Monday, September 16, 2019

Between Social Services and Tolerance: Explaining Religious Dynamics in Muhammadiyah

Date of publication: 2019
Publisher: ISEAS – Yusof Ishak Institute
Number of pages: 23
Code: TRS11/19

About the Publication

Muhammadiyah, together with the Nahdlatul Ulama (NU), are seen as the two pillars of moderate Islam in Indonesia. Muhammadiyah is currently often perceived to be the more conservative of the two and to have more affinity with Islamist groups.

On political issues, for instance, it is steered by Islamist imagery. On cultural issues, Muhammadiyah is often guided by old enmity towards what is called the TBC (takhayul, bid’ah dan churafat; delusions, religious innovation without precedence in the Prophetic traditions and the Qur’an, and superstitions or irrational belief). This position has placed Muhammadiyah in an uneasy relationship with both local cultures and traditionalist Islam. 

Three issues that were raised in 2017—the banning of Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), the recurrent controversy on the Indonesian Communist Party (PKI), and the ruling of the Constitutional Court on Penghayat Kepercayaan—are issues where Muhammadiyah has been easily drawn towards Islamist and conservative tendencies. 

Be that as it may, Muhammadiyah remains a social movement guided by its long-held theology of al-Mā`ūn (kindness) and with a strong emphasis on social services. It is this doctrine that has prevented Muhammadiyah from dwelling on mythical or abstract issues and neutralized it against Islamism, making its members more realistic in viewing the world, more prone to distancing themselves from the utopian vision of a caliphate, from the dream of shariah as the Messiah that will solve every problem, and from the temptation to create an Islamic state. 

The “pragmatic Islamism” that Muhammadiyah has adopted allows it to handle social dynamics well.


Friday, September 6, 2019

Yunus Anis dan Ahmadiyah


Muhammad Kholid Asyadulloh

Sumber: Jawa Pos, 24 Mei 2008



Lucu dan menggemaskan! Dua kalimat ini tampaknya cukup mewakili pemerhati Muhammadiyah ketika membaca tulisan Ahmad Khoirul Fata (AKF) tentang Muhammadiyah dan Ahmadiyah (Jawa Pos, 28/4). Lucu, karena tulisan itu menunjukkan betapa minimnya pengetahuan sang penulis tentang ke-Muhammadiyah-an. Menggemaskan, karena AKF telah mendistorsi ketokohan salah satu besar Muhammadiyah KH. M. Yunus Anis, sebagai penganut Ahmadiyah.
Namun, di situlah mungkin terletak kelebihan sekaligus kekurangan AKF dalam melihat dan membaca (tokoh) Muhammadiyah. Saat menanggapi tulisan Asvi Warman Adam Belajar dari Sejarah Ahmadiyah (Jawa Pos, 24/04/08), dia menyimpulkan kalau Asvi hanya menyampaikan fakta sejarah yang sepenggal. Untuk memperkuat argumentasinya, Koordinator Jaringan KB Muda PII Jawa Timur itu menulis "beberapa literatur justru menunjukkan" berbagai kesalahan Asvi.
Sayangnya, pembaca harus terbohongi oleh kata "beberapa literatur" sebagaimana yang dijanjikan AKF. Sebab, dari awal hingga tulisan berakhir ternyata tidak ada literatur lain yang disebutkan, kecuali hanya Peladjaran Agama Islam karya Buya HAMKA. Yang lebih hebat lagi, tulisan AKF adalah rangkuman dari 11 halaman salah satu bab yang membahas Ahmadiyah-Bahai. Luar biasa bukan?
Fatalnya lagi, AKF membuat rumor yang menyatakan KH. M. Yunus Anis sebagai pengikut Ahmadiyah. Gosip ini semakin konyol ketika ulama itu merupakan salah satu korban yang dikeluarkan dari Muhammadiyah pada tahun 1927. "Dagelan" itu menunjukkan bahwa sang penulis tidak pernah melakukan konfirmasi dan konfrontasi dengan buku lain untuk melacak lebih lanjut siapakah sebenarnya Yunus Anis?
Bagi pembaca yang paham tentang kesejarahan Muhammadiyah, mereka tentu akan tertawa saat membaca tuduhan Yunus Anis sebagai penganut Ahmadiyah, apalagi dipecat dari Muhammadiyah. Sebab, siswa SD Muhammadiyah pun minimal sudah membaca riwayat hidup putra abdi dalem Kraton Yogyakarta H. M. Anis itu. Namun, bagi kalangan grass root, tuduhan itu tentu sangat mengganggu, bahkan mungkin sudah memasuki tahap meresahkan. Di manakah letak ke-Ahmadiyah-an Yunus Anis, sehingga status ke-Muhammadiyah-annya diragukan?
Dengan kata lain, lontaran AKF terhadap Yunus Anis sebagai tindakan yang sangat-sangat ceroboh. Pertama, jika mengikuti logika AKF, seharusnya nama Yunus Anis juga sudah tidak beredar di Muhammadiyah sejak dipecat pada 1927. Namun, sejarah mencatat, dan ini bisa dilihat di banyak buku ke-Muhammadiyah-an, Yunus Anis adalah Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1959-1962 yang terpilih dalam muktamar ke-34 di Yogyakarta.
Lebih jauh lagi, selain dikenal sebagai muballigh, Yunus Anis lebih dikenal sebagai organisator dan administrator yang ulung. Tidak heran jika sebelum terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, dia menjabat sebagai Sekretaris Umum PP dalam dua periode, yaitu 1942-1953 dan 1953-1959. Adalah sangat aneh jika sudah dikeluarkan sejak 1927, tetapi mendapatkan banyak amanah dan kepercayaan dari keluarga besar Muhammadiyah. Yang benar saja?!
Kedua, AKF menulis bahwa syariat Ahmadiyah adalah mengekalkan kolonialisme dengan melemahkan perlawanan umat Islam (jihad). Jika "kelembekan" dijadikan alasan Yunus Anis sebagai penganut Ahmadiyah, maka fakta yang paradoks akan tersuguhkan. Sebab, dialah satu-satunya Ketua Umum PP Muhammadiyah yang berlatar belakang militer, tepatnya Kepala Pusroh Angkatan Darat Republik Indonesia (Imam Tentara) sejak 1954, dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel.
Dalam buku HM Yunus Anis, Amal, Pengabdian dan Perjuangannya, terungkap pengakuan Jendral Nasution memilih Yunus Anis masuk Angkatan Darat. Nasution ingin agama menjadi bagian hidup keseharian para prajurit, sehingga diperlukan pembinaan mental prajurit seperti yang pernah diinginkan jendral Sudirman. Yunus Anis dinilai sebagai orang yang cakap karena kedalaman ilmu agama, pengalamannya berorganisasi dan kemampuannya berkomunikasi.
Ketiga, yang perlu diketahui oleh AKF, Yunus Anis adalah orang yang berperan besar dalam membentuk karakter Muhammadiyah. Rumusan Keperibadian Muhammadiyah sebagai salah satu identitas pokok organisasi yang didirikan KH. Ahmad Dahlan itu tidak lepas dari campur tangannya saat berada di puncak Muhammadiyah. Dalam periode itu dibentuk tim perumus yang diketuai oleh KH. Faqih Usman, dan diputuskan pada pada Muktamar ke-35 tahun 1962.
Singkatnya, sejak muncul di dunia ini pada 30 Mei 1903, Yunus Anis adalah orang yang “lurus-lurus” saja. Sejak kecil dia dididik agama oleh kedua orang tuanya dan datuknya sendiri, dan melanjutkan pendidikan formalnya di Sekolah Rakyat Muhammadiyah Yogyakarta , Sekolah Al-Atas, dan Sekolah Al-Irsyad Jakarta. Semasa hidup dia banyak terjun ke masyarakat untuk mengembangkan misi dakwah dan Muhammadiyah di berbagai daerah di Indonesia .
Tidak ada yang kontroversial dalam perjalanan hidup Yunus Anis sebagai warga Muhammadiyah, terkecuali dalam dunia politik praktis. Dia mengabulkan permintaan Jenderal AH. Nasution, agar bersedia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) yang sedang disusun oleh Presiden Soekarno pada 1959. Kesediaannya menjadi anggota DPRGR mengundang banyak kritikan dari para tokoh Muhammadiyah, karena Muhammadiyah saat itu tidak mendukung kebijakan Soekarno yang membubarkan Masyumi dan menyusun anggota parlemen secara otoriter.
Namun, kritik itu dijawab bahwa keterlibatannya dalam DPRGR bukanlah untuk kepentingan politik jangka pendek, tetapi untuk kepentingan jangka panjang, yaitu mewakili ummat Islam yang nyaris tidak terwakili dalam parlemen saat itu. Sebab, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah menimbulkan berbagai macam peristiwa politik yang tidak sehat, terutama dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dengan kata lain, orang Muhammadiyah 24 karat kok dituduh Ahmadiyah. Apa kata dunia?! Allah A'lam bi al-Shawab.

Diambil dari: http://muhkholidas.blogspot.com/2015/07/yunus-anis-dan-ahmadiyah.html