Oleh Moh. Habib Asyhad
Perkembangan Muhammadiyah Jawa Timur
Sesuatu hal yang sangat kontradiktif ketika membicarakan perkembangan Muhammadiyah di Jawa Timur. Hal ini dikarenakan selama ini dalam frame masyarakat luas bahwa daerah Jawa Timur selalu identik dengan kanton-kantong penyebaran Nahdotul Ulama (NU) yang secara subtantive sangat berlawanan dengan karakter Muhammadiyah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan berbasis agama. Akan tetapi, belum banyak yang faham bahwa Muhammdiyah yang dirasakan sekarang tidak lain dan tidak bukan karena pengaruh kuat dari tradisi pesisir Jawa Timur, yang diwakili oleh KH. Mas Mansur.
Muhammadiyah pada awal berdiri dan perkembangannya adalah representasi dari Islam Jawa yang telah berkembang jauh hari pada masa kekuasaan kerajaan Islam Mataram di Yogyakarta. Ke-Jawa-an Muhammadiyah dapat dilihat dari beberapa unsur yang menggambarkan bagaimana corak Muhammadiyah pada awal berdirinya[1]. Kalau masih ada yang ingat dengan lambang Muktamar Muhammadiyah di Solo, pasti akan sepakat dengan pernyataan ini. Bahkan dalam salah satu peraturannya adalah dianjurkannya pemakaian busana tradisional masing-masing peserta dalam perhelatan Muktamar Solo itu.
Untuk membahas permasalahan pada bab ini akan dimulai secara perlahan-lahan dari perkembangan Muhammadiyah secara umum. Setelah itu baru secara urut akan dibahas mengenai kapan Muhammadiyah berkembang di Jawa Timur, kemudian di Kabupaten Lamongan dan akhirnya akan dipungkasi dengan masuk dan berkembangnya Muhammadiyah di Paciran.
Muhammadiyah Awal: Muhammadiyah Keraton
Ahmad Najib Burhani dalam pengantar bukunya, Muhammadiyah Jawa, mengutip kata-kata Julian Pitt-Rivers yang dia anggap mendukung tesis dan pandangannya ketika melihat perkembangan Muhammadiyah di awal-awal berdirinya; “You cannot be a Brahmin in the English countryside”. Najib menegaskan betapa mustahilnya Muhammadiyah melepaskan diri dari kebudayaan Jawa[2]. Meski sering disebut sebagai gerakan puritaniasisi Islam di Indonesia, fakta berbicara bahwa Muhammadiyah lahir di sebuah tempat yang menjadi bagian integral dengan Keraton Yogyakarta, Kauman, yang secara struktural maupun kultural akan berafiliasi dengan apapun yang menjadi ciri keraton itu sendiri, baik langsung ataupun tidak langsung, salah satunya adalah budaya Jawa[3].
Gagasan awal pendirian Muhammadiyah juga dia peroleh ketika masih aktif sebagai anggota Boedi Oetomo (BO) yang notabene adalah sebuah organisi politik yang banyak melibatkan bangsawan-bangsawan Jawa di dalamnya[4]. Namun demikian, Muhammadiyah adalah Muhammadiyah, sebuah gerakan pembaharuan yang bergerak di bidang keagamaan, yang pada jamannya juga sangat gigih bersama-sama dalam upaya mencapai cita-cita bersama; Kemerdekaan Indonesia yang utuh.
Setelah banyak mendapat masukan dari beberapa rekannya yang ada di BO, M. Darwis (nama kecil Ahmad Dahlan) memutuskan untuk mendirikan sebuah perserikatan yang dia beri nama Muhamamdiyah. Sesuai dengan artinya, Darwis muda berharap organisisi ini dapat menjadi sebuah alternatif gerakan nasional, dengan cara penataan moral individu sesuai dengan sifat-sifat Nabi Muhammad.
Kiai Haji Ahmad Dahlan, dia yang mempunyai gagasan pertama ikhwal pendirian Muhammadiyah, meskipun demikian tidak bisa dinafikan sumbangsih rekan-rekannya yang lain, baik itu sesama abdi dalem atau yang aktif di pergerakan Boedi Oetomo (BO). Ahmad Dahlan lahir pada 1868 di Kauman, yang masuk dalam lingkungan Keraton Yogyakarta. Nama aslinya adalah Muhammad Darwis. Ayahnya adalah seorang ketib[5], yaitu seorang abdi dalem yang ditugaskan untuk mengurusi masalah keagamaan di lingkungan keraton.
Sebagai seorang anak ketib pendidikan Dahlan kecil tidak jauh dari corak pendidikan agama yang langsung diajarkan oleh ayahnya. Selain itu, Dahlan juga menimba ilmu, baik agama atau umum, kepada guru-guru lain. Tahun 1890, Dahlan dikirim ayahnya ke Mekah. Selain untuk mendapat gelar Haji, dikirimnya Dahlan ke Mekah adalah untuk memperdalam kemampuan ilmu agamanya. Ketika di Mekah inilah dia mendapat nama Ahmad Dahlan oleh soerang guru agamanya, yaitu Sayyid Bakri Syaththa
Alasan pemberian nama Ahmad Dahlan oleh gurunya ini adalah sebagai bentuk penghormatan kepada seorang tokoh besar madzhab Syafi’i di Mekah, Ahmad ibn Zaini Dahlan[6]. Setelah pulang dari Mekah, Dahlan memutuskan untuk bergabung dengan BO yang kebanyakan anggotanya adalah dari golongan priyayi Jawa. Orang yang pertama kali memperkenalkan BO kepada Ahmad Dahlan adalah Mas Djojosumarto, yang kebetulan mempunyai famili di Kauman dan sering berkungjung ke sana.
Para penulis biografi Ahmad Dahlan berpendapat bahwa masuknya ke BO dilatari oleh keinginannya untuk memasukkan ajaran dan paham Islam ke beberapa anggota BO. Ini dikarenakan kebanyakan anggota BO adalah muslim-nominal, yang banyak terdidik dengan gaya pendidikan Belanda yang berbau Eropa, sehingga kebanyakan tidak banyak faham mengenai ilmu agama, dan yang paling parah adalah kecenderungan mengarah ke anti-agama.
Disamping alasan itu semua, Ahmad Dahlan merasa nyaman dengan organisasi ini. Ia merasa bahwa BO adalah organisasi yang bisa ia dukung dengan sepenuh hati[7]. Komintmennya sebagai anggota dia buktikan meskipun dia sudah punya Muhamadiyah sebagai kendaraan Organisasinya. Hal ini dikarenakan oleh tujuan, karateristik dan lingkungan di BO sangat kondusif. Apalagi BO sendiri adalah pendukung utama pembentukan Muhammadiyah.
Tanggal 18 November 1912 adalah hari paling bersejarah buat Muhammadiyah. Hari ini ditandai dengan dikirimnya sebuah surat permintaan kepada pemerintah untuk meminta izin pendirian sebuah gerakan baru. Keputusan ini dilakukan Ahmad Dahlan setelah melakukan diskusi panjang dengan teman-temannya yang ada di BO, terutama Mas Budihardjo dan Raden Dwijosuwojo.
Akhirnya untuk memastikan bahwa Muhammadiyah sah dan diakui oleh pemerintah maka harus ada surat formal kepada pemerintah. Permohonan tidak semudah yang diharapkan, dikarenakan waktu itu pemerintah Belanda terkenal sangat sulit memberi izin pendirian gerakan baru. Akan tetapi, karena ada tujuh dari sembilan anggota awal Muhammadiyah awal adalah aktifis di BO, maka jalan untuk mendapatkan izin relatif lebih mudah. Akhirnya dengan surat izin pemerintah No. 40 tahun 16 Agustus 1920, Muhammadiyah bisa menyebarkan Muhammadiyah ke luar Yogyakarta.[8]
Sebagai gerakan yang sah, Muhammadiyah menyerahkan draf anggaran dasarnya sebagai bagian permohonan pengakuan hukum yang diajukan kepada pemerintah. Anggaran dasar yang paling awal menyebutkan bahwa tujuan Muhammadiyah adalah:
Muhammadiyah Minang: Paradigma Baru
Pada awal-awal perkembangannya, Muhammadiyah belum begitu tampak menjadi gerakan purifikasi Islam yang masif. Kongres Muhammadiyah ke-13 di Solo misalnya, brosur yang dipakai sebagai publikasi terkesan sangat Jawa sekali. Di dalam brosur itu digambarkan sesosok lelaki yang sangat Jawa dengan blangkon dan keris terselip di balik punggungnya. Bahkan dalam satu anjuran kepada peserta kongres adalah penggunaan pakaian tradisional kepada peserta yang laki-laki.
Muhammadiyah benar-benar menunjukkan bahwa dirinya adalah gerakan puritan Islam ketika dibentuk majelis tarjih pada 1927 dan dilangsungkannya kongres Muhammadiyah yang ke-19 di Bukittinggi, Sumatra Barat, tahun 1930, selain itu adalah penentuan sikap Muhammadiyah terhadap identitas Jawa. Ketiga hal itu menjadi faktor internal pergeseran watak Muhammadiyah yang begitu kentara, selain juga ada beberapa faktor eksternal. Lebih jauh ke belakang, faktor yang berpengaruh adalah masuknya beberapa tokoh gerakan modernis dari, Minangkabau, Sumatra Barat dan Surabaya.
Pergesekan golongan Islam Modernis dan golongan adat di Minangkabau telah berlangsung cukup lama. Salah satu contohnya adalah terjadinya perang Padri, yang melibatkan Islam modernis dengan kaum adat.[11] Selanjutnya gerakan golongan Islam Modernis Minangkabau dapat dilacak dari sosok Haji Abdul Karim Amrulloh atau mashur dengan sebutan Haji Rasul, Haji Abdullah Ahmad dan Syekh Jambek.
Haji Rasul, yang notabene ayah dari Hamka, membawa Muhammadiyah ke Minang sekitar tahun 1925 sebagai alat untuk melawan hegemoni komunis yang telah mengusirnya dari Sumatra Thowalib, Padang Panjang, dan menyerangnya secara pribadi.[12] Tahun 1926 Muhammadiyah Minang berkembang pesat oleh karena PKI dan komunis mendapat tekanan akibat “tudingan” melakukan pemberontakan di Madiun pada 1926. Tidak hanya mereka dari kaum mudo saja yang menjadi anggota Muhammadiyah Sumatera Barat, akan tetapi beberapa orang dari kaum tuo juga.[13]
Secara umum, Muhammadiyah di Minangkabau sangat berbeda dengan Muhammadiyah yang ada di Jawa. Muhammadiyah Minang sangat aktif dalam perhelatan politik Hindia-Belanda dari pada Muhammadiyah Jawa. Keaktifan dan keikutsertaan Muhammadiyah Minangkabau dalam ranah politik disebabkan oleh pendiri dan pelopor Muhammadiyah di Minangkabau. Alfian dalam tulisannya menjelaskan bahwa Hadji Rasul mempunyai cengkraman yang kuat terhadap gerakan di sana, dan karenanya tidak berlebihan untuk menyatakan Haji Rasul sedikit banyak sinonim dengan Muhammadiyah Minangkabau.[14]
Syahdan, Haji Rasul dikenal sebagai ulama puritan sejati. Dakwahnya ditujukan kepada seluruh khalayak untuk membangkitkan kehidupan keagamaan kaum Muslim di Minangkabau, dan mengajak kembali ke ajaran ortodoks Islam, yaitu memurnikan unsur-unsur tidak islami yang ada di tengah-tengah masyarakat Minang. Noer mendiskripsikan wataka Rasul sebagai orang yang keras.[15] Dia mengkritik dan menyerang terhadap semua praktik ibadah yang tidak sejalan dengan pandangan keagamaannya. Apalagi yang bertentangan dengan kaidah-kaidah yang terkandung dalam al-Qur’an dan As-Sunah.
Pada akhirnya pemikiran Haji Rasul yang selama ini dia terapkan di Minangkabau, dibawa ke kongres Muhammadiyah ke sembilanbelas di Bukittinggi, Sumatra Barat. Dalam kongres itu, Rasul dengan tegas menolak usulan salah satu pimpinan pusat Muhammadiyah yang ada di Yogyakarta. Dengan perdebatan yang sengit akhirnya pendapat Haji Rasul dihargai, sampai pada akhirnya Muhammadiyah mengubah pola pikirnya, terutama untuk urusan internal peribadatan.
Dampak Kongres ke-19 inilah yang dirasakan dalam tubuh Muhammadiyah sampai saat ini, dengan mengklaim dirinya dengan gerakan purifikasi Islam. Jelas, Rasul berbeda dengan Dahlan. Dahlan dalam mempraktikan pemikirannya dalam Muhammadiyah cenderung lebih moderat, dengan mengaplikasikan dalil-dalil keagamaan dengan perkembangan era waktu itu.[16] Berbeda dengan Dahlan, Rasul bersukuhkuh terhadap perhatiannya atas ritual-ritual dan kegiatan keagamaan umat Muslim.[17]
Itulah sebabnya, mengapa Alfian dalam bukunya menegaskan bahwa Haji Rasul-lah tokoh sebenarnya purifikasi dan revivalisasi Muhammadiyah, baik itu di Minangkabau ataupun di pusat. Untuk seterusnya pola pikirnya di Muhammadiyah banyak dikembangkan oleh Sutan Mansur, menantunya dan juga tokoh Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1953-1959 dan Mas Mansur, ketua Muhammadiyah 1937-1943 yang berasal dari Surabaya, Jawa Timur.
Selain pergesekan di ranah nasional, yang sering disebut sebagai faktor internal pergeseran paradigma Muhammadiyah, gerakan purifikasi sebenarnya ini banyak terpengaruh oleh paham Wahabi yang ada di Timur Tengah, dan berdampak besar terhadap perjalanan Muhammadiyah selanjutnya, dan bahkan sampai saat ini, dan ini menjadi faktor eksternal paling kentara diantara yang lainnya.[18] Paham Muhammadiyah jenis Haji Rasul inilah yang sekarang banyak mengakar dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, tak terkecuali daerah Pesisir Jawa Timur dan Lamongan.
Muhammadiyah Bergeser ke Lamongan
Belum banyak pustaka yang membahas terkait keberadaan Muhamadiyah di Jawa Timur, khususnya Surabaya. Meskipun Surabaya jelas-jelas menyumbang salah satu tokohnya dalam dinamika perkembangan Muhammadiyah, akan tetapi tidak lantas menjadikan Muhammadiyah membidik Surabaya sebagai basis gerakannya. Minangkabau disinyalir lebih kondusif untuk perkembangan Muhammadiyah ke depan, selain Yogyakarta. Meskipun demikian, Surabaya pernah dijamah Muhammadiyah pada awal tahun 1920-an.
Sejak disahkannya surat perizinan no. 40 yang diberikan pada 16 Agustus 1920 oleh pemerintah Kolonial Belanda, Muhammadiyah semakin menemukan angin segar untuk mengembangkan sayap dengan meluaskan cabangnya di luar Yogyakarta. Salah satunya adalah Muhammadiyah cabang Surabaya yang resmi berdiri pada tahun 1921. Tokoh-tokoh yang berperan aktif dalam perkembangan Muhammadiyah Jawa Timur adalah Mas Mansur dengan dibantu oleh beberapa tokoh lokal kenamaan seperti Kiai Usman[19], H. Asyhari Rawi, dan H. Ismail.[20]
Selain sebagai tokoh yang berperan dalam perkembangan Muhammadiyah di Jawa Timur, Mas Mansur juga ditunjuk sebagai ketua pertama Muhammadiyah cabang Surabaya yang dibantu oleh orang-orang yang telah disebut para paragraf sebelumnya. Bagi Ahmad Dahlan, berdirinya Muhammadiyah di Surabaya merupakan keberhasilan yang luar biasa, apalagi orang yang memegang adalah Mas Mansur, orang yang begitu besar andilnya terhadap Muhammadiyah. Selanjutnya terjadi efek domino dalam perkembangan Muhammadiyah di Jawa Timur. Tidak lama berselang berdiri Muhammadiyah di Banyuwangi dan Situbondo pada tahun 1922, kemudian Gresik pada 1926 dan tempat-tempat lain di Jawa Timur.[21]
Efek domino ini juga yang membawa Muhammadiyah sampai ke pesisir utara Lamongan, yang waktu itu poros penyebarannya berada di tiga titik; Blimbing, Pangkatrejo dan kota Lamongan sendiri. Khususnya di Blimbing, yang bisa dikatakan sebagai ibukotanya pesisir utara Lamongan, Muhammadiyah mendapat sambutan begitu antusias dari masyarakat.[22] Sejalan dengan itu, masyarakat Blimbing yang dulunya adalah masa Masyumi yang fanatik banyak berpindah ke Muhammadiyah setelah Masyumi resmi dibubarkan oleh pemerintah beberap saat setelah tudingan tindakan sparatis kepada PRRI/Permesta.[23]
Bibit penyebaran Muhammadiyah di Lamongan muncul pertama kali di Kabupaten Lamongan bermula di Blimbing, kecamatan Paciran yang dikembangkan oleh H. Sa’dullah pada 1936. Dalam penyebarannya Sa’dullah dibantu oleh seorang perempuan. Zainab namanya, yang sering disebut dengan Siti Lembah. Sampai saat ini belum banyak pustaka dan keterangan tentang kegiatan perintisan keduanya, kecuali Sa’dullah adalah orang yang sangat komunikatif dalam dakwahnya sehingga mudah mempengaruhi orang di sekitarnya.
Tokoh lain yang mempunyai andil dalam penyebaran Muhamadiyah adalah KH. Mohammad Amin Mustofa. Dalam usia yang relatif masih muda, Amin sudah mengasuh ponpes di Tunggul, sebelah timur Paciran. Sebelum resmi mengajar di ponpes, Amin lebih dulu malang melintang menimba ilmu di pelbagai pesantren yang tersebar di Jawa Timur, seperti Tebuireng, Termas, Ngeloh Kediri dan Maskumambang di Gresik.
Setelah merasa mendapatkan massa yang signifikan, Muhammadiyah berupaya meluaskan dakwahnya ke tempat lain di Lamongan. Muhammadiyah kemudian beralih agak ke tengah melalui beberapa ulama yang aktif di SI (Sarikat Islam). Melalui SI inilah, gerakan pembaharuan Muhammadiyah lebih cepat dikenal, dimengerti, dan diamalkan oleh sebagian masyarakat. Beberapa nama yang bisa dicatat adalah Sofyan Abdullah di desa Pangkatrejo,[24] Kecamatan Maduran, dan H. Khozin Jalik di kota Lamongan yang saat itu mengajar di sekolah Nahdhotul Ulama (NU) di Lamongan. Ayah Khozin sendiri adalah tokoh NU yang berpengaruh di Lamongan.
Secara organisasi, Muhammadiyah Lamongan resmi berdiri sendiri setelah turunnya SK PP Muhammadiyah No. C-076/D-13, tanggal 11 September 1967. Perlu diketahui, sebelumnya cabang-cabang Muhammadiyah yang ada di Paciran berada di bawah pengawasan PMD Bojonegoro. Ketika resmi menjadi Pimpinan Daerah, Muhammadiyah waktu itu membawahi 5 cabang, yaitu Cabang Lamongan (PP Muhammadiyah No. 1024, 11 Mei 1953), cabang Jatisari/Glagah (PP Muhammadiyah No. 1481, 2 Mei 1961), cabang Babat (PP Muhammadiyah No. 1952, 4 Februari 1962), cabang Pangkatrejo (PP Muhammadiyah No. 1707, 27 Juli 1963), dan cabang Blimbing/Paciran (PP Muhammadiyah No. 1796, 1 Februari 1964).[25]
Setelah mendapat pengesahan dari PP Muhammadiyah, Muhamamdiyah Lamongan semakin mengepakkan sayapnya untuk mengembangkan Muhammadiyah secara organisatoris berdasar pada muktamar dan Musyawarah Wilayah. Muhammadiyah Lamongan pun berkembang dengan pesat. Dengan berkembangnya Muhammadiyah di Lamongan selanjutnya berdampak pada perkembangan Muhammadiyah di Sukodadi, Babat, dan sekitarnya.
Selain daerah yang berdekatan langsung dengan kota Lamongan, Muhammadiyah di kabupaten Lamongan juga berkembang besar di wilayah pesisir Lamongan. Salah satunya adalah Blimbing, Paciran dan Brondong. Untuk Blimbing, dulunya adalah basis Masyumi. Segera setelah masyumi bubar pada 1960, masyarakat Blimbing banyak yang berbondong-bondong masuk dan aktif sebagai anggota Muhammadiyah.
Muhammadiyah cabang Blimbing mengalami perkembangan yang signifikan. Selain sambutan antusias masyarakat setempat, Muhammadiyah Blimbing juga mendapat dukungan dari kalangan ulama setempat. Hal ini dapat dilihat dari struktur kepengurusan yang dipilih pada konferensi cabang Blimbing pada Agustus 1962. Secara aklamasi dipilihlah Kiai Adnan Noer sebagai ketua dan Kiai Ridlwan sebagai wakilnya. Hal ini menunjukkan bahwa kalangan ulama masih mempunyai posisi dan kedudukan yang istimewa di masyarakat Muhammadiyah Blimbing.[26] Selain unsur kiai dan ulama, Muhammadiyah Blimbing juga mendapat dukungan kuat dari pada pedagang. Terbukti dengan dipilihnya H. Umar Fauzi dan H. Sholihin, yang notabenen adalah pedagang, sebagai bendahara Cabang. Selain itu adalah ulama kharismatik K.H. Abdurrahman Syamsuri, yang umum dipanggil Yi Man.[27]
Cabang Blimbing membawahi beberapa ranting, salah satunya adalah ranting Paciran dan ranting Brondong. Dalam perkembangam selanjutnya, berdasarkan intruksi PP Muhammadiyah agar tiap cabang berada di Kota Kecamatan, maka cabang Blimbing dipecah menjadi Cabang Paciran dan Cabang Brondong, dikarenakan waktu itu Paciran dan Brondong adalah ibu kota kecamatan.[28]
Muhammadiya cabang Paciran pertama kali terbentuk sekitar tahun 1967, dan yang menjadi ketua cabang untuk pertama kalinya adalah KH. Abdurrahman Syamsuri dengan sekretarisnya adalah Maryono, yang waktu itu menjadi PNS di tempat yang sama. Surat keputusan pengesahan pendirian cabang ini baru keluar pada 19 Oktober 1977 berdasar SK PP Muhammadiyah nomor M/033/1977. Cabang Paciran membawahi beberapa ranting diantaranya: Kranji, Sendangagung, Sendangdhuwur, Paloh, Dengok, Sumuran, Warulor, Blimbing, Tunggul, Sidodadi, Banjarwati, Tlogosadang, Tepanas, Weru, Paciran, Sidokelar, Drajat, Kandangsemangkon, Kemantren, Sumurgayam dan Sidokumpul.[29] Seperti halnya Muhammadiyah di beberapa tempat, Muhammadiyah Paciran juga mempunyai beberapa amal usaha yang saling berkesinambungan satu dengan yang lainnya, yang akan dijelaskan secara rinci pada bab selanjutnya.
*saya sunting dari bab 3 skripsi saya.
Perkembangan Muhammadiyah Jawa Timur
Sesuatu hal yang sangat kontradiktif ketika membicarakan perkembangan Muhammadiyah di Jawa Timur. Hal ini dikarenakan selama ini dalam frame masyarakat luas bahwa daerah Jawa Timur selalu identik dengan kanton-kantong penyebaran Nahdotul Ulama (NU) yang secara subtantive sangat berlawanan dengan karakter Muhammadiyah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan berbasis agama. Akan tetapi, belum banyak yang faham bahwa Muhammdiyah yang dirasakan sekarang tidak lain dan tidak bukan karena pengaruh kuat dari tradisi pesisir Jawa Timur, yang diwakili oleh KH. Mas Mansur.
Muhammadiyah pada awal berdiri dan perkembangannya adalah representasi dari Islam Jawa yang telah berkembang jauh hari pada masa kekuasaan kerajaan Islam Mataram di Yogyakarta. Ke-Jawa-an Muhammadiyah dapat dilihat dari beberapa unsur yang menggambarkan bagaimana corak Muhammadiyah pada awal berdirinya[1]. Kalau masih ada yang ingat dengan lambang Muktamar Muhammadiyah di Solo, pasti akan sepakat dengan pernyataan ini. Bahkan dalam salah satu peraturannya adalah dianjurkannya pemakaian busana tradisional masing-masing peserta dalam perhelatan Muktamar Solo itu.
Untuk membahas permasalahan pada bab ini akan dimulai secara perlahan-lahan dari perkembangan Muhammadiyah secara umum. Setelah itu baru secara urut akan dibahas mengenai kapan Muhammadiyah berkembang di Jawa Timur, kemudian di Kabupaten Lamongan dan akhirnya akan dipungkasi dengan masuk dan berkembangnya Muhammadiyah di Paciran.
Muhammadiyah Awal: Muhammadiyah Keraton
Ahmad Najib Burhani dalam pengantar bukunya, Muhammadiyah Jawa, mengutip kata-kata Julian Pitt-Rivers yang dia anggap mendukung tesis dan pandangannya ketika melihat perkembangan Muhammadiyah di awal-awal berdirinya; “You cannot be a Brahmin in the English countryside”. Najib menegaskan betapa mustahilnya Muhammadiyah melepaskan diri dari kebudayaan Jawa[2]. Meski sering disebut sebagai gerakan puritaniasisi Islam di Indonesia, fakta berbicara bahwa Muhammadiyah lahir di sebuah tempat yang menjadi bagian integral dengan Keraton Yogyakarta, Kauman, yang secara struktural maupun kultural akan berafiliasi dengan apapun yang menjadi ciri keraton itu sendiri, baik langsung ataupun tidak langsung, salah satunya adalah budaya Jawa[3].
Gagasan awal pendirian Muhammadiyah juga dia peroleh ketika masih aktif sebagai anggota Boedi Oetomo (BO) yang notabene adalah sebuah organisi politik yang banyak melibatkan bangsawan-bangsawan Jawa di dalamnya[4]. Namun demikian, Muhammadiyah adalah Muhammadiyah, sebuah gerakan pembaharuan yang bergerak di bidang keagamaan, yang pada jamannya juga sangat gigih bersama-sama dalam upaya mencapai cita-cita bersama; Kemerdekaan Indonesia yang utuh.
Setelah banyak mendapat masukan dari beberapa rekannya yang ada di BO, M. Darwis (nama kecil Ahmad Dahlan) memutuskan untuk mendirikan sebuah perserikatan yang dia beri nama Muhamamdiyah. Sesuai dengan artinya, Darwis muda berharap organisisi ini dapat menjadi sebuah alternatif gerakan nasional, dengan cara penataan moral individu sesuai dengan sifat-sifat Nabi Muhammad.
Kiai Haji Ahmad Dahlan, dia yang mempunyai gagasan pertama ikhwal pendirian Muhammadiyah, meskipun demikian tidak bisa dinafikan sumbangsih rekan-rekannya yang lain, baik itu sesama abdi dalem atau yang aktif di pergerakan Boedi Oetomo (BO). Ahmad Dahlan lahir pada 1868 di Kauman, yang masuk dalam lingkungan Keraton Yogyakarta. Nama aslinya adalah Muhammad Darwis. Ayahnya adalah seorang ketib[5], yaitu seorang abdi dalem yang ditugaskan untuk mengurusi masalah keagamaan di lingkungan keraton.
Sebagai seorang anak ketib pendidikan Dahlan kecil tidak jauh dari corak pendidikan agama yang langsung diajarkan oleh ayahnya. Selain itu, Dahlan juga menimba ilmu, baik agama atau umum, kepada guru-guru lain. Tahun 1890, Dahlan dikirim ayahnya ke Mekah. Selain untuk mendapat gelar Haji, dikirimnya Dahlan ke Mekah adalah untuk memperdalam kemampuan ilmu agamanya. Ketika di Mekah inilah dia mendapat nama Ahmad Dahlan oleh soerang guru agamanya, yaitu Sayyid Bakri Syaththa
Alasan pemberian nama Ahmad Dahlan oleh gurunya ini adalah sebagai bentuk penghormatan kepada seorang tokoh besar madzhab Syafi’i di Mekah, Ahmad ibn Zaini Dahlan[6]. Setelah pulang dari Mekah, Dahlan memutuskan untuk bergabung dengan BO yang kebanyakan anggotanya adalah dari golongan priyayi Jawa. Orang yang pertama kali memperkenalkan BO kepada Ahmad Dahlan adalah Mas Djojosumarto, yang kebetulan mempunyai famili di Kauman dan sering berkungjung ke sana.
Para penulis biografi Ahmad Dahlan berpendapat bahwa masuknya ke BO dilatari oleh keinginannya untuk memasukkan ajaran dan paham Islam ke beberapa anggota BO. Ini dikarenakan kebanyakan anggota BO adalah muslim-nominal, yang banyak terdidik dengan gaya pendidikan Belanda yang berbau Eropa, sehingga kebanyakan tidak banyak faham mengenai ilmu agama, dan yang paling parah adalah kecenderungan mengarah ke anti-agama.
Disamping alasan itu semua, Ahmad Dahlan merasa nyaman dengan organisasi ini. Ia merasa bahwa BO adalah organisasi yang bisa ia dukung dengan sepenuh hati[7]. Komintmennya sebagai anggota dia buktikan meskipun dia sudah punya Muhamadiyah sebagai kendaraan Organisasinya. Hal ini dikarenakan oleh tujuan, karateristik dan lingkungan di BO sangat kondusif. Apalagi BO sendiri adalah pendukung utama pembentukan Muhammadiyah.
Tanggal 18 November 1912 adalah hari paling bersejarah buat Muhammadiyah. Hari ini ditandai dengan dikirimnya sebuah surat permintaan kepada pemerintah untuk meminta izin pendirian sebuah gerakan baru. Keputusan ini dilakukan Ahmad Dahlan setelah melakukan diskusi panjang dengan teman-temannya yang ada di BO, terutama Mas Budihardjo dan Raden Dwijosuwojo.
Akhirnya untuk memastikan bahwa Muhammadiyah sah dan diakui oleh pemerintah maka harus ada surat formal kepada pemerintah. Permohonan tidak semudah yang diharapkan, dikarenakan waktu itu pemerintah Belanda terkenal sangat sulit memberi izin pendirian gerakan baru. Akan tetapi, karena ada tujuh dari sembilan anggota awal Muhammadiyah awal adalah aktifis di BO, maka jalan untuk mendapatkan izin relatif lebih mudah. Akhirnya dengan surat izin pemerintah No. 40 tahun 16 Agustus 1920, Muhammadiyah bisa menyebarkan Muhammadiyah ke luar Yogyakarta.[8]
Sebagai gerakan yang sah, Muhammadiyah menyerahkan draf anggaran dasarnya sebagai bagian permohonan pengakuan hukum yang diajukan kepada pemerintah. Anggaran dasar yang paling awal menyebutkan bahwa tujuan Muhammadiyah adalah:
- Menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad saw. kepada penduduk bumiputra di dalam residensi Yogyakarta, yang pada tahun 1921 dirubah menjadi meliputi wilayah Hindia Belanda.
- Memajukan hal agama kepada anggota-anggotanya.[9]
- Mendirikan sekolah-sekolah sendiri, agama dan pengetahuan umum secara serentek diajarkan.
- Menyelenggarakan pengajian ajaran Islam di sekolah pemerintah, swasta dan luar sekolah.
- Mendirikan langgar dan masjid.
- Menerbitkan dan membantu penerbitan buku-buku, surat-surat, selebaran, brosur, dan koran yang berisi soal-soal agama[10].
Muhammadiyah Minang: Paradigma Baru
Pada awal-awal perkembangannya, Muhammadiyah belum begitu tampak menjadi gerakan purifikasi Islam yang masif. Kongres Muhammadiyah ke-13 di Solo misalnya, brosur yang dipakai sebagai publikasi terkesan sangat Jawa sekali. Di dalam brosur itu digambarkan sesosok lelaki yang sangat Jawa dengan blangkon dan keris terselip di balik punggungnya. Bahkan dalam satu anjuran kepada peserta kongres adalah penggunaan pakaian tradisional kepada peserta yang laki-laki.
Muhammadiyah benar-benar menunjukkan bahwa dirinya adalah gerakan puritan Islam ketika dibentuk majelis tarjih pada 1927 dan dilangsungkannya kongres Muhammadiyah yang ke-19 di Bukittinggi, Sumatra Barat, tahun 1930, selain itu adalah penentuan sikap Muhammadiyah terhadap identitas Jawa. Ketiga hal itu menjadi faktor internal pergeseran watak Muhammadiyah yang begitu kentara, selain juga ada beberapa faktor eksternal. Lebih jauh ke belakang, faktor yang berpengaruh adalah masuknya beberapa tokoh gerakan modernis dari, Minangkabau, Sumatra Barat dan Surabaya.
Pergesekan golongan Islam Modernis dan golongan adat di Minangkabau telah berlangsung cukup lama. Salah satu contohnya adalah terjadinya perang Padri, yang melibatkan Islam modernis dengan kaum adat.[11] Selanjutnya gerakan golongan Islam Modernis Minangkabau dapat dilacak dari sosok Haji Abdul Karim Amrulloh atau mashur dengan sebutan Haji Rasul, Haji Abdullah Ahmad dan Syekh Jambek.
Haji Rasul, yang notabene ayah dari Hamka, membawa Muhammadiyah ke Minang sekitar tahun 1925 sebagai alat untuk melawan hegemoni komunis yang telah mengusirnya dari Sumatra Thowalib, Padang Panjang, dan menyerangnya secara pribadi.[12] Tahun 1926 Muhammadiyah Minang berkembang pesat oleh karena PKI dan komunis mendapat tekanan akibat “tudingan” melakukan pemberontakan di Madiun pada 1926. Tidak hanya mereka dari kaum mudo saja yang menjadi anggota Muhammadiyah Sumatera Barat, akan tetapi beberapa orang dari kaum tuo juga.[13]
Secara umum, Muhammadiyah di Minangkabau sangat berbeda dengan Muhammadiyah yang ada di Jawa. Muhammadiyah Minang sangat aktif dalam perhelatan politik Hindia-Belanda dari pada Muhammadiyah Jawa. Keaktifan dan keikutsertaan Muhammadiyah Minangkabau dalam ranah politik disebabkan oleh pendiri dan pelopor Muhammadiyah di Minangkabau. Alfian dalam tulisannya menjelaskan bahwa Hadji Rasul mempunyai cengkraman yang kuat terhadap gerakan di sana, dan karenanya tidak berlebihan untuk menyatakan Haji Rasul sedikit banyak sinonim dengan Muhammadiyah Minangkabau.[14]
Syahdan, Haji Rasul dikenal sebagai ulama puritan sejati. Dakwahnya ditujukan kepada seluruh khalayak untuk membangkitkan kehidupan keagamaan kaum Muslim di Minangkabau, dan mengajak kembali ke ajaran ortodoks Islam, yaitu memurnikan unsur-unsur tidak islami yang ada di tengah-tengah masyarakat Minang. Noer mendiskripsikan wataka Rasul sebagai orang yang keras.[15] Dia mengkritik dan menyerang terhadap semua praktik ibadah yang tidak sejalan dengan pandangan keagamaannya. Apalagi yang bertentangan dengan kaidah-kaidah yang terkandung dalam al-Qur’an dan As-Sunah.
Pada akhirnya pemikiran Haji Rasul yang selama ini dia terapkan di Minangkabau, dibawa ke kongres Muhammadiyah ke sembilanbelas di Bukittinggi, Sumatra Barat. Dalam kongres itu, Rasul dengan tegas menolak usulan salah satu pimpinan pusat Muhammadiyah yang ada di Yogyakarta. Dengan perdebatan yang sengit akhirnya pendapat Haji Rasul dihargai, sampai pada akhirnya Muhammadiyah mengubah pola pikirnya, terutama untuk urusan internal peribadatan.
Dampak Kongres ke-19 inilah yang dirasakan dalam tubuh Muhammadiyah sampai saat ini, dengan mengklaim dirinya dengan gerakan purifikasi Islam. Jelas, Rasul berbeda dengan Dahlan. Dahlan dalam mempraktikan pemikirannya dalam Muhammadiyah cenderung lebih moderat, dengan mengaplikasikan dalil-dalil keagamaan dengan perkembangan era waktu itu.[16] Berbeda dengan Dahlan, Rasul bersukuhkuh terhadap perhatiannya atas ritual-ritual dan kegiatan keagamaan umat Muslim.[17]
Itulah sebabnya, mengapa Alfian dalam bukunya menegaskan bahwa Haji Rasul-lah tokoh sebenarnya purifikasi dan revivalisasi Muhammadiyah, baik itu di Minangkabau ataupun di pusat. Untuk seterusnya pola pikirnya di Muhammadiyah banyak dikembangkan oleh Sutan Mansur, menantunya dan juga tokoh Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1953-1959 dan Mas Mansur, ketua Muhammadiyah 1937-1943 yang berasal dari Surabaya, Jawa Timur.
Selain pergesekan di ranah nasional, yang sering disebut sebagai faktor internal pergeseran paradigma Muhammadiyah, gerakan purifikasi sebenarnya ini banyak terpengaruh oleh paham Wahabi yang ada di Timur Tengah, dan berdampak besar terhadap perjalanan Muhammadiyah selanjutnya, dan bahkan sampai saat ini, dan ini menjadi faktor eksternal paling kentara diantara yang lainnya.[18] Paham Muhammadiyah jenis Haji Rasul inilah yang sekarang banyak mengakar dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, tak terkecuali daerah Pesisir Jawa Timur dan Lamongan.
Muhammadiyah Bergeser ke Lamongan
Belum banyak pustaka yang membahas terkait keberadaan Muhamadiyah di Jawa Timur, khususnya Surabaya. Meskipun Surabaya jelas-jelas menyumbang salah satu tokohnya dalam dinamika perkembangan Muhammadiyah, akan tetapi tidak lantas menjadikan Muhammadiyah membidik Surabaya sebagai basis gerakannya. Minangkabau disinyalir lebih kondusif untuk perkembangan Muhammadiyah ke depan, selain Yogyakarta. Meskipun demikian, Surabaya pernah dijamah Muhammadiyah pada awal tahun 1920-an.
Sejak disahkannya surat perizinan no. 40 yang diberikan pada 16 Agustus 1920 oleh pemerintah Kolonial Belanda, Muhammadiyah semakin menemukan angin segar untuk mengembangkan sayap dengan meluaskan cabangnya di luar Yogyakarta. Salah satunya adalah Muhammadiyah cabang Surabaya yang resmi berdiri pada tahun 1921. Tokoh-tokoh yang berperan aktif dalam perkembangan Muhammadiyah Jawa Timur adalah Mas Mansur dengan dibantu oleh beberapa tokoh lokal kenamaan seperti Kiai Usman[19], H. Asyhari Rawi, dan H. Ismail.[20]
Selain sebagai tokoh yang berperan dalam perkembangan Muhammadiyah di Jawa Timur, Mas Mansur juga ditunjuk sebagai ketua pertama Muhammadiyah cabang Surabaya yang dibantu oleh orang-orang yang telah disebut para paragraf sebelumnya. Bagi Ahmad Dahlan, berdirinya Muhammadiyah di Surabaya merupakan keberhasilan yang luar biasa, apalagi orang yang memegang adalah Mas Mansur, orang yang begitu besar andilnya terhadap Muhammadiyah. Selanjutnya terjadi efek domino dalam perkembangan Muhammadiyah di Jawa Timur. Tidak lama berselang berdiri Muhammadiyah di Banyuwangi dan Situbondo pada tahun 1922, kemudian Gresik pada 1926 dan tempat-tempat lain di Jawa Timur.[21]
Efek domino ini juga yang membawa Muhammadiyah sampai ke pesisir utara Lamongan, yang waktu itu poros penyebarannya berada di tiga titik; Blimbing, Pangkatrejo dan kota Lamongan sendiri. Khususnya di Blimbing, yang bisa dikatakan sebagai ibukotanya pesisir utara Lamongan, Muhammadiyah mendapat sambutan begitu antusias dari masyarakat.[22] Sejalan dengan itu, masyarakat Blimbing yang dulunya adalah masa Masyumi yang fanatik banyak berpindah ke Muhammadiyah setelah Masyumi resmi dibubarkan oleh pemerintah beberap saat setelah tudingan tindakan sparatis kepada PRRI/Permesta.[23]
Bibit penyebaran Muhammadiyah di Lamongan muncul pertama kali di Kabupaten Lamongan bermula di Blimbing, kecamatan Paciran yang dikembangkan oleh H. Sa’dullah pada 1936. Dalam penyebarannya Sa’dullah dibantu oleh seorang perempuan. Zainab namanya, yang sering disebut dengan Siti Lembah. Sampai saat ini belum banyak pustaka dan keterangan tentang kegiatan perintisan keduanya, kecuali Sa’dullah adalah orang yang sangat komunikatif dalam dakwahnya sehingga mudah mempengaruhi orang di sekitarnya.
Tokoh lain yang mempunyai andil dalam penyebaran Muhamadiyah adalah KH. Mohammad Amin Mustofa. Dalam usia yang relatif masih muda, Amin sudah mengasuh ponpes di Tunggul, sebelah timur Paciran. Sebelum resmi mengajar di ponpes, Amin lebih dulu malang melintang menimba ilmu di pelbagai pesantren yang tersebar di Jawa Timur, seperti Tebuireng, Termas, Ngeloh Kediri dan Maskumambang di Gresik.
Setelah merasa mendapatkan massa yang signifikan, Muhammadiyah berupaya meluaskan dakwahnya ke tempat lain di Lamongan. Muhammadiyah kemudian beralih agak ke tengah melalui beberapa ulama yang aktif di SI (Sarikat Islam). Melalui SI inilah, gerakan pembaharuan Muhammadiyah lebih cepat dikenal, dimengerti, dan diamalkan oleh sebagian masyarakat. Beberapa nama yang bisa dicatat adalah Sofyan Abdullah di desa Pangkatrejo,[24] Kecamatan Maduran, dan H. Khozin Jalik di kota Lamongan yang saat itu mengajar di sekolah Nahdhotul Ulama (NU) di Lamongan. Ayah Khozin sendiri adalah tokoh NU yang berpengaruh di Lamongan.
Secara organisasi, Muhammadiyah Lamongan resmi berdiri sendiri setelah turunnya SK PP Muhammadiyah No. C-076/D-13, tanggal 11 September 1967. Perlu diketahui, sebelumnya cabang-cabang Muhammadiyah yang ada di Paciran berada di bawah pengawasan PMD Bojonegoro. Ketika resmi menjadi Pimpinan Daerah, Muhammadiyah waktu itu membawahi 5 cabang, yaitu Cabang Lamongan (PP Muhammadiyah No. 1024, 11 Mei 1953), cabang Jatisari/Glagah (PP Muhammadiyah No. 1481, 2 Mei 1961), cabang Babat (PP Muhammadiyah No. 1952, 4 Februari 1962), cabang Pangkatrejo (PP Muhammadiyah No. 1707, 27 Juli 1963), dan cabang Blimbing/Paciran (PP Muhammadiyah No. 1796, 1 Februari 1964).[25]
Setelah mendapat pengesahan dari PP Muhammadiyah, Muhamamdiyah Lamongan semakin mengepakkan sayapnya untuk mengembangkan Muhammadiyah secara organisatoris berdasar pada muktamar dan Musyawarah Wilayah. Muhammadiyah Lamongan pun berkembang dengan pesat. Dengan berkembangnya Muhammadiyah di Lamongan selanjutnya berdampak pada perkembangan Muhammadiyah di Sukodadi, Babat, dan sekitarnya.
Selain daerah yang berdekatan langsung dengan kota Lamongan, Muhammadiyah di kabupaten Lamongan juga berkembang besar di wilayah pesisir Lamongan. Salah satunya adalah Blimbing, Paciran dan Brondong. Untuk Blimbing, dulunya adalah basis Masyumi. Segera setelah masyumi bubar pada 1960, masyarakat Blimbing banyak yang berbondong-bondong masuk dan aktif sebagai anggota Muhammadiyah.
Muhammadiyah cabang Blimbing mengalami perkembangan yang signifikan. Selain sambutan antusias masyarakat setempat, Muhammadiyah Blimbing juga mendapat dukungan dari kalangan ulama setempat. Hal ini dapat dilihat dari struktur kepengurusan yang dipilih pada konferensi cabang Blimbing pada Agustus 1962. Secara aklamasi dipilihlah Kiai Adnan Noer sebagai ketua dan Kiai Ridlwan sebagai wakilnya. Hal ini menunjukkan bahwa kalangan ulama masih mempunyai posisi dan kedudukan yang istimewa di masyarakat Muhammadiyah Blimbing.[26] Selain unsur kiai dan ulama, Muhammadiyah Blimbing juga mendapat dukungan kuat dari pada pedagang. Terbukti dengan dipilihnya H. Umar Fauzi dan H. Sholihin, yang notabenen adalah pedagang, sebagai bendahara Cabang. Selain itu adalah ulama kharismatik K.H. Abdurrahman Syamsuri, yang umum dipanggil Yi Man.[27]
Cabang Blimbing membawahi beberapa ranting, salah satunya adalah ranting Paciran dan ranting Brondong. Dalam perkembangam selanjutnya, berdasarkan intruksi PP Muhammadiyah agar tiap cabang berada di Kota Kecamatan, maka cabang Blimbing dipecah menjadi Cabang Paciran dan Cabang Brondong, dikarenakan waktu itu Paciran dan Brondong adalah ibu kota kecamatan.[28]
Muhammadiya cabang Paciran pertama kali terbentuk sekitar tahun 1967, dan yang menjadi ketua cabang untuk pertama kalinya adalah KH. Abdurrahman Syamsuri dengan sekretarisnya adalah Maryono, yang waktu itu menjadi PNS di tempat yang sama. Surat keputusan pengesahan pendirian cabang ini baru keluar pada 19 Oktober 1977 berdasar SK PP Muhammadiyah nomor M/033/1977. Cabang Paciran membawahi beberapa ranting diantaranya: Kranji, Sendangagung, Sendangdhuwur, Paloh, Dengok, Sumuran, Warulor, Blimbing, Tunggul, Sidodadi, Banjarwati, Tlogosadang, Tepanas, Weru, Paciran, Sidokelar, Drajat, Kandangsemangkon, Kemantren, Sumurgayam dan Sidokumpul.[29] Seperti halnya Muhammadiyah di beberapa tempat, Muhammadiyah Paciran juga mempunyai beberapa amal usaha yang saling berkesinambungan satu dengan yang lainnya, yang akan dijelaskan secara rinci pada bab selanjutnya.
*saya sunting dari bab 3 skripsi saya.
[1]
Sebagai organisasi dakwah dan sosial, Muhammadiyah secara langsung
berinteraksi dengan kenyataan sosio-kultural di Indonesia yang beragam.
Dalam sejarah awal perkembangannya, Muhammadiyah sesungguhnya tampil
inklusif dan toleran dengan gagasan-gagasan segar di bidang sosial dan
kebudayaan. Ibnu Chamim, dkk., Purifikasi dan Reproduksi Budaya di Pantai Utara Jawa Muhammadiyah dan Seni Lokal, (Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2003), hlm.2.
[2]
Perumpamaan ini dikutip sebagai landasan bahwa Muhammadiyah akan
mengalami kesulitan jika memaksakan dirinya untuk benar-benar mewujudkan
cita-cita purifikasi Islam sesuai dengan filsafat Wahabi yang
diikutinya. Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa, (Jakarta: Al-Wasat Publishing House, 2004), hlm.XV.
[3] Ketib berasal dari suku kata bahasa Arab, khataba yang berarti orang yang bercaramah, biasanya masalah agama. Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia bekerja sama dengan PT. Djarum, 2008), hlm. 322.
[4]
Ahmad Dahlan tercatat sebagai anggota Boedi Oetomo yang aktif. Di
organisasi inilah dia belajar berorganisasi untuk petama kalinya. Dengan
dukungan dari beberapa murid dan rekannya di BO dia menggagas
berdirinya Muhamadiyah. Nashruddin Anshoriy dan Djunaidi Tjakrawerdaya, Rekam Jejak Dokter Pejuang dan Pelopor Kebangkitan Nasional, (Yogyakarta: LKiS, 2008), hlm. 54.
[5]
Dalam tradisi pekerjaan di Keraton Yogyakarta masih mengenal proses
pewarisan pekerjaan. Pengangkatan Muhammad Darwis atau Ahmad Dahlan
sebagai ketib di keraton Yogyakarta karena menggantikan ayahnya yang sudah sepuh. Tidak hanya ketib, akan tetapi pekerjaan-pekerjaan yang lain, seperti silir (tukang lampu istana), pateh (tukang
pembuat teh istana) dan pekerjaan yang lain. Uniknya pemakain nama ini
dilekatkan menjadi nama kampung di Yogyakarta. Moh. Habib Asyhad, “Mari
Melebur Bersama (Kampung) Kota”, dalam Ardyan M. Erlangga, dkk., Ruang Kota, (Yogyakarta: Ekspresibuku, 2010), hlm. 100-101.
[6]
Ahmad Dahlan hanya setahun di Mekah, namun demikian, dia telah berguru
kepada beberapa guru-guru besar yang ada di Mekah. Salah satunya adalah
seorang syekh penganut Syafi’i, Sayyid Bakri Syaththa, yang kemudian
memberi nama Ahmad Dahlan kepadanya. Ahmad Najib Burhani, op cit, hlm.57.
[7] Karena dukungan itu Ahmad Dahlan rela rumahnya dijadikan sekretariat oleh Boedi Oetomo. Ibid., hlm. 66.
[8]
Pada awalnya hanya untuk sekitar Jawa saja, dengan pelbagai usaha
akhirnya Muhammadiyah mendapatkan izin untuk menyebarluaskan dakwahnya
ke seluruh kepulauan di Indonesia dengan SK pemerintah bertanggal 2
September 1921. Ahmad Najib Burhani, Ibid., hlm.67.
[9] Untuk melihat lebih detail anggaran dasar Muhammadiyah, baca Mitsuo Nakamura, The Crescent Rises over the Banyan Tree, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), hlm.47.
[10] Ahmad Najib Burhani, op.cit., hlm. 68.
[11]
Benda mengatakan bahwa perang adat dan ulama, kasus padri, dijadikan
salah satu upaya pemerintah kolonial untuk menghalau kekuatan Muslim.
Terbukti ketika pemerintah kolonial mengirimkan bala bantuan kepada
pasukan adat dalam perang Padri. Harry J, Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 38.
[12]
Pengaruh komunis sejak semula sudah diukuatirkan akan merusak dan
mengakibatkan kemunduran terhadap Sumatera Thawalib. Haji Rasul dan
kawan-kawannya berusaha membendung komunis agar tidak memasuki Thawalib.
Beberapa tokoh Thawalib yang berhaluan komunis didekati untuk
menghentikan agitasi-agitas komunisme, akan tetapi tidak berhasil.
Meskipun demikian hal ini tidak membuat Haji Rasul melemah dan putusasa.
Pelbagai upaya terus diusahakan, sampai pada akhirnya beberapa murid
dan rekannya di Thawalib menjauhi dan perlahan-lahan mulai
menyingkirkannya dari Sumatera Thawalib. Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharauan Pemikiran Islam Kasus Sumatera Thawalib, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995), hlm. 251
[13] Termasuk di dalamnya adalah Syekh Muhammad Zain, pimpinan tariqah di Simabur. Murni Djamal, Dr. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau pada Awal Abab ke-20, (Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation in Islamic Studies, 2002). Hlm. 94.
[14]
Secara karateristik, Ahmad Dahlan dengan Haji Rasul sangat
kontradiktif. Dahlan yang dari kecil sudah dikenalkan dengan tradisi
Jawa yang penuh dengna unggah-ungguh, sedangkan Haji Rasul sudah
terbiasa dengan tradisi Minang yang egaliter. Rasul juga termasuk orang
yang sangat keras terhasdap eksistensi masyaratakat adat yang ada di
Minang. Belum ditemukan apakah dia pernah bersua dengan Tuanku Imam
Bonjol, yang sama dalam berprinsip terkait masyarakat adat. Alfian, Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organisation Under Dutch Colonialism, (Yogyakarta: Gadjah Mada Unversity Press, 1989), hlm.258
[15] Deliar Noer, Gerakan Islam Modern di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 45.
[16] Ahmad Najib Burhani, op cit, hlm. 135.
[17] Howard M, Federspiel, “The Muhammadijah: A Study of an Ortodox Islamic Movement in Indonesia”, dalam Indonesia vol. 10, (Cornel Modern Indonesia Project, 1970), hlm. 58.
[18]
Mereka yang mengenal pembaharuan di Mesir melihat pula pada
Muhammadiyah sebagai jalan untuk menuebarkan pemikiran-pemikiran
pembaharuan tersebut di Indonesia, dan oleh sebab itu memberikan
bantuannay kepada organisasi ini. Dahlan sendiri sudah mengetahui asas
pemikiran Abdul sejak 1912. Deliar Noer, Gerakan Islam Modern di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 87.
[19]
Karena kepiawaiannya sebagai ulama dan cendikia, Kiai Usman diangkat
menjadi Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa Timur periode 1932-1936
yang berkedudukan di Surabaya. Ketika Mas Mansur dikukuhkan sebagai
ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, dia menggantikan kedudukan Mas Mansur
sebagai konsul Muhammadiyah Jawa Timur tahun 1936. Tim Penulis, Siapa dan Siapa 50 Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur (Surabaya: Hikmah Press, 2005), hlm. 92.
[20] Ahmad Najib Burhani, op cit, hlm. 137.
[21] Mustakim, Matahari Terbit di Kota Wali, Sejarah Pergerakan Muhammadiyah Gresik 1926-2010, (Gresik: MUHIpress, 2011), hlm. 48.
[22] Fathurrahim Syuhadi, Mengenang Perjuangan Sejarah Muhammadiyah Lamongan 1936-2005 (Surabaya: Java Pustaka Media Utama, 2006), hlm. 13.
[23] Wawancara dengan Bapak Maryono. Pada Rabu 11 Agustus 2010.
[24]
Tahun 1940 di Pangkatrejo telah ada kelompok belajar keagamaan yang
condong dengan Muhammadiyah yang diasuh oleh Sofyan Abdullah. Selain
diasuh oleh guru-guru setempat, kelompok belajar ini juga mendatangkan
beberapa guru dari Yogyakarta. Pada tahun 1948 kelompok belajar ini
merubah namanya menjadi Madrasah Al Abdaliyah yang menggunakan model klasik. Fatrurrahim Syuhadi, op. cit, hlm. 17.
[25] Farhurrahman Syuhadi, ibid, hlm. 23.
[26]
KH. Ahmad Adnan Noer dan KH. Ridlwan Syarqowi adalah teman seangkatan
sewaktu belajar di pesantren Maskumambang yang diasuh oleh KH. Amar
Faqih. Lihat profil mereka dalam Tim Penulis, Siapa dan Siapa 50 Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur (Surabaya: Hikmah Press, 2005).
[27] Baca KH. Ahmad Adnan Noer, Catatan Kehidupan Pribadi dan Keluarga (manuskrip) dan KH. Ahmad Adnan Noer, Catatan Aneka Warna (manuskrip dimulai dari tahun 1951), dalam Sjamsudduha, Konflik dan Rekonsiliasi NU Muhammadiyah (Surabaya: Bina Ilmu, 1999), hlm. 61-62. Kesemuanya tersimpang di Perpustakaan PW Muhammadiyah Jawa Timur.
[28] Wawancara Bapak Maryono, op cit.
[29] Farhurrahim Syuhadi, op. cit, hlm. 27
Retrieved from: https://ndangcerung.wordpress.com/2011/08/02/muhammadiyah-pesisir/
Retrieved from: https://ndangcerung.wordpress.com/2011/08/02/muhammadiyah-pesisir/
No comments:
Post a Comment