Sunday, December 1, 2019

Fachrodin dan Sneevliet

Suara Muhammadiyah, 2 April 2016


Oleh ; Mu’arif

Seorang sinyo datang ke tanah Hindia-Belanda pada awal abad ke-20 layaknya seorang perantau. Ia seorang yang terdidik. Statusnya masih menjadi anggota Sociaal Democratische Arbeider Partij (SDAP), salah satu partai berhaluan Sosialis-Marxis di negeri Belanda. Sikapnya tegas membela kaum tertindas tanpa melihat latar belakang bangsa maupun agama. Dengan bekal kemampuannya, sinyo ini melamar pekerjaan di salah satu surat kabar di Surabaya. Surat kabar itu bernama Surabajaasch Handelsblad, milik seorang berkebangsaan Belanda. Itulah awal mula kedatangan J.F.M. Sneevliet ke tanah Hindia-Belanda yang di kemudian hari berhasil menginfiltrasi Syarikat Islam (SI) lewat ideologi Sosialisme-Marxis.

Janganlah salah memposisikan Sneevliet dengan paham Sosialisme-Marxisnya dalam konstelasi perpolitikan pada awal abad ke-20 di Hindia-Belanda dengan saat ini. Jelas kita bisa keliru memahami esensi sejarah. Sangat mungkin terjebak pada stereotipe tertentu terhadap tokoh-tokoh yang senafas dengan paham yang diusung oleh Sneevliet ini. Apalagi, salah satu tokoh dan perintis Muhammadiyah mengapresiasi dan menyambut gerakan Sneevliet di Kauman, Yogyakarta. Dialah Fachrodin, adik kandung Kyai Syuja’ dan termasuk murid ideologis Kyai Ahmad Dahlan.

Sneevliet itu, sekalipun seorang berkebangsaan Belanda, tetapi ia tidak sejalan dengan sikap dan perilaku bangsanya sendiri di tanah Hindia-Belanda. Ia memberontak. Keluar dari Surabajaasch Handelsblad, pada tahun 1913 Sneevliet mendirikan sebuah organisasi bernama Indische Sociaal Democratisch Vereeniging (ISDV)—embrio Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia tidak sendirian. Banyak aktor intelektual, baik dari kaum pribumi maupun bangsa Belanda, yang turut membidani kelahiran organisasi ini. Di antaranya ialah Adolf Baars, Alimin, Semaoen, dan Darsono.

Tidak hanya orang-orang itu saja yang mendukung dan bergabung dalam gerakan ISDV. Ada Mas Marco Kartodikromo, Sismadi Sastrosiswojo, Haji Misbach (Solo), dan yang paling mengejutkan muncul sosok Haji Fachrodin dari Kauman, Yogyakarta. Menurut keterangan Junus Anis (1969), memang tidak disebutkan secara eksplisit sejak kapan keterlibatan murid Kyai Ahmad Dahlan ini dalam kepengurusan ISDV cabang Yogyakarta. Namun, lewat momentum kongres SI di Yogyakarta pada tahun 1914, dimungkinkan perkenalan Haji Fachrodin dengan agen-agen ISDV melalui jalur SI cabang Semarang. Agen-agen ISDV menyusup ke dalam tubuh SI lewat jaringan Semaoen, ketua SI cabang Semarang.

Gerakan ISDV memang sungguh nyata dan relevan dengan konteks kehidupan kaum pribumi pada saat itu. Melakukan pengorganisasian massa (buruh) untuk demonstrasi menuntut hak-haknya, menyelenggarakan diskusi-diskusi pencerahan, menggalang dana untuk membantu kaum lemah, dan advokasi terhadap kaum tertindas adalah strategi perjuangan ISDV. Ideologi Komunisme yang menafikan ketuhanan dan nilai-nilai agama menjadi jalan hidup mereka. Tampaknya, spirit kemanusiaan universal berhasil menggeser peran agama dalam gerakan ISDV.

Melihat gerakan ISDV yang terorganisasi rapih dan bertujuan untuk menolong kesengsaraan umum tanpa melihat latar belakang bangsa maupun agama telah memikat hati Fachrodin. Ia makin dekat dengan tokoh-tokoh ideolog ISDV. Ketika Sneevliet dicekal oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1918, Fachrodin melakukan pembelaan terhadap pendiri ISDV ini. Dalam artikel, ”Sneevliet” (Srie Diponegoro, 30 Desember 1918 no. 25), Fachrodin menulis:

Sneevliet itoe seorang bangsa Belanda jang oemoemnja oleh bangsa kita kaoem pergerakan ra’ajat dikatakan bangsa pembela kita kaoem rendah dan kaoem tertindas; pada masa sekarang Beliaoe terpaksa ditoendoeng dari tanah Djawa oleh pemrintah…

Apabila pemrintah itoe memboeang Sneevliet diambil alasan lantaran akan ia membahjai bagi Hindia, lo kok aneh! Sedang barang beloem terang akan kejadian bahaja, pemrintah soedah djatoehkan tangan besinja…

Fachrodin membela pendiri ISDV yang dibuang dari tanah Hindia Belanda dengan alasan kehadirannya dianggap membahayakan, padahal belum terdapat bukti-bukti yang dapat membahayakan dari kehadiran tokoh bernama Sneevliet. Menurutnya, Sneevliet merupakan seorang bangsa Belanda yang menjadi aktivis pergerakan pembela rakyat jelata dan tertindas. Tampaknya, spirit kemanusiaan universal yang menjadi motivasi bagi Fachrodin untuk membela pendiri ISDV ini.

Tokoh ISDV bernama Alimin terrekam dalam catatan Djarnawi Hadikusumo. Menurut keterangan Djarnawi Hadikusumo (Suara Muhammadiyah, no. 13/th ke-57/1977), selama di Yogyakarta, Alimin tidak memiliki tempat tinggal sehingga dia menginap di rumah Fachrodin (Kauman). Selama menginap di rumah Fachrodin, Alimin berkali-kali membujuknya untuk mengikuti jalan Komunisme. Berbagai upaya dilakukan Alimin untuk membujuk Fachrodin. Dengan berdebat panjang lebar, Alimin terus meyakinkan Fachrodin yang sudah menjadi pengurus ISDV cabang Yogyakarta agar mengikuti jalannya. Tetapi karakter Fachrodin adalah seorang yang teguh pendirian. Terbukti, Alimin gagal mempengaruhi murid ideologi Kyai Ahmad Dahlan yang dikenal teguh pendirian dan meyakini agama Islam sebagai jalan kebenaran.

http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/04/02/fachrodin-dan-sneevliet/

Thursday, November 7, 2019

Wahhabisme dan Muhammadiyah: Mengurai Titik Temu dan Titik Beda


Muhammadiyah dan Wahhabisme selalu hangat menjadi perdebatan baik di kalangan warga Muhammadiyah maupun umat Islam pada umumnya. Ada yang menolak keras, dan tidak nyaman ketika Muhammadiyah diidentikkan dengan Wahhabi. Sebaliknya, ada yang membela bahwa Wahhabi karena memiliki spirit yang sama dengan Muhammadiyah. Kali ini redaksi IBTimes.ID kembali melakukan wawancara kepada Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yaitu Prof. Dr. M. Amin Abdullah, MA. Berikut ini adalah ulasannya:
Bagaimana pendapat Anda mengenai Wahhabisme yang selalu dikaitkan dengan Radikalisme?
Sebenarnya, persoalan Wahhabi sangat kompleks. Kita tidak bisa menuduh begitu saja gerakan Wahhabi sebagai gerakan teroris ataupun pendorongnya. Satu faktor tidak bisa dijadikan sebagai sumber untuk memberikan penilaian. Persoalan ini melibatkan banyak faktor, seperti faktor politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Jadi, persoalannya multifaktor.
Bukankah paham keagamaan menjadi spirit orang bertindak?
Memang paham keagamaan dapat menjadi salah satu dari inspirasi gerakan teroris. Tetapi, di atas segalanya itu bermuara pada problem keadilan. Jika persoalan belum menemukan solusi, atau keadilan belum dapat ditegakkan, orang akan dengan mudah menjadikan agama sebagai legitimasi untuk meruntuhkan rezim. Dalam persoalan ini, satu hal yang paling mudah dibidik adalah argumen ketidakadilan.

Lalu apa dan bagaimana sebenarnya Wahhabi itu?
Untuk bisa mengetahui karakteristik gerakan ini, kita perlu melihat sejarah pada abad 18, tepatnya sebelum dan sesudah tahun 1750. Perihal konteks kelahiran Wahhabi tahun 1750, konteks saat itu kan Kerajaan Ottoman Turki. Kita juga perlu memahami kondisi sosial dan politik di tanah Arab pada era tersebut. Dalam sejarah Islam, awal kebangkitan kaum puritan dimulai dari kaum Wahhabi. Kaum Wahhabi telah memengaruhi setiap gerakan puritan di dunia Islam pada era kontemporer. Taliban dan al-Qaeda merupakan contoh kelompok Islam yang sangat kuat dipengaruhi oleh pemikiran Wahhabi.
Dasar-dasar teologi Wahhabi dibangun oleh seorang Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab. Dengan semangat puritan, ‘Abd al-Wahhab hendak membebaskan Islam dari semua perusakan yang diyakininya telah menggerogoti Islam, seperti tashawwuf, tawassul, rasionalisme, ajaran Syi’ah dan berbagai praktek inovasi bid’ah.
Apa sebenarnya yang ingin diperjuangkan kaum Wahhabi?
Wahhabisme memperlihatkan kebencian yang luar biasa terhadap semua bentuk intelektualisme, mistisisme, dan sektarianisme. ‘Abd al-Wahhab sendiri gemar membuat daftar panjang keyakinan dan perbuatan yang dinilainya munafik, yang bila diyakini atau diamalkan akan segera mengantarkan seorang Muslim berstatus “kafir”. Kaum Wahhabi juga melarang penggunaan gelar penghormatan, seperti “tuan,” doktor”, “mister”, atau “sir”. Imbuhan seperti itu adalah sebentuk penyekutuan terhadap Tuhan. Menggunakannya bisa menjadikan seorang Muslim berstatus ”kafir”.
 
Kaum Wahhabi menyikapi teks-teks agama —al-Qur’an dan Sunnah— sebagai satu instruksi manual untuk menggapai model ideal Negara Madinah yang telah dibangun Nabi SAW. Menurut mereka, umat Islam akan terbebas dari keterbelakangan dan keterhinaan kolektif jika mau kembali berpegang pada ajaran Tuhan karena akan mendapatkan bantuan dan dukungan-Nya.
Kesederhanaan, ketegasan, dan absolutisme pemikiran keagamaan ‘Abd al-Wahhab menjadikannya menarik bagi sebagian umat Islam. Tetapi, dalam penyebarannya, Wahhabisme tidak menggunakan benderanya sendiri. Mengingat asal-usul keyakinan Wahhabi yang marjinal, penyebaran yang bersifat masif sulit dilaksanakan.
Lalu bagaimana bentuk Wahhabisme di era kontemporer?
Pada era modern, Wahhabisme menyebar ke dunia Muslim di bawah bendera Salafisme yang berdiri pada abad ke-19. Istilah salaf  berarti “pendahulu”, dan dalam konteks Islam, pendahulu itu merujuk pada periode Nabi, para sahabat (salafus shalih), dan tabi’in.

Selain itu, istilah tersebut punya makna fleksibel dan lentur serta memiliki daya tarik natural, karena melambangkan otentisitas dan keabsahan. Istilah salafi dimanfaatkan oleh setiap gerakan yang  menginginkan klaim otentisitas Islam. Meskipun awalnya istilah itu dipakai kaum reformis liberal pada awal abad ke-20, kaum Wahhabi menyebut dirinya kaum Salafi. Tetapi, hingga tahun 1970-an, istilah ini tidak terkait dengan keyakinan Wahhabi.
Apa bedanya Salafi dan Wahhabi?
Berbeda dengan Wahhabi, Salafi tidak membenci tashawwuf. Para ilmuwan Salafi cenderung terlibat dalam praktek talfiq, yaitu memadukan beragam opini dari masa lalu demi memunculkan pendekatan baru terhadap berbagai problematika yang muncul.

Salafisme dimotori oleh para reformis Muslim, seperti Muhammad ’Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha, Al-Syaukani, dan Jalalus Shan’ani, yang dalam periode pra-modern dikumandangkan oleh Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah.
Wahhabi mempunyai gerakan yang selalu bermetamorfosa. Gerakan ini semula berhubungan dengan istana (kekuasaan). Kasus perang Irak dan Kuwait membuat rezim Saudi Arabia ketakutan, kemudian mengundang Amerika Serikat. Begitu juga latar belakang kemunculan gerakan ini berkaitan dengan politik kekuasaan setempat. Dengan demikian, pola gerakan Wahhabi sejak awal hingga sekarang sudah berbeda.
Salafi ada macam-macam. Ada faksi dahwah, ada faksi haraki dan ada faksi jihadi. Nah, yang belakang ini yang kermdian muncul salafi-jihadi. Takfiri muncul antara lain karena dokrin al-walla’wa al-barra’ (loyalty and disavowal). Loyal dan setia  hanya kepada kelompok dan golongan sendiri dan tidak setia, tidak loyal kepada  orang atau golongan yang tidak segolongan atau golongan yang berbeda.
Lalu bagaimana dengan Muhammadiyah seringkali dikaitkan dengan Wahhabi?
Latar belakang gerakan Wahhabi tentu saja berbeda dengan Muhammadiyah. Tantangan-tantangan yang dihadapi juga berbeda. Jika Wahhabi memiliki relasi dengan kekuasaan rezim setempat, maka Muhammadiyah tidak seperti itu. Tantangan-tantangan yang dihadapi Muhammadiyah di Indonesia (dulu Hindia-Belanda) juga berbeda dengan Wahhabi di Arab Saudi.    

Sebagai gerakan keagamaan, memang benar Wahhabi adalah gerakan purifikasi. Tetapi, satu hal yang harus dicatat, bahwa semua agama juga memiliki potensi radikalisme.

Dalam agama Kristen juga ada gerakan purifikasi yang radikal. Demikian juga dalam Islam, ada gerakan purifikasi seperti Wahhabi yang sangat radikal. Hanya saja, pada era modern seperti sekarang ini, persoalannya sudah sangat kompleks, tidak cukup hanya purifikasi.

Bagi saya inspirasi gerakan Muhammadiyah yang mengusung semangat pemurnian Islam tidak bisa lepas dari sejarah. Dalam konteks kesejarahan, kemungkinan adanya keterkaitan antara berdirinya Muhammadiyah di Hindia-Belanda dengan Wahhabi di Saudi Arabia masih membutuhkan kajian dan penelitian lebih lanjut. Sebab, dari segi lokalitas sejarah sudah berbeda. Namun, banyak indikasi yang menunjukkan bahwa Muhammadiyah berbeda dengan Wahhabi.
Apa bedanya Muhammadiyah dengan Wahhabi?
Muhammadiyah mendirikan Perguruan Tinggi dengan membuka ilmu-ilmu baru. Gerakan Wahhabi tidak seperti itu. Muhammadiyah melakukan aktivitas, seperti mendirikan Rumah Sakit. Gerakan Wahhabi tidak pernah melakukan seperti itu. Muhammadiyah juga mewadahi aktivitas kaum perempuan, sebut saja ‘Aisyiyah. Gerakan Wahhabi malah tidak sampai ke situ. Artinya, Muhammadiyah tidak bisa dipersamakan begitu saja dengan Wahhabi.
 
Adanya ruang bagi pengembangan kreativitas seni, penyelenggaraan Perguruan Tinggi, pendirian rumah sakit, dan akomodasi gerakan perempuan, menjadi indikasi bahwa secara organisasi, gerakan Muhammadiyah berbeda dengan Wahhabi. Walaupun pada perjalannnya, Wahab setelah booking minyak juga mendirikan Perguruan Tinggi di Madinah al-Munawwarah sekitar tahun 1960an dengan pemberian beasiswa kepada mahasiswa di seluruh dunia.

Oleh sebab itu, seharusnya semua orang melihat gerakan Muhammadiyah dari aspek dinamisasinya, bukan aspek purifikasinya saja. Jika dinilai dari gerakan purifikasinya saja, Muhammadiyah tentu agak sejalan dengan Wahhabisme. Akan tetapi, aspek ini ketika masuk wilayah budaya, maka akan menjadi masalah. Kajian budaya membutuhkan ilmu-ilmu lain, seperti Filsafat, Sosiologi, Antropologi, dan lain-lain. Jika budaya hanya dibenturkan dengan semangat purifikasi, maka itu akan menjadi masalah baru. Oleh karena itu, perlu digunakan ilmu-ilmu lain untuk mengkaji budaya.
Lalu bagaimana seharusnya sikap Muhammadiyah?
Muhammadiyah perlu terus menerus mencermati dan mewaspadai  perkembangan  ini. Dalam Muhammadiyah, secara tegas disebutkan adanya aspek “pemurnian” selain “pembaruan”, juga ada anjuran ‘nahi mungkar’ selain anjuran ‘amar ma’ruf.’

Gerakan pemurnian, kalau tidak pandai mengemasnya, akan sangat mudah beralih menjadi ‘jihad’ ideologis-kultural’ untuk menyerang realitas perkembangan sosio-historis dan realitas perkembangan sosio-kultural keumatan Islam yang sangat kompleks dan beraneka ragam, tidak hanya di tanah air tetapi juga di seluruh dunia Muslim. Sedang penekanan pada sisi ‘nahi mungkar’–dengan sedikit mengesampingkan ‘amar ma’ruf’–juga berpotensi terbawa arus jihad yang menggunakan kekerasan (gerakan radikalisme agama) dalam menegakkan perintah-perintah agama secara paksa (coersive), dan bukannya persuasif (persuasive).

Sejauhmana relevansi gerakan pemurnian Islam yang dimainkan oleh Muhammadiyah?

Dalam konteks Indonesia, ajaran tauhid sebagai bagian dari keadilan, semua orang pasti masih membutuhkannya. Ini salah satu misi yang sebenarnya juga milik gerakan Wahhabi. Isu keadilan masih akan tetap relevan. Gerakan purifikasi harus dapat menjawab persoalan sosial kekinian yang makin kompleks. Kasus korupsi yang marak di Indonesia, misalnya, adalah bagian dari krisis moral. Jika kasus korupsi dipahami sebagai bagian dari persoalan agama, maka gerakan purifikasi harus dapat memberikan jawaban atas ketidakadilan sosial ini.
Bagaimana supaya gerakan pemurnian Islam tetap relevan dengan perubahan zaman?
Agar gerakan purifikasi tetap relevan, perlu perjumpaan dengan ilmu-ilmu sosial yang lain.   Jika tidak, maka puritanisme berpotensi tetap bertahan di tengah kehidupan masyarakat modern yang makin kompleks. Harus disadari, ini merupakan dialektika kehidupan yang melibatkan banyak faktor. Harus ada dialektika antara agama, budaya lokal, dan keilmuan. Kita tidak bisa memahami persoalan hanya sepotong, tetapi harus secara keseluruhan.

Menurut hemat saya semangat puritanisme masih tetap relevan jika bersinergi dengan ilmu-ilmu sosial lain. Misalnya, dalam kasus moral, semangat pemurnian dari korupsi masih dibutuhkan. Ke depan, semangat pemurnian jelas masih dibutuhkan. Tentu saja dengan catatan, asalkan mau berdialog dengan ilmu-ilmu kontemporer yang terus berkembang.

Reporter: Azaki Khoirudin

https://ibtimes.id/wahhabisme-dan-muhammadiyah-mengurai-titik-temu-dan-titik-beda/

Wednesday, October 9, 2019

"Muhammadiyah"di EI3 - Brill

Burhani, Ahmad Najib, “Muhammadiyah”, in: Encyclopaedia of Islam, THREE, Edited by: Kate Fleet, Gudrun Krämer, Denis Matringe, John Nawas, Everett Rowson. Consulted online on 08 October 2019 http://dx.doi.org/10.1163/1573-3912_ei3_COM_36688
First print edition: 9789004386679, 2019, 2019-6

New entry on Muhammadiyah, the biggest modernist Muslim organization in Indonesia, probably in the world, is available on Brill... This entry provides a highlight to Indonesian Islam that is so far too humble to show off their face. Here I give you an interesting fact:

“As of 2015, Muhammadiyah operated 2,604 elementary schools, 1,722 middle schools, 745 high schools, 546 vocational schools, 160 pesantrens, and 177 colleges and universities (Muhammadiyah, Laporan). Muhammadiyah’s work in education has been supported by modern media, such as Suara Muhammadiyah (“Voice of Muhammadiyah”), the official magazine of the organisation, published for the first time in 1915, and TV Muhammadiyah. Suara Muhammadiyah is one of the oldest magazines in Indonesia still in circulation. As of 2016, Muhammadiyah ran 384 orphanages across Indonesia”

Muhammadiyah is almost entirely based on donation and religious charity like zakat, shadaqa and trust (waqf). It should become a model elsewhere!




Monday, September 16, 2019

Between Social Services and Tolerance: Explaining Religious Dynamics in Muhammadiyah

Date of publication: 2019
Publisher: ISEAS – Yusof Ishak Institute
Number of pages: 23
Code: TRS11/19

About the Publication

Muhammadiyah, together with the Nahdlatul Ulama (NU), are seen as the two pillars of moderate Islam in Indonesia. Muhammadiyah is currently often perceived to be the more conservative of the two and to have more affinity with Islamist groups.

On political issues, for instance, it is steered by Islamist imagery. On cultural issues, Muhammadiyah is often guided by old enmity towards what is called the TBC (takhayul, bid’ah dan churafat; delusions, religious innovation without precedence in the Prophetic traditions and the Qur’an, and superstitions or irrational belief). This position has placed Muhammadiyah in an uneasy relationship with both local cultures and traditionalist Islam. 

Three issues that were raised in 2017—the banning of Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), the recurrent controversy on the Indonesian Communist Party (PKI), and the ruling of the Constitutional Court on Penghayat Kepercayaan—are issues where Muhammadiyah has been easily drawn towards Islamist and conservative tendencies. 

Be that as it may, Muhammadiyah remains a social movement guided by its long-held theology of al-Mā`ūn (kindness) and with a strong emphasis on social services. It is this doctrine that has prevented Muhammadiyah from dwelling on mythical or abstract issues and neutralized it against Islamism, making its members more realistic in viewing the world, more prone to distancing themselves from the utopian vision of a caliphate, from the dream of shariah as the Messiah that will solve every problem, and from the temptation to create an Islamic state. 

The “pragmatic Islamism” that Muhammadiyah has adopted allows it to handle social dynamics well.


Friday, September 6, 2019

Yunus Anis dan Ahmadiyah


Muhammad Kholid Asyadulloh

Sumber: Jawa Pos, 24 Mei 2008



Lucu dan menggemaskan! Dua kalimat ini tampaknya cukup mewakili pemerhati Muhammadiyah ketika membaca tulisan Ahmad Khoirul Fata (AKF) tentang Muhammadiyah dan Ahmadiyah (Jawa Pos, 28/4). Lucu, karena tulisan itu menunjukkan betapa minimnya pengetahuan sang penulis tentang ke-Muhammadiyah-an. Menggemaskan, karena AKF telah mendistorsi ketokohan salah satu besar Muhammadiyah KH. M. Yunus Anis, sebagai penganut Ahmadiyah.
Namun, di situlah mungkin terletak kelebihan sekaligus kekurangan AKF dalam melihat dan membaca (tokoh) Muhammadiyah. Saat menanggapi tulisan Asvi Warman Adam Belajar dari Sejarah Ahmadiyah (Jawa Pos, 24/04/08), dia menyimpulkan kalau Asvi hanya menyampaikan fakta sejarah yang sepenggal. Untuk memperkuat argumentasinya, Koordinator Jaringan KB Muda PII Jawa Timur itu menulis "beberapa literatur justru menunjukkan" berbagai kesalahan Asvi.
Sayangnya, pembaca harus terbohongi oleh kata "beberapa literatur" sebagaimana yang dijanjikan AKF. Sebab, dari awal hingga tulisan berakhir ternyata tidak ada literatur lain yang disebutkan, kecuali hanya Peladjaran Agama Islam karya Buya HAMKA. Yang lebih hebat lagi, tulisan AKF adalah rangkuman dari 11 halaman salah satu bab yang membahas Ahmadiyah-Bahai. Luar biasa bukan?
Fatalnya lagi, AKF membuat rumor yang menyatakan KH. M. Yunus Anis sebagai pengikut Ahmadiyah. Gosip ini semakin konyol ketika ulama itu merupakan salah satu korban yang dikeluarkan dari Muhammadiyah pada tahun 1927. "Dagelan" itu menunjukkan bahwa sang penulis tidak pernah melakukan konfirmasi dan konfrontasi dengan buku lain untuk melacak lebih lanjut siapakah sebenarnya Yunus Anis?
Bagi pembaca yang paham tentang kesejarahan Muhammadiyah, mereka tentu akan tertawa saat membaca tuduhan Yunus Anis sebagai penganut Ahmadiyah, apalagi dipecat dari Muhammadiyah. Sebab, siswa SD Muhammadiyah pun minimal sudah membaca riwayat hidup putra abdi dalem Kraton Yogyakarta H. M. Anis itu. Namun, bagi kalangan grass root, tuduhan itu tentu sangat mengganggu, bahkan mungkin sudah memasuki tahap meresahkan. Di manakah letak ke-Ahmadiyah-an Yunus Anis, sehingga status ke-Muhammadiyah-annya diragukan?
Dengan kata lain, lontaran AKF terhadap Yunus Anis sebagai tindakan yang sangat-sangat ceroboh. Pertama, jika mengikuti logika AKF, seharusnya nama Yunus Anis juga sudah tidak beredar di Muhammadiyah sejak dipecat pada 1927. Namun, sejarah mencatat, dan ini bisa dilihat di banyak buku ke-Muhammadiyah-an, Yunus Anis adalah Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1959-1962 yang terpilih dalam muktamar ke-34 di Yogyakarta.
Lebih jauh lagi, selain dikenal sebagai muballigh, Yunus Anis lebih dikenal sebagai organisator dan administrator yang ulung. Tidak heran jika sebelum terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, dia menjabat sebagai Sekretaris Umum PP dalam dua periode, yaitu 1942-1953 dan 1953-1959. Adalah sangat aneh jika sudah dikeluarkan sejak 1927, tetapi mendapatkan banyak amanah dan kepercayaan dari keluarga besar Muhammadiyah. Yang benar saja?!
Kedua, AKF menulis bahwa syariat Ahmadiyah adalah mengekalkan kolonialisme dengan melemahkan perlawanan umat Islam (jihad). Jika "kelembekan" dijadikan alasan Yunus Anis sebagai penganut Ahmadiyah, maka fakta yang paradoks akan tersuguhkan. Sebab, dialah satu-satunya Ketua Umum PP Muhammadiyah yang berlatar belakang militer, tepatnya Kepala Pusroh Angkatan Darat Republik Indonesia (Imam Tentara) sejak 1954, dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel.
Dalam buku HM Yunus Anis, Amal, Pengabdian dan Perjuangannya, terungkap pengakuan Jendral Nasution memilih Yunus Anis masuk Angkatan Darat. Nasution ingin agama menjadi bagian hidup keseharian para prajurit, sehingga diperlukan pembinaan mental prajurit seperti yang pernah diinginkan jendral Sudirman. Yunus Anis dinilai sebagai orang yang cakap karena kedalaman ilmu agama, pengalamannya berorganisasi dan kemampuannya berkomunikasi.
Ketiga, yang perlu diketahui oleh AKF, Yunus Anis adalah orang yang berperan besar dalam membentuk karakter Muhammadiyah. Rumusan Keperibadian Muhammadiyah sebagai salah satu identitas pokok organisasi yang didirikan KH. Ahmad Dahlan itu tidak lepas dari campur tangannya saat berada di puncak Muhammadiyah. Dalam periode itu dibentuk tim perumus yang diketuai oleh KH. Faqih Usman, dan diputuskan pada pada Muktamar ke-35 tahun 1962.
Singkatnya, sejak muncul di dunia ini pada 30 Mei 1903, Yunus Anis adalah orang yang “lurus-lurus” saja. Sejak kecil dia dididik agama oleh kedua orang tuanya dan datuknya sendiri, dan melanjutkan pendidikan formalnya di Sekolah Rakyat Muhammadiyah Yogyakarta , Sekolah Al-Atas, dan Sekolah Al-Irsyad Jakarta. Semasa hidup dia banyak terjun ke masyarakat untuk mengembangkan misi dakwah dan Muhammadiyah di berbagai daerah di Indonesia .
Tidak ada yang kontroversial dalam perjalanan hidup Yunus Anis sebagai warga Muhammadiyah, terkecuali dalam dunia politik praktis. Dia mengabulkan permintaan Jenderal AH. Nasution, agar bersedia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) yang sedang disusun oleh Presiden Soekarno pada 1959. Kesediaannya menjadi anggota DPRGR mengundang banyak kritikan dari para tokoh Muhammadiyah, karena Muhammadiyah saat itu tidak mendukung kebijakan Soekarno yang membubarkan Masyumi dan menyusun anggota parlemen secara otoriter.
Namun, kritik itu dijawab bahwa keterlibatannya dalam DPRGR bukanlah untuk kepentingan politik jangka pendek, tetapi untuk kepentingan jangka panjang, yaitu mewakili ummat Islam yang nyaris tidak terwakili dalam parlemen saat itu. Sebab, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah menimbulkan berbagai macam peristiwa politik yang tidak sehat, terutama dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dengan kata lain, orang Muhammadiyah 24 karat kok dituduh Ahmadiyah. Apa kata dunia?! Allah A'lam bi al-Shawab.

Diambil dari: http://muhkholidas.blogspot.com/2015/07/yunus-anis-dan-ahmadiyah.html

Monday, July 29, 2019

Civic Islam: Muhammadiyah, NU and the Organisational Logic of Consensus-making in Indonesia

Civil Islam notes a tendency or orientation within Indonesian political Islam that is broadly compatible with electoral democracy and religious pluralism. Scholarly and popular discourses on Islam in Indonesia frequently situate the Muslim civic organisations Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama (NU) within this tradition. Muhammadiyah and NU do play important roles in both reproducing democratic norms and upholding the state’s formal commitment to religious pluralism. However, this is not because of an ideological commitment to civil Islam, but rather an organisational logic of risk management – which shapes both the timing of their interventions in politics and the compromise-oriented solutions they propose. Drawing on analysis of parliamentary contention over pornography and the legal status of the Ahmadiyah sect, I argue that these “big tent” organisations seek compromise solutions designed to preserve their own levels of influence and overcome their own internal ideological cleavages. This article thus suggests a new category of analysis – civic Islam – to describe organisations whose policy interventions are driven more by internal factors than by an ideological commitment to the civil Islamic project.

Monday, June 24, 2019

Muhammadiyah Pasca-Pemilu 2019




Senin 24 Jun 2019 13:15 WIB

Oleh: Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah

REPUBLIKA.CO.ID,
Masih terlontar pertanyaan, bagaimana dan ke mana arah Muhammadiyah pasca-Pemilu 2019? Pertanyaan ini sebenarnya salah alamat  karena yang dituju ormas yang selama ini konsisten pada kepribadian dan khittah perjuangannya yang tidak berpolitik praktis.

Jika pertanyaan itu ditanyakan kepada kalangan partai politik, tentu wajar. Muhammadiyah sebagai ormas yang bergerak dalam misi dakwah dan tajdid, tidaklah berkiprah dalam perjuangan politik praktis.

Dengan demikian, baik sebelum maupun ketika proses dan sesudah pemilu, tidaklah terlibat dalam kontestasi politik. Secara realistis sampai batas tertentu, dinamika politik lima tahunan berpengaruh pada suasana kehidupan kekuatan komponen bangsa, termasuk Muhammadiyah.

Kontestasi politik, sering melibatkan kekuatan masyarakat yang memiliki basis massa kuat dan luas. Namun dinamika pemilu sekeras apapun, tidak serta merta mempengaruhi karakter dan orientasi Muhammadiyah.

Karenanya, bagi masyarakat luas maupun anggota Muhammadiyah, seyogiyanya dipahami posisi dan peran gerakan Islam yang didirikan Kiai  Ahmad Dahlan ini, yang  tidak melibatkan diri dalam kancah kontestasi politik lima tahunan.

Muhammadiyah berkomitmen kuat dalam membangun Indonesia menuju terwujudnya cita-cita nasional. Muhammadiyah berkiprah di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, pemberdayaan, mencerahkan kehidupan beragama, dan pembaruan alam pikiran masyarakat.

Muhammadiyah menjalankan peran kebangsaan dalam mewujudkan perdamaian, persatuan, moralitas, dan kesejahteraan bangsa di seluruh pelosok Tanah Air tanpa membedakan-bedakan agama, suku bangsa, kedaerahan,  dan golongan.

Semuanya berangkat dari komitmen keislaman dan keindonesiaan dalam perspektif Islam berkemajuan untuk rahmatan lil-‘alamin.  Muhammadiyah, senantiasa memposisikan dan memerankan diri sebagai gerakan Islam bermisi dakwah dan tajdid yang nonpolitik-praktis.

Karenanya, pasca-Pemilu 2019 Muhammadiyah tetap istiqamah bergerak di jalan dakwah dan tajdid yang tidak terlibat dalam proses politik praktis, termasuk politik pemilu. Politik kebangsaan Muhammadiyah berada pada tataran “high-politics”, bukan pada “low politics”.


Garis perjuangan

Muhammadiyah tidak akan terombang-ambing arus politik lima tahunan. Muhammadiyah berdasar Khittah Denpasar 2002, memiliki garis yang menjadi pedoman dan arah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, meliputi sembilan poin penting.

Pertama, Muhammadiyah meyakini politik dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu aspek ajaran Islam dalam urusan keduniawian yang harus selalu dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama.

Karena itu diperlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan pilitik untuk tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kedua, Muhammadiyah meyakini, negara dan usaha membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, baik melalui perjuangan politik maupun pengembangan masyarakat, pada dasarnya wahana yang mutlak diperlukan untuk membangun.

Di mana, nilai-nilai Illahiyah melandasi dan tumbuh subur bersamaan dengan tegaknya nilai-nilai kebersamaan, keadilan, perdamaian, ketertiban, keadaban untuk terwujudnya “Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”

Ketiga, Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Sedangkan yang terkait kebijakan kenegaraan akan ditempuh melalui pendekatan secara tepat dan bijaksana sesuai prinsip perjuangan kelompok kepentingan yang efektif dalam kehidupan negara yang demokratis.

Keempat, Muhammadiyah mendorong secara kritis atas perjuangan politik yang bersifat praktis dan berorientasi pada kekuasaan untuk dijalankan oleh partai politik dan lembaga formal kenegaraan dengan sebaik-baiknya.

Dalam hal ini, perjuangan politik yang dilakukan kekuatan politik hendaknya mengedepankan kepentingan rakyat dan tegaknya nilai-nilai utama sebagaimana yang menjadi semangat dasar dan tujuan didirikannya NKRI yang diprolkamasikan tahun 1945.

Kelima, Muhammadiyah senantiasa memainkan peran politiknya sebagai wujud dari dakwah amar ma’ruf nahi munkar dengan jalan memengaruhi proses dan kebijakan negara agar tetap berjalan sesuai konstitusi dan cita-cita luhur bangsa.

Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban.

Keenam, Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan politik atau organisasi manapun.

Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan pollitik dan menjalankan fungsi kritik sesuai prinsip amar makruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban.

Ketujuh, Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota persyarikatan menggunakan hak pilihnya. Penggunaan hak pilih itu harus sesuai tangguang jawab sebagai warga negara yag dilaksanakan secara rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiayah, demi kemaslahatan bangsa dan negara.

Kedelapan, Muhammadiyah meminta anggotanya yang aktif dalam politik untuk melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab, akhlak mulia, keteladanan, dan perdamaian.

Kesembilan, Muhammadiyah senantiasa bekerja sama dengan pihak atau golongan mana pun berdasarkan prinsip kebajikan dan kemaslahatan, menjauhi kemudharatan, dan bertujuan membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah lebih baik, maju, demokratis, dan berkeadaban.

Pasca-Pemilu 2019 sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya memang  selalu ada dinamika politik dalam kehidupan kebangsaan. Sambil menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), semua pihak seyogiyanya menciptakan suasana kehidupan nasional yang kondusif.

Apapun masalah dan dinamika Pemilu 2019, semuanya mesti disikapi dewasa dan harus ada akhirnya. Kelemahan dan kekurangan dalam pelaksanaan pemilu maupun menyangkut kehidupan kebangsaan tentu merupakan realitas yang tidak terhindarkan.

Itu menjadi kewajiban semua pihak untuk memperbaiki dan mencari solusinya ke depan. Lebih dari itu, persatuan dan kepentingan nasional harus diletakkan di atas segalanya karena keberadaan dan masa depan Indonesia tidak dapat dipertaruhkan oleh dinamika kontestsi politik lima tahunan yang temporer!

https://republika.co.id/berita/kolom/wacana/ptlapy440/muhammadiyah-pascapemilu-2019

Wednesday, June 19, 2019

The Multiplicity of Muhammadiyah’s Political Engagement in Indonesia’s DPD Election


Amika Wardana, Syahrul Hidayat

Abstract


The establishment of the DPD (Dewan Perwakilan Rakyat or Regional Representative Council) in Indonesia in 2004 has provided individuals and civil society organizations such as Muhammadiyah with the opportunity to participate in the legislative process without formally entering politics. As exemplified by three cases in Yogyakarta, South Sulawesi and West Sumatra, three local Muhammadiyah branches have participated in the last three DPD elections (2004, 2009, and 2014), with each winning a seat each in the 2014 election. This reveals the inherently political nature of civil-cum-Islamic social-religious organizations such as Muhammadiyah, which will manifest itself whenever opportunities become available. Yet, due to different organizational strengths and the social-cultural capital of each local branch office, diverse approaches and political strategies were used to mobilize members and sympathizers, thereby encouraging them to vote.

Keywords


Muhammadiyah; Political Islam; Regional Representative Council; Indonesia Elections

Wednesday, May 29, 2019

Beda Tipis Nahy Munkar dan Back Up Perbuatan Makar

Oleh: Nurbani Yusuf 

Narasi politik identitas telah demikian mengeras. Sebagian malah tak lagi bisa bedakan antara narasi agama dan narasi politik yang dibalut agama: kezaliman, kafir, munafik, kriminalisasi ulama, nahy munkar, telah mengalami reduksi apakah menjadi ranah politik atau ranah agama.

Politisasi agama telah demikian massif dan terstruktur–saya pikir inilah kemenangan yang lebih besar daripada jabatan Presiden yang hanya berbatas lima tahun. Tapi Framing politik identitas akan menjadi sebuah gurita yang sangat menentukan perjalanan bangsa ke depan.

Muhammadiyah berada pada pusaran konflik konsep identitas yang terus menggerus akal sehat menjadi akal jahat. Sebuah permufakatan untuk menggulingkan sebuah rezim dibebankan kepada Muhammadiyah. Ada upaya serius mendorong Muhammadiyah menjadi bagian terdepan atas nama nahy munkar. Sebagian tidak bersabar dan menganggap Muhammadiyah kurang reaktif–melempem lamban– tidak responsif bahkan ada yang keji menuduh pimpinan Muhammadiyah sudah dibeli–satu fitnah keji terhadap ulama dan pimpinan Muhammadiyah. Saya menyangkal semua tuduhan itu dan akan menjadi yang terdepan melakukan pembelaan terhadap sikap PP.

Syahwat politik sebagian jamaah menjadi pemantik–menagih agar Muhamadiyah menjadi semacam pengawal revolusi–menumbangkan rezim atau apapun yan
g mereka inginkan. Muhammadiyah bukan pesawat tempur untuk bermanuver.  Atau menjadi semacam buldozer atau kapal keruk pengangkut sampah segala kemungkaran bagi kelompok atau partai politik tertentu.

Realitasnya konsep nahy munkar menjadi alat paling ampuh untuk membenarkan semua keinginan dan kehendak politik overdosis. Narasi politik telah diubah menjadi narasi agama yang bernuansa teologis. Lantas dicarikan pembenaran lewat ayat ayat.

Imam besar Habib Rizieq dan ustadz Bahtiar Nashir pun sedang khusyu’ Itikaf di tanah haram, FPI yang biasanya penuh ghirah pun rehat. BPN telah menyerahkan kepada MK. PA 212 juga sudah mencukupkan diri. AHY dan Zulhas telah merapat ke istana sementara para anggota partai koalisi sibuk menghitung kursi di parlemen kenapa ada sebagian jamaah Muhammadiyah pada ribut.

Kenapa Muhamadiyah diseret-seret? Jawabnya jelas : karena aktisfis politik Identias tak mau kehilangan legitimasi teologis– setelah  FPI dan HTI tiarap maka Muhammadiyah menjadi kapal pesiar yang layak dijadikan tempat persinggahan–syukur bisa mempengaruhi nahkoda untuk belok arah.

Para ulama Muhamadiyah menjadi sangat berat antara tetap menjaga Khittah atau mengikuti syahwat politik–bahkan lebih berat ketimbang membangun sebuah Universitas–menjaga dan menyeimbangkan cara pandang adalah pekerjaan berat yang melelahkan butuh energi dan pikiran jernih. Saya bersyukur semoga para ulama MuhammadiyJ diberi keteguhan, keberkahan,  kebersihan hati, kebeningan pikir dan kearifan dalam memutuskan. Aamiin

Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar


http://www.suaramuhammadiyah.id/2019/05/29/beda-tipis-nahy-munkar-dan-back-up-perbuatan-makar/


Tuesday, May 14, 2019

Tradisi Iqra dan The Death of Expertise

Pengajian Ramadan PP Muhammadiyah, di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 9-11 Mei 2019 tentang Risalah Pencerahan: Reaktualisasi Nilai Iqra dalam Kehidupan  Universal. My paper: "Tradisi Iqra dan The Death of Expertise"








Saturday, March 30, 2019

"Muhammadiyah", Oxford Islamic Studies Online

Muhammadiyah is the largest modernist movement in Indonesia, claiming to have more than 30 million members and sympathizers. Besides being characterized as modernist Islam, the Muhammadiyah has also been characterized as Calvinist Islam, Protestant Islam, Puritan Islam, and reformist Islam. The establishment of the movement in 1912 was partly inspired by the Islamic reform movement in Egypt led by Muḥammad ʿAbduh. It has successfully implemented that reform into practice by achieving enormous success in three areas: education, health care, and philanthropic activities.

Burhani, Ahmad Najib . "Muhammadiyah." In Oxford Islamic Studies Online. Oxford Islamic Studies Online, http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t343/e0296 (accessed Mar 28, 2019).


Monday, March 4, 2019

Kelompok Minoritas sebagai Kategori Mustadh’afin



Oleh Ahmad Najib Burhani 

Apakah kelompok minoritas itu perlu ditemani dan dibela? Jika jawabannya “ya”, apa landasan teologis untuk menemani minoritas? Dan siapa yang disebut sebagai minoritas? Tuntutan untuk menemani dan melindungi minoritas dalam dalam konteks HAM (Hak Asasi Manusia) tentu sudah tidak asing dan tak diragukan lagi. Demikian pula dalam konteks kewarganegaraan (citizenship). Namun dalam konteks agama, terutama dalam konteks mutakhir sekarang ini, hal ini masih perlu terus diingatkan kembali. Ini karena, seperti dikemukakan oleh Robert W. Hefner (2019), menemani minoritas, “bisa saja dilihat oleh sebagian dari warga negara sebagai wacana yang kering ataupun kosong – karena dianggap terlalu jauh dari nilai-nilai warga negara yang berdasar atas agama yang dimiliki masyarakat itu”. Di sinilah pentingnya pembahasan teologis tentang minoritas atau mustadh’afin.

Mustadh’afin merupakan tema dan istilah yang telah hadir sejak kedatangan Islam. Menurut catatan Abad Badruzaman (2007, 5), istilah ini disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 13 kali. Namun jika mengacu kepada kata asalnya dan berbagai derivasinya, seperti dhu’afa, maka Al-Qur’an menyebutkannya sekitar 52 kali. Istilah ini sering diterjemahkan sebagai mereka yang lemah, dilemahkan, dihina, didiskriminasi, ditindas, mengalami marjinalisasi, dan sejenisnya. Beberapa penerjemahan dalam Bahasa Inggris untuk istilah ini adalah “brotherhood of the oppressed”, “the oppressed and dispossessed”, “poor and marginalized people”, “the downtrodden”, atau “the abased on earth”.

Dalam masyarakat Islam, kelompok yang dimasukkan dalam kategori mustadh’afin seringkali terbatas pada kelompok fakir dan miskin. Namun ketika Moeslim Abdurrahman memimpin Lembaga Pemberdayaan Buruh, Tani, dan Nelayan (LPBTN) Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada 2000-2005, ia memperkenalkan konsep “the new mustadh’afin” yang keluar dari kategori tradisional dari konsep ini. Mereka yang disebut mustadh’afin bukan hanya fakir miskin, tapi juga mereka mengalami ketertindasan secara sosial dan struktural atau, dalam bahasa Moeslim Abdurrahman (2004, xvi), “’Miskin’ dan ‘mustadh’afin’ sebagai kategori sosial yang lahir dari penindasan struktur kapitalisme nasional maupun global yang tidak adil.”

Apa yang dilakukan oleh Moeslim Abdurrahman itu, meski belum banyak menuai hasil, namun paling tidak berhasil menyodorkan perspektif baru yang membuka wawasan di Muhammadiyah terkait mustadh’afin. Bahwa banyak dari kelompok fakir dan miskin itu menjadi dhu’afa bukan karena mereka malas bekerja, tapi ada yang disebut dengan struktur kemiskinan, kelas dan dosa sosial, matrix penindasan, dan seterusnya. Banyak orang miskin yang justru bekerja 24 jam sehari dan tujuh hari dalam seminggu. Mereka menjadi miskin karena kondisi nasional dan global yang tidak memungkinkan mereka bangkit dari kemiskinannya. Mereka menjadi miskin karena ekonomi digenggam oleh kekuasaan TNC (Trans-National Capitalist Network) yang kadang melakukan “perselingkuhan dengan elite nasional, kaum komprador” (Tuhuleley, 2015).

Meski telah berhasil memberikan perspektif baru tentang ketimpangan sosial dan konsep mustadh’afin, apa yang dilakukan oleh Moeslim Abdurrahman, dan kemudian dilanjutkan oleh Said Tuhuleley, itu masih terfokus kepada ketertindasan dan ketidakadilan secara ekonomi. Padahal, mustadh’afin itu tidak selalu mengacu kepada ekonomi.

Salah satu ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang mustadh’afin adalah Al-Qashash 28: 5, “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)”. Ayat ini berbicara tentang Bani Israil yang ditindas oleh Fir’aun. Makna ketertindasan tentu lebih luas dari persoalan ekonomi, atau bahkan ekonomi bukan merupakan aspek yang utama.

Ayat lain yang berbicara tentang mustadh’afin terdapat dalam Surah Al-Nisa’ 4: 75: “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!’”. Sama seperti ayat yang dikutip sebelumnya, ketertindasan di sini bukanlah terkait persoalan ekonomi, tapi diskriminasi dan persekusi oleh mereka yang kuat kepada mereka yang lemah, atau adanya kelompok superordinate yang bertindak sewenang-wenang terhadap kelompok subordinate.

Karena konsep mustadh’afin itu tidak terkungkung pada dimensi ekonomi, maka berbagai kelompok minoritas yang tertindas, termasuk kelompok minoritas agama, bisa masuk dalam kategori mustadh’afin. Konsekuensinya, adalah sebuah religious imperative (keharusan agama) dan religious call (penggilan keagamaan) untuk melakukan pembelaan terhadap kelompok minoritas. Menemani minoritas adalah level yang lebih rendah daripada melakukan pemberdayaan atau pembelaan terhadap minoritas. Namun menemani minoritas (becoming a friend of minorities) sudah merupakan upaya untuk memenuhi panggilan Allah tersebut.

Dalam konteks Indonesia, pembelaan kepada mereka yang tertindas juga merupakan makna dari Sila Kelima Pancasila, “Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sekali lagi jika keadilan itu tidak hanya dibatasi maknanya dalam aspek ekonomi dan keadilan itu tidak dikekang maknanya dalam batasan proporsional atau jumlah penduduk.

Dalam pembangunan bangsa, dikenal istilah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Dalam distribusi zakat oleh Lazismu juga terdapat istilah 3T yang berarti Tertinggal, Terpencil, dan Terbelakang. Namun mereka yang “Termarjinalisasi” dan “Tertindas” secara sosial dan agama sering luput dari sasaran zakat atau bahkan kadang dihalang-halangi untuk menjadi penerima zakat, infak, dan sadaqah. Seperti yang digambarkan oleh Hilman Latief, Direktur Utama Lazismu (Lembaga Amil Zakat Infaq, dan Sadaqah) Muhammadiyah, dalam tulisannya “Philanthropy and ‘Muslim Citizenship’ in Post-Suharto Indonesia” (2016), ketika organisasi filantropi Islam hendak memberikan bantuan kepada orang-orang Syiah Sampang yang terusir dari kampung halamannya, sejumlah kelompok Islam mengkritik langkah itu. MUI (Majelis Ulama Indonesia), menurut Latief, bahkan tidak berbicara tentang perlunya  mendistribusikan zakat kepada para pengungsi itu.

Dalam beberapa kasus, hanya mereka yang mau “convert” (berpindah keyakinan) menjadi pemeluk Sunni Islam yang diberi zakat dan dimasukkan dalam kategori muallaf. Sementara para mustadh’afin lain dari kelompok Ahmadiyah dan Syiah dibiarkan menderita. “Whereas there were a number of Islamic philanthropic organizations active in raising funds from the public, only a few of them were willing to openly provide aid for Shi’a refugees in Sampang, Madura” (Sementara ada sejumlah organisasi filantropi Islam yang aktif dalam mengumpulkan dana dari publik, hanya beberapa dari mereka yang bersedia secara terbuka memberikan bantuan kepada para pengungsi Syiah di Sampang, Madura) (Latief 2016, 279).

Sunday, February 17, 2019

Beragama yang Mencerahkan

Ahmad Najib Burhani*


Dalam naskah yang diajukan ke ISEAS-Yusof Ishak Institute, Hafiz Al Azad (2018) membuat judul yang sangat provokatif untuk menggambarkan media sosial dan dunia maya lainnya, yaitu cyber jahiliyyah. Istilah itu mengacu kepada berbagai bentuk sektarianisme (algorithmic enclaves) dan carut-marut dunia maya yang seakan belum menerima pencerahan dengan kehadiran seorang Nabi. 


Masyarakat Jahiliyah Arab pra-Islam sering digambarkan sebagai masyarakat penyembah berhala, membunuh anak-anak, memperbudak dan memperdagangkan manusia, dan juga menjadikan perempuan sekadar sebagai properti. Dunia maya saat ini juga digambarkan sebagai tempat yang uncivilized atau belum memiliki peradaban dan menunggu kehadiran "nabi" atau "filosof" yang bisa memberi pedoman moral.


Ketakberadaban dunia cyber itu semakin terasa dalam suasana politik dimana masyarakat mengalami polarisasi yang keras. Sikap ‘ashabiyyah atau sektarianisme itu muncul dalam kecenderungan untuk hanya memiliki kawan dan informasi sepihak. Kita kadang bahkan memutus perkawanan, meng-“unfriend”, dengan mereka yang berseberangan pandangan. Dunia digital menjadi digital fortresses (benteng) yang membentengi kita dari informasi yang berbeda.


Sedihnya, alih-alih menjadi “sang pencerah”, agama saat ini justru menjadi kompor bagi panasnya suasana politik, terutama di dunia maya. Politik identitas dengan menggunakan agama menjadi warna yang kental dalam kontestasi pemilihan presiden dan membelah masyarakat menjadi dua kubu yang terus berhadapan dan saling menghujat. Inilah yang mendasari pemilihan tema Tanwir Muhammadiyah di Bengkulu 15-17 Februari 2019, yaitu “beragama yang mencerahkan”.


Spiritualisasi, Komodifikasi, dan Politisasi

Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, melihat tiga model keberagamaan yang saat ini menggejala di masyarakat, yaitu: spiritualisasi, komodifikasi, dan politisasi.


Maksud spiritualisasi di sini mengacu kepada kecenderungan pada orientasi ritual dan spiritual, serta lupa bahwa misi utama dari perintah keagamaan itu adalah pengejawantahannya dalam urusan dunia dan kemanusiaan. Pada pengajian di kantor Muhammadiyah Menteng (8/2), Haedar Nashir, misalnya, mencontohkan tentang fenomena masyarakat yang memiliki semangat beribadah yang begitu luar biasa. Bahkan berapa pimpinan daerah, menurutnya, mewajibkan untuk sholat berjamaah. Namun demikian, dalam kehidupan sosial mereka ini tidak mencerahkan. 


Sealur dengan kritik terhadap spiritualisasi di atas, Hajriyanto Thohari (2015) juga melihat bahwa keberagamaan kita itu cenderung inward-looking yang membuat masyarakat kita, meski majemuk, tapi segmented (terbelah) dan segregated (terkotak-kotak). Dengan mengutip ungkapan yang cukup terkenal, Hajriyanto menyebutkan bahwa mestinya menjadi religious itu menjadi interreligious (to be religious today is to be interreligious). “Bahwa tanpa memahami iman tetangga, orang atau komunitas beragama yang hidup dalam masyarakat yang majemuk bahkan tidak dapat memahami dirinya sendiri” katanya. Namun pada kenyataannya tidak demikian.


Selain kecenderungan negatif terkait spiritualisasi, komidifakasi agama juga menjadi sesuatu yang trendi saat ini. Istilah sederhananya, agama menjadi “ladang bisnis”. Ini bisa dilihat dengan maraknya tour dan travel yang menawarkan Umrah dan Haji atau ziarah ke tempat-tempat suci, penjualan berbagai jenis jilbab dan fashion show Muslim, semaraknya labelisasi halal dan sertifikasi syariah, digandrunginya film dan musik-musik religi, serta berkembangnya kluster perumahan dan pekuburan berdasarkan agama tertentu. Tentu ini tak sepenuhnya negatif, tapi seringkali karena ghirah (semangat) beragama yang tinggi di masyarakat, ada perusahaan yang memanfaatkannya dengan menipu dan menelantarkan para jemaah umrah. 


Gejala keberagamaan lain yang marak di masyarakat adalah politisasi agama, dalam arti menjadikan agama semata-mata sebagai tunggangan untuk meraih ambisi politik. Amin Abdullah menggambarkan ini dengan menyebut agama sebagai alat untuk antem-anteman. Alih-alih saling menasehati, para dai dan penceramah sibuk saling melempar hoax, fitnah, dan kebencian. Kubu yang satu menuduh kelompok lain tak bisa wudlu dan sholat, sementara kubu lainnya membalas dengan menyebut lawannya sebagai anti-Islam.


Tanwir Muhammadiyah

Di tengah polarisasi masyarakat dan ancaman perpecahan bangsa, Muhammadiyah mengajak bangsa Indonesia, khususnya warga Muhammadiyah, untuk kembali “beragama yang mencerahkan”. Ini tidak lain dari upaya untuk menegakkan kembali misi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam). Semangat dari Tanwir, yang makna harfiyahnya adalah “pencerahan”, adalah membangkitkan kembali elan vital dari agama dan mengubah citra negatifnya yang belakangan ini berkembang di sebagian masyarakat. Unsur pembebasan, bukan unsur pembelenggu, dari agama yang hendak terus ditampilkan.


Sebagai penutup, dalam bukunya Progressive Muslims: On Justice, Gender, dan Pluralism (2003), Omid Safi menerjemahkan Progresivisme atau Berkemajuan itu dengan mengacu kepada beberapa sikap, yaitu: 1) beyond apologetics (melampaui sikap apologetik), 2) no more “pamphlet Islam” (tak lagi menjadikan Islam sebagai lipstick), 3) Islam beyond “tolerance” (sudah melewati tahapan toleransi), dan 4) Islam beyond “religion of peace” (Islam sebagai agama yang damai itu sudah mendarah-daging). Dengan semangat tanwir dan dengan slogannya sebagai Islam Berkemajuan, semoga karakter-karakter yang disebut Safi itu bisa betul-betul dibangkitkan di Muhammadiyah dan gerakan ini menjadi pelopor bagi keberagamaan yang mencerahkan.

-oo0oo-


Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah; Peneliti Senior LIPI 



Sunday, February 10, 2019

Wartawan Itu adalah Ketua Umum Muhammadiyah




Oleh: Deni Al Asy'ari
Haedar Nashir, adalah sosok yang tidak asing bagi Republik ini, terutama di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah. Beliau adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2015-2020 menggantikan Prof. Din Syamsuddin yang menjabat Ketua Umum PP Muhammadiyah sebelumnya.

Sebelum beliau menduduki jabatan sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sosok ideolog Muhammadiyah ini, mengawali karir dan perjalanan hidupnya dengan mengambil pilihan profesi sebagai wartawan Majalah Suara Muhammadiyah.

Profesi sebagai wartawan, beliau jalani sejak menempuh pendidikan tinggi S1 dan S2 di Yogyakarta. Bahkan, walaupun kini beliau sudah berada pada puncak kepemimpinan di organisasi Muhammadiyah, profesi sebagai seorang penulis, tidak begitu saja hilang dari dalam tradisi kehidupan Haedar.

Banyak karya-karya tulis Haedar yang terus hadir dalam berbagai bentuk seperti buku, artikel, kolom dan lainnya, yang kini telah menjadi konsumsi publik. Bahkan hingga saat ini, Haedar masih menekuni dunia jurnalis dengan menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Suara Muhammadiyah.
_______________________________
Dua gambar ini, menunjukkan 2 aktivitas orang yang sama dalam waktu dan status yang berbeda. Gambar pertama, merupakan bukti saat Haedar Nashir berprofesi sebagai seorang wartawan majalah Suara Muhammadiyah, ketika melakukan wawancara dengan seorang peneliti asal Jepang, Mitsuo Nakamura di Gedung PP Muhammadiyah Yogyakarta.

Sementara foto Kedua adalah, saat Haedar Nashir menjadi keynote speak selaku ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat peluncuran buku Karya Mitsuo Nakamura di Gedung PP Muhammadiyah Jakarta.

Selamat Milad 104 Th Majalah Suara Muhammadiyah " Inspirasi Literasi Islam Berkemajuan"
Selamat Hari Pers Nasional 9 Februari 2019

Sunday, January 27, 2019

Muhammadiyah in the Political Year

Ahmad Najib Burhani, Senior Researcher of LIPI
By AHMAD NAJIB BURHANI 25 Januari 2019 · 14:06 IWST

Since the 1998 reform era, Muhammadiyah has always tried to maintain neutrality in politics.

During the leadership of Ahmad Syafii Maarif (1998-2005), with his slogan “keeping the same distance from all political parties”, it could be said that Muhammadiyah applied a policy of “passive neutrality”.

In the period of Din Syamsuddin’s leadership (2005-2015), Muhammadiyah changed from passive neutrality to active neutrality with the slogan “maintaining the same closeness with all political parties”. What is the politics of Muhammadiyah under the leadership of Haedar Nashir (2015-2020), especially in facing the presidential election on April 17, 2019?

Different from the previous periods, now there is no specific slogan to form Muhammadiyah’s relations with politics. The absence of certain slogans can have various interpretations. It is possible that Muhammadiyah chooses to be apolitical and it could also be a manifestation of confusion amid the acute political polarization, including within Muhammadiyah itself.

As Haedar Nashir has repeatedly emphasized that this time Muhammadiyah has chosen to become a “bridge” in dichotomous national politics. “If all mass organizations and Islamic institutions are included in the political sphere, there will be politicization in Indonesia,” he said.

In choosing to act as a bridge in national politics, which is often divided between kampret (microbat) and kecebong (tadpole) or “Islamists” and “Pancasila”, and bridging unbalanced relations between the minority and the majority – which frequently have to take steep and winding roads – an organization or a person must be prepared to get nothing in return and even be maligned by the two competing camps.

Defective candidates

Muhammadiyah realizes that when all sanity is lost in politics, there needs to be a group that wa tawashou bil haqqi wa tawashou bis shobr (exhorts others to practice truth and patience).

Each camp today seems to be blind to the weaknesses and shortcomings of its candidate. They try, borrowing a term from Avishai Margalit in his book, The Ethics of Memory (2000), to “forget” and “forgive” any wrongs or injustices perpetrated by its candidate.

One camp forgets all allegations of human rights (HAM) abuse leveled against its presidential candidate and presents its vice-presidential candidate with an aura of kesantrian (related to Islamic boarding school students) or even keulamaan (related to clerics). Meanwhile, the other side must tolerate “a bit of intolerance” by appointing several people with questionable track records concerning intolerance as a core part of their candidacy to fortify themselves against the use of identity issues.

They have even adopted elements of authoritarianism in their government in order to win the 2019 presidential election (Tom Power, 2018). Even though many of the supporters of the two camps know about these shortcomings and previously denounced them, they have chosen to be silent for now.

For the sake of akhaffud dararain (choosing the one who poses the least harm), they said.

Various Islamic organizations have chosen to enter the political arena. In fact, the offices of certain Islamic organizations have been turned into party offices or posts for the presidential campaign.

This has played a role in influencing the birth of polarization, leading to confrontation between Islamic groups, such as “NU vs the rest of Islam” or “Islam Nusantara vs other Islam”.

The dichotomy that is developing is no longer between Muslims and non-Muslims, but “traditional santri” vs “millennial santri” or “old santri” vs “new santri”. The first group is the santri and traditional Islamic boarding school alumni, the second group is alumni of halaqoh-halaqoh (group discussion) education on various campuses and an alumni movement against the candidacy of Basuki Tjahaja Purnama as the governor of Jakarta in December 2016.

If in the 1990s the new santri, who were considered as the alumni of state Islamic institutes (IAIN) or the State Islamic University (UIN), now they are no longer included in the category of new santri, but had become the old santri.

The NU-PNI-PKI Alliance of the past has often been mentioned on various social media platforms. Resistance to Islam Nusantara has also occurred in several regions, such as West Sumatra, North Sumatra and Banten. Some people are afraid that Nahdlatul Ulama (NU) will become part of the center of power, thereby preventing other Muslims from doing so, as happened in the case of Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Muhammadiyah’s tasks

Besides the aforementioned polarization, there are also different understandings of Pancasila and nationalism, between groups that want a sharia-based nation and those who do not, between Pancasila and the literal interpretation of its main principle, or “Pancasila with indivisible oneness”, and “Pancasila that is inclusive and pluralist “.

These various clashes and potential divisions in the community seem to be the reason that Muhammadiyah as an institution has chosen not to enter practical politics. “So that this nation has security assurances. If all religious institutions were to fight for political interests, the nation would become increasingly politicized,” is Muhammadiyah’s stance, as confirmed by Haedar Nashir.

The task of Muhammadiyah is to maintain the integrity and sovereignty of the nation and is it currently trying to act as a bridge that brings together various opposing groups.

The presidential election is a five-year political process that is part of the dynamics of our nation’s life. Do not let this process lead to a rift within the nation or hostility. This is the moral message that is often conveyed by Muhammadiyah.  (Ahmad Najib Burhani, Senior Researcher of LIPI)

https://kompas.id/baca/utama/2019/01/25/muhammadiyah-in-the-political-year/