Sedangkan dalam soal kesadaran kebangsaan, SM membangunnya lewat berbagai macam cara. Pertama, lewat kebijakan bahasa. SM awalnya terbit dalam bahasa dan aksara Jawa, tapi di era 1920an SM mengadopsi bahasa Melayu yang kala itu merupakan salah satu wujud dukungan terhadap emansipasi sosial-politik pribumi dan sikap anti-kolonialisme Belanda. Istilah “Indonesia”, sebagai kata ganti Hindia Belanda, sudah dipakai SM sejak 1924, empat dekade setelah Adolf Bastian mempopulerkan kata “Indonesien” lewat bukunya, Indonesien: Oder, die Inseln des Malayischen Archipel (1884), dan dua tahun setelah Indische Vereniging di Belanda berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (1922).
Di sisi lain, SM membangun kesadaran spasial para pembacanya tentang wilayah geografis Hindia Belanda, dan kemudian Indonesia. Pembaca diajak membayangkan, dan kemudian menyadari, bahwa dunia tak hanya Yogyakarta saja. Sejak era 1920an, seiring dengan sirkulasi SM ke luar Yogyakarta, hadirlah nama wilayah lain Hindia Belanda di SM, mulai dari Solo, Surabaya, Batavia, Garut, Pekalongan, Prianger (Priangan), Sumatra hingga Celibes (Sulawesi).
Tulisan-tulisan SM tentang berbagai belahan dunia (dan belahan alam semesta) ini memberi kesempatan pembacanya untuk tak hanya paham perihal persoalan organisasi Muhammadiyah atau Indonesia semata, tapi juga konstelasi sosial dan politik di seantero bumi, dan bahkan teknologi maju untuk menuju luar angkasa. Terselip pula pesan dari SM agar orang Indonesia turut ambil bagian dalam perlombaan kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan sains.
Baca juga: Kiprah KH Fakhruddin, Putra Lurah Keraton, Membesarkan Muhammadiyah
Pada 1960an, SM melaporkan berbagai usaha Muhammadiyah untuk melepaskan “anak panah”-nya ke pelosok Indonesia, misalnya ke pedalaman Lombok dan Papua. Reportase ini mengomunikasikan berbagai problem yang ada di luar Jawa kepada para pembaca SM di seluruh Indonesia. Lahirlah simpati dan perhatian terhadap daerah-daerah tersebut. Via reportase semacam ini, SM membawa daerah terpencil ke dalam peta besar Indonesia.
Dengan umurnya yang telah satu abad lebih, SM telah menjadi saksi berbagai peristiwa besar di Indonesia dan dunia, dan bergerak melintasi berbagai zaman yang sering kali kejam bagi media massa (SM, misalnya, sempat berhenti terbit di masa pendudukan Jepang). SM secara konstan menyuarakan kemajuan bagi umat Islam dan Indonesia.
Bisa dimengerti jika jika Dr. James Peacock dan Prof. DC Mulder, dua peneliti asing yang fokus mengkaji Indonesia, menjadi pelanggan SM pada 1970an. Bagi mereka, SM adalah salah satu sumber penting untuk penelitian. Memang, SM merupakan jendela jurnalistik yang tepat untuk melihat perkembangan Islam di Indonesia yang dipelopori kaum modernis, yang percaya bahwa progres hanya bisa dicapai dengan pemahaman agama yang murni dan adaptasi dengan dunia modern.
Sumber:
Soewara Moehammadijah, Januari I, 1923
Suara Muhammadiyah No. 12 Th. 49, 1969
Suara Muhammadiyah No. 13-14, Th. 49, 1969
Suara Muhammadiyah No. 21-22, Th. 51, November I-II, 1971
Suara Muhammadiyah No. 1, Th. 52, Januari I, 1972
Suara Muhammadiyah, No. 17 Th. 53, September I, 1973
Sen, Khrisna & David T. Hill (ed.). 2011. Politics and the Media in Twenty-First Century in Indonesia: Decade of Democracy. London & New York: Routledge.
*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi tirto.id.
https://tirto.id/suara-muhammadiyah-dan-jurnalisme-kaum-modernis-cExK
Suara Muhammadiyah dan Hari Pers Nasional
Republika, Selasa 06 February 2018
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Dalam usianya yang ke-103 tahun, majalah SM (Suara Muhammadiyah) pada Peringatan HPN (Hari Pers Nasional) di Padang, 9 Februari 2018, akan mendapatkan penghargaan dari Panitia Pusat HPN dalam kategori Kepeloporan sebagai Media Dakwah Perjuangan Kemerdekaan RI dalam Bahasa Indonesia. Sebelumnya, pada 11 Oktober 2016, SM juga telah mendapatkan penghargaan Rekor Muri dalam kategori Majalah Islam yang Terbit Berkesinambungan Terlama. Pada 30 Agustus 2017, SM lagi mendapatkan Penghargaan SPS dalam kategori Salah Satu Majalah Tertua Di Indonesia.
Sepanjang sumber yang dapat dilacak sampai hari ini, boleh jadi SM adalah satu-satunya media cetak terlama yang bisa bertahan. Sebagai warisan budaya literasi dari pendiri Muhammadiyah Ahmad Dahlan dan para sahabatnya, SM telah bertahan dengan semangat yang semakin tinggi dan energi yang semakin membesar, tidak saja dalam ranah idealisme yang terus dipertajam, tetapi juga dalam pengembangan dunia usaha yang kompetitif.
Dan jangan lupa, kesejahteraan staf dan karyawan pasti akan meningkat sejalan dengan kiprah bisnis yang kreatif dan dinamis itu. Selain sebagai media cetak dwipekanan, SM juga dapat dibaca dalam versi digital. Moto terbaru yang diusung adalah “Meneguhkan dan Mencerahkan”.
Di bawah komandan Deni Asy’ari (asli Bukittinggi) sebagai dirut PT SCM (Syarikat Cahaya Media), sejak tahun-tahun terakhir ini SM telah meluaskan jaringan usahanya dalam bentuk beberapa anak perusahaan dengan aset lebih dari Rp 50 miliar (termasuk dana cair di bank). Sebuah kantor baru lima tingkat yang cukup gagah di Jalan KH Ahmad Dahlan 107, Yogyakarta, akan diresmikan pada akhir Februari 2018.
Angka ini bagi SM adalah yang terbesar sepanjang sejarahnya. Pada tahun-tahun mendatang, angka itu akan semakin membengkak. Dalam hitungan kasar saya, aset SM pada 2020 akan menembus angka Rp 90 miliar.
SM yang semula terbit dalam bahasa Jawa telah melintasi tiga zaman: penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan era kemerdekaan. Pernah mati suri sebentar tahun 1917-1918, pernah juga terseok-seok pada masa Jepang, tetapi dia bangkit kembali dengan segala kekuatan yang tersisa dan suka duka yang datang silih berganti.
Tahun 1922, SM mulai menggunakan bahasa Melayu, di samping masih ada rubrik dalam bahasa dan tulisan Jawa. Yang dipantangkan SM sepanjang sejarahnya: menyerah kalah saat bergumul dengan berbagai kesulitan. Akhir-akhir ini SM tampak semakin agresif dengan membuka Sudut SM (SM Corner) di berbagai kota di Indonesia.
Sebagai seorang yang terlibat dalam denyut nadi SM sejak 1965, posisi korektor dan kemudian anggota redaksi, pernah pula absen beberapa tahun, saya merasa bahagia dalam usia 83 tahun sekarang ini. Ternyata jika anak-anak muda Muhammadiyah diberi kepercayaan penuh dalam mengembangkan suatu usaha, terobosan yang mereka lakukan kadang-kadang di luar dugaan, sesuatu yang tidak saya miliki sepanjang hidup. Kepada mereka ini semua saya memberikan penghargaan tinggi dan rasa bangga yang tidak berkesudahan.
Kemudian, pengalaman sebagai korektor majalah yang dilatih oleh sastrawan almarhum A Bastari Asnin sebagai redaktur SM, masih terngiang dalam ingatan saya sebuah sepeda lusuh yang saya naiki dari Kotagede ke Percetakan Negara Yogyakarta, kuliah di IKIP Negeri, terus ke kantor Suara Muhammadiyah saat itu di Jalan KH Ahmad Dahlan 103. Alamat ini adalah kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah ketika itu, SM menompang di situ.
Di hari-hari sulit itu, SM telah sedikit meringankan beban ekonomi keluarga saya dalam suasana hidup di garis batas kemiskinan. Tidak saja sepeda yang lusuh, baju pun senasib dengan kendaraan yang catnya sudah mengelupas itu. Bahkan, istri saya, Nurkhalifah, pernah membalik letak punggung baju saya, yang lapuk diturunkan ke bagian bawah agar tidak kelihatan terlalu kumal.
Kini SM telah mengantongi penghargaan demi penghargaan. Sebagai usaha kecil menengah, anak perusahaan SM terus saja menggeliat dan menggeliat dengan toko batik, toko buku, dan penerbit SM yang semakin bermaya.
Ada beberapa penulis berbakat yang telah bergabung dengan SM. Terakhir adalah sejarawan Dr Muhammad Yuanda Zara, alumnus Universitas Amsterdam, Belanda, yang dengan sigap dan sabar telah mulai membongkar arsip-arsip kuno Muhammadiyah yang memang tidak terawat dengan baik selama sekian puluh tahun. Arsip SM nomor 1 tidak ditemukan lagi. Arsip nomor 2 tahun 1915 ditemukan almarhum Prof Dr Kuntowijoyo di negeri Belanda abad yang lalu.
SM tentu berterima kasih kepada Panitia Pusat Peringatan HPN dengan penghargaan yang akan diberikan kepada majalah tertua ini pada Jumat, 9 Februari 2018, sebagaimana telah disinggung di atas.
http://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/18/02/06/p3pead440-suara-muhammadiyah-dan-hari-pers-nasional
Wednesday, February 7, 2018
Kata "Indonesia" di SM sebelum Sumpah Pemuda 1928
Contoh cover Majalah Suara Muhammadiyah edisi 1925. Istilah "Indonesia" sudah dipakai di sini, sebagai bukti bahwa kelompok Islam pun sudah sering menggunakan kata "Indonesia" sebelum Sumpah Pemuda 1928.
Ini sebagai satu respons thd tuduhan yg belakangan ini bersebaran bahwa sebagian kelompok Islam tidak mau terlibat dalam Sumpah Pemuda 1928. Yang pasti itu bukanlah Muhammadiyah.
Ini sebagai satu respons thd tuduhan yg belakangan ini bersebaran bahwa sebagian kelompok Islam tidak mau terlibat dalam Sumpah Pemuda 1928. Yang pasti itu bukanlah Muhammadiyah.
Tuesday, February 6, 2018
Haji Fachrodin: Pemimpin Redaksi (Hoofdredacteur) Suara Muhammadiyah Yang Pertama
Fachrodin lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 11 Rabiul Awwal 1305 H (1890 M). Nama kecilnya Muhammad Jazuli, putra ketiga Haji Hasyim Ismail, Lurah Kraton Yogyakarta. Dia adik kandung Haji Syuja’ (nama kecil Daniyalin) dan kakak kandung Ki Bagus Hadikusuma (nama kecil Hidayat).
Fachrodin seorang pengusaha, wartawan, aktivis pergerakan, dan muballigh. Sejak muda ia telah merintis usaha percetakan, pabrik rokok, dan perhotelan. Ia tercatat sebagai anggota Inlandsche Journalisten Bond (IJB). Kiprah Fachrodin cukup berpengaruh dalam penerbitan surat kabar Dunia Bergerak, Medan-Muslimin, Islam Bergerak, Srie Diponegoro, Suara Muhammadiyah, dan Bintang Islam. Karir di politik pergerakan mencapai puncak ketika ia menjadi penningmeester (bendahara) Centraal Sarekat Islam (CSI) mendampingi HOS. Tjokroaminoto.
Di Muhammadiyah, ia masuk dalam jajaran Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah sejak masa kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Ibrahim. Dialah inisiator dan Hoofdredacteur (Pemimpin Redaksi) Suara Muhammadiyah pertama. Suara Muhammadiyah terbit pertama kali pada tahun 1915 di Yogyakarta, seangkatan dengan Medan-Muslimin dan Islam Bergerak di Solo. (Majalah SM 15/2015, edisi khusus Muktamar, Halaman 109)
Haji Fachrodin: Sang Revolusioner Muhammadiyah
Buku Benteng Muhammadiyah adalah buku sejarah yang mengangkat riwayat dan pemikiran Haji Fachrodin, salah satu tokoh Muhammadiyah yang merupakan murid langsung KH. Ahmad Dahlan. Tidak sedikit warga Muhammadiyah dan masyarakat yang ternyata salah mengerti tentang Fachrodin. Salah satunya ialah anggapan bahwa Haji Fachrodin ada hubungan darah dengan KH. Abdul Rozak Fachruddin (Pak AR Jogja), Ketua Umum PP Muhammadiyah sebelum digantikan oleh KH. Azhar Basyir.
Kehadiran buku ini patut diapresiasi karena merupakan karya sejarah yang cukup komprehensif menggambarkan sosok Haji Fachrodin. Buku ini sekaligus sebagai “klarifikasi resmi” penulisnya yang sebelumnya manganggap Haji Fachrodin adalah ayah kandung Pak AR Fakhrudin Jogja. Selain itu buku ini menggambarkan secara komprehensif pemikiran dan perjalanan hidup Fachrodin. Setidaknya dalam buku ini sosok Fachrodin bisa dilihat dari tiga dimensi, yaitu sebagai seorang ulama, tokoh pergerakan (aktivis buruh), dan tokoh pers.
Sebagai seorang ulama, sosok Fachrodin tidak diragukan lagi. Meskipun tidak mengenyam pendidikan (agama) secara formal tetapi pengetahuan agamanya sangat luas, menguasai khazanah intelektual Islam klasik dan modern. Terbukti bahwa ia sering mengisi rubrik pengajaran agama dan kolom tanya jawab agama di majalah Soewara Moehammadijah (hal. 109) dan kemudian diberi amanat menjadi ketua pertama Bagian Tabligh Hoofdbestuur Muhammadiyah.
Kiprahnya sebagai tokoh pergerakan bisa dilihat dari radius pergaulannya yang luas melampaui sekat sekat ideologi, politik, dan golongan. Haji Fachrodin memiliki hubungan dekat dengan tokoh-tokoh revolusioner “kiri” seperti Alimin, Darsono, dan Haji Misbach. Uniknya, di sebelah lain Fachrodin juga aktif sebagai penningmeester Centraal Sarekat Islam dan dekat dengan tokoh-tokohnya (HOS Cokroaminoto, Abdoel Moeis, Haji Agoes Salim). Haji Fachrodin dikenal radikal-revolusioner dalam pemikiran dan tindakan sehingga ia termasuk di “jalur kiri” dalam peta perpolitikan nasional, yaitu ketika ia bergabung dalam surat kabar Doenia Bergerak, aktif sebagai wakil ketua ISDV Cabang Yogyakarta, IJB, dan Insulinde. Ketika memimpin ISDV Cabang Yogyakarta bersama Soerjopranoto, Fachrodin berhasil menggalang sarekat-sarekat tani dan buruh sampai ke pelosok pedesaan dan melakukan aksi pemogokan di pabrik-pabrik gula sebagai bentuk protes terhadap pemerintah kolonial.
Dunia pers dan penulisan tidak bisa dilepaskan dari sosok Fachrodin. Bakat menulisnya sudah tampak sejak aktivitasnya mengikuti pengajian modernis Ahmad Dahlan di Langgar Kidul. Bakat tersebut semakin terasah ketika ia belajar jurnalistik kepada Mas Marco Kartodikromo. Fachrodin tercatat sebagai tokoh penting pers di masa pergerakan. Ia terlibat sejak awal penerbitan surat kabar Medan-Moeslimin (1915) dan Islam Bergerak (1917) bersama Haji Misbach (Solo). Fachroedin juga pernah tercatat sebagai pimpinan redaksi surat kabar mingguan Srie Diponegoro, kontributor di surat kabar Doenia Bergerak (1919), redaktur Pambrita CSI (1920), Soewara Moehammadijah (1920), Bintang Islam (1923), Tjamboek (1925), Soengoeting Moehammadijah, Pertimbangan (1924). Karena tulisan-tulisannya yang tajam dan tidak jarang membuat pemerintah kolonial “kebakaran jenggot”, Fachrodin sering keluar masuk penjara karena delik pers. Selain di dunia pers, Fachrodin juga cukup banyak menulis buku, salah satunya yang terkenal adalah buku Marganing Koemawoela.
Kehadiran buku Benteng Muhammadiyah ini bukti masih adanya orang Muhammadiyah yang peduli dengan geliat intelektualisme serta kesejarahan dalam Muhammadiyah. Banyak data dan informasi penting yang sangat dibutuhkan masyarakat untuk mengetahui sejarah awal pergerakan nasional dan perjalanan tokohnya. Lebih penting dari buku ini adalah menyadarkan warga dan pimpinan Muhammadiyah untuk tidak abai terhadap khazanah intelektual warisan para tokoh pendiri Muhammadiyah. Terbitnya buku ini menambah referensi tentang Fachrodin, salah satu pendiri Muhammadiyah, pahlawan nasional, tokoh pergerakan nasional, pers, dan ulama yang disegani di zamannya. Kita rindu pimpinan-pimpinan Muhammadiyah seperti Fachrodin, sosok revolusioner dalam pikiran dan tindakan.
Muhamad Arifin,
Sekretaris Majelis Pendidikan Kader (MPK) PD Muhammadiyah Kota Surakarta
(tulisan ini pernah dimuat di Majalah PK Media Perguruan Muhammadiyah Kottabarat-Surakarta)
Subscribe to:
Posts (Atom)