Media Indonesia, Kamis, 22 Januari 2015
Humaniora
Senja di akhir pekan itu, wajah Syafii Maarif tampak segar.
Dengan berkemeja putih dan celana hitam, ia berkisah tentang
aktivitasnya.Membaca, menulis, dan berbicara tentang pemikirannya,
tentang masalah bangsa menjadi warna utama hari-harinya.
Menjelang usia delapan dekade pada Mei mendatang, sebutan Buya kian melekat disematkan di muka namanya. Dua makna terkandung pada gelar yang berasal dari kultur Minang, yang juga memang mengalir di darah Syafii. Pertama, bapak dan kedua, ulama.
Namun, untuk sosok Syafii, buya dipastikan ialah panggilan hormat baginya sebagai bapak bangsa. Ketika putra-putrinya risau, bahkan marah, bapak akan menghibur dan bersedia berembuk untuk mencari solusi. Begitu pula ketika anaknya keliru, maka seorang Buya akan mengingatkan, menegur, mengoreksi, bahkan memarahi.
Kata-kata penghiburan, kalimatkalimat mengkritik, bahkan nadanada keras itu diucapkan Syafii dan disiarkan media yang setia datang padanya untuk mengonfirmasi berbagai masalah bangsa. Pun, lewat aneka seminar dan perhelatan yang digelar di berbagai penjuru negeri.
"Kegiatan saya masih sama, membaca, menulis, seminar, dan simposium. Enggak pernah nganggur pokoknya," terang Buya Syafii ketika menerima Media Indonesia di kediamannya, di Perumahan Nogotirto, Gamping, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Minggu (11/1).
Pilih yang muda
Namun, saat namanya sempat disebut-sebut ketika Presiden menggodok nama anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Buya Syafii tegas menolak. Ia bilang telah terlalu sepuh dan menyarankan Presiden memilih kandidat yang lebih muda.
Tak perlu dikait-kaitkan dengan intrik politik. Sikap itu mengukuhkan kembali sikapnya sebagai bapak yang bijak, tetap setia mem bimbing, dan tak lantas rakus dengan kekuasaan.
Ia mengaku memilih untuk terus mempertajam pemikirannya dengan membaca buku dan menulis, dua agenda rutin hariannya. Tidak ada alokasi waktu khusus untuk kedua kegiatan itu, tetapi nyaris seluruh harinya habis di perpustakaan yang juga ruang kerja di rumah.
Buya Syafii mengaku masih mampu membaca atau menulis tanpa jeda di depan laptop hingga tiga jam. "Kalau sudah lelah betul, tidak tahu lagi maksud kalimat yang dibaca, ya saya istirahat," cerita dia.
Namun, diakuinya sering kali terlalu asyik membaca artikel sampai lupa waktu, hingga lebih dari empat jam. Jika waktu itu terlampaui, lelahnya baru sangat terasa ketika ia rihat.
"Tidak hanya mata, tetapi badan juga rasanya lelah. Saya lalu istirahat, bisa berbaring sebentar, atau jalan-jalan di sekitar rumah menikmati berbagai jenis tanaman yang dirawat dan dipelihara istri," kata Buya Syafii.
Menerima kondisi tubuh
Bagian dari upaya untuk terus bugar, kata Buya Syafii, justru didapatnya dari penerimaan atas kondisi tubuhnya yang terus berubah sesuai pertambahan usia. Kini, ia mengaku tak memaksa raganya untuk bekerja keras hingga terlalu malam.
"Jika beberapa tahun lalu masih dapat bekerja hingga pukul 21.00 malam, sekarang pukul 20.00 atau 21.00 malam saya sudah tidur. Saya sekarang cepat tidur kalau sudah lelah," kata Buya Syafii.
Dengan adaptasi itu, tak berarti Buya Syafii mundur dari gelanggang pemikiran.
Pensiun sebagai dosen di Universitas Negeri Yogyakarta pada 2005 dan tidak lagi menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah pada tahun yang sama, Syafii mengaku punya energi dan waktu lebih untuk berkiprah. "Sekarang, lebih banyak yang bisa dilakukan.Kegiatan-kegiatan saat ini telah banyak menyita waktu, membuat saya tidak pernah menganggur."
"Saya memang sudah waktunya berhenti mengajar di kampus karena pikiran saya sudah tidak fokus lagi untuk mengajar. Selain itu, saya sudah terlalu lama mengajar. Tahun 2005 itu waktu yang tepat untuk berhenti," kata Syafii.
Upaya memahami kondisi fisik dan psikis tubuh dipadu tekad untuk terus bermakna buat sekitarnya, membuat Buya Syafii selamat dari kondisi post power syndrome yang kerap menimpa mereka yang pernah berada di puncak karier.
"Bagi saya, pensiun atau tidak pensiun sama saja," kata Buya Syafii. Kondisi raga dan pemikiran memang tak perlu senantiasa sinkron. Ide-ide besar Buya Syafii tetap dinanti pada dekade kedelapan perjalanannya. (M-1)
Menjelang usia delapan dekade pada Mei mendatang, sebutan Buya kian melekat disematkan di muka namanya. Dua makna terkandung pada gelar yang berasal dari kultur Minang, yang juga memang mengalir di darah Syafii. Pertama, bapak dan kedua, ulama.
Namun, untuk sosok Syafii, buya dipastikan ialah panggilan hormat baginya sebagai bapak bangsa. Ketika putra-putrinya risau, bahkan marah, bapak akan menghibur dan bersedia berembuk untuk mencari solusi. Begitu pula ketika anaknya keliru, maka seorang Buya akan mengingatkan, menegur, mengoreksi, bahkan memarahi.
Kata-kata penghiburan, kalimatkalimat mengkritik, bahkan nadanada keras itu diucapkan Syafii dan disiarkan media yang setia datang padanya untuk mengonfirmasi berbagai masalah bangsa. Pun, lewat aneka seminar dan perhelatan yang digelar di berbagai penjuru negeri.
"Kegiatan saya masih sama, membaca, menulis, seminar, dan simposium. Enggak pernah nganggur pokoknya," terang Buya Syafii ketika menerima Media Indonesia di kediamannya, di Perumahan Nogotirto, Gamping, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Minggu (11/1).
Pilih yang muda
Namun, saat namanya sempat disebut-sebut ketika Presiden menggodok nama anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Buya Syafii tegas menolak. Ia bilang telah terlalu sepuh dan menyarankan Presiden memilih kandidat yang lebih muda.
Tak perlu dikait-kaitkan dengan intrik politik. Sikap itu mengukuhkan kembali sikapnya sebagai bapak yang bijak, tetap setia mem bimbing, dan tak lantas rakus dengan kekuasaan.
Ia mengaku memilih untuk terus mempertajam pemikirannya dengan membaca buku dan menulis, dua agenda rutin hariannya. Tidak ada alokasi waktu khusus untuk kedua kegiatan itu, tetapi nyaris seluruh harinya habis di perpustakaan yang juga ruang kerja di rumah.
Buya Syafii mengaku masih mampu membaca atau menulis tanpa jeda di depan laptop hingga tiga jam. "Kalau sudah lelah betul, tidak tahu lagi maksud kalimat yang dibaca, ya saya istirahat," cerita dia.
Namun, diakuinya sering kali terlalu asyik membaca artikel sampai lupa waktu, hingga lebih dari empat jam. Jika waktu itu terlampaui, lelahnya baru sangat terasa ketika ia rihat.
"Tidak hanya mata, tetapi badan juga rasanya lelah. Saya lalu istirahat, bisa berbaring sebentar, atau jalan-jalan di sekitar rumah menikmati berbagai jenis tanaman yang dirawat dan dipelihara istri," kata Buya Syafii.
Menerima kondisi tubuh
Bagian dari upaya untuk terus bugar, kata Buya Syafii, justru didapatnya dari penerimaan atas kondisi tubuhnya yang terus berubah sesuai pertambahan usia. Kini, ia mengaku tak memaksa raganya untuk bekerja keras hingga terlalu malam.
"Jika beberapa tahun lalu masih dapat bekerja hingga pukul 21.00 malam, sekarang pukul 20.00 atau 21.00 malam saya sudah tidur. Saya sekarang cepat tidur kalau sudah lelah," kata Buya Syafii.
Dengan adaptasi itu, tak berarti Buya Syafii mundur dari gelanggang pemikiran.
Pensiun sebagai dosen di Universitas Negeri Yogyakarta pada 2005 dan tidak lagi menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah pada tahun yang sama, Syafii mengaku punya energi dan waktu lebih untuk berkiprah. "Sekarang, lebih banyak yang bisa dilakukan.Kegiatan-kegiatan saat ini telah banyak menyita waktu, membuat saya tidak pernah menganggur."
"Saya memang sudah waktunya berhenti mengajar di kampus karena pikiran saya sudah tidak fokus lagi untuk mengajar. Selain itu, saya sudah terlalu lama mengajar. Tahun 2005 itu waktu yang tepat untuk berhenti," kata Syafii.
Upaya memahami kondisi fisik dan psikis tubuh dipadu tekad untuk terus bermakna buat sekitarnya, membuat Buya Syafii selamat dari kondisi post power syndrome yang kerap menimpa mereka yang pernah berada di puncak karier.
"Bagi saya, pensiun atau tidak pensiun sama saja," kata Buya Syafii. Kondisi raga dan pemikiran memang tak perlu senantiasa sinkron. Ide-ide besar Buya Syafii tetap dinanti pada dekade kedelapan perjalanannya. (M-1)
http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/7497/AHMAD-SYAFII-MAARIF-Guru-Bangsa-di-Antara-Teks-dan-Ide/2015/01/22
No comments:
Post a Comment