Monday, May 11, 2020

Islam Berkemajuan, Apa Itu?

Islam Berkemajuan, Apa Itu? (I)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Sudah berjalan selama tujuh tahun tema “Islam Berkemajuan” yang diusung pertama kali dalam Muktamar Muhammadiyah ke-46 tahun 2010 di Yogyakarta. Sejak itu ungkapan ini telah menjadi wacana publik. Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-47 tahun 2015 di Makassar, tema ini dikuatkan lagi oleh penegasaan jati diri Muhammadiyah dalam ungkapan “Gerakan Pencerahan” (al-harakah al-tanwîriyah).
Kedua tema yang memuat pemikiran besar itu telah diulas oleh beberapa penulis dan intelektual muda Muhammadiyah dalam buku: Alpha Amirrachaman, Azaki Khoirudin dkk (ed.), Islam Berkemajuan untuk Peradaban Dunia, Refleksi dan Agenda Muhammadiyah ke Depan. Bandung: Mizan, 2015, tebal 348 halaman. Karya lain yang masih terkait dieditori oleh Hajriyanto Y. Thohari, Ahmad Fuad Fanani, Andar Nubowo, dan Muhd. Abdullah Darraz, Becoming Muhammadiyah: Autobiografi Gerakan Islam Berkemajuan. Bandung: P.T. Mizan Pustaka, 2016, setebal 324 halaman. Di bagian akhir saya akan membuka wacana baru yang belum tersentuh oleh pemikiran anak muda yang kreatif ini.
Pemikiran reflektif kaum muda Muhammadiyah ini perlu dibaca dan dicermati oleh warga Persyarikatan, termasuk oleh generasi yang lebih tua gerakan Islam ini dari tingkat pusat sampai ke tingkat ranting. Kebiasaan membaca ini dalam pantauan saya belum intensif dan sungguh-sungguh jadi budaya dalam Muhammadiyah. Tanpa penggalakan budaya baca ini, maka slogan “Islam Berkemajuan” hanya akan beredar di lapisan elite, tidak menyentuh akar rumput. Aktivisme mesti diimbangi oleh kegiatan literasi. Minimal, warga Persyarikatan mau dan gemar membaca Suara Muhammadiyah, sebuah majalah tertua di Indonesia yang usianya sudah melampaui satu abad. Untuk bacaan yang lebih mendalam dan luas, sumber-sumber intelektual kontemporer Islam harus dijadikan pertimbangan dalam memperkaya cara kita berfikir. 
Salah satu akibat dari malas membaca adalah terputusnya rantai komunikasi antara elite (–belum tentu semua juga gemar membaca–) dan warga pada umumnya. Situasi ini akan sangat merugikan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern. Komunikasi yang terputus ini rentan untuk memicu sikap salah faham yang tidak perlu. Oleh sebab itu, jika ada perbedaan penafsiran dalam membaca Islam sebagai agama atau Islam sebagai fenomena sosiologis, pintu dialog harus dibuka selebar-lebarnya tanpa prasangka. Melalui dialog yang cerdas dan konstruktif ini, wacana “Islam Berkemajuan” akan menjadi sangat kaya dan saling mengisi dengan al-Qur’an sebagai rujukan tertinggi.
DR. Haedar Nashir, Ketum PP Muhammadiyah (2015-2020) dalam  Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010) mengaitkan konsep “Islam Berkemajuan” itu dengan agenda pembaruan pemikiran: “Agenda pembaruan pemikiran…bukanlah barang mewah bagi Muhammadiyah karena sejak awal telah memelopori pembaruan, lebih jauh lagi karena tantangan zaman memang menghendaki pembaruan sebagai sebuah keniscayaan manakala tidak ingin terperangkap pada kejumudan.” (Hlm. 416). Bolehjadi istilah berkemajuan dalam kemasan baru sekarang ini disemangati oleh diktum dalam AD (Anggaran Dasar) Muhammadiyah 1912, artikel 2 ayat b yang berbunyi: memajukan hal Igama kepada anggauta-anggautanya.”
Dalam konteks suasana zaman, konsep “memajukan” sungguh terasa revolusioner di tengah himpitan konservatisme Islam yang mematikan otak dan hati saat itu. AD 1912 sungguh pun sederhana yang hanya terdiri atas 12 artikel, tetapi telah memuat gagasan-gagasan maju yang mendahului zamannya, padahal Ahmad Dahlan tidak pernah mendapat pendidikan Barat. Besar kemungkinan gagasan baru itu adalah hasil dari interaksinya dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang umumnya berpendidikan modern. Lebih jauh Haedar menulis: “Dalam matarantai pembaruan pemikiran yang diperlukan itu Muhammadiyah dituntut untuk mengembangkan perangkat-perangkat pemikiran Islam yang bersifat fundamental seperti pengembangan tafsir Al-Qur’an dan perumusan Al-Islam yang komprehensif sebagai langkah awal menuju pengayaan pembaruannya dalam bidang pemikiran Islam.” (Hlm. 417).
Pada saatnya dalam seri artikel ini saya akan memberikan pandangan tersendiri tentang muatan “perangkat-perangkat pemikiran Islam yang bersifat fundamental” itu untuk  didiskusikan lebih dalam dan tenang dalam suasana akademis yang terbuka dan jujur. Kelahiran Muhammadiyah yang fenomenal di lingkungan kultur Jawa yang pekat belum sepenuhnya dapat saya fahami yang kali ini hanya disinggung selintas saja pada bagian II artikel ini. Bersambung.
(Tulisan pernah dimuat pada Majalah Suara Muhammadiyah 01/103, Januari 2018)
 Islam Berkemajuan, Apa Itu? (II)
Sekalipun semuanya itu telah menjadi realitas zaman yang berlangsung secara dinamis sampai hari ini, munculnya Muhammadiyah di sekitar Kraton Kesultanan Yogyakarta bagi saya masih mengundang tanda tanya: mengapa gerakan Islam tipe ini bisa tumbuh di sana. Bukankah lingkungan Kraton itu sendiri nyaris sepi dari pengaruh Islam berkemajuan? Bung Ahmad Najib Burhani memang telah menjelaskan masalah ini dalam Islam Jawa (Jakarta: Al-Wasat, 2010, tebal 173 halaman), pertanyaan saya rasanya belum terjawab sepenuhnya oleh buku bagus ini.
Artikel ini tidak akan membicarakan hubungan Muhammadiyah dengan kultur Jawa, tetapi akan mencoba memberi tafsiran atas hakekat Islam berkemajuan itu yang dikaitkan dengan fakta kemunduran dramatis peradaban Muslim Arab yang sudah berlangsung selama puluhan abad. Bahwa Islam tidak mungkin dilepaskan dari persoalan yang serba Arab (‘urûbah/arabisme), tak seorang pun yang bisa menyangkalnya. Tetapi apakah semua unsur arabisme itu adalah perwujudan Islam yang yang benar? Apakah tidak perlu dikoreksi bahwa ada bagian-bagian penting dari arabisme itu yang telah menghancurkan Islam dari dalam yang seluruhnya menyimpang dari al-Qur’an? Gagasan Islam Berkemajuan tanpa membicarakan arabisme ini akan kehilangan jejak sejarah, dan kita hanya akan berputar pada lingkaran setan yang tunaarah.
Arabisme juga menyangkut karakter, adat kebiasaan, kultur, cita-cita, dan tujuan-tujuan politik manusia Arab. Nabi Muhammad s.a.w. dengan bimbingan wahyu  telah berhasil mengislamkan unsur arabisme yang buruk dan destruktif itu sampai batas-batas yang jauh. Persaudaraan yang semula berdasarkan kesukuan (tribalisme) dan perkerabatan diganti dengan persaudaraan berdasarkan iman yang nilainya universal. Arabisme yang sarat dengan sifat kemegahan duniawi dengan kecenderungan menumpuk kekuasaan dan kekayaan sebanyak-banyaknya, dikoreksi al-Qur’an bahwa harta itu tidak akan membuat pemiliknya kekal di muka bumi. Dalam al-Qur’an surat al-Humazah ayat 2-3 digambarkan sifat rakus harta itu dengan: “alladzî jama’a mâlan wa ‘addadah; yahsabu anna mâlahu akhladah” (yang mengumpulkan harta dan selalu menghitung-hitungnya; dia mengira bahwa hartanya akan membuat dia kekal selama-lamanya).
Sebagian besar elite oligarkis Arab Quraisy pada mulanya adalah penentang gerakan Muhammad yang paling bengis dan brutal. Kesaksian sejarah pada periode Mekah (610-622) adalah bukti autentik tentang perlawanan mereka yang sengit itu. Barulah di ujung periode Madinah (622-632) mereka takluk karena kekuatan Islam tidak bisa dilawan lagi. Di antara elite Quraisy itu adalah puak Bani Umayyah yang hanya segelintir saja di antara mereka yang mau beriman kepada Muhammad. Salah satunya adalah ‘Ustmân bin ‘Affân yang kemudian menduduki posisi sebagai khalifah ke-3 sesudah Abû Bakr dan ‘Umar bin Khattâb.
Di masa ‘Ustmân (644-656) ini arabisme destruktif mulai tidak terkendali yang kemudian membawa kematiannya melalui pembunuhan yang dilakukan oleh sekelompok Arab Muslim yang tidak puas. Naiknya ‘Alî bin Abî Thâlib (656-661) yang idealis sebagai khalifah ke-4, komunitas Muslim Arab sudah terbelah. Nasibnya yang tragis karena dibunuh oleh mantan pengikutnya telah memberi peluang bebas kepada gubernur Suriah di Damaskus Mu’âwiyah bin Abî Sufyân dari Bani Umayyah memenuhi ambisinya untuk berkuasa yang sebelumnya didahului oleh perang saudara di Shiffîn (657). Perang ini adalah perang saudara kedua antara pasukan khalifah ‘Alî dan pasukan Mu’âwiyah. Sekiranya ‘Alî tidak terbunuh bolehjadi jalan sejarah Muslim akan berbeda. Tetapi harus dicatat seorang ‘Alî yang pintar dan lurus sering dilemahkan oleh wataknya yang kaku tanpa kenal kompromi.
Sebelum Perang Shiffîn pasukan ‘Alî pada 656 juga harus terlibat dalam pertempuran dalam Perang Onta selama empat jam yang melibatkan Țhalhah bin ‘Abdullah, al-Zubair bin al-‘Awwâm, bahkan ‘Aisyah binti Abû Bakr, janda nabi, juga terseret dalam konflik sesama Muslim ini. Dua tragedi ini tidak bisa dibaca sambil lalu, sebab menyangkut para kader nabi yang dampaknya masih dirasakan sampai hari ini. Bagi saya noda sejarah ini tidak perlu ditutupi. Ini adalah salah satu bentuk misguided arabism (arabisme yang keluar dari petunjuk agama). Di masa modern adalah Prof. Mahmoud M. Ayoub dalam The Crisis of Muslim History: Religion and Politics in Early Islam (Oxford-England: Oneworld Publications, 2009) yang berani secara jujur mengungkap konflik elite Arab masa awal ini yang dampaknya masih berlangsung sampai hari ini. Sumber-sumber yang dipakai hampir seluruhnya berasal dari para penulis Arab Muslim, seperti al-Thabarî, al-Suyûthî, al-Mas’ûdî, dan sederet nama besar lainnya. Kritik saya terhadap buku Prof. Ayoub ini mengapa karya besar Ibn Khaldun al-Muqaddimah tidak dipakai sebagai salah satu rujukan, padahal dalam karya ini Ibn Khaldun banyak sekali melihat kelemahan penulisan sejarah oleh sejarawan-sejarawan Arab Muslim itu. Bersambung.
(Tulisan pernah dimuat pada Majalah Suara Muhammadiyah 02/103, Januari 2018)
Islam Berkemajuan, Apa Itu? (III)
Coba kita telusuri bagian mana saja dari arabisme itu yang berada dalam kategori positif dan konstruktif dan bagian mana pula yang negatif dan destruktif dengan menempatkannya dalam parameter al-Qur’an dan ajaran kenabian. Melalui cara ini diharapkan konsep “Islam Berkemajuan” itu akan mampu memilah secara kritikal bagian-bagian arabisme yang perlu dikembangkan dan dan bagian-bagian mana pula yang mesti ditolak dan dimasukkan ke dalam museum sejarah. Langkah ini sesungguhnya sudah harus dilakukan sejak abad-abad awal sejarah Muslim, tetapi semuanya tidak terjadi karena arabisme dalam dalam dua kategori itu menyatu dengan proses ekspansi imperium Arab Muslim yang fenomenal yang berlangsung selama lima abad, dari abad ke-8 sampai sekitar abad ke-12, baik di kawasan bagian timur (berpusat Damaskus dan Baghdad) maupun di kawasan bagian barat (berpusat di Andalusia).
Dalam perspektif perkembangan peradaban, apa yang ditorehkan oleh Arab Muslim  di wilayah bagian timur, diawali oleh imperium Umayyah (661-749) yang kemudian diteruskan lebih hebat oleh imperium ‘Abbasiyah (749-1258) memang luar biasa. Ilmu pengetahuan, teologi, hukum, filsafat, seni, teknologi, dan sufisme berjalan beringan, sehingga era itu dengan bangga disebut sebagai “abad-abad emas Islam.” Fenomena serupa juga berlangsung di wilayah bagian Barat: Andalusia di bawah imperium Umayyah (musuh ‘Abbasiyah yang terusir) selama lebih kurang tujuh abad untuk kemudian hancur berantakan. Seorang Iqbal pun meratapi kejatuhan peradaban Arab Muslim ini dalam puisi-puisinya, tetapi sepanjang bacaan saya, pemikir dan penyair besar ini tidak membedah lebih dalam sisi destruktif dari imperium di atas.
Pertanyaan saya adalah: apakah bangunan imperium yang dibalut agama ini punya perbedaan fundamental dengan imperium-imperium lain di dunia yang tidak pakai agama? Untuk kasus Umayyah dan ‘Abbasiyah, mana yang lebih dominan: cita-cita moral al-Qur’an tentang kehidupan kolektif atau arabisme yang bersumber dari warisan pra-Islam? Permusuhan sengit dan berdarah-darah antara sesama penguasa Arab Muslim bagi saya adalah bagian dari “misguided arabism” itu yang seharusnya ditolak, tapi ironisnya malah dipelihara sampai sekarang atas nama agama. Ini adalah sebuah kesalahan fatal yang wajib dikoreksi secara jujur dan benar dalam upaya memberi bingkai baru yang segar kepada “Islam Berkemajuan” itu. Tanpa melalui pendekatan sejarah kritikal, maka ungkapan “perangkat-perangkat pemikiran Islam yang fundamental” tidak akan terungkap dengan terang benderang, tidak jelas mana arabisme yang positif dan mana pula arabisme yang salah jalan.
Begitu juga sikap serupa harus ditunjukkan dalam menilai imperium-imperium Muslim mana pun, seperti Turki Usmani, Safawi, dan puluhan rezim alit Muslim lainnya yang pernah dicatat sejarah, termasuk kerajaan-kerajaan Muslim di Nusantara yang dipengaruhi oleh pola arabisme, baik yang positif maupun yang destruktif. Sistem politik dinastik/kerajaan yang diarsiteki Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah pengkhianatan terbuka terhadap prinsip egalitarian dalam Islam. Ini adalah bagian dari arabisme yang buruk dan destruktif. Tetapi semangat para ilmuwan Muslim kelasik untuk mencari kearifan dari berbagai sumber dengan sikap terbuka termasuk arabisme yang positif yang layak diteruskan.
Dalam al-Muqaddimah Ibn Khaldun menyimpulkan bahwa tiga dosa sejarah berupa kemewahan, kesombongan, dan kerakusan (“tiga k”) yang menyatu dengan sistem kekuasaan Muslim, baik dalam skala imperium maupun yang diidap oleh kerajaan-kerajaan kecil yang saling bertikai dan berperang adalah penyebab utama dari kehancuran sistem kekuasan Muslim itu. Bagi saya “tiga k” ini tidak lain dari unsur arabisme yang lepas dari kawalan agama. Dalam ungkapan lain, “tiga k” ini adalah warisan kultur pra-Islam yang kemudian kambuh kembali di era Islam. Tragedi demi tragedi yang kini menimpa bangsa-bangsa Arab kontemporer ternyata punya akar sejarah puluhan abad yang silam. Ajaibnya, sebagian Muslim non-Arab juga turut terlibat dalam tragedi sejarah ini karena buta sejarah: tidak bisa membedakan mana Islam dan mana arabisme yang destruktif.
Akhirnya, para pendukung konsep “Islam Berkemajuan” harus piawai dan cerdas dalam menentukan antara realitas Islam sebagai agama yang mencerminkan cita-cita al-Qur’an dan mana pula arabisme yang negatif dan merusak. Dengan sikap ini terbukalah pintu yang sangat lebar untuk kembali merumuskan sebuah pemikiran Islam yang fundamental dalam upaya mewujudkan wajah komunitas-komunitas Muslim yang ramah, berwibawa, bermartabat, adil, dan dapat dicontoh pihak lain. Sinyal inilah barangkali yang disiratkan dalam konsep “ummatan wasathan” (komunitas tengah) sebagaimana tersebut dalam s. al-Baqarah: 143. Allâhu a’lam!
(Tulisan pernah dimuat pada Majalah Suara Muhammadiyah 03/103, Februari 2018)


Saturday, May 2, 2020

Suara Muhammadiyah awal ditulis beraksara Jawa, berbahasa Jawa kromo alus


Suara Muhammadiyah awal ditulis beraksara Jawa, berbahasa Jawa kromo alus. Mengapa ditulis dalam aksara Jawa? Spekulasinya distribusi SM masih terbatas pada lingkup Jawa elit karaton.

Lima tahun kemudian, SM mulai menggunakan aksara latin berbahasa Jawa. Seiring luasnya jejaring, SM mulai memakai aksara Latin berbahasa Melayu pada tahun 1923.

Mengapa SM lahir? Belum ada jawaban pasti. Alfian (2010) meletakkan SM dalam konstelasi terbitan berkala gerakan modernis sebelumnya. Ada al-Imam (1906-1908), ada al-Munir (1910-1916). Yang pertama terbit di Singapura, yang kedua lahir di Padang. Kedua terbitan berkala ini, dan tidak menutup kemungkinan SM, dipengaruhi oleh kehadiran al-Manar (mulai terbit 1898) milik Rashid Rida.

https://islamsantun.org/bantah-kekalih-tanya-jawab-dalam-suara-muhammadiyah/?fbclid=IwAR3AyaWrRSSSKcCDCgFw9pFVP1XyNkIcG-SxGHVyF_UX_x4ivhsl-PeNRKc