Suara Muhammadiyah, 02 / 98 | 4 - 19 RABIULAWAL 1434 H or 16 - 31 JANUARI 2013, hal. 40-41.
Oleh Ahmad Najib
Burhani
Pengurus PCIM Amerika Serikat, Peneliti LIPI
Bagi sarjana atau pengamat asing yang tidak biasa hadir di
acara akademik di Indonesia, barangkali mereka terheran dengan penyelenggaraan
IRCM (International Research Conference on Muhammadiyah) di Universtas
Muhammadiyah Malang (UMM) yang berakhir awal Desember 2012 lalu. Meski acara
itu merupakan kegiatan akademik, namun simbol-simbol keagamaan tampil secara
jelas di mana-mana. Berbeda dari acara akademik di dunia barat, IRCM dimulai
dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, lagu Indonesia Raya, dan hymne
Muhammadiyah. Para pembicara pun, meski memaparkan kajian atau temuan ilmiah,
tapi banyak yang memulai dan mengakhiri presentasinya dengan bismilah dan
alhmadulillah.
Bagi orang Indonesia, apalagi orang Muhammadiyah, tentu
tidak ada yang aneh dengan semua proses itu. Tapi tidak demikian halnya dengan
mereka yang berpikir bahwa dunia akademis harus bersih dari nilai dan simbol
keagamaan. Kelompok kedua ini akan menganggap adanya nilai dan simbol agama
akan mengganggu sikap netral seorang akademisi ketika sedang mengkaji agama
atau aktivitas keagamaan. Karena itu, apa yang terjadi di Malang itu menjadi
semacam ambiguitas dalam memulai langkah observasi dan kajian ilmiah; yaitu
antara ketundukan kepada agama atau mendedikasikan seluruh upaya keilmuan untuk
membnarkan apa yang tertulis secara harfiyah dalam kitab suci dan upaya
berpikir obyektif demi keilmuan murni. Tapi memang seperti itulah dunia
akademis kita yang tidak sekuler, paling tidak apa yang tampak di permukaan.
Tentu saja pembacaan kalam suci Ilahi berbeda dari tarian
topeng yang juga ditampilkan di pembukaan IRCM. Tarian yang ditampilkan oleh
mahasiswa UMM itu cukup memukau dan menghibur para hadirin. Tidak hanya sebagai
sebuah hiburan, tapi juga sebagai kontradiksi dalam organisasi Muhammadiyah
yang terkenal sebagai organisasi puritan yang anti terhadap budaya lokal yang
sinkretik. Tarian topeng itu juga menampilkan kontradiksi antara peran
perempuan di ruang publik yang dalam pemahaman kelompok ekstrim puritan harus
dipisahkan dari laki-laki. Beruntung, dalam tarian topeng ini tak tampak jelas
apakah penarinya laki-laki atau perempuan. Dan terlebih lagi, tarian itu tak menampilkan unsur erotis apapun yang
seringkali menjadi taboo di organisasi ini.
Masih berkaitan
dengan tarian, persoalan dasar lain yang masih menjadi perdebatan di tubuh
organisasi seperti Muhammadiyah adalah persoalan sinkretisme. Tapi
sepertinya tarian itu tak menodai iman atau tauhid sama sekali karena tak
mengandung unsure-unsur ketuhanan, sehingga tak perlu dikhawatirkan. Justru
sebaliknya, tarian itu mampu menampilkan kombinasi yang menarik antara tradisi,
agama, dan modernisasi. Tarian topeng itu diambil dari budaya Indonesia dan
ditampilkan dengan kostum tradisional. Namun penari perempuan yang tampil tak
melepaskan simbol agama dengan tetap memakai jilbab. Tarian ini juga
ditampilkan dalam pembukaan acara yang bernuansa modern yang menampilkan
kemegahan UMM dan kecanggihan teknologi di kampus itu.
IRCM di Malang dan peringatan 100 tahun Muhammadiyah bulan
November yang lalu menampilkan banyak hal yang perlu dicermati, selain
penyelenggaraan acara itu sendiri. Salah satunya adalah apa yang ditampilkan
oleh Robin Bush (Asian Research Institute, Singapura) dan Ken Miichi (Iwate
Prefectural University, Jepang). Mereka menampilkan data yang cukup mengejutkan
tentang jumlah orang Indonesia yang mengaku berafiliasi dengan Muhammadiyah.
Selama ini yang berkembang adalah ada perbedaan sekitar 10 juta antara jumlah
warga NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah. Jika NU disebut memiliki 40 juta
anggota, maka Muhammadiyah memiliki 30 juta anggota. Jika NU berjumlah 30 juta,
maka Muhammadiyah berjumlah 20 juta.
Berdasarkan survey yang dilakukan The Asia Foundation (TAF) dan dipresentasikan oleh Robin Bush,
warga Indonesia yang mengaku berafiliasi dengan NU berjumlah 49 persen,
sementara yang berafiliasi dengan Muhammadiyah hanya 7,9 persen. Sementara
menurut survey dari Ken Miichi, warga NU adalah 30 persen, sementara yang
mengaku dirinya Muhammadiyah hanya 4,6 persen.
Tentu saja banyak penjelasan yang bisa diberikan terhadap
data itu. Salah satunya adalah yang disampaikan oleh Rizal Sukma, direktur
eksekutif CSIS (Centre for Strategic and International Studies) dan ketua
lembaga hubungan luar negeri PP Muhammadiyah. Menurutnya, Muhammadiyah adalah
organisasi, sementara NU adalah tradisi. Orang hanya menyebut dirinya sebagai
anggota organisasi jika dia secara resmi terdaftar di organisasi itu. Sementara
untuk NU, orang bisa mengklaim dirinya NU meski hanya sekali mengikuti tradisi
ziarah kubur dan tahlilan. Apapun
penjelasan yang diberikan terhadap data itu, orang Muhammadiyah perlu
berefleksi tentang kuantitas keanggotaannya, di samping kualitasnya tentu saja.
Mengapa? Politik di Indonesia itu sering didasarkan pada politik angka-angka.
Jika jumlahnya kecil, maka tidak perlu ada wakil dari Muhammadiyah di kabinet
karena Muhammadiyah hanya representasi dari minoritas warga Indonesia. Ini
hanya satu contoh dampak dari angka di politik.
Di samping data yang membuat prihatin itu, tentu banyak hal
positif yang berkembang di Muhammadiyah. Salah satunya adalah kemampuan
Muhammadiyah menjaga diri dari carut-marut politik. Ini, misalnya, berbeda dari NU yang belakangan ini
banyak warganya yang hanyut dalam kisaran politik kotor dan melupakan misi
sosial dan keagamaan.
Secara umum,
konferensi di Malang itu menampilkan kemampuan Muhammadiyah untuk melangkah ke
tingkat global dan menunjukkan wajah Indonesia ke masyarakat dunia. Seperti
yang disampaikan oleh Azyumardi Azra, acara di Malang itu sangat mengesankan
karena seluruh acara bisa diselenggara dengan menggunakan bahasa Inggris dengan
sangat lancar. Menurutnya, acara seperti ini tidak bisa terjadi bahkan di
Malaysia, Filipina dan Thailand. Azyumardi bahkan menyebut ini merupakan
konferensi terbesar di dunia yang membahas tentang organisasi Islam. Robert
Hefner (Boston University) dan Merle Ricklefs (Australian National University)
bahkan berkali-kali menyampaikan apresiasi positifnya terhadap seluruh
rangkaian perayaan 100 tahun Muhammadiyah dan IRCM.
Yang paling tampak kontras antara sebelum dan setelah acara
adalah Jonathan Benthall, profesor ahli masalah filantropi dari University
College London (UCL). Benthall tiba di Malang dua hari sebelum acara
berlangsung. Dalam dua hari itu, ketika bertemu dengan panitia ia selalu
menampilkan wajah masam setiap kali bertemu dengan panitia. Namun ketika acara
berlangsung, dia adalah salah satu peserta yang paling aktif, termasuk pada
pertunjukan film di malam hari dan kunjungan ke AUM (Rumah Sakit Pendidikan UMM
dan Obyek Wisata Alam Muhammadiyah di Batu). Memasuki hari kedua konferensi,
Benthall mulai ramah ke panitia dan memuji penyelenggaraan. Pada hari terakhir,
Benthall menjadi salah satu orang yang paling murah senyum dan akrab. Benthall
juga yang mempersiapkan pembuatan laporan IRCM di jurnal internasional Anthropology Today yang rencananya akan
ditulis oleh Claire-Marie Hefner.
Setelah memberikan kesadaran akan kemampuan Muhammadiyah
berada di tingkat global, sebagai bentuk refleksi, barangkali Muhammadiyah
perlu mengkonsolidasikan AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah) yang berasal dari
Timur Tengah untuk menyelenggarakan acara serupa. Dengan cara ini, akan tampak
potensi besar yang dimiliki oleh Muhammadiyah yang selama ini masih tertimbun.
Organisasi ini memiliki banyak kader yang sangat kuat penguasaannya terhadap
khazanah Islam klasik dan Timur Tengah. Akan menjadi prestasi yang luar biasa
jika Muhammadiyah juga mampu menyelenggarakan konferensi internasional dengan
bahasa Arab dengan menghadirkan pakar-pakar Islam dari Timur Tengah seperti
Hassan Hanafi.
-oo0oo-