Diposting di Maret 26, 2016
Oleh : Mu’arif
Orang yang berkhidmat dalam Muhammadiyah ibarat bekerja dalam sunyi. Dalam kesunyian, ia tak butuh podium untuk menyampaikan gagasan. Juga tak perlu bendera (identitas kelompok) untuk menawarkan bantuan kepada orang lain. Ia pun laksana garam. Terasa asinnya tapi tak tampak wujudnya. Begitulah orang yang bekerja di belakang layar, menjadi sumber inspirasi dan sekaligus eksekutor gagasan di lapangan. Seperti halnya sosok Drijowongso dari Porong, Sidoarjo, ia bukanlah orang yang dikenal di kalangan Muhammadiyah, apalagi umat Islam di Hindia Belanda pada awal abad 21. Tetapi sosok Drijowongso adalah sekretaris Bagian PKO Muhammadiyah mendampingi Kyai Syuja’ (ketua). Barangkali yang luput dari perhatian para peneliti Muhammadiyah kini adalah latar belakang kehidupan Drijowongso.
Sosok Drijowongso adalah seorang buruh tani yang miskin asal Jawa Timur. Ia mengadu peruntungan nasib menjadi buruh tani tebu di Klaten. Anak dan istrinya ditinggalkan di Jawa Timur. Pandangan hidup Drijowongso sekuler, tetapi jiwanya selalu memberontak. Sudah bekerja keras di bawah tekanan para cukung Belanda, pendapatannya tak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya, apalagi untuk menghidupi anak dan istrinya. Terbakar semangat oleh bujukan Haji Misbach, para buruh tani tebu di Klaten berontak. Mereka melakukan pemogokan kerja secara massal pada sekitar tahun 1921. Drijowongso termasuk salah satu aktor di balik aksi pemogokan buruh tersebut. Kerugian besar ditanggung perusahaan milik para cukong kolonial. Akhirnya, buruh tani asal Porong tersebut ditangkap oleh tentara kolonial dan dijebloskan ke dalam penjara di Magelang selama satu setengah tahun.
Betapa sedih dan sengsara sosok Drijowongso selama di penjara. Anak dan istrinya tidak mendapat kiriman uang untuk membiayai hidup di kampung. Dalam keheningan di penjara, ia teringat pada sosok ulama modernis yang sangat murah hati. Teringat dalam pikirannya sebuah organisasi yang telah didirikan oleh ulama tersebut: Muhammadiyah.
Tampaknya, kemunculan sosok ulama modernis dari Kauman, Yogyakarta, sudah santer beredar di daerah Magelang. Bahkan, ulama tersebut juga mengajar di salah satu sekolah kolonial ternama di kota ini (OSVIA). Pandangan keagamaannya dinilai sangat maju. Apalagi, lahirnya gerakan Islam modern yang digagas oleh ulama modernis tersebut bertujuan untuk memajukan kaum pribumi. Drijowongso pun tertarik. Ia mengajukan permohonan kepada HB Muhammadiyah supaya berkenan menghidupi anak istrinya yang berada di Porong.
Haji Fachrodin (Soewara Moehammadijah no. 1/th ke-4/1922) mengisahkan, pada tanggal 20 November 1921, SI cabang Kediri mengundang HB Muhammadiyah Bagian Tabligh untuk menghadiri open bar vergadering di tempat tersebut. Utusan HB Muhammadiyah terdiri dari K.H. Ahmad Dahlan dan Haji Fachrodin. K.H. Ahmad Dahlan dan Haji Fachrodin diundang oleh SI cabang Kediri karena dalam struktur CSI, keduanya menjabat posisi teras. Dalam memenuhi undangan tersebut, HB Muhammadiyah mengajak Siti Moendjijah, adik kandung Haji Fachrodin yang menjadi salah satu santri putri KH. Ahmad Dahlan.
Dari Kediri, utusan HB Muhammadiyah melanjutkan kunjungan ke Sidoarjo. Pada tanggal 23 November 1921, utusan HB Muhammadiyah menjemput anak dan istri Drijowongso di Porong (Sidoarjo). Drijowongso memberikan kepercayaan kepada HB untuk menjaga, mendidik, dan menghidupi anak dan istrinya selama dia dalam penjara (Magelang).
Satu setengah tahun sudah lewat, Drijowongso baru saja keluar dari penjara di Magelang. Ia langsung menuju ke Yogyakarta, bermaksud menemui anak dan istrinya. Alangkah kagetnya dia sewaktu menemui anak dan istrinya. Sebelum dididik dan dibina oleh HB Muhammadiyah, anaknya masih kecil dan lugu. Kini, sang anak telah tumbuh besar, berpenampilan rapih, dan terdidik. Sang anak menyambut ayahnya dengan hormat lagi santun. Tutur katanya sangat sopan, berbeda jauh kondisinya ketika masih hidup di Porong. Begitu juga istri Drijowongso, lebih kelihatan rapih penampilannya, dan sangat sopan perilakunya. Anak dan istri Drijowongso seolah-olah pernah mengenyam pendidikan formal karena mereka memiliki wawasan yang luas, bahkan pengetahuan keagamaan yang memadai. Batin Drijowongso tersentuh. Ia merasa berhutang budi kepada Muhammadiyah. Pada hari itu juga, ia bertekad untuk terlibat aktif di Muhammadiyah. Pada waktu itu pula, HB Muhammadiyah sedang menggelar Rapat Tahunan (1923) bertempat di rumah R. Wedana Djajengprakosa. Sekretaris HB Muhammadiyah menerima Drijowongso yang bermaksud mengabdi di Muhammadiyah.
Itu baru sepenggal kisah Drijowongso sebagaimana yang dikisahkan oleh Ng. Djojosoegito dalam notulen “Peringatan Perkoempoelan Tahoenan Moehammadijah 30 Maart- 2 April 1923 di Jogjakarta” (Soewara Moehammadijah no 5 dan 6/th ke-4/1923). Di hadapan para peserta sidang, Drijowongso mengucapkan banyak terima kasih kepada Muhammadiyah. Tanpa ragu, Drijowongso menyatakan siap mengabdi di Muhammadiyah. Dia pun dipilih sebagai sekretaris Bagian PKO, mendampingi Kyai Syuja’.
Nama Drijowongso memang tidak banyak dikenal di kalangan Muhammadiyah. Sebab, ia seorang yang berkhidmat dalam berjuang di Muhammadiyah. Bekerja dalam sunyi, tetapi membuahkan hasil yang nyata. Spirit revolusioner tafsir Al-Maun rupanya mampu menggetarkan hatinya. Jika sebelumnya Drijowongso mengenal gagasan-gagasan revolusioner lewat pemikiran-pemikiran Sosialis-Marxis (gerakan kaum buruh), setelah bergaung dengan Muhammadiyah ia menemukan spirit yang sama namun berhaluan religius. Selain mengurus administrasi Bagian PKO, Drijowongso juga aktif menggalang dana untuk membangun rumah miskin dan balai pengobatan yang diperuntukkan bagi para dlu’afa pribumi.
http://suaramuhammadiyah.com/kolom/2016/03/26/siapakah-drijowongso/
Oleh : Mu’arif
Orang yang berkhidmat dalam Muhammadiyah ibarat bekerja dalam sunyi. Dalam kesunyian, ia tak butuh podium untuk menyampaikan gagasan. Juga tak perlu bendera (identitas kelompok) untuk menawarkan bantuan kepada orang lain. Ia pun laksana garam. Terasa asinnya tapi tak tampak wujudnya. Begitulah orang yang bekerja di belakang layar, menjadi sumber inspirasi dan sekaligus eksekutor gagasan di lapangan. Seperti halnya sosok Drijowongso dari Porong, Sidoarjo, ia bukanlah orang yang dikenal di kalangan Muhammadiyah, apalagi umat Islam di Hindia Belanda pada awal abad 21. Tetapi sosok Drijowongso adalah sekretaris Bagian PKO Muhammadiyah mendampingi Kyai Syuja’ (ketua). Barangkali yang luput dari perhatian para peneliti Muhammadiyah kini adalah latar belakang kehidupan Drijowongso.
Sosok Drijowongso adalah seorang buruh tani yang miskin asal Jawa Timur. Ia mengadu peruntungan nasib menjadi buruh tani tebu di Klaten. Anak dan istrinya ditinggalkan di Jawa Timur. Pandangan hidup Drijowongso sekuler, tetapi jiwanya selalu memberontak. Sudah bekerja keras di bawah tekanan para cukung Belanda, pendapatannya tak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya, apalagi untuk menghidupi anak dan istrinya. Terbakar semangat oleh bujukan Haji Misbach, para buruh tani tebu di Klaten berontak. Mereka melakukan pemogokan kerja secara massal pada sekitar tahun 1921. Drijowongso termasuk salah satu aktor di balik aksi pemogokan buruh tersebut. Kerugian besar ditanggung perusahaan milik para cukong kolonial. Akhirnya, buruh tani asal Porong tersebut ditangkap oleh tentara kolonial dan dijebloskan ke dalam penjara di Magelang selama satu setengah tahun.
Betapa sedih dan sengsara sosok Drijowongso selama di penjara. Anak dan istrinya tidak mendapat kiriman uang untuk membiayai hidup di kampung. Dalam keheningan di penjara, ia teringat pada sosok ulama modernis yang sangat murah hati. Teringat dalam pikirannya sebuah organisasi yang telah didirikan oleh ulama tersebut: Muhammadiyah.
Tampaknya, kemunculan sosok ulama modernis dari Kauman, Yogyakarta, sudah santer beredar di daerah Magelang. Bahkan, ulama tersebut juga mengajar di salah satu sekolah kolonial ternama di kota ini (OSVIA). Pandangan keagamaannya dinilai sangat maju. Apalagi, lahirnya gerakan Islam modern yang digagas oleh ulama modernis tersebut bertujuan untuk memajukan kaum pribumi. Drijowongso pun tertarik. Ia mengajukan permohonan kepada HB Muhammadiyah supaya berkenan menghidupi anak istrinya yang berada di Porong.
Haji Fachrodin (Soewara Moehammadijah no. 1/th ke-4/1922) mengisahkan, pada tanggal 20 November 1921, SI cabang Kediri mengundang HB Muhammadiyah Bagian Tabligh untuk menghadiri open bar vergadering di tempat tersebut. Utusan HB Muhammadiyah terdiri dari K.H. Ahmad Dahlan dan Haji Fachrodin. K.H. Ahmad Dahlan dan Haji Fachrodin diundang oleh SI cabang Kediri karena dalam struktur CSI, keduanya menjabat posisi teras. Dalam memenuhi undangan tersebut, HB Muhammadiyah mengajak Siti Moendjijah, adik kandung Haji Fachrodin yang menjadi salah satu santri putri KH. Ahmad Dahlan.
Dari Kediri, utusan HB Muhammadiyah melanjutkan kunjungan ke Sidoarjo. Pada tanggal 23 November 1921, utusan HB Muhammadiyah menjemput anak dan istri Drijowongso di Porong (Sidoarjo). Drijowongso memberikan kepercayaan kepada HB untuk menjaga, mendidik, dan menghidupi anak dan istrinya selama dia dalam penjara (Magelang).
Satu setengah tahun sudah lewat, Drijowongso baru saja keluar dari penjara di Magelang. Ia langsung menuju ke Yogyakarta, bermaksud menemui anak dan istrinya. Alangkah kagetnya dia sewaktu menemui anak dan istrinya. Sebelum dididik dan dibina oleh HB Muhammadiyah, anaknya masih kecil dan lugu. Kini, sang anak telah tumbuh besar, berpenampilan rapih, dan terdidik. Sang anak menyambut ayahnya dengan hormat lagi santun. Tutur katanya sangat sopan, berbeda jauh kondisinya ketika masih hidup di Porong. Begitu juga istri Drijowongso, lebih kelihatan rapih penampilannya, dan sangat sopan perilakunya. Anak dan istri Drijowongso seolah-olah pernah mengenyam pendidikan formal karena mereka memiliki wawasan yang luas, bahkan pengetahuan keagamaan yang memadai. Batin Drijowongso tersentuh. Ia merasa berhutang budi kepada Muhammadiyah. Pada hari itu juga, ia bertekad untuk terlibat aktif di Muhammadiyah. Pada waktu itu pula, HB Muhammadiyah sedang menggelar Rapat Tahunan (1923) bertempat di rumah R. Wedana Djajengprakosa. Sekretaris HB Muhammadiyah menerima Drijowongso yang bermaksud mengabdi di Muhammadiyah.
Itu baru sepenggal kisah Drijowongso sebagaimana yang dikisahkan oleh Ng. Djojosoegito dalam notulen “Peringatan Perkoempoelan Tahoenan Moehammadijah 30 Maart- 2 April 1923 di Jogjakarta” (Soewara Moehammadijah no 5 dan 6/th ke-4/1923). Di hadapan para peserta sidang, Drijowongso mengucapkan banyak terima kasih kepada Muhammadiyah. Tanpa ragu, Drijowongso menyatakan siap mengabdi di Muhammadiyah. Dia pun dipilih sebagai sekretaris Bagian PKO, mendampingi Kyai Syuja’.
Nama Drijowongso memang tidak banyak dikenal di kalangan Muhammadiyah. Sebab, ia seorang yang berkhidmat dalam berjuang di Muhammadiyah. Bekerja dalam sunyi, tetapi membuahkan hasil yang nyata. Spirit revolusioner tafsir Al-Maun rupanya mampu menggetarkan hatinya. Jika sebelumnya Drijowongso mengenal gagasan-gagasan revolusioner lewat pemikiran-pemikiran Sosialis-Marxis (gerakan kaum buruh), setelah bergaung dengan Muhammadiyah ia menemukan spirit yang sama namun berhaluan religius. Selain mengurus administrasi Bagian PKO, Drijowongso juga aktif menggalang dana untuk membangun rumah miskin dan balai pengobatan yang diperuntukkan bagi para dlu’afa pribumi.
http://suaramuhammadiyah.com/kolom/2016/03/26/siapakah-drijowongso/
No comments:
Post a Comment