MATAN, Edisi 104, Maret 2015, hal: 56-57.
Oleh Ahmad Najib Burhani*
Oleh Ahmad Najib Burhani*
Jika menyebut kajian tentang Muhammadiyah, maka kita tak akan pernah bisa
melewatkan nama Mitsuo Nakamura, emeritus profesor dari Chiba University,
Jepang. Sejak mengambil program PhD di Cornell University, Amerika Serikat,
Nakamura mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk mengkaji Muhammadiyah. Memang
ada beberapa profesor lain yang cukup banyak menulis tentang gerakan modernis
ini, seperti James L. Peacock, Herman Beck, dan Hyun-Jun Kim. Namun saya kira
tidak ada peneliti asing lain yang memiliki kepedulian terhadap Muhammadiyah
melebihi yang dimiliki oleh Nakamura.
Meski usianya sudah lebih dari 80 tahun (lahir 19 Oktober 1933),
namun ia masih terus aktif menghadiri Muktamar Muhammadiyah yang
diselenggarakan setiap lima tahun. Untuk Muktamar ke-47 yang diselenggarakan di
Makasar bulan Agustus 2015 ini, Nakamura pun sudah mempersiapkan diri untuk
hadir bersama istrinya, Hisako Nakamura. Membutuhkan stamina yang luar biasa untuk
terbang lebih dari tujuh jam dari Tokyo ke Jakarta dan berlanjut ke Samarinda
untuk orang seusia Nakamura. Konsistensi, kegigihan, dan semangat seperti ini
yang patut di tiru oleh para peneliti Indonesia.
Seperti pernah diceritakan kepada penulis, sebagai spesialis
tentang Islam di Indonesia, Nakamura pernah merasa kesepian di lingkungan
akademisi di Jepang pada tahun 1980-an. Sedikit sekali orang yang memiliki
minat yang sama dengan dirinya. Tidak banyak dana penelitian diberikan untuk
kajian seperti yang ia lakukan. Kondisi seperti ini yang kadang membuat
beberapa akademisi kemudian beralih fokus kajian. Namun itu tidak terjadi pada
Nakamura, ia tetap konsisten dengan kajian yang dipilih. Karena itulah ia kini
menjadi orang yang selalu dirujuk ketika berbicara tentang Islam di Indonesia,
terutama Muhammadiyah.
Jika kita hendak pergi ke Jepang
untuk melihat kajian tentang Islam di Asia Tenggara, maka Nakamura adalah satu
pilar utamanya. Jika kita sudah diperkenalkan olehnya ke berbagai institusi di
Jepang, maka semuanya akan menjadi lancar. Ini yang dialami penulis ketika
mendapat tugas dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) untuk membangun
kerjasama dengan berbagai universitas di Jepang. Berkat bantuan Nakamura, tim
LIPI bisa melakukan pertemuan dan pembicaraan awal dengan Tokyo University,
Rikkyo University, Tokyo University of Foreign Studies, dan beberapa
universitas lain di Jepang.
Mengenai karya tulis, buku Nakamura tentang Muhammadiyah
yang paling terkenal dan paling sering menjadi referensi adalah disertasinya
yang berjudul The crescent arises over
the banyan tree: a study of the Muhammadijah movement in a Central Javanese
town. Disertasi setebal 366 halaman ini selesai ditulis dan diserahkan ke
Cornell University tahun 1976. Jika tahun penulisan disertasi itu dipakai
sebagai patokan dari masa Nakamura mulai mengkaji Muhammadiyah, maka hingga
tahun 2015 ini Nakamura sudah mencapai 40 tahunan menggeluti organisasi yang
didirikan KH Ahmad Dahlan tahun 1912 lalu ini.
Pada tahun 1983, disertasi ini kemudian diterbitkan menjadi
buku setebal sekitar 250 halaman oleh Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Edisi Bahasa Indonesia dari buku ini berjudul Bulan sabit muncul dari balik pohon beringin: Studi tentang pergerakan
Muhammadiyah di Kotagede, Yogyakarta dengan ketebalan sekitar 280 halaman. Edisi
ini diterjemahkan oleh Yusron Asrofie dan diterbitkan juga oleh Gadjah Mada
University Press tahun 1983.
Tahun 2012, versi yang diperpanjang dan diperbarui dari buku
tersebut diterbitkan ulang oleh Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS)
Singapura dengan judul The crescent arises
over the banyan tree: A study of the Muhammadiyah movement in a central
Javanese town, c.1910s-2010 (Second Enlarged Edition). Jika terbitan
sebelumnya hanya memotret secara antropologis kondisi Muhammadiyah di Kotagede
hingga tahun 1976, edisi terbitan Singapore ini menambah bahasan dari tahun
1976 hingga 2010. Nakamura memasukkan perkembangan Muhammadiyah selama 35 tahun
di Kotagede dan menjadikannya sebagai bagian kedua dari buku itu. Makanya, dari
segi ketebalan, edisi ini memiliki 429 halaman.
Selain magnum opus itu,
Nakamura juga menulis sejumlah artikel dan book
chapter (bab buku) tentang Muhammadiyah. Diantara tulisan itu ada yang
berkaitan dengan sufisme yang berjudul Sufi
elements in Muhammadiyah? Notes from field observation, ada yang berkaitan
dengan tokoh gerakan ini “Professor Haji [Abdul] Kahar Muzakkir and the
development of the reformist movement in Indonesia”, ada yang melakukan
perbandingan dengan Ghulent Movement dari Turki dengan judul “Rationality and enlightenment:
A comparison of educational reforms promoted by Gülen Movement and Muhammadiyah,”
dan seterusnya.
Sebetulnya karya Nakamura tentang Muhammadiyah tidaklah
terlalu banyak. Namun itu tak mengurangi kepakarannya tentang Islam di
Indonesia, khususnya tentang Muhammadiyah. Dan lagi, nilai seorang akademisi
itu memang tidak hanya diukur dari bertumpuk-tumpuknya karya tulis yang
dihasilkan. Seseorang bisa dianggap sebagai pakar jika karyanya, meski sedikit,
sering menjadi referensi atau rujukan bagi karya-karya yang lain. Istilahnya, karya
akan dinilai tinggi bila ia memiliki impact
factor yang tinggi. Ini biasanya dilihat dari berapa banyak karya itu
dikutip oleh orang lain. Intelektual semisal Talal Asad juga tak terlalu banyak
menulis buku. Namun buku-buku dan artikel yang ditulisnya selalu ditunggu,
menjadi referensi, dan inspirasi bagi akademisi lain. Marshall G. S. Hodgson, ahli Islam ternama dari Universitas Chicago,
adalah contoh lain akademisi yang tidak banyak melahirkan karya (karena
meninggal muda), namun pengaruh dari buku yang ditulis menyebar luas dan
bahkan masih dipakai hingga sekarang. Demikian pula halnya
dengan karya-karya Nakamura.
Satu hal lagi, karya seorang akademisi juga tidak semata
dilihat dari karya tulisnya, tapi juga seberapa banyak atau seberapa berhasil
murid-murid yang dibimbingnya. Mungkin saja seorang profesor hanya menulis buku
secukupnya, namun mahasiswa bimbingannya merasa betul-betul dididik olehnya dan
banyak muridnya yang berhutang budi akademik kepadanya. William Liddle,
misalnya, dikenal sebagai profesor yang memiliki banyak murid dan orang yang
bertangan dingin dalam membimbing murid-muridnya. Ini tentu berbeda dari
Clifford Geertz yang memiliki banyak karya berpengaruh namun memiliki sedikit
murid. Nah,dalam konteks murid ini, Nakamura juga tak banyak memiliki murid.
Ada beberapa muridnya yang menjadi spesialis Indonesia, seperti Aoki Takenobu.
Namun dari Indonesia, Nakamura hampir tak memiliki penerus kecuali penulis artikel
ini sendiri (jika bisa disebut sebagai murid).
Pertemuan pertama penulis dengan Nakamura terjadi pada acara
World Peace Forum (WPF) di Jakarta tahun 2005. Ketika itu hanya terjadi sekilas
pembicaraan tentang bukunya The crescent arises
over the banyan tree. Pertemuan dan komunikasi yang cukup intensif terjadi
enam tahun setelah itu, yaitu Oktober 2011, ketika Nakamura mengajak penulis
untuk membantunya menyelenggarakan IRCM (International Research Conference on
Muhammadiyah). Sejak itulah komunikasi dan pertemuan cukup sering terjadi.
Ratusan korespondensi melalui email untuk membicarakan berbagai hal tentang
Muhammadiyah terjadi. Pertemuan pun sering dilakukan, baik di Jepang, Jakarta,
Malang, dan Yogyakarta. Bahkan beberapa kali penulis pergi bersama Nakamura,
termasuk mengunjungi makan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Jombang, Jawa
Timur) pada Desember 2012.
Memang, hubungan penulis dengan Nakamura tidak dalam bentuk
hubungan mahasiswa S3 yang sedang menulis disertasi dengan pembimbingnya. Namun
hubungan yang selama ini terjadi tidak kalah dengan hubungan dalam konteks
akademik mahasiswa doktoral dengan profesornya. Banyak ilmu dan kebijakan yang
penulis ambil dari Nakamura selama menjadi “cantrik”-nya. Misalnya, ketika menghadapi
orang yang ditunggu-tunggu emailnya namun ia terlalu lambat dalam merespon,
Nakamura tidak marah kepadanya. Ia mengawali email dengan mengatakan, “Saya
yakin no news is a good news”.
Kedekatan penulis dengan Nakamura ini barangkali yang membuat
Nakamura berkirim email ke penulis ketika dia mengalami krisis kesehatan dan merasa
ajalnya sudah begitu dekat. Ini terjadi pada Juli 2013 lalu. Dia mengatakan,
“my health problem has turned out to be rather serious – ‘kapan saja akan
dipanggil’. Ketika itu dia menderita kanker prostat dan tidak mungkin dilakukan
operasi karena umurnya sudah 80 tahun dan tidak memungkinkan pula melakukan
terapi radiasi karena efek sampingnya. Itulah yang menyebabkannya berpikir
bahwa umurnya tinggal beberapa bulan lagi. “Semoga masih diberikan waktu buat
saya [bukan] dalam tahunan melainkan dari bulanan”, begitu Nakamura menulis
surat pada 1 Juli 2013. Namun berkat kemajuan teknologi kedokteran di Jepang,
penyakit Nakamura bisa disembuhkan dengan terapi hormone. Setelah melewati masa
kritis itu, kini Nakamura bisa melanjutkan aktivitas akademiknya lagi dan akan
kembali menjadi saksi untuk Muktamar Muhammadiyah tahun ini.
-oo0oo-
*Peneliti LIPI dan
pengelola blog www.muhammadiyahstudies.blogspot.com
No comments:
Post a Comment