Monday, October 27, 2014

Mentari Bersinar di Gowa: Menelusuri jejak kehadiran Muhammadiyah di Gowa Tahun 1928-1968

Judul Buku: Mentari Bersinar di Gowa: Menelusuri jejak kehadiran Muhammadiyah di Gowa Tahun 1928-1968
Penulis: Basri B Mattayang
Jumlah halaman: 148
Tahun penerbitan: 2014

Sekitar tahun 1922, seorang pedagang batik keturunan Arab berasal dari Sumenep (Madura) bernama Mansyur Yamani, datang dan membuka usaha dagangnya di jalan passarstraat (jalan Nusantara saat ini) Mansyur Yamana adalah anggota Persyarikatan Muhammadiyah Cabang Surabaya, yang waktu itu di pimpin oleh Kyai Haji Mas Mansyur.

Pada saat itu, di Makassar telah terdapat suatu perkumpulan yang yang bernama “ash shireatal mustaqim” yang anggotanya kebanyakan terdiri dari pedagang. Oleh karena itu untuk memudahkan mendakwakan ajaran Muhammadiyah serta mencari relasi dalam dagangnya, Dia bergaul dengan baik dan menjalin hubungan dengan pemuka-pemuka ash shiratal mustaqim. (Radjab, 1957:9).

Selanjutnya berdasarkan keputusan dari Hofd Bestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah Nomor 51/1926 tanggal 15 Juli 1926 (Laporan PWM Sul-Sel tahun 1991) Muhammadiyah Group Makassar ditingkatkan menjadi Muhammadiyah Cabang Makassar, dengan KH. Abdullah sebagai ketuanya (Radjab, 1999:13).

Saturday, October 18, 2014

NU and Muhammadiyah: Majority Views on Religious Minorities in Indonesia


Bush, Robin and Budhy Munawar-Rachman. 2014. "NU and Muhammadiyah: Majority Views on Religious Minorities in Indonesia," in Religious Diversity in Muslim-majority States in Southeast Asia: Areas of Toleration and Conflict, edited by Bernhard Platzdasch and Johan Saravanamuttu, pp. 16-50. Sngapore: ISEAS.

Indonesia today can aptly be described as bipolar. It is the rising star of the international finance and business communities in Asia, with growth and other macroeconomic indicators attracting ever-increasing investment and attendant international clout. On the other hand, twin dark clouds of corruption and the tenuous status of religious minorities hang over the bright horizon in ominous contrast. In this chapter, we look at the factors underlying the increasing precariousness of religious minorities in Indonesia, we make a case for why the stance of Nahdlatul Ulama (NU) and Muhammadiyah matter, and we examine both official and non-official positions of the two mass-based organizations on both Islamic and non-Islamic minorities in Indonesia. We conclude that Indonesian society is becoming increasingly polarized, and that as such, NU and Muhammadiyah's mission of occupying a "middle path" is increasingly important. The two organizations navigate the terrain of the "middle path" differently due to their contrasting structure and internal culture; however, they are both important players in the ongoing discourse on religious freedom in Indonesia.