Koran Sindo, Jum'at, 28 Juni 2013
*Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
From: http://www.koran-sindo.com/node/324438
Oleh Ahmad Najib Burhani*
Dalam tiga Pemilu yang dilangsungkan di Indonesia pasca
Reformasi 1998, jumlah perolehan suara partai-partai Islam terus mengalami
kemunduran dibanding Pemilu 1955 (44 persen). Perolehan suara seluruh partai
Islam (PPP, PKS, PBB, PAN, PKB) pada Pemilu 1999 sekitar 37 persen, sedikit
naik pada Pemilu 2004 menjadi 38 persen, dan kemudian turun drastik menjadi 29
persen pada Pemilu 2009. Jumlah suara partai Islam akan semakin kecil lagi bila
dibedakan antara partai Islam yang berasaskan Islam (PPP, PKS, PBB) dan partai
berasaskan Pancasila namun berbasiskan massa dari ormas Islam (PAN dan PKB). Melihat
berbagai survey yang ada belakangan ini, penurunan ini sepertinya akan terus
berlanjut di Pemilu 2014 yang akan datang.
Namun demikian, menurunnya suara partai-partai Islam di atas
tidak berarti bahwa Islam politik juga mengalami kemunduran. Justru sebaliknya,
seperti ditulis Tanuwidjaja (2010), Islam politik terus mengalami kenaikan. Perda
tentang moralitas, regulasi atau perda anti-Ahmadiyah, dan Perda syariah lainnya
menjamur di berbagai daerah. Yang menarik, Perda-perda syariah itu banyak yang
dikeluarkan di daerah-daerah yang dimenangkan oleh partai sekular seperti PDIP,
Golkar, dan Partai Demokrat. Bagaimana menjelaskan fenomena turunnya suara
partai Islam yang bersamaan dengan naiknya Islam politik ini?
Islam politik saat ini tidak hanya diusung oleh partai yang
berlabelkan atau berasaskan Islam. Partai yang dulu disebut sekular dan
nasionalis pun, seperti PDIP dan Golkar, kini telah mengusung Islam politik
(Tanuwidjaja 2010). Sejak 2006, misalnya, PDIP telah memiliki Baitul Muslimin
Indonesia (Bamusi). Sementara Golkar telah lama didominasi oleh alumni HMI
(Himpunan Mahasiswa Islam). Saat ini hampir tidak ada perbedaan berarti antara
partai-partai politik peserta Pemilu di Indonesia dalam hal ideologi, kecuali
apa yang tertulis dalam AD/ART saja. Ini tentu sangat berbeda dari tahun
1950-an ketika, seperti ditulis Clifford Geertz, Indonesia dikuasai oleh
politik aliran. Ketika itu, semua partai berjuang dan berperang demi
ideologinya.
Saat ini, partai-partai sekular tidak berani melawan
Perda-perda diskriminatif, seperti perda anti-Ahmadiyah, karena takut dituduh
anti-Islam. Partai-partai itu juga mendukung perda-perda moralitas hanya karena
ingin menunjukkan komitmennya kepada Islam. Inilah yang disebut dengan naiknya
Islam politik yang bersamaan dengan turunnya suara partai-partai Islam.
Fenomena ini terjadi terutama berkat desakralisasi yang dilakukan oleh
Nurcholish Madjid sejak tahun 1970-an dan juga peran Orde Baru yang
mempromosikan ideology pembangunan sebagai ganti dari ideologi yang lain.
Lantas apa hubungan fenomena politik Islam di Indonesia
dengan Buya Syafii dan Bung Hatta? Dua tokoh ini memberikan alternatif bagi
politik Islam yang lebih humanis. Muhammad Hatta atau dikenal dengan Bung Hatta
adalah tokoh yang sangat dikagumi dan menjadi idola bagi Buya Syafii dalam
konteks hidup bernegara dan dalam menerjemahkan hubungan agama dan negara. Ada
dua hal utama yang diperjuangkan oleh dua tokoh ini. Pertama, negara harus
sekular, tapi masyarakat harus taat beragama. Kedua, Islam politik itu harus
mengikuti prinsip garam, bukan gincu, dan berdasarkan prinsip kemanusiaan atau rahmatan
lil ‘alamin.
Untuk yang pertama, Buya Syafii selalu mengutip peran Bung
Hatta dalam menghapuskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, “Dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam kepada pemeluknya.” Penghapusan ini menegaskan bahwa
negara harus bersikap netral terhadap semua agama dan keyakinan, serta tak
berhak menjadi hakim dalam urusan teologi. Negara juga tak boleh memaksakan
keyakinan atau syariat tertentu kepada rakyatnya. Negara tak punya urusan
dengan keyakinan ortodok ataupun keyakinan sesat yang berkembang di masyarakat.
Apa yang terjadi sekarang dengan perda anti-Ahmadiyah adalah keikutsertaan
negara dalam menentukan mana keyakinan yang ortodok dan dukungan terhadap
ortodoksi itu.
Pilihan menjadi negara sekular, tapi masyarakat beragama,
seperti yang dilakukan oleh Buya Syafii dan Bung Hatta itu memiliki banyak
kesamaan dengan Abdullahi Ahmed An-Na’im dari Sudan dan Rachid Ghannouchi dari
Tunisia. Bagi mereka, justru dalam suasana sekular seperti itu maka
keberagamaan yang genuine akan tercipta. Orang taat beribadah bukan karena
takut negara atau takut diserang kelompok garis keras, tapi benar-benar keluar
dari keyakinannya. Seperti terjadi sekarang ini, keberpihakan negara pada Islam
justru mengarahkannya pada keberpihakan kepada aliran atau jenis keyakinan
agama tertentu dan memusuhi aliran keagamaan yang lain.
Untuk prinsip kedua, Bung Hatta dan Buya Syafii termasuk
orang yang berpihak kepada Islam substantif. Sebagaimana prinsip garam, tak
kelihatan tapi terasa, agama itu tak perlu ditampilkan dengan simbol-simbol tapi
miskin makna. Simbol-simbol itu hanya menjadikan agama seperti gincu, terlihat
tapi tak terasa. Untuk apa, misalnya, menyebut dirinya partai Islam tapi
korupsinya tak kalah dari partai sekular. Untuk apa bangga dengan kenaikan
jumlah masjid dan pemakai jilbab jika banyak kebebasan beragama
kelompok-kelompok agama minoritas terus mengalami penindasan. Untuk apa
mengundang-undangkan shariah jika itu justru membuat orang tidak bisa menjadi
Muslim yang baik “by conviction and free choice” (An-Na’im 2008, 1).
Sebelum kejadian Turki Spring yang saat ini masih
berlangsung, model dari partai Islam yang cukup dihargai dan jadi referensi saat
ini adalah AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan) di Turki. Partai ini dianggap
mampu melepas simbol-simbol agama tapi membangun ekonomi rakyat. Model ini
barangkali yang dulu hendak dikembangkan Bung Hatta dengan ekonomi
kerakyatannya, meski dia tidak banyak melakukannya melalui partai politik.
Namun demikian, jika model Turki itu ternyata hilang atau tampak dipermukaan
saja, maka akan sulit mencari contoh partai Islam yang bisa mewakili Islam
substantif di luar negeri.
Dalam menyambut hiruk-pikuk Pemilu 2014, dalam memperingati 10 tahun Maarif Institute (2003-2013), dan ulang tahun
ke-78 Buya Syafii (lahir 1935) yang jatuh di bulan ini, kita perlu menengok
kembali politik Islam yang ramah dan humanis itu. Buya Syafii telah memperjuangkan moralitas
kebangsaan dan kemanusiaan ini selama bertahun-tahun meski perpolitikan
nasional belum juga membaik. Semoga beliau tetap konsisten dengan perjuangannya
di tengah perpolitikan nasional yang kehilangan fatsoen sekarang ini.
-oo0oo-
From: http://www.koran-sindo.com/node/324438