Monday, May 11, 2020

Islam Berkemajuan, Apa Itu?

Islam Berkemajuan, Apa Itu? (I)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Sudah berjalan selama tujuh tahun tema “Islam Berkemajuan” yang diusung pertama kali dalam Muktamar Muhammadiyah ke-46 tahun 2010 di Yogyakarta. Sejak itu ungkapan ini telah menjadi wacana publik. Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-47 tahun 2015 di Makassar, tema ini dikuatkan lagi oleh penegasaan jati diri Muhammadiyah dalam ungkapan “Gerakan Pencerahan” (al-harakah al-tanwîriyah).
Kedua tema yang memuat pemikiran besar itu telah diulas oleh beberapa penulis dan intelektual muda Muhammadiyah dalam buku: Alpha Amirrachaman, Azaki Khoirudin dkk (ed.), Islam Berkemajuan untuk Peradaban Dunia, Refleksi dan Agenda Muhammadiyah ke Depan. Bandung: Mizan, 2015, tebal 348 halaman. Karya lain yang masih terkait dieditori oleh Hajriyanto Y. Thohari, Ahmad Fuad Fanani, Andar Nubowo, dan Muhd. Abdullah Darraz, Becoming Muhammadiyah: Autobiografi Gerakan Islam Berkemajuan. Bandung: P.T. Mizan Pustaka, 2016, setebal 324 halaman. Di bagian akhir saya akan membuka wacana baru yang belum tersentuh oleh pemikiran anak muda yang kreatif ini.
Pemikiran reflektif kaum muda Muhammadiyah ini perlu dibaca dan dicermati oleh warga Persyarikatan, termasuk oleh generasi yang lebih tua gerakan Islam ini dari tingkat pusat sampai ke tingkat ranting. Kebiasaan membaca ini dalam pantauan saya belum intensif dan sungguh-sungguh jadi budaya dalam Muhammadiyah. Tanpa penggalakan budaya baca ini, maka slogan “Islam Berkemajuan” hanya akan beredar di lapisan elite, tidak menyentuh akar rumput. Aktivisme mesti diimbangi oleh kegiatan literasi. Minimal, warga Persyarikatan mau dan gemar membaca Suara Muhammadiyah, sebuah majalah tertua di Indonesia yang usianya sudah melampaui satu abad. Untuk bacaan yang lebih mendalam dan luas, sumber-sumber intelektual kontemporer Islam harus dijadikan pertimbangan dalam memperkaya cara kita berfikir. 
Salah satu akibat dari malas membaca adalah terputusnya rantai komunikasi antara elite (–belum tentu semua juga gemar membaca–) dan warga pada umumnya. Situasi ini akan sangat merugikan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern. Komunikasi yang terputus ini rentan untuk memicu sikap salah faham yang tidak perlu. Oleh sebab itu, jika ada perbedaan penafsiran dalam membaca Islam sebagai agama atau Islam sebagai fenomena sosiologis, pintu dialog harus dibuka selebar-lebarnya tanpa prasangka. Melalui dialog yang cerdas dan konstruktif ini, wacana “Islam Berkemajuan” akan menjadi sangat kaya dan saling mengisi dengan al-Qur’an sebagai rujukan tertinggi.
DR. Haedar Nashir, Ketum PP Muhammadiyah (2015-2020) dalam  Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010) mengaitkan konsep “Islam Berkemajuan” itu dengan agenda pembaruan pemikiran: “Agenda pembaruan pemikiran…bukanlah barang mewah bagi Muhammadiyah karena sejak awal telah memelopori pembaruan, lebih jauh lagi karena tantangan zaman memang menghendaki pembaruan sebagai sebuah keniscayaan manakala tidak ingin terperangkap pada kejumudan.” (Hlm. 416). Bolehjadi istilah berkemajuan dalam kemasan baru sekarang ini disemangati oleh diktum dalam AD (Anggaran Dasar) Muhammadiyah 1912, artikel 2 ayat b yang berbunyi: memajukan hal Igama kepada anggauta-anggautanya.”
Dalam konteks suasana zaman, konsep “memajukan” sungguh terasa revolusioner di tengah himpitan konservatisme Islam yang mematikan otak dan hati saat itu. AD 1912 sungguh pun sederhana yang hanya terdiri atas 12 artikel, tetapi telah memuat gagasan-gagasan maju yang mendahului zamannya, padahal Ahmad Dahlan tidak pernah mendapat pendidikan Barat. Besar kemungkinan gagasan baru itu adalah hasil dari interaksinya dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang umumnya berpendidikan modern. Lebih jauh Haedar menulis: “Dalam matarantai pembaruan pemikiran yang diperlukan itu Muhammadiyah dituntut untuk mengembangkan perangkat-perangkat pemikiran Islam yang bersifat fundamental seperti pengembangan tafsir Al-Qur’an dan perumusan Al-Islam yang komprehensif sebagai langkah awal menuju pengayaan pembaruannya dalam bidang pemikiran Islam.” (Hlm. 417).
Pada saatnya dalam seri artikel ini saya akan memberikan pandangan tersendiri tentang muatan “perangkat-perangkat pemikiran Islam yang bersifat fundamental” itu untuk  didiskusikan lebih dalam dan tenang dalam suasana akademis yang terbuka dan jujur. Kelahiran Muhammadiyah yang fenomenal di lingkungan kultur Jawa yang pekat belum sepenuhnya dapat saya fahami yang kali ini hanya disinggung selintas saja pada bagian II artikel ini. Bersambung.
(Tulisan pernah dimuat pada Majalah Suara Muhammadiyah 01/103, Januari 2018)
 Islam Berkemajuan, Apa Itu? (II)
Sekalipun semuanya itu telah menjadi realitas zaman yang berlangsung secara dinamis sampai hari ini, munculnya Muhammadiyah di sekitar Kraton Kesultanan Yogyakarta bagi saya masih mengundang tanda tanya: mengapa gerakan Islam tipe ini bisa tumbuh di sana. Bukankah lingkungan Kraton itu sendiri nyaris sepi dari pengaruh Islam berkemajuan? Bung Ahmad Najib Burhani memang telah menjelaskan masalah ini dalam Islam Jawa (Jakarta: Al-Wasat, 2010, tebal 173 halaman), pertanyaan saya rasanya belum terjawab sepenuhnya oleh buku bagus ini.
Artikel ini tidak akan membicarakan hubungan Muhammadiyah dengan kultur Jawa, tetapi akan mencoba memberi tafsiran atas hakekat Islam berkemajuan itu yang dikaitkan dengan fakta kemunduran dramatis peradaban Muslim Arab yang sudah berlangsung selama puluhan abad. Bahwa Islam tidak mungkin dilepaskan dari persoalan yang serba Arab (‘urûbah/arabisme), tak seorang pun yang bisa menyangkalnya. Tetapi apakah semua unsur arabisme itu adalah perwujudan Islam yang yang benar? Apakah tidak perlu dikoreksi bahwa ada bagian-bagian penting dari arabisme itu yang telah menghancurkan Islam dari dalam yang seluruhnya menyimpang dari al-Qur’an? Gagasan Islam Berkemajuan tanpa membicarakan arabisme ini akan kehilangan jejak sejarah, dan kita hanya akan berputar pada lingkaran setan yang tunaarah.
Arabisme juga menyangkut karakter, adat kebiasaan, kultur, cita-cita, dan tujuan-tujuan politik manusia Arab. Nabi Muhammad s.a.w. dengan bimbingan wahyu  telah berhasil mengislamkan unsur arabisme yang buruk dan destruktif itu sampai batas-batas yang jauh. Persaudaraan yang semula berdasarkan kesukuan (tribalisme) dan perkerabatan diganti dengan persaudaraan berdasarkan iman yang nilainya universal. Arabisme yang sarat dengan sifat kemegahan duniawi dengan kecenderungan menumpuk kekuasaan dan kekayaan sebanyak-banyaknya, dikoreksi al-Qur’an bahwa harta itu tidak akan membuat pemiliknya kekal di muka bumi. Dalam al-Qur’an surat al-Humazah ayat 2-3 digambarkan sifat rakus harta itu dengan: “alladzî jama’a mâlan wa ‘addadah; yahsabu anna mâlahu akhladah” (yang mengumpulkan harta dan selalu menghitung-hitungnya; dia mengira bahwa hartanya akan membuat dia kekal selama-lamanya).
Sebagian besar elite oligarkis Arab Quraisy pada mulanya adalah penentang gerakan Muhammad yang paling bengis dan brutal. Kesaksian sejarah pada periode Mekah (610-622) adalah bukti autentik tentang perlawanan mereka yang sengit itu. Barulah di ujung periode Madinah (622-632) mereka takluk karena kekuatan Islam tidak bisa dilawan lagi. Di antara elite Quraisy itu adalah puak Bani Umayyah yang hanya segelintir saja di antara mereka yang mau beriman kepada Muhammad. Salah satunya adalah ‘Ustmân bin ‘Affân yang kemudian menduduki posisi sebagai khalifah ke-3 sesudah Abû Bakr dan ‘Umar bin Khattâb.
Di masa ‘Ustmân (644-656) ini arabisme destruktif mulai tidak terkendali yang kemudian membawa kematiannya melalui pembunuhan yang dilakukan oleh sekelompok Arab Muslim yang tidak puas. Naiknya ‘Alî bin Abî Thâlib (656-661) yang idealis sebagai khalifah ke-4, komunitas Muslim Arab sudah terbelah. Nasibnya yang tragis karena dibunuh oleh mantan pengikutnya telah memberi peluang bebas kepada gubernur Suriah di Damaskus Mu’âwiyah bin Abî Sufyân dari Bani Umayyah memenuhi ambisinya untuk berkuasa yang sebelumnya didahului oleh perang saudara di Shiffîn (657). Perang ini adalah perang saudara kedua antara pasukan khalifah ‘Alî dan pasukan Mu’âwiyah. Sekiranya ‘Alî tidak terbunuh bolehjadi jalan sejarah Muslim akan berbeda. Tetapi harus dicatat seorang ‘Alî yang pintar dan lurus sering dilemahkan oleh wataknya yang kaku tanpa kenal kompromi.
Sebelum Perang Shiffîn pasukan ‘Alî pada 656 juga harus terlibat dalam pertempuran dalam Perang Onta selama empat jam yang melibatkan Țhalhah bin ‘Abdullah, al-Zubair bin al-‘Awwâm, bahkan ‘Aisyah binti Abû Bakr, janda nabi, juga terseret dalam konflik sesama Muslim ini. Dua tragedi ini tidak bisa dibaca sambil lalu, sebab menyangkut para kader nabi yang dampaknya masih dirasakan sampai hari ini. Bagi saya noda sejarah ini tidak perlu ditutupi. Ini adalah salah satu bentuk misguided arabism (arabisme yang keluar dari petunjuk agama). Di masa modern adalah Prof. Mahmoud M. Ayoub dalam The Crisis of Muslim History: Religion and Politics in Early Islam (Oxford-England: Oneworld Publications, 2009) yang berani secara jujur mengungkap konflik elite Arab masa awal ini yang dampaknya masih berlangsung sampai hari ini. Sumber-sumber yang dipakai hampir seluruhnya berasal dari para penulis Arab Muslim, seperti al-Thabarî, al-Suyûthî, al-Mas’ûdî, dan sederet nama besar lainnya. Kritik saya terhadap buku Prof. Ayoub ini mengapa karya besar Ibn Khaldun al-Muqaddimah tidak dipakai sebagai salah satu rujukan, padahal dalam karya ini Ibn Khaldun banyak sekali melihat kelemahan penulisan sejarah oleh sejarawan-sejarawan Arab Muslim itu. Bersambung.
(Tulisan pernah dimuat pada Majalah Suara Muhammadiyah 02/103, Januari 2018)
Islam Berkemajuan, Apa Itu? (III)
Coba kita telusuri bagian mana saja dari arabisme itu yang berada dalam kategori positif dan konstruktif dan bagian mana pula yang negatif dan destruktif dengan menempatkannya dalam parameter al-Qur’an dan ajaran kenabian. Melalui cara ini diharapkan konsep “Islam Berkemajuan” itu akan mampu memilah secara kritikal bagian-bagian arabisme yang perlu dikembangkan dan dan bagian-bagian mana pula yang mesti ditolak dan dimasukkan ke dalam museum sejarah. Langkah ini sesungguhnya sudah harus dilakukan sejak abad-abad awal sejarah Muslim, tetapi semuanya tidak terjadi karena arabisme dalam dalam dua kategori itu menyatu dengan proses ekspansi imperium Arab Muslim yang fenomenal yang berlangsung selama lima abad, dari abad ke-8 sampai sekitar abad ke-12, baik di kawasan bagian timur (berpusat Damaskus dan Baghdad) maupun di kawasan bagian barat (berpusat di Andalusia).
Dalam perspektif perkembangan peradaban, apa yang ditorehkan oleh Arab Muslim  di wilayah bagian timur, diawali oleh imperium Umayyah (661-749) yang kemudian diteruskan lebih hebat oleh imperium ‘Abbasiyah (749-1258) memang luar biasa. Ilmu pengetahuan, teologi, hukum, filsafat, seni, teknologi, dan sufisme berjalan beringan, sehingga era itu dengan bangga disebut sebagai “abad-abad emas Islam.” Fenomena serupa juga berlangsung di wilayah bagian Barat: Andalusia di bawah imperium Umayyah (musuh ‘Abbasiyah yang terusir) selama lebih kurang tujuh abad untuk kemudian hancur berantakan. Seorang Iqbal pun meratapi kejatuhan peradaban Arab Muslim ini dalam puisi-puisinya, tetapi sepanjang bacaan saya, pemikir dan penyair besar ini tidak membedah lebih dalam sisi destruktif dari imperium di atas.
Pertanyaan saya adalah: apakah bangunan imperium yang dibalut agama ini punya perbedaan fundamental dengan imperium-imperium lain di dunia yang tidak pakai agama? Untuk kasus Umayyah dan ‘Abbasiyah, mana yang lebih dominan: cita-cita moral al-Qur’an tentang kehidupan kolektif atau arabisme yang bersumber dari warisan pra-Islam? Permusuhan sengit dan berdarah-darah antara sesama penguasa Arab Muslim bagi saya adalah bagian dari “misguided arabism” itu yang seharusnya ditolak, tapi ironisnya malah dipelihara sampai sekarang atas nama agama. Ini adalah sebuah kesalahan fatal yang wajib dikoreksi secara jujur dan benar dalam upaya memberi bingkai baru yang segar kepada “Islam Berkemajuan” itu. Tanpa melalui pendekatan sejarah kritikal, maka ungkapan “perangkat-perangkat pemikiran Islam yang fundamental” tidak akan terungkap dengan terang benderang, tidak jelas mana arabisme yang positif dan mana pula arabisme yang salah jalan.
Begitu juga sikap serupa harus ditunjukkan dalam menilai imperium-imperium Muslim mana pun, seperti Turki Usmani, Safawi, dan puluhan rezim alit Muslim lainnya yang pernah dicatat sejarah, termasuk kerajaan-kerajaan Muslim di Nusantara yang dipengaruhi oleh pola arabisme, baik yang positif maupun yang destruktif. Sistem politik dinastik/kerajaan yang diarsiteki Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah pengkhianatan terbuka terhadap prinsip egalitarian dalam Islam. Ini adalah bagian dari arabisme yang buruk dan destruktif. Tetapi semangat para ilmuwan Muslim kelasik untuk mencari kearifan dari berbagai sumber dengan sikap terbuka termasuk arabisme yang positif yang layak diteruskan.
Dalam al-Muqaddimah Ibn Khaldun menyimpulkan bahwa tiga dosa sejarah berupa kemewahan, kesombongan, dan kerakusan (“tiga k”) yang menyatu dengan sistem kekuasaan Muslim, baik dalam skala imperium maupun yang diidap oleh kerajaan-kerajaan kecil yang saling bertikai dan berperang adalah penyebab utama dari kehancuran sistem kekuasan Muslim itu. Bagi saya “tiga k” ini tidak lain dari unsur arabisme yang lepas dari kawalan agama. Dalam ungkapan lain, “tiga k” ini adalah warisan kultur pra-Islam yang kemudian kambuh kembali di era Islam. Tragedi demi tragedi yang kini menimpa bangsa-bangsa Arab kontemporer ternyata punya akar sejarah puluhan abad yang silam. Ajaibnya, sebagian Muslim non-Arab juga turut terlibat dalam tragedi sejarah ini karena buta sejarah: tidak bisa membedakan mana Islam dan mana arabisme yang destruktif.
Akhirnya, para pendukung konsep “Islam Berkemajuan” harus piawai dan cerdas dalam menentukan antara realitas Islam sebagai agama yang mencerminkan cita-cita al-Qur’an dan mana pula arabisme yang negatif dan merusak. Dengan sikap ini terbukalah pintu yang sangat lebar untuk kembali merumuskan sebuah pemikiran Islam yang fundamental dalam upaya mewujudkan wajah komunitas-komunitas Muslim yang ramah, berwibawa, bermartabat, adil, dan dapat dicontoh pihak lain. Sinyal inilah barangkali yang disiratkan dalam konsep “ummatan wasathan” (komunitas tengah) sebagaimana tersebut dalam s. al-Baqarah: 143. Allâhu a’lam!
(Tulisan pernah dimuat pada Majalah Suara Muhammadiyah 03/103, Februari 2018)


Saturday, May 2, 2020

Suara Muhammadiyah awal ditulis beraksara Jawa, berbahasa Jawa kromo alus


Suara Muhammadiyah awal ditulis beraksara Jawa, berbahasa Jawa kromo alus. Mengapa ditulis dalam aksara Jawa? Spekulasinya distribusi SM masih terbatas pada lingkup Jawa elit karaton.

Lima tahun kemudian, SM mulai menggunakan aksara latin berbahasa Jawa. Seiring luasnya jejaring, SM mulai memakai aksara Latin berbahasa Melayu pada tahun 1923.

Mengapa SM lahir? Belum ada jawaban pasti. Alfian (2010) meletakkan SM dalam konstelasi terbitan berkala gerakan modernis sebelumnya. Ada al-Imam (1906-1908), ada al-Munir (1910-1916). Yang pertama terbit di Singapura, yang kedua lahir di Padang. Kedua terbitan berkala ini, dan tidak menutup kemungkinan SM, dipengaruhi oleh kehadiran al-Manar (mulai terbit 1898) milik Rashid Rida.

https://islamsantun.org/bantah-kekalih-tanya-jawab-dalam-suara-muhammadiyah/?fbclid=IwAR3AyaWrRSSSKcCDCgFw9pFVP1XyNkIcG-SxGHVyF_UX_x4ivhsl-PeNRKc

Saturday, April 4, 2020

Hari Libur Agama di Tahun Wabah: Pelajaran dari Persyarikatan Muhammadiyah



01 April 2020 07:50

Oleh: Mark Woodward (Associate Professor of Religious Studies and is also affiliated with the Center for the Study of Religion and Conflict at Arizona State University)

Selalu ada tanggapan keagamaan dalam menghadapi wabah pandemi. Hal tersebut dapat ditemukan di dalam Al-Qur’an, Alkitab dan banyak kitab suci agama lainnya. Ketika dihadapkan dengan bahaya besar, orang-orang mau tidak mau berpaling pada agama dan para pemimpin agama untuk meminta petunjuk.

Anggapan ini sama benarnya ketika sekarang dunia sedang dihadapkan dengan pandemi virus Corona sebagaimana berabad yang lampau ketika pandemi yang lebih mematikan seperti Black Death menyebar di seluruh Asia dan Eropa.

Umat manusia telah memiliki perangkat berbasis sains yang jauh lebih efektif dibandingkan seabad yang lampau. Namun, tanggapan keagamaan tetap dapat dijadikan senjata dalam perang suci melawan musuh berbentuk mikroba. Beberapa tanggapan keagamaan ini terbukti bermanfaat—sementara yang lainnya bahkan lebih buruk dari sekadar kontra produktif.

Beberapa dari kelompok Kristen dan muslim, termasuk beberapa gereja agung Evangelis Amerika dan kelompok revivalis muslim Jamaah Tablig tetap menggelar kegiatan berjamaah dan mengklaim bahwa Tuhan akan menyelamatkan orang beriman.

Hal ini tentu tidak masuk akal. Banyak orang yang sakit dan beberapa di antaranya meninggal oleh mereka. Pihak berwenang tidak memiliki banyak pilihan selain mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya peristiwa infeksi massal seperti ini.

Di Florida, seorang pastor gereja agung telah ditahan karena menggelar pelayanan doa bersama yang menyimpang dari perintah karantina. Di Indonesia, pemerintah membatalkan sebuah acara perkumpulan Jama’ah Tablig internasional setelah lebih dari 500 orang terinfeksi pada sebuah acara yang sama di Malaysia.

Akan tetapi ada tanggapan keagamaan lainnya yang sangat masuk akal. Ini termasuk memberikan bimbingan kepada masyarakat mengenai cara-cara menuntaskan kewajiban agama mereka sembari melindungi diri mereka dan masyarakat dari penularan di saat yang sama.

Bimbingan keagamaan ini sangatlah penting saat-saat ini karena (perayaan agama) bagi kedua agama ini semakin dekat, yakni Pekan Suci bagi umat Kristen untuk memperingati penyaliban dan kebangkitan Kristus dan bulan Ramadan bagi umat Islam untuk berpuasa di siang hari, berkumpul untuk salat (tarawih) dan merayakan (salat) Hari Raya. Gereja-gereja dan masjid-masjid biasanya terisi penuh pada saat-saat seperti ini.

Jika bukan tidak mungkin, bagi dua umat tersebut perayaan keagamaan pada momen seperti itu akan membuat jarak sosial yang saat ini menjadi senjata paling efektif yang dapat kita andalkan untuk melawan virus menjadi sulit dilakukan.

Banyak orang khawatir bahwa mereka akan berdosa dan mendapatkan hukuman dari Tuhan jika tidak memenuhi kewajiban agamanya. Selain itu ada banyak juga acara selain keagamaan seperti pawai, pesta, perkumpulan keluarga dan lainnya yang orang-orang enggan membatalkannya.

Pada momen seperti ini petuah agama dapat diandalkan untuk menyuarakan kebijakan kesehatan masyarakat dan pengamalannya. Pada waktu yang sama, umat agama lain pun dapat belajar dari hikmah dan pengamalan umat selainnya.

Saya memposting artikel ini untuk menjelaskan bagaimana sebuah organisasi di Indonesia bernama Muhammadiyah dalam menanggapi tantangan (pandemi) bagi Anda yang dapat membaca sikap dan sifat orang Indonesia. Bagi yang tidak bisa, saya telah merangkum poin-poin utamanya.

Pertama, beberapa latar belakang. Muhammadiyah adalah salah satu dari dua organisasi Islam terbesar di Indonesia—sebuah negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Muhammadiyah memiliki sekira 30 juta pengikut di sebuah negara dengan total populasi sekira 260 juta jiwa. Untuk menempatkan angka-angka ini dalam sudut pandang tersebut, ada sekira 50 juta pengikut Gereja Baptis di Amerika, sebuah negara yang total populasinya sekira 330 juta jiwa. Virus Corona menyebar secara cepat di kedua negara yang membutuhkan tindakan segera untuk mengendalikannya.

Tipe Muhammadiyah adalah jenis aliran yang bagi sebagian orang Amerika disebut sebagai jenis fundamentalis Islam ‘lunak’. Muhammadiyah mengajarkan bahwa sumber otoritatif agama Islam hanyalah AlQuran dan Hadis Nabi. Ajaran ini sangat mirip dengan doktrin Gereja Lutheran tentang Sola Scriptura (hanya kitab suci) yang merupakan salah satu prinsip dasar bagi Protestan Amerika.

Tidak seperti beberapa organisasi fundamentalis Islam dan Protestan lainnya, fundamentalisme Muhammadiyah ‘lunak’ karena sangat mendukung sains dan berbagai pendekatan rasional sebagai langkah menuju pemecahan masalah.

Dalam hal ini, teologi Muhammadiyah mirip dengan teolog Protestan Jerman abad ke-19 Friedrich Schleiermacher yang menulis gagasan "perjanjian abadi" antara sains dan agama. Terlalu banyak kaum Protestan Amerika yang abai, atau nampaknya tidak pernah mendengar pesan Schleiermacher pada dunia modern.

Ajaran muslim modernis serupa yang dirumuskan oleh Muhammad Abduh pada awal abad ke-20 seringkali menjadi tema dalam berbagai khutbah Muhammadiyah. Muhammadiyah juga menjalankan jaringan yang luas melalui sekolah, universitas, klinik dan rumah sakit. Dalam hal ini program sosial Muhammadiyah mirip dengan yang ada di Gereja Katolik Roma di Amerika Serikat.

Kepemimpinan Muhammadiyah sangat menyadari bahwa tindakan yang kuat diperlukan untuk membatasi penyebaran virus dan bahwa isolasi sosial adalah salah satu dari beberapa tindakan efektif yang kita miliki.

Pada 24 Maret, Muhammadiyah telah mengeluarkan sebuah fatwa untuk menunda Salat Jumat yang biasanya wajib. Muhammadiyah menganjurkan umat muslim untuk beribadah di rumah masing-masing. Pada 26 Maret, Muhammadiyah mengeluarkan siaran pers tentang petunjuk dalam melaksanakan ibadah (darurat) di bulan Ramadan (2020) yang terdiri dari empat poin dasar:

• Salat malam khusus (tarawih) yang biasanya dilakukan di masjid dapat dilakukan di rumah. Acara keagamaan termasuk khotbah dan ceramah tidak perlu.

• Puasa adalah wajib bagi umat Islam kecuali bagi mereka yang sakit. Orang sakit harus mengikuti peraturan Syariah biasa untuk mengganti puasanya di kemudian hari.

• Petugas kesehatan tidak diwajibkan berpuasa saat bertugas. Mereka harus mengikuti peraturan Syariah biasa untuk menggantinya dengan puasa di kemudian hari.

• Tidak perlu melakukan salat bersama pada Idul Fitri. Orang-orang tidak boleh terlibat dalam perayaan adat, termasuk ‘mudik’ yakni kembali ke kota dan desa asal mereka untuk mengunjungi kerabat di akhir bulan, pawai dan berbagai perkumpulan.

Putusan ini tidak didasarkan pada pertimbangan kesehatan masyarakat saja. Muhammadiyah juga menyertakan apa yang nampak sebagai pembenaran agama berdasarkan kutipan dari Alquran dan Hadis. Ini disebut sebagai dalil, yang oleh orang Protestan disebut sebagai ‘teks bukti’. Jenis logika keagamaan yang sama ini tersedia bagi mereka dalam upaya menahan pandemi.

Beberapa rekomendasi Muhammadiyah membutuhkan pengorbanan yang menyakitkan. Puluhan juta orang Indonesia biasanya kembali ke kota dan desa asal mereka untuk merayakan ‘Lebaran’—hari libur yang menandai akhir Ramadan. Kebiasaan ini sama dengan suatu adat ‘going home’ pada hari Thanksgiving atau Natal bagi orang Amerika.

Para pemimpin Muhammadiyah tidak akan menyarankan orang Indonesia untuk Tinggal di Rumah tanpa pertimbangan cermat atas risiko yang ditimbulkan oleh pandemi dan kepentingan sosial, budaya dan agama dari perayaan Lebaran.

Menunda berkumpul dengan keluarga adalah hal terpenting yang dapat dilakukan orang Indonesia untuk memperlambat penyebaran penularan Corona. Dengan kata lain, bahwa banyak orang yang seharusnya mati akan tetap hidup untuk bergabung dengan mereka (dalam kegiatan keagamaan dan adat) tahun depan. Kita semua berharap bahwa pada saat Natal tiba, pandemi akan berlalu dan umat Kristiani tidak akan dihadapkan dengan pilihan menyakitkan serupa antara tradisi keagamaan dan keselamatan bersama.

Jika demikian, ada banyak hal yang dapat dipelajari oleh orang-orang Protestan Amerika dari kebijaksanaan dan tekad yang ditunjukkan Muhammadiyah. Ada dua poin dasar. Pertama adalah bahwa pengorbanan diperlukan. Kedua adalah bahwa orang-orang lebih mudah menerima ketika para pemimpin agama mereka menggunakan penalaran kitab suci untuk menjelaskan mengapa mereka perlu (melakukan suatu hal).

Tulisan ini telah diubah ke dalam bahasa Indonesia, dengan sumber utamanya melalui tulisan dengan judul Religious Holidays in the Plague Year – Lessons from the Indonesian Muhammadiyah Movement (Mark Woodward)
---------

Religious Holidays in the Plague Year – Lessons from the Indonesian Muhammadiyah Movement

There are always religious responses to plague and pestilence. They can be found in the Qur’an, the Bible and many other religious scriptures. When faced with grave danger people inevitably turn to religion and religious leaders for guidance. This is as true now when the world is confronted with Coronavirus pandemic as it was centuries ago when more deadly pandemics like the Black Death swept across Asia and Europe. Humanity has vastly more effective science based tools for combating epidemics than it did even a century ago. Religious responses can, however, still be weapons in the Jihad/Crusade against the microbial enemy. Some of these responses will prove to be beneficial and others are worse than counter-productive.

Some Christian and Muslim groups, including a few American Evangelical Mega-Churches and the Muslim revivalist Tablighi Jamaat, claim that God will spare the faithful and continue to hold mass religious gatherings. This doesn’t make sense. Many people have gotten sick and some have died because of them. Authorities have little choice other than to take action to prevent these mass infection events. In Florida, a Mega-Church pastor has been arrested for holding mass prayer services in defiance of quarantine orders. In Indonesia, the government cancelled an international Tablighi Jamaat gathering after more than 500 people were infected at a similar event in neighbouring Malaysia.

There are other religious responses that make a great deal of sense. These include offering people guidance on how to fulfil their religious obligations while at the same time protecting themselves and the public from the contagion. Religious guidance is especially important now because Holy Week during which Christians commemorate the crucifixion and resurrection of Christ and Ramadan during which Muslim fast during daylight hours, gather for prayers and socializing at night and celebrate the end of the month with communal prayers are rapidly approaching. Churches and Mosques are normally filled at these times. For people of both faiths seasonal religious observances would normally make social distancing, which is now the most effect weapon we have against the virus, difficult, if not impossible.  Many people worry that they will fall into sin and face divine retribution if they do not fulfil their religious obligations. There are also many non-religious social events – parades, parties, family gatherings and others that people are reluctant to cancel.

At times like these religious advice can make for sound public health policy and practice. They are also times when people of all faiths can learn from the wisdom and experience of others.
I’m posting this article about how the Indonesian Muhammadiyah movement has responded to the challenge for those of you who can read Indonesian. I’ve summarized its major points for those who cannot.

First, some background. Muhammadiyah is one of the two largest Muslim organizations in Indonesia, the country with the world’s largest Muslim population. It has approximately 30,000,000 followers in a country with a total population of approximately 260,000,000.  To put these numbers in perspective there are approximately 50,000,000 Baptists in the United States which has a total population of approximately 330,000,000. The Coronavirus is spreading rapidly in both countries requiring urgent action to contain it.

Muhammadiyah is what some Americans might call a “soft” fundamentalist version of Islam. It teaches that the Qur’an and Hadith (traditions concerning the Prophet Muhammad) are the only sources of religious authority. This teaching is very similar to Luther’s doctrine of sola scriptura (scripture only) that is one of the foundational principles of American Protestantism.

Muhammadiyah’s fundamentalism is “soft” because unlike some other Muslim and Protestant fundamentalist groups, it strongly supports science and  rational approaches to problem solving. In this respect Muhammadiyah theology resembles that of the 19th century German Protestan theologian Friedrich Schleiermacher who prosed an “eternal covenant” between science and religion. Too many American Protestants ignore, or more likely have never heard, Schleiermacher’s message to the modern world. Similar modernist Muslim teachings formulated by Muhammad Abduh in the early 20th century are frequent themes in Muhammadiyah sermons. Muhammadiyah also operates a vast network of schools, universities, clinics and hospitals. In this respect Muhammadiyah’s social programs are similar to those of the Roman Catholic Church in the United States.

Muhammadiyah’s leadership is well aware that strong action is necessary to limit the spread of the virus and that social isolation is one of the few effective measures at our disposal.  On March 24th they issued a fatwa (legal opinion) suspending the normally obligatory congregational Friday noon prayers. It advised Muslims to pray at home instead. On March 26th a press release offered guidance for Ramadan observances.  It made four basic points:

• The special evening prayers (tarawih) that are normally performed in mosques can be done at home. Religious events including sermons and speeches are not necessary.

• Fasting is obligatory for Muslims except those who are sick. The sick should follow the normal Shari’ah (Islamic Law) regulations for making up missed fasting days at a later time.

• Healthcare staff are not required to fast while on duty. They should follow the normal Shari’ah regulations for making up missed fasting days at a later time.

• It is not necessary to perform the communal prayer on Idul Fitri and the end of the month. People should not engage in customary celebrations, including mudik returning to their home towns and villages to visit relatives at the end of the month, parades and social gatherings.

These rulings were not based on public health considerations alone. Muhammadiyah provided what it holds to be sound religious justifications for them based on quotations from the Qur’an and Hadith. These are called dalil. They are what Protestants call proof texts. This same sort of religious logic is available to them in efforts to contain the pandemic.

Some of Muhammadiyah’s recommendations require painful sacrifices. Tens of millions of Indonesians usually return to their home towns and villages to celebrate Lebaran, the holiday marking the end of Ramadan. It is the same sort of custom that “going home” for Thanksgiving or Christmas are for Americans. 

Muhammadiyah leaders would not advised Indonesian to Stay Home without careful consideration of the risks posed by pandemic and the social, cultural and religious importance of Lebaran festivities. Postponing family reunions is the most important thing Indonesians can do to slow the spread of the Corona contagion. It will mean that many people who would otherwise have died will live to join in them next year.

We all hope that by the time Christmas comes the pandemic will have passed and that Christians will not be faced with similar painful choices between religious tradition and public safety.  If they are, there is much that American Protestants can learn from the wisdom and determination Muhammadiyah has shown. There are two basic points. The first is that sacrifices are necessary. The second is that people will find them easier to accept when religious leaders use scriptural reasoning to explain why they are necessary.

http://m.muhammadiyah.or.id/id/news-18721-detail-hari-libur-agama-di-tahun-wabah-pelajaran-dari-persyarikatan-muhammadiyah.html

Sunday, March 8, 2020

Muhammadiyah, Intelektualisme Kaum Muda, dan Moderatisme



Oleh SYAMSUL ARIFIN*)

MUHAMMADIYAH sedang menghitung mundur (countdown) jelang pelaksanaan muktamar, Juli nanti. Serangkaian Seminar Pra-Muktamar dilaksanakan setidaknya di 30 Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM). Di luar Seminar Pra-Muktamar, kalangan muda Muhammadiyah menggelar perhelatan berskala nasional berupa Kolokium Nasional Interdisipliner Cendekiawan Muda Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang pada 6-7 Maret yang lalu. Inisiasi kaum muda menggelar kolokium patut diapresiasi setidaknya karena dua hal.

Yang pertama tentu karena posisi krusial dan strategis kaum muda dalam menentukan apa yang disebut dengan continuity and change gerakan atau organisasi. Muhammadiyah didirikan Ahmad Dahlan selagi usianya masih muda, 44 tahun. Sebelum pada gilirannya mendirikan Muhammadiyah, Ahmad Dahlan mengalami pergolakan. Ketika usianya baru 15 tahun, Ahmad Dahlan telah bersentuhan dengan pemikiran pembaru Islam seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al Afghani, dan Rasyid Ridha, sewaktu haji dan menetap selama lima tahun di Mekah. Beberapa tahun setelah kepulangan dari haji yang kedua (1903) dan sempat berguru kepada Syekh Ahmad Khatib, Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah.

Hingga dalam usia melampaui satu abad, Muhammadiyah tetap eksis dan dinamis, kendati pada beberapa bagiannya diterpa permasalahan yang memantik kritik. Salah satu yang disoroti adalah kesinambungan intelektualisme Muhammadiyah. Intelektualisme adalah suatu etos pencarian kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan yang pada gilirannya berujung pada perubahan. Intelektualisme meniscayakan kritik yang nantinya berbuah rekonstruksi, bahkan dekonstruksi.

Dengan berbekal ilmu pengetahuan yang di antaranya diperoleh selama dua kali haji, Ahmad Dahlan melakukan kritik terhadap sistem pengetahuan masyarakat yang lebih mendasarkan pada tradisi dan terkadang terkontaminasi mitos. Misalnya tentang arah kiblat yang menjadi masalah serius karena banyak masjid kala itu, yang penting menghadap ke arah barat, tetapi setelah dikonfirmasi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, melenceng jauh dari arah kiblat.

Ahmad Dahlan juga mengkritik dan merekonstruksi praktik atau tradisi keagamaan yang tidak memiliki pendasaran secara kuat secara naqli. Warisan lainnya yang terus terpelihara hingga sekarang adalah modernisasi kelembagaan Islam yang bersentuhan dengan kemaslahatan umat Islam utamanya pendidikan, kesehatan, dan panti asuhan. Apa yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan pada saat itu disebut oleh banyak peneliti, misalnya Alfian dalam bukunya Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism, sebagai gerakan pembaruan keagamaan (religious reformist movement).

Modal Intelektual

Kolega saya, Masdar Hilmy, guru besar dan rektor UIN Sunan Ampel Surabaya memiliki pandangan menarik tentang efek intelektualisme dan aktivisme yang telah didilakukan Muhammadiyah. Katanya, pembaruan yang diinisiasi Muhammadiyah telah menjadi mainstream karena ormas Islam lainnya telah melakukan apa yang dikakukan Muhammadiyah.

Pembaruan Muhammadiyah, katanya lebih lanjut, menjadi sesuatu yang biasa, untuk tidak mengatakan tidak istimewa lagi. Lalu, apa yang harus dilakukan oleh Muhammadiyah pada saat ini?, lanjutnya. Ungkapan Masdar Hilmy sama halnya dengan memersoalkan keberlanjutan (continuity) intelektualisme Muhammadiyah. Keberlanjutan intelektualisme Muhammadiyah inilah yang bisa dijadikan alasan berikutnya pemberian apresiasi terhadap penyelenggaraan kolokium nasional yang diinisiasi kaum muda Muhammadiyah.

Kolokium dihadiri beberapa tokoh muda yang telah mengalami mobilitas pendidikan hingga ke level paling puncak, dan di antara mereka memperoleh atribut sebagai intelektual. Sebut saja misalnya Ahmad Najib Burhani, Hilman Latif dan Pradana Boy, Ahmad Najib Burhani memperoleh gelar doktor dari University of California, Santa Barbara, Amerika Serikat. Hilman Latif berhasil menyelesaikan doktor dari Universiteit Utrecht, Netherlands.

Sementara Pradana Boy merampungkan pendidikan doktoralnya dari National University of Singapore. Ketiga tokoh Muhammadiyah tersebut—sekali lagi sekedar contoh—memiliki tradisi keilmuan yang kuat antara lain setelah ditempa oleh perguruan tinggi yang memang memiliki tradisi keilmuan yang panjang dan kuat. Disertasi bertajuk Fatwa in Indonesia: An Analysis of Dominant Legal Ideas and Mode of Thought of Fatwa-Making Agencies and Their Implications in the Post-New Order Period, ditulis Pradana Boy, misalnya, mustahil dipublikasikan Amsterdam University Press jika tidak ditulis dengan standar yang tinggi dan setelah melalui proses pengujian berlapis-lapis.

Ahmad Najib Burhani alih-alih sekedar memiliki minat tinggi terhadap kajian di bidang minoritas, bahkan memerlihatkan kepedulian terhadap kelompok ini yang terkadang disebut liyan sebagaimana ditunjukkan melalui bukunya, Menemani Minoritas: Paradigma Islam tentang Keberpihakan dan Pembelaan kepada yang Lemah. Minat Ahmad Najib Burhani memiliki titik perjumpaan dengan minat Pradana Boy. Sedangkan Hilman Latif memiliki minat kajian antara lain terhadap filantropi, bahkan berhasil mengembangkan Lazismu sebagai salah satu filantropi terbesar yang dimiliki oleh umat Islam di Indonesia.

Moderatisme

Dengan mengambil tiga tokoh muda Muhammadiyah itu, ingin ditegaskan bahwa Muhammadiyah sebenarnya memiliki modal intelektual untuk terus menghidupkan etos intelektualisme. Konteks intelektualisme Muhammadiyah tentu berbeda apabila dibandingkan dengan Muhammadiyah seabad silam. Pada saat ini, Muhammadiyah, menurut M. Amin Abdullah--intelektual senior yang dijadikan mentor kalangan muda Muhammadiyah yang juga hadir dalam kolokium--menghadapi realitas perubahan  (taghayyurat) yang kian cepat, kompleks, bahkan disruptif.

Perubahan disruptif yang disebut oleh M. Amin Abdullah antara lain pembelahan umat Islam yang disebabkan setidaknya oleh dua faktor. Pertama,  karena terpaan dan visi politik identitas yang tentu saja sektarianistik. Kedua, terpaan media sosial yang kian memperpendek dan mempercepat akses kepada informasi, namun di sisi lain memudahkan umat Islam terinfiltrasi oleh paham keagamaan yang bertolak belakang dengan arus utama paham keagamaan Islam di Indonesia, yaitu moderat.

Di kalangan Muhammadiyah sendiri infiltrasi mulai terlihat dengan  munculnya varian baru yang disebut M. Amin Abdullah dengan mengutip Munil Mulkhan, di antaranya Muhammadiyah-Salafi (MUSA) dan Muhammadiyah Rasa Salafi (MURSAL). Varian-varian semacam ini bisa ditemukan juga di luar Muhammadiyah. Menghadapi realitas ini kaum muda Muhammadiyah tertantang untuk mengampanyekan dan membumikan karakter keagamaan Muhammadiyah yang sejatinya moderat dan berkemajuan.

Caranya? Pertama, memperluas jejaring secara interdisipliner dengan memanfaatkan modal intelektual yang kian melimpah. Kedua, memperkuat kerja-kerja intelektual yang lebih autentik di antaranya mengeksplorasi secara terus menerus sumber-sumber pemikiran keagamaan, yang kemudian dilanjutkan dengan suatu tahapan elaboratif yang berwujud karya intelektual yang sistematis dan mendalam.

*) Sosiolog agama dan wakil rektor bidang akademik Universitas Muhammadiyah Malang; penulis buku Utopia Negara Khilafah (2020).

Monday, February 24, 2020

Berita Wafat Kiai Ahmad Dahlan


Tanggal 23 Februari, 97 tahun silam (1923), Kiai Ahmad Dahlan, Pendiri dan President Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah pertama wafat. Kiai Ahmad Dahlan wafat dalam usia 55 tahun (1868-1923) setelah sebelumnya sakit selama beberapa bulan. Surat kabar official yang memuat berita wafat Kiai Ahmad Dahlan adalah Soewara Moehammadijah.

Berita Duka 
Surat kabar Soewara Moehammadijah edisi nomor 2 & 3 Tahun ke-4/2 Februari-3Maret 1923 memuat kabar duka, “Inna lillahi wainna ilaihi rodji’oen.” Isi berita sebagai berikut: “dengan hati jang sedih kami beritahoekan pada saudara-saudara teroetama kaoem Moehammadijah dan Serikat Islam bahwa pada hari Djoemoeah malam Saptoe 23/24 Februari 1923 kira poekoel 11-45 m Kejahi Achmad Dachlan Ketib Amin ketoea dari perserikatan Moehammadijah dan Adviesur Centraal Serikat Islam telah berpoelang kerachmatoellah.”

Selanjutnya, redaktur Soewara Moehammadijah yang menulis berita duka mengajak kepada seluruh umat Islam untuk shalat ghaib. “Dari pada itoe, marilah bersama-sama memoedji kepada Allah moedah-moedahanlah acrwach marhoem kejahi A. Dachlan itoe dianoegrahi sorga pahalanja. Lagi poela dengan pengharapan sepenoeh-penoehnja soedikah apalah kiranja saudara-saudara sama bersolat Gaib adanja.”

Jenazah almarhum Kiai Ahmad Dahlan diberangkatkan ke pemakaman Karangkajen pada pagi harinya (Sabtu). Dikabarkan bahwa ratusan pengiring mengantarkan jenazah. “Maka pada pagi hari Saptoe, kira djam poekoel 10 siang Djinazat beliau diangkatkan kekoeboer Kampoeng Karang Kadjen. Dengan beratoes-ratoeslah orang sama toeroet berdoeka tjita, dan toeroet menganter kekoeboeran. Maka pada masoeknja Djinazat kekoeboer kira-kira djam 12 betoel.”

Kiai Ahmad Dahlan
 Kiai Ahmad Dahlan (M. Ketib Amin), nama kecilnya Mohammad Darwis, putra KH Abubakar bin KH Sulaiman, Khatib Amin Masjid Besar Yogyakarta. Lahir pada tahun 1868, umur beliau sebenarnya hanya selisih tiga tahun lebih muda dengan Rasyid Ridla, tokoh pembaru Islam dari Mesir. Pada tahun 1889, dalam usia 21 tahun, Darwis menikah dengan Siti Walidah, putri KH Muhammad Fadhil. Beberapa bulan setelah menikah, ia menunaikan ibadah haji pertama kalinya (1889). Sepulang naik haji berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. 

Sekitar enam tahun pasca naik haji kedua kalinya (1908), Ahmad Dahlan bergabung dalam organisasi Boedi Oetomo (BO) yang diprakarsai oleh Wahidin Soediro Hoesodo. Ketika bergabung dalam BO, usia Ahmad Dahlan sekitar 40 tahun. Ketika mendirikan Muhammadiyah (1912), usia Kiai Ahmad Dahlan genap 44 tahun.

Kiai Ahmad Dahlan, wafat pada 23 Februari 1923 setelah 11 tahun memimpin Muhammadiyah. Beliau wafat dalam usia 55 tahun. Selain menjabat sebagai President HB Muhamamdiyah, ketika wafat beliau juga sedang menjabat sebagai Adviseur (Penasehat) Centraal Sarekat Islam (CSI).

Editor: Arif.

See - https://ibtimes.id/berita-wafat-kiai-ahmad-dahlan/
Tanggal 23 Februari, 97 tahun silam (1923), Kiai Ahmad Dahlan, Pendiri dan President Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah pertama wafat. Kiai Ahmad Dahlan wafat dalam usia 55 tahun (1868-1923) setelah sebelumnya sakit selama beberapa bulan. Surat kabar official yang memuat berita wafat Kiai Ahmad Dahlan adalah Soewara Moehammadijah. Berita Duka Surat kabar Soewara Moehammadijah edisi nomor 2 & 3 Tahun ke-4/2 Februari-3Maret 1923 memuat kabar duka, “Inna lillahi wainna ilaihi rodji’oen.” Isi berita sebagai berikut: “dengan hati jang sedih kami beritahoekan pada saudara-saudara teroetama kaoem Moehammadijah dan Serikat Islam bahwa pada hari Djoemoeah malam Saptoe 23/24 Februari 1923 kira poekoel 11-45 m Kejahi Achmad Dachlan Ketib Amin ketoea dari perserikatan Moehammadijah dan Adviesur Centraal Serikat Islam telah berpoelang kerachmatoellah.” Selanjutnya, redaktur Soewara Moehammadijah yang menulis berita duka mengajak kepada seluruh umat Islam untuk shalat ghaib. “Dari pada itoe, marilah bersama-sama memoedji kepada Allah moedah-moedahanlah acrwach marhoem kejahi A. Dachlan itoe dianoegrahi sorga pahalanja. Lagi poela dengan pengharapan sepenoeh-penoehnja soedikah apalah kiranja saudara-saudara sama bersolat Gaib adanja.” Jenazah almarhum Kiai Ahmad Dahlan diberangkatkan ke pemakaman Karangkajen pada pagi harinya (Sabtu). Dikabarkan bahwa ratusan pengiring mengantarkan jenazah. “Maka pada pagi hari Saptoe, kira djam poekoel 10 siang Djinazat beliau diangkatkan kekoeboer Kampoeng Karang Kadjen. Dengan beratoes-ratoeslah orang sama toeroet berdoeka tjita, dan toeroet menganter kekoeboeran. Maka pada masoeknja Djinazat kekoeboer kira-kira djam 12 betoel.” Kiai Ahmad Dahlan Kiai Ahmad Dahlan (M. Ketib Amin), nama kecilnya Mohammad Darwis, putra KH Abubakar bin KH Sulaiman, Khatib Amin Masjid Besar Yogyakarta. Lahir pada tahun 1868, umur beliau sebenarnya hanya selisih tiga tahun lebih muda dengan Rasyid Ridla, tokoh pembaru Islam dari Mesir. Pada tahun 1889, dalam usia 21 tahun, Darwis menikah dengan Siti Walidah, putri KH Muhammad Fadhil. Beberapa bulan setelah menikah, ia menunaikan ibadah haji pertama kalinya (1889). Sepulang naik haji berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Baca Juga Kapan Permusyawaratan Tertinggi Pertama Muhammadiyah Digelar? Sekitar enam tahun pasca naik haji kedua kalinya (1908), Ahmad Dahlan bergabung dalam organisasi Boedi Oetomo (BO) yang diprakarsai oleh Wahidin Soediro Hoesodo. Ketika bergabung dalam BO, usia Ahmad Dahlan sekitar 40 tahun. Ketika mendirikan Muhammadiyah (1912), usia Kiai Ahmad Dahlan genap 44 tahun. Kiai Ahmad Dahlan, wafat pada 23 Februari 1923 setelah 11 tahun memimpin Muhammadiyah. Beliau wafat dalam usia 55 tahun. Selain menjabat sebagai President HB Muhamamdiyah, ketika wafat beliau juga sedang menjabat sebagai Adviseur (Penasehat) Centraal Sarekat Islam (CSI). Editor: Arif. See - https://ibtimes.id/berita-wafat-kiai-ahmad-dahlan/
Tanggal 23 Februari, 97 tahun silam (1923), Kiai Ahmad Dahlan, Pendiri dan President Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah pertama wafat. Kiai Ahmad Dahlan wafat dalam usia 55 tahun (1868-1923) setelah sebelumnya sakit selama beberapa bulan. Surat kabar official yang memuat berita wafat Kiai Ahmad Dahlan adalah Soewara Moehammadijah. Berita Duka Surat kabar Soewara Moehammadijah edisi nomor 2 & 3 Tahun ke-4/2 Februari-3Maret 1923 memuat kabar duka, “Inna lillahi wainna ilaihi rodji’oen.” Isi berita sebagai berikut: “dengan hati jang sedih kami beritahoekan pada saudara-saudara teroetama kaoem Moehammadijah dan Serikat Islam bahwa pada hari Djoemoeah malam Saptoe 23/24 Februari 1923 kira poekoel 11-45 m Kejahi Achmad Dachlan Ketib Amin ketoea dari perserikatan Moehammadijah dan Adviesur Centraal Serikat Islam telah berpoelang kerachmatoellah.” Selanjutnya, redaktur Soewara Moehammadijah yang menulis berita duka mengajak kepada seluruh umat Islam untuk shalat ghaib. “Dari pada itoe, marilah bersama-sama memoedji kepada Allah moedah-moedahanlah acrwach marhoem kejahi A. Dachlan itoe dianoegrahi sorga pahalanja. Lagi poela dengan pengharapan sepenoeh-penoehnja soedikah apalah kiranja saudara-saudara sama bersolat Gaib adanja.” Jenazah almarhum Kiai Ahmad Dahlan diberangkatkan ke pemakaman Karangkajen pada pagi harinya (Sabtu). Dikabarkan bahwa ratusan pengiring mengantarkan jenazah. “Maka pada pagi hari Saptoe, kira djam poekoel 10 siang Djinazat beliau diangkatkan kekoeboer Kampoeng Karang Kadjen. Dengan beratoes-ratoeslah orang sama toeroet berdoeka tjita, dan toeroet menganter kekoeboeran. Maka pada masoeknja Djinazat kekoeboer kira-kira djam 12 betoel.” Kiai Ahmad Dahlan Kiai Ahmad Dahlan (M. Ketib Amin), nama kecilnya Mohammad Darwis, putra KH Abubakar bin KH Sulaiman, Khatib Amin Masjid Besar Yogyakarta. Lahir pada tahun 1868, umur beliau sebenarnya hanya selisih tiga tahun lebih muda dengan Rasyid Ridla, tokoh pembaru Islam dari Mesir. Pada tahun 1889, dalam usia 21 tahun, Darwis menikah dengan Siti Walidah, putri KH Muhammad Fadhil. Beberapa bulan setelah menikah, ia menunaikan ibadah haji pertama kalinya (1889). Sepulang naik haji berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Baca Juga Kapan Permusyawaratan Tertinggi Pertama Muhammadiyah Digelar? Sekitar enam tahun pasca naik haji kedua kalinya (1908), Ahmad Dahlan bergabung dalam organisasi Boedi Oetomo (BO) yang diprakarsai oleh Wahidin Soediro Hoesodo. Ketika bergabung dalam BO, usia Ahmad Dahlan sekitar 40 tahun. Ketika mendirikan Muhammadiyah (1912), usia Kiai Ahmad Dahlan genap 44 tahun. Kiai Ahmad Dahlan, wafat pada 23 Februari 1923 setelah 11 tahun memimpin Muhammadiyah. Beliau wafat dalam usia 55 tahun. Selain menjabat sebagai President HB Muhamamdiyah, ketika wafat beliau juga sedang menjabat sebagai Adviseur (Penasehat) Centraal Sarekat Islam (CSI). Editor: Arif. See - https://ibtimes.id/berita-wafat-kiai-ahmad-dahlan/

Wednesday, January 29, 2020

The Viewpoint of Young Muhammadiyah Intellectuals towards Religious Minority Groups in Indonesia

Arifin, Syamsul, and Nafik Muthohirin. “The Viewpoint of The Young Muhammadiyah Intellectuals towards The Religious Minority Groups in Indonesia”. TEOSOFI: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam 9, no. 2 (December 1, 2019): 282-305. Accessed January 30, 2020. http://jurnalfuf.uinsby.ac.id/index.php/teosofi/article/view/1260.

Keywords: Young Intellectuals; Muhammadiyah; Religious Minority; Human Rights.

Abstract

Muhammadiyah keeps onto make a positive contribution to the progress of Indonesia. In the first century of its advent, Muhammadiyah focused on advancing education, health, and compensation to the du‘afā, while through the 47th Congress in Makassar (2015), Muhammadiyah had issued an important point which emphasizes on the minority groups. This article examines a number of issues dealing with the views that underlie young Muhammadiyah intellectuals in voicing partiality towards the religious minority, the role or form of alignments and the implications of these views on thought upheavals within Muhammadiyah internally and at the national level. The study finds that the young Muhammadiyah intellectuals play a pivotal role in fighting for the basic rights of a religious minority which continues to face the complicated problem of citizenship. The data has been focused on advocacy and intellectual works, including a literature review of statements of attitudes, published books, journals, research reports, and opinions in the national mainstream and alternative media.

Link