Dari perjumpaan dua kawan lama hingga kisah lahirnya sekolah Muhammadiyah. Saling menginspirasi satu sama lain.
Oleh: Wenri Wanhar
KERETA api dari Surabaya tiba di Yogyakarta. Dari sekian banyak penumpang yang turun, muncul sesosok laki-laki yang penampilannya cukup menarik perhatian. Di dadanya tersemat empat huruf Arab: ha, ain, kaaf, dan hamzah.
Kyai Haji Ahmad Dahlan yang sedari tadi menanti di stasiun Tugu langsung menyongsong laki-laki tersebut. Pimpinan Muhammadiyah itu mengetahui, bahwa HAKA –potongan-potongan huruf itu– merupakan inisial tulisan Haji Abdul Karim Amrullah di majalah Al-Munir.
“Tidaklah huruf-huruf itu yang jadi perhatian K.H.A Dahlan ketika dia turun tangga kereta api. Melainkan terbusnya, celana pantalon dan baju setengah tiang (baltu) hitam, kaca mata dan tongkat. Berbeda dengan pakaian kebanyakan kyai di Jawa di masa itu,” kata Kyai Raden Haji Hajid, sebagaimana dikutip Hamka dalam Muhammadiyah di Minangkabau.
Abdul Karim alias Inyiak Rasul atau Haji Rasul adalah ayah Buya Hamka. Dia kawan seperguruan Ahmad Dahlan. Meski tidak seangkatan, mereka pernah sama-sama berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam besar Masjidil Haram di Mekah.
“Menurut keterangan yang penulis dapat terima dari Kyai Raden Haji Hajid, kedatangan Syaikh Abdul Karim menjadi tetamu K.H.A Dahlan di Yogya tahun 1917 itu diterima dengan gembira oleh kyai dan murid-muridnya,” tulis Hamka.
Tiga hari tiga malam Haji Rasul jadi tamu di Kauman. Dia saksikan langsung bagaimana kawannya memimpin pengajian Muhammadiyah yang kala itu baru berumur lima tahun. Bahagia betul dia melihat semangat Dahlan. Peti-peti bekas dijadikan bangku untuk belajar. Sempat pula dia melihat Ahmad Dahlan mengajar agama Islam di sekolah modern Kweekschool Gouvernement, yang belakangan jadi inspirasi buatnya membuat sistem pendidikan yang sama.
Masa itu Dahlan minta izin menyalin tulisan-tulisan Haji Rasul di majalah Al-Munir ke dalam bahasa Jawa untuk disebar-ajarkan kepada murid-muridnya. “Kyai Ahmad Dahlan di Yogyakarta adalah salah seorang langganan dan pembaca setia majalah Al-Munir yang terbit di Padang. Begitu cerita Raden Haji Hajid,” ungkap Hamka.
Sementara itu Dahlan sudah pula banyak mendengar kisah baik tentang Sumatera Thawalib di Padang Panjang, sekolah Islam modern pertama di Hindia Belanda. Dalam perjumpaan itu, Dahlan mendengar langsung pengalaman Haji Rasul memimpin pengajian surau Jembatan Besi sejak 1901 hingga menjadi Sumatera Thawalib pada 1912.
Pada 8 Desember 1921, empat tahun kemudian, Dahlan mengubah pengajian Muhammadiyah di Kauman menjadi sekolah Pondok Muhammadiyah.
“Inilah untuk pertama kalinya Muhammadiyah membuka sekolah,” tulis Saleh Putuhena, mantan Rektor UIN Alauddin Makassar dalam Historiografi Haji Indonesia. “Untuk menjamin mutu pendidikan, pengajar pengetahuan umum dipercayakan kepada orang-orang yang ahli di bidangnya, ilmu pengetahuan agama diajar oleh Ahmad Dahlan dan Raden Haji Hajid.”
Tak hanya Dahlan yang terinspirasi. Pada 1918, setahun pasca lawatannya ke Jawa, Sumatera Thawalib membangun gedung baru. Ruang-ruang kelas dilengkapi bangku dan meja, serupa dengan sekolah “modern” yang dikelola Belanda. Agaknya Haji Rasul terinspirasi ketika melihat Ahmad Dahlan mengajar agama Islam di Kweekschool Gouvernement di Yogyakarta.
Semenjak itu, menurut sejarawan Taufik Abdullah dalam School and Politics, The Kaum Muda Movement in West Sumatera 1927-1933, meski sebelumnya sudah ada kurikulum berjenjang kelas, kegiatan belajar mengajar di Sumatera Thawalib tidak lagi halaqah (duduk bersila; murid melingkar guru).
Kisah selengkapnya baca laporan utama majalah Historia Nomor 21 Tahun II 2015.
http://historia.id/modern/kisah-persahabatan-haji-rasul-dengan-kyai-ahmad-dahlan
Oleh: Wenri Wanhar
Kweekschool Moehammadijah Yogyakarta. Foto: dok. Madrasah Mu′allimin Muhammadiyah Yogyakarta. |
KERETA api dari Surabaya tiba di Yogyakarta. Dari sekian banyak penumpang yang turun, muncul sesosok laki-laki yang penampilannya cukup menarik perhatian. Di dadanya tersemat empat huruf Arab: ha, ain, kaaf, dan hamzah.
Kyai Haji Ahmad Dahlan yang sedari tadi menanti di stasiun Tugu langsung menyongsong laki-laki tersebut. Pimpinan Muhammadiyah itu mengetahui, bahwa HAKA –potongan-potongan huruf itu– merupakan inisial tulisan Haji Abdul Karim Amrullah di majalah Al-Munir.
“Tidaklah huruf-huruf itu yang jadi perhatian K.H.A Dahlan ketika dia turun tangga kereta api. Melainkan terbusnya, celana pantalon dan baju setengah tiang (baltu) hitam, kaca mata dan tongkat. Berbeda dengan pakaian kebanyakan kyai di Jawa di masa itu,” kata Kyai Raden Haji Hajid, sebagaimana dikutip Hamka dalam Muhammadiyah di Minangkabau.
Abdul Karim alias Inyiak Rasul atau Haji Rasul adalah ayah Buya Hamka. Dia kawan seperguruan Ahmad Dahlan. Meski tidak seangkatan, mereka pernah sama-sama berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam besar Masjidil Haram di Mekah.
“Menurut keterangan yang penulis dapat terima dari Kyai Raden Haji Hajid, kedatangan Syaikh Abdul Karim menjadi tetamu K.H.A Dahlan di Yogya tahun 1917 itu diterima dengan gembira oleh kyai dan murid-muridnya,” tulis Hamka.
Tiga hari tiga malam Haji Rasul jadi tamu di Kauman. Dia saksikan langsung bagaimana kawannya memimpin pengajian Muhammadiyah yang kala itu baru berumur lima tahun. Bahagia betul dia melihat semangat Dahlan. Peti-peti bekas dijadikan bangku untuk belajar. Sempat pula dia melihat Ahmad Dahlan mengajar agama Islam di sekolah modern Kweekschool Gouvernement, yang belakangan jadi inspirasi buatnya membuat sistem pendidikan yang sama.
Masa itu Dahlan minta izin menyalin tulisan-tulisan Haji Rasul di majalah Al-Munir ke dalam bahasa Jawa untuk disebar-ajarkan kepada murid-muridnya. “Kyai Ahmad Dahlan di Yogyakarta adalah salah seorang langganan dan pembaca setia majalah Al-Munir yang terbit di Padang. Begitu cerita Raden Haji Hajid,” ungkap Hamka.
Sementara itu Dahlan sudah pula banyak mendengar kisah baik tentang Sumatera Thawalib di Padang Panjang, sekolah Islam modern pertama di Hindia Belanda. Dalam perjumpaan itu, Dahlan mendengar langsung pengalaman Haji Rasul memimpin pengajian surau Jembatan Besi sejak 1901 hingga menjadi Sumatera Thawalib pada 1912.
Pada 8 Desember 1921, empat tahun kemudian, Dahlan mengubah pengajian Muhammadiyah di Kauman menjadi sekolah Pondok Muhammadiyah.
“Inilah untuk pertama kalinya Muhammadiyah membuka sekolah,” tulis Saleh Putuhena, mantan Rektor UIN Alauddin Makassar dalam Historiografi Haji Indonesia. “Untuk menjamin mutu pendidikan, pengajar pengetahuan umum dipercayakan kepada orang-orang yang ahli di bidangnya, ilmu pengetahuan agama diajar oleh Ahmad Dahlan dan Raden Haji Hajid.”
Tak hanya Dahlan yang terinspirasi. Pada 1918, setahun pasca lawatannya ke Jawa, Sumatera Thawalib membangun gedung baru. Ruang-ruang kelas dilengkapi bangku dan meja, serupa dengan sekolah “modern” yang dikelola Belanda. Agaknya Haji Rasul terinspirasi ketika melihat Ahmad Dahlan mengajar agama Islam di Kweekschool Gouvernement di Yogyakarta.
Semenjak itu, menurut sejarawan Taufik Abdullah dalam School and Politics, The Kaum Muda Movement in West Sumatera 1927-1933, meski sebelumnya sudah ada kurikulum berjenjang kelas, kegiatan belajar mengajar di Sumatera Thawalib tidak lagi halaqah (duduk bersila; murid melingkar guru).
Kisah selengkapnya baca laporan utama majalah Historia Nomor 21 Tahun II 2015.
http://historia.id/modern/kisah-persahabatan-haji-rasul-dengan-kyai-ahmad-dahlan
maju terus muhammaddiyah
ReplyDelete