DENGAN sekolah-sekolahnya –yang telah menghasilkan sejumlah kader
bangsa yang sekarang ini tersebar di berbagai partai politik sebagai
hasil dari hampir seabad perjalanan gerakan pembaruannya dalam beragama (
tajdid)–
seharusnya Muhammadiyah menjadi salah satu kekuatan penentu nasib
negara ini. Namun, sebagai organisasi sosio-religius terbesar kedua di
Indonesia setelah Nahdlatul Ulama (NU), Muhamadiyah tidak melibatkan
diri secara langsung dalam politik praktis. Warga Muhammadiyah tersebar
di berbagai partai politik yang bahkan saling bersaing.
|
KH
AHMAD DAHLAN. “Pendidikan yang dulunya sangat identik dengan budaya
Arab (pesantren, madrasah), diperbaiki dengan mengadopsi cara Barat,
siswa bersekolah dengan memakai celana”. (download rspkugombong.com) |
Hal yang lebih menonjol dari Muhammadiyah sekarang ini justru gerakan
amal usaha yang pragmatis. Banyak sekolah-sekolah Muhammadiyah yang
dulu dekat dengan masyarakat bawah –yang menjadi sasaran binaan
pembaruan untuk kemajuan bangsa– sekarang justru berkembang menjadi
sekolah mahal yang semakin tidak terjangkau lagi oleh umat kalangan
bawah di perkotaan. Muhammadiyah telah menjadi kelompok elit yang
menjauh dari basisnya semula, orang-orang yang lemah (
mustadl’afin), kelompok akar rumput yang sangat membutuhkan pendidikan dan pengayoman untuk mengubah nasib.
Menjadi modern tanpa kehilangan jatidiri bangsa
Politik Etis (
Etische Politiek)
yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda di awal abad ke-20 M,
yang mulai berlaku secara nyata di lapangan setelah Ratu Wilhelmina
berpidato di
Staten General pada tahun 1901, sering dianggap sebagai awal dari keterbukaan kesadaran berbangsa rakyat Indonesia
.Politik Etis itu menggantikan sistem tanam paksa (
kultuur stelsel)
yang merupakan politik eksploitasi tak etis oleh perusahaan-perusahaan
swasta Belanda yang dihentikan sejak tahun 1870. Snouck Hurgronje,
seorang profesor indolog di Leiden (1906), menyarankan agar pemerintah
kolonial Belanda memberikan pendidikan dalam tradisi yang paling baik
dari Barat kepada elit pribumi, yang nantinya diharapkan menjadi tokoh
penting yang berpengaruh luas dalam masyarakat Indonesia sebagai
kepanjangan tangan pemerintah.
Sesuai dengan semangat Politik Etis tersebut, pemerintah kolonial
Belanda memperbanyak jumlah sekolah. Pada tahun 1903 mulai didirikan
sekolah rendah yang dinamakan
Volk School (Sekolah Desa)
dengan masa belajar 3 tahun yang kemudian dilanjutkan dengan program
Vervolg School
(Sekolah Lanjutan) dengan masa belajar selama 2 tahun. Dari sekolah
dasar tersebut, kemudian dilanjutkan dengan sekolah-sekolah untuk
tahun-tahun berikutnya, yaitu
Meer Uitgebreid Leger Onderwijs (MULO), sekolah yang jenjangnya setingkat dengan SMP sekarang, dan program
Algemeene Middelbare School
(AMS) yang jenjangnya setingkat dengan SMA. Ternyata, selain akibat
baik, ada juga efek samping sekolah modern tersebut yang menyebabkan
sebagian anak-anak pribumi menjadi “salah asuhan”, berpendidikan tinggi
tapi terlalu kebarat-baratan, sehingga lupa akan asalnya sendiri sebagai
orang pribumi.
Selain itu, akibat penjajahan, kondisi masyarakat Muslim Indonesia waktu itu mengalami kemunduran, sehingga dihinggapi oleh ke
jumudan (
stagnan)
dalam pemikiran, terbelakang dalam ilmu pengetahuan, krisis akidah
dalam ibadah, dan miskin dalam kesejahteraan sosial. Kondisi itulah yang
membuat KH Ahmad Dahlan –dengan nama kecil Muhammad Darwis, putera KH
Abu Bakar, seorang imam dan khatib Masjid Besar Kauman, Yogyakarta–
berpikir bagaimana menjadi modern tetapi tetap beragama dengan baik.
Untuk mencapai itu, harus melakukan perubahan mendasar yang bermula dari
pendidikan. Karena menyadari bahwa itu harus dilakukan bersama, Ahmad
Dahlan dan kawan-kawan membuat sekolah umum dengan pola pendidikan
Belanda namun berbasis pendidikan agama, sebagai bentuk pembaruan dari
sekolah Islam yang sebelumnya dikenal dalam bentuk pesantren. Untuk
memayungi kegiatan itu, pada 18 November 1912 (8 Dzulhijah 1330 H)
didirikan sebuah organisasi dengan nama Muhammadiyah. Dengan mengambil
nama Nabi Muhammad SAW, organisasi ini juga dapat dikenal sebagai
orang-orang yang menjadi pengikut Nabi SAW.
Pada tahun itu pula di Solo, Haji Samanhudi, seorang pedagang batik
yang berpikiran maju, mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI), sebuah
organisasi perlawanan terhadap penjajah Belanda, untuk membantu
pengembangan pengusaha kecil pribumi menghadapi persaingan dagang dengan
pedagang China yang mendapat dukungan fasilitas dari pemerintah
Belanda.
Pada masa awal berdirinya Muhammadiyah, Kiai Dahlan mengharapkan agar dapat mengedepankan visi
tarjih atau
tandhif dan
tajdid ajaran Islam, dengan tujuan kembali ke ajaran Islam yang murni dengan slogan kembali ke Qur’an dan Sunnah (
ruju’ ila Qur’an wa Sunnah).
Kiai Dahlan yang pernah tinggal dan belajar di Mekah selama lima tahun
sewaktu remaja, terpengaruh oleh pemikiran tokoh-tokoh pembaru dari
kelompok Salafi modern, seperti Jamaluddin Al-Afgani, Muhammad Abduh,
Rasyid Ridha yang sedang populer di Mesir. Juga ada kaitannya dengan
Muhammad Abdul Wahab yang sukses dengan gerakan Wahabi di Saudi Arabia,
dan Ibnu Taimiyah pendiri awal gerakan Salafi (
Islam Digest Republika, 4 Juli 2010).
Walaupun gerakan Muhammadiyah itu dari segi ritual keagamaaan dan
pandangan teologi dipengaruhi oleh gerakan Wahabi yang puritan, namun
Kiai Dahlan melakukan pendekatan bijak yang lebih sesuai dengan kondisi
Indonesia. Dalam pandangannya, pemurnian ajaran Islam yang bercampur
dengan tradisi lokal tersebut harus dilakukan melalui pendidikan
mengenai ajaran Islam yang benar. Untuk mengajarkan agama Islam dan
menyebarkan cita-cita pembaharuannya, strategi yang dipilihnya adalah
dengan mendidik para calon guru yang belajar di
Kweekschool
Jetis, Yogyakarta, dan para calon pamongpraja (penjabat) yang belajar di
OSVIA, Magelang, yang diharapkan dapat mempercepat proses transformasi.
Selain itu, Kiai Dahlan mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal
sebagai
Kweekschool Muhammadiyah, khusus anak laki-laki, yang
bertempat di Patangpuluhan kecamatan Wirobrajan, sekarang dikenal dengan
Madrasah Mu’allimin, dan
Kweekschool Istri
Muhammadiyah, atau Madrasah Mu’allimat, khusus anak perempuan, di
Suronatan Yogyakarta. Pendidikan yang dulunya sangat identik dengan
budaya Arab (pesantren, madrasah), diperbaiki dengan mengadopsi cara
Barat, siswa bersekolah dengan memakai celana.
Untuk menjawab reaksi pembaharuan menyangkut persoalan tradisionalisme masyarakat tersebut, Kiai Dahlan melakukan
tabligh
(penyiaran ajaran) dengan mendatangi jamaahnya. Inilah suatu terobosan
waktu itu, karena biasanya jamaah yang mendatangi ulama pemberi
tabligh.
Selain itu, Kiai Dahlan mengubah tradisi dakwah yang hanya semula
umumnya secara lisan, dengan menambahkan dakwah dengan tulisan melalui
Swara Muhammadiyah, majalah berbahasa Jawa.
MENGHADAPI masalah Jawanisme, praktik-praktik ibadah yang bercampur
dengan tradisi masyarakat setempat, Kiai Dahlan menggunakan metoda yang
selalu mengedepankan berbuat baik (
amar makruf) mengajak dengan bijaksana untuk mencari solusi, bukannya menyerang tradisi tersebut dengan keras (
nahi mungkar).
Waktu itu, banyak bangunan masjid yang kiblatnya tidak tepat ke arah
Masjidil Haram di Mekah, karena dibangun berdasarkan pertimbangan
kerapihan pembangunan kota dengan mengikuti rentetan jalan yang sudah
ada. Mulanya, Kiai Dahlan yang ahli dalam ilmu falak berusaha untuk
membetulkan arah kiblat masjid di Yogyakarta, namun menimbulkan insiden
yang membuatnya berpikir lebih bijak setelah suraunya dibakar massa yang
protes. Dalam suatu kesempatan lain, kepada para jamaah masjid yang
salah arah kiblat ia mengatakan bahwa untuk bisa menampung seluruh
jamaah di dalam masjid, saatnya bangunan itu harus diperbesar dan
diperindah, serta kiblatnya ditujukan ke arah Masjidil Haram di Mekah.
Usulan tersebut diterima sepenuhnya oleh para jamaah.
|
VISUALISASI
KH AHMAD DAHLAN MUDA DALAM POSTER FILM ‘SANG PENCERAH’. Dalam kegalauan
akibat maraknya serangan kelompok Islam radikal kepada kelompok lain
yang dianggap sesat sekarang ini, Muhammadiyah yang dikenal sebagai
salah satu kubu Salafi menghadapi dilema dan sesekali menjadi dilema
sekaligus. “…. Ketika dihadapkan dengan perbedaan antara golongan Islam
tradisional dan kelompok Islam garis keras, maka Muhammadiyah mengambil
posisi yang disebut wasathiyah (moderat, posisi tengah) dengan
mengedepankan keterbukaan, dialog dan komunikasi dengan semua pihak”.
(gambar download). |
Untuk memperbaiki arah kiblat masjid di kota-kota lain yang kurang
sempurna, Kiai Dahlan berinisiatif mengumpulkan para tokoh ulama di
wilayah Yogyakarta dan sekitarnya untuk melakukan musyawarah. Walaupun
setiap tokoh ulama daerah itu memiliki pandangan yang berbeda-beda,
namun hasil musyawarah tersebut membawa pengaruh yang besar dalam
pemahaman baru beragama yang rasional. Kiai Dahlan menghendaki umat
Islam tidak menjadi orang yang
jumud, yang hanya mengikuti dan
menerima saja segala ajaran Islam tanpa memverifikasinya terlebih
dahulu, apakah ajaran itu benar dari Islam atau sebaliknya, justru
berasal dari kelompok lainnya yang bisa menyebabkan rusaknya akidah umat
Islam.
Perilaku yang ramah, tidak mencari musuh itulah yang membuat paham Muhammadiyah menyebar dengan damai ke seluruh Indonesia (
Islam Digest Republika, 22 November 2009). Namun dalam versi yang lunak, pesantren yang berafiliasi
Muhammadiyah ada juga yang menunjukkan sikap menghakimi warga Islam tradisional yang melakukan ziarah kubur sebagai perbuatan
bid’ah.
Ciri khas pesantren Muhammadiyah ini adalah tidak ada ritual tahlilan.
Tidak ada qunut saat salat Subuh atau paruh akhir shalat tarawih. Jumlah
raka’at shalat tarawih cuma 8 raka’at.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan
pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan Islam,
bukan hanya sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi juga
sebagai ajaran yang dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan
manusia dalam segala aspeknya. Untuk menjalankan dakwah Islam secara
teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang
hidup berorganisasi. Karena itu, gerakan Muhammadiyah selain
menyediakan tempat pendidikan, juga mengadakan fasilitas pendukung yang
menyangkut kepentingan umat, dengan mengadakan fasilitas kesehatan
(Rumah Sakit Umum dan Bersalin Muhammadiyah/Aisyiyah, Balai Kesehatan
Ibu dan Anak, Balai Kesehatan Masyarakat, Balai Pengobatan, dan Apotek),
dan lembaga-lembaga kesejahteraan sosial (Panti Asuhan Yatim, Panti
Jompo, Balai Kesehatan Sosial
, Panti Wreda/Manula
, Panti Cacat Netra
, Santunan Keluarga, Wreda/Manula, dan Kematian, BPKM (Balai Pendidikan dan Keterampilan Muhammadiyah)
, Rehabilitasi Cacat, Sekolah Luar Biasa
, dan Pondok Pesantren) di seluruh Indonesia (
http://id.wikipedia.org/ wiki/Muhammadiyah).
Kubu Islam modern yang menjaga kerukunan bangsa
Dalam kegalauan akibat maraknya serangan kelompok Islam radikal
kepada kelompok lain yang dianggap sesat sekarang ini, Muhammadiyah yang
dikenal sebagai salah satu kubu Salafi menghadapi dilema dan sesekali
menjadi dilema sekaligus. Bagaimanapun, Muhammadiyah mempunyai sikap
tegas menanggapi maraknya aliran menyimpang di luar ajaran Islam, namun
tidak mengandalkan aksi kekerasan, dan diharapkan bisa menjadi media
dakwah. Dalam kasus Ahmadiyah misalnya, Muhammadiyah menolak paham yang
meyakini adanya nabi setelah Muhammad SAW. “Sejak tahun 1933, Majelis
Tarkih Muhammadiyyah sudah mengeluarkan putusan bahwa sesuai akidah
Islam, Muhammadiyah menolak ada pemahaman dan ajaran lain yang meyakini
nabi baru selain nabi Muhammad. Apapun dan siapa pun yang melakukan,”
ujar Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin. Hal itu dia sampaikan dalam
diskusi publik bertajuk “Masalah Kerukunan Umat Beragama dan Solusinya”
di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jalan Cikini, Jakarta Pusat, Senin
(21/2/2011).
Namun, walaupun memiliki sikap tegas terhadap aliran yang menyimpang
itu, Muhammadiyah cukup dewasa menyikapi desakan pembubaran Ahmadiyah.
Dari pada ikut serta dalam berbagai aksi yang tidak jelas kesudahannya,
Muhammadiyah lebih memilih sikap netral. “Muhammadiyah tidak mau ikut
gerakan untuk membubarkan Ahmadiyah. Karena eksistensi suatu kelompok
seperti Ahmadiyah itu bukan urusan masyarakat, tapi negara dan
pemerintah. Kami menyerahkan kepada negara,” kata Din Syamsudin.
Menurutnya, sebagai warga yang baik hendaknya memberikan solusi bukan
menambah keruh suasana. Ada baiknya ajaran sesat seperti itu dituntun ke
jalan yang benar (
http://news.detik.com/read/2011/02/21/ 153452/1575274/10/ sejak-tahun-1933-muhammadiyah-tolak-ajaran-menyimpang)
Dalam kesempatan lain, dalam Tabligh Akbar di Gedung Kelab Sultan
Sulaiman, Kg. Baru, Bandar Kuala Lumpur, Rabu (20/04/2011), Din
Syamsudin menegaskan sebagai gerakan
tajdid, Muhammadiyah
disebut-sebut sebagai gerakan puritan. Namun, ketika dihadapkan dengan
perbedaan antara golongan Islam tradisional dan kelompok Islam garis
keras, maka Muhammadiyah mengambil posisi yang disebut
wasathiyah
(moderat, posisi tengah) dengan mengedepankan keterbukaan, dialog dan
komunikasi dengan semua pihak. Muhammadiyah harus senantiasa menjaga dan
memegang teguh keseimbangan (
tawazun) antara gerakan
tajdid dalam pemurnian akidah dan ibadah (
mahdhoh), dan
tajdid dalam bidang amaliyah (
mu’amalah dunyawiyah).
Dari gerakan purifikasi dan tajdid tersebut, terbentuklah
rasionalisasi yang ditandai dengan aksi nyata atau amal usaha yang
memberikan manfaat kepada masyarakat luas, seperti amal usaha di bidang
pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sebagainya. Dan amal usaha ini harus
dikelola secara profesional dan modern. Dari sini para pengamat, baik
dari dalam atau luar negeri, menilai bahwa Muhammadiyah adalah sebuah
organisasi Islam modern.
Pada acara puncak
World Interfaith Harmony Week dengan tema “Harmoni Untuk Indonesia” yang diselenggarakan IRC (
Inter Religious Council
Indonesia) di Gedung Nusantara IV MPR/DPR RI, Minggu, (12/2/2012), Din
Syamsudin, Ketua IRC, mengatakan perayaan itu merupakan simbol untuk
menyampaikan pesan kerukunan ke seluruh pelosok negeri. “Dari sini kita
bisa sampaikan ke penjuru dunia supaya tetap hidup dalam kerukunan,
bersedia untuk selalu berdampingan dan penuh dengan kedamaian,” kata Din
Syamsudin. Saat ditanya mengenai konflik yang terus muncul di negeri
ini dengan dalih agama, Din Syamsudin mengatakan: “Di Indonesia yang
majemuk ini, kami berharap berbagai macam ketegangan konflik apalagi
yang mengatasnamakan agama dapat dihindari secara bersama. Memang, kita
tidak menutup mata masih banyak masalah-masalah yang ada, tapi kita
tidak bosan untuk terus menyuarakan kerukunan dan harmoni ini demi
utuhnya persatuan dan kesatuan”
(http://nasional.inilah.com/read/detail/1829278/din-bicara-kerukunan-dan-perdamaian-beragama).
Menciptakan keharmonisan untuk membangun NKRI sangat diperlukan, namun
di tengah kemajemukan masyarakat Indonesia, ternyata juga tidak bisa
lepas dari risko menghadapi berbagai macam perpecahan.
Terlalu semangat dengan ijtihad amali, lupa tajdid
PADA masa kepemimpinan Kiai Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah
terbatas di beberapa kota-kota di Jawa Tengah, seperti: Yogyakarta,
Surakarta, Pekalongan dan Pekajangan (daerah Pekalongan
sekarang). Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah itu berdiri pada
tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah
ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam
waktu yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar
ke seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah
bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Pada tahun 1938,
Muhammadiyah telah tersebar ke seluruhIndonesia.
SEBAGAI sebuah gerakan Islam sosial yang kini hampir memasuki usia
100 tahun, telah banyak yang dilakukan oleh Muhammadiyah bagi bangsa
Indonesia secara luas. Dalam bidang pendidikan misalnya, hingga tahun
2000 ormas Islam itu memiliki 3.979 taman kanak-kanak, 33 taman
pendidikan Alquran, 6 sekolah luar biasa, 940 sekolah dasar, 1.332
madrasah diniyah/ibtidaiyah, 2.143 sekolah lanjutan tingkat pertama (SMP
dan MTs), 979 sekolah lanjutan tingkat atas (SMA, MA, SMK), 101 sekolah
kejuruan, 13 mualimin/mualimat, 3 sekolah menengah farmasi, serta 64
pondok pesantren. Dalam bidang pendidikan tinggi, hingga tahun ini
Muhammadiyah memiliki 36 universitas, 72 sekolah tinggi, 54 akademi, dan
4 politeknik.
|
KH
AHMAD DAHLAN, FIKIH AL-MAUN. “Konsep itu dikembangkan karena adanya
pandangan, bahwa umat Islam sampai sekarang masih mengalami
ketertinggalan peradaban dan banyak yang menjadi penyandang masalah
sosial, miskin, dan bodoh”. (Foto download)
|
Sementara itu, dalam bidang kesehatan, Muhammadiyah hingga tahun 2000
memiliki 30 rumah sakit umum, 13 rumah sakit bersalin, 80 rumah
bersalin, 35 balai kesehatan ibu dan anak (BKIA), 63 balai pengobatan,
20 poliklinik, balai kesehatan masyarakat, dan layanan kesehatan yang
lain. Lalu dalam bidang kesejahteraan sosial, hingga 2000 Muhammadiyah
telah memiliki 228 panti asuhan yatim, 18 panti jompo, 22 balai
kesehatan sosial, 161 santunan keluarga, 5 panti wreda/manula, 13
santunan wreda/ manula, 1 panti cacat netra, 38 santunan kematian, serta
15 BPKM. Dalam bidang ekonomi, hingga 2000 Muhammadiyah memiliki 5 bank
perkreditan rakyat (BPR) (
Suara Merdeka, Semarang, Rabu, 13 Juli 2005).
Peningkatan jumlah yang demikian spektakuler tidak dapat menutup
kenyataan lain di seputar perkembangan amal usaha Muhammadiyah tersebut,
yaitu kualitas amal usaha tersebut. Harus diakui, amal usaha
Muhammadiyah untuk hal kualitas mengalami dua masalah sekaligus.
Pertama, keterlambatan pertumbuhan kualitas dibandingkan dengan
penambahan jumlah yang spektakuler. Kedua, ketidakmerataan pengembangan
mutu lembaga pendidikan. Namun, kesuksesan Muhammadiyah dalam bidang
usaha (
ijtihad amali) itu tidak membuatnya lepas dari kritik
kader-kadernya. Saat menjabat sebagai Ketua Pemuda Muhammadiyah, Din
Syamsudin, pernah melontarkan kritik tajam. “Muhammadiyah telah berubah
dari pergerakan
tajdid menjadi gerakan amal usaha”, katanya.
Kata amal usaha ditujukan pada perkembangan jumlah sekolah, rumah sakit,
dan lembaga ekonomi milik Muhammadiyah (
Islam Digest Republika, 22 November 2009).
Banyak sorotan yang diarahkan pada amal usaha di bidang pendidikan,
seperti sekolah-sekolah tingkat dasar ataupun menengah serta perguruan
tinggi karena lembaga-lembaga tersebut belum mampu menunjukkan daya
saing pada tingkat
nasional, apalagi
internasional. Selain itu, banyak evaluasi yang diarahkan kepada
organisasi itu terutama dalam wilayah pemahaman keagamaan yang
berimplikasi pada praksis sosial. Dalam bidang teologi, banyak pihak
menilai, organisasi dan gerakan Islam Muhammadiyah termasuk dalam
kelompok Islam yang menginginkan pemberlakuan ajaran Islam autentik dan
murni.
Dari catatan Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang (2005), terungkap
bahwa sebagai sebuah organisasi yang telah berusia hampir satu abad,
kekuatan Muhammadiyah terletak pada reputasinya sebagai gerakan Islam
modern yang dikenal luas secara nasional ataupun internasional (
http://www.suaramerdeka.com/harian/0507/ 13/nas12.htm).
Dari perkembangan kehidupan nasional, Muhammadiyah menjadi modal sosial
dan moral bangsa. Dengan jaringan organisasi yang sudah tersebar di
seluruh penjuru Tanah Air dan beberapa negara ASEAN, membuat
Muhammadiyah lebih mudah dalam mengembangkan aktivitas pada akar rumput
yang membutuhkan koordinasi berjenjang dan melibatkan partisipasi
masyarakat di berbagai daerah. Juga, dukungan lembaga-lembaga amal usaha
yang sangat besar, secara kuantitatif menjadi aset sumber daya yang
sangat berharga bagi Muhammadiyah untuk terus bertahan di tengah-tengah
badai krisis yang telah melanda negara ini
Namun, di samping kekuatan itu, organisasi ini masih diwarnai
beberapa kelemahan, antara lain kecenderungannya sebagai gerakan aksi
membuat gerakan pemikiran kurang berkembang dengan baik. Hal itu memicu
beragam kritik dari berbagai kalangan yang mempunyai harapan besar agar
Muhammadiyah memberikan kontribusi signifikan bagi perkembangan
pemikiran Islam di Indonesia.
Pertumbuhan organisasi yang telah makin
besar membuat Muhammadiyah cenderung birokratis dan dinilai lamban dalam
merespons persoalan-persoalan yang berkembang dalam masyarakat terutama
dalam menyikapi masalah-masalah sosial baru, seperti isu
pornografi-pornoaksi, masalah ketenagakerjaan, pelanggaran HAM, dan
penyalahgunaan narkoba. Perkembangan organisasi dinilai belum mampu
menyentuh persoalan akar rumput. Selain itu, perkembangan amal usaha
yang sangat pesat secara kuantitaif belum diimbangi peningkatan kualitas
yang berarti. Kenyataan ini membuat hasil-hasil yang telah dicapai oleh
Muhammadiyah selama ini tidak begitu menarik perhatian masyarakat
karena tidak dianggap sebagai inovasi baru.
Pengakuan masyarakat internasional terhadap Muhammadiyah sebagai
salah satu pilar masyarakat madani diIndonesia membuka peluang kerja
sama yang sangat luas dengan pemerintah di berbagai negara, ataupun
dengan lembaga-lembaga internasional. Jika kesempatan tersebut dapat
ditangkap dengan baik, tentulah akan sangat membantu gerak langkah
Muhammadiyah di berbagai bidang, khususnya dalam peningkatan kualitas
amal-amal usahanya. Juga, di era otonomi daerah yang memberikan
keleluasaan pada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga sendiri,
dapat menjadi peluang bagus bagi Muhammadiyah di daerah-daerah untuk
lebih berperan dalam pengambilan keputusan publik dan pembangunan
daerah. Hal itu seharusnya dapat direspons dengan cepat oleh pimpinan
Muhammadiyah di daerah sehingga kontribusinya akan makin diperhitungkan.
Arus besar sekularisme-materialisme yang melanda dunia sekarang ini
menjadi godaan sekaligus tantangan yang besar bagi warga Muhammadiyah
untuk dapat tetap memegang teguh komitmennya dalam menerapkan gaya hidup
Islami yang modern. Dan tidak menjadi lebih ortodoks maupun kalah
modern dari NU. Cengkeraman kapitalisme global memengaruhi orientasi
perkembangan amal usaha Muhammadiyah menjadi lebih berorientasi profit
dan lepas dari semangat awal sebagai penolong kesengsaraan masyarakat
kelompok bawah. Kecenderungan ini sudah mulai tampak pada makin mahalnya
biaya pendidikan di berbagai amal usaha pendidikan dan biaya pengobatan
di rumah-rumah sakit yang dikelola Muhammadiyah.
Memasuki satu abad Muhammadiyah, para intelektualnya telah melakukan
sebuah terobosan yang cemerlang dengan Fikih Al-Maun dalam upaya
mencerdaskan rakkyat, menciptakan kemandirian bangsa, dan terbebas dari
berbagai macam penindasan dan kebodohan. Konsep itu dikembangkan karena
adanya pandangan, bahwa umat Islam sampai sekarang masih mengalami
ketertinggalan peradaban dan banyak yang menjadi penyandang masalah
sosial, miskin, dan bodoh. Sebenarnya, Fikih Al-Maun itu sudah menjadi
bagian dan tradisi di Muhammadiyah, tetapi belum terbingkai dengan
pemahaman yang luas sebagai basis teologi.
Namun, semua gagasan itu berhenti pada tataran teologi, tidak
diejawantahkan dalam bentuk fikih. Dalam pandangan Ahmad Najib Burhani,
dosen Universitas Paramadina, Jakarta, dalam artikelnya yang berjudul
“Dari Teologi
Mustadl’afin Menuju
Fiqh Mustadl’afin”,
gerakan pembaruan dan pengembangan konsep Amal Al-Maun yang dikembangkan
Amien Rais, Syafii Maarif, bahkan Din Syamsuddin, belum mampu
menyosialisasikan gagasan tauhid sosial ini secara maksimal (
Islam Digest Republika, 4 Juli 2010).
Gerakan anti korupsi dengan semangat keagamaan, kendati sempat diikuti,
namun akhirnya berhenti pada tataran diskursus belaka. Gerakan anti
korupsi tak mampu mengurangi tindak korupsi di Indonesia.
-Disusun untuk sociopolitica
oleh Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’. Namun, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.
Retrieved from:
http://socio-politica.com/2012/05/12/muhammadiyah-islam-kota-yang-semakin-elit-1/
http://socio-politica.com/2012/05/16/muhammadiyah-islam-kota-yang-semakin-elit-2/
http://socio-politica.com/2012/05/25/muhammadiyah-islam-kota-yang-semakin-elit-3/