Menapaki Jejak Trio Ulama-Patriot
Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimedjo,
dan K.H. Abdul Kahar Mudzakkir
Oleh: Lukman Hakiem
Editor
Buku Dari
Muhammadiyah untuk Indonesia Pemikiran dan Kiprah Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman
Singodimedjo, dan K.H. Abdul Kahar Mudzakkir
Ketika
semakin jelas bakal kalah dalam perang melawan sekutu, Jepang meningkatkan
citranya sebagai pelindung dan cahaya Asia. Pada awal September 1944, Jepang
berjanji akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.
Untuk menunjukkan kesungguhan janjinya itu, pada 29 April 1945, Jepang
membentuk Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai
(Badan Oentoek Menjelidiki Oesaha-oesaha
Persiapan Kemerdekaan, popular juga dengan sebutan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, BPUPK. Selanjutnya
penyunting dalam tulisan ini menggunakan istilah BPUPK, tanpa “I”)[1].
Untuk memimpin Badan
tersebut, Jepang menunjuk Dr. Radjiman Wedyodiningrat sebagai ketua. Sebagai
wakil ketua, ditunjuk dua orang, yaitu seorang Jepang bernama Ichibangase
Yoshio, dan seorang Indonesia bernama R.P. Soeroso. Anggota Badan ini sebanyak 60 orang ditambah
6 orang anggota tambahan,[2]
dan 7 orang wakil Pemerintah Militer Jepang sebagai anggota istimewa.[3]
Ketika melantik anggota
BPUPK, Kepala Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia (Saikoo Sikikan) melemparkan pertanyaan penting kepada BPUPK:
“Filsafat apa yang nanti akan menjadi dasar negara Indonesia?” Menurut Saikoo Sikikan, usaha untuk mendirikan
negara merdeka yang baru bukanlah usaha yang mudah, lebih-lebih lagi jika tidak
dengan jalan mempelajari, menyelidiki, dan merencanakan dengan seksama dan
teliti segala usaha untuk meneguhkan kekuatan pembelaan, dan soal-soal yang
menjadi dasar negara.[4]
Terlepas dari maksud
politis Jepang membentuk Badan ini, bagi kaum pergerakan yang sejak lama telah
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, pembentukan BPUPK menyimpan rahmat
tersembunyi, yakni terbukanya kesempatan emas untuk mendiskusikan hal-hal
mendasar mengenai masa depan negara yang akan dibentuk, terutama dalam hal
apakah negara yang mau dibentuk itu akan bersifat netral terhadap agama, atau
tidak memisahkan antara urusan negara dengan urusan agama.
Jati
Diri Bangsa
Jika merunut sejarah
perkembangan hubungan agama (dalam hal ini Islam) dengan negara, maka berbagai
fakta menunjukkan bahwa relijiusitas telah menyatu dan menjadi jati diri bangsa
ini.
Di Kesultanan Bima, Nusa
Tenggara Barat, yang mengalami proses Islamisasi sekitar pertengahan abad
ke-16, sistem pemerintahannya memberi kedudukan terhormat kepada ajaran dan
hukum Islam. Setiap keputusan pemerintahan Kesultanan Bima tidak boleh
dilaksanakan sebelum mendapat pertimbangan hukum syara’, apakah isinya sesuai
atau bertentangan dengan hukum Islam. Ini tercermin dalam ungkapan: “syara’ na katenggo kuma hukum –syara’
harus dikuatkan oleh hukum Islam.”[5]
Penataan kota pun diatur
sedemikian rupa terdiri atas tiga unsur: (1). Istana sebagai lambang
penyelenggaraan pemerintahan, (2). Masjid sebagai lambang unsur agama beserta
seluruh aparat penyelenggara hukum syara’ baik di pusat maupun di daerah, dan
(3). Alun-alun sebagai lambang kekuatan
rakyat dan angkatan bersenjata.[6]
Para penguasa di
Nusantara, dengan kesadaran penuh mempergunakan idiom-idiom Islam pada dirinya.
Sultan, Sayyidin, dan Khalfatullah
melekat menjadi sebutan para penguasa di Nusantara.
Bahkan, meskipun
kemudian berbagai bangsa Barat datang untuk
menaklukkan dan menjajah berbagai kerajaan di Nusantara, akan tetapi mereka
tidak mampu menghilangkan Islam dari jiwa penduduk di kepulauan Nusantara.
Islam tetap menjiwai, dilaksanakan, dan menjadi jati diri penduduk di kepulauan
ini.
Sepanjang catatan yang
ada, sampai sebelum 1882, pemerintah kolonial Belanda tetap mengakui eksistensi
Peradilan Agama Islam di masyarakat kepulauan Nusantara.[7]
Pada September 1801
pemerintah Hindia-Belanda memerintahkan kepada seluruh Bupati agar terhadap
urusan-urusan agama orang Jawa tidak dilakukan gangguan, sedangkan kepada para
pemuka agama Islam diberikan keleluasaan untuk memutuskan perkara-perkara
tertentu dalam bidang perkawinan dan kewarisan. Pada tahun 1820, melalui
Stanblad No. 22 pasal 13, ditentukan
bahwa para Bupati wajib memperhatikan soal-soal agama Islam dan menjaga supaya
para pemuka dapat melakukan tugas mereka sesuai dengan adat kebiasaan orang
Jawa seperti dalam perkawinan, pembagian pusaka, dan yang sejenis dengan itu.
Berturut-turut sesudah itu, keluar Stanblad No. 58 tahun 1835 dan Stanblad No.
2 tahun 1855 yang mendukung pelaksanaan hukum Islam oleh orang-orang Islam
sendiri, melalui cara-cara yang sesuai dengan ajaran Islam.
Pada tahun 1882,
Pengadilan Agama di Jawa-Madura, diresmikan. Peresmian itu berlangsung sesudah
berkembang pendapat di kalangan orang-orang Belanda sendiri bahwa hukum yang
berlaku bagi orang-orang bumiputera di Hindia-Belanda adalah undang-undang
agama mereka sendiri, yakni hukum Islam. Inilah teori hukum yang terkenal dengan
nama Receptio in Complexu yang sejak
tahun 1885 telah memperoleh landasan perundang-undangan Hindia-Belanda melalui
Stanblad No. 2 Tahun 1855.
Pada 1838, di kalangan
pemerintah kolonial Belanda muncul pemikiran untuk memberlakukan kodifikasi
hukum perdata berdasarkan asas konkordansi di Hindia Belanda. Akan tetapi, di
tengah keinginan kuat untuk melaksanakan hukum Barat itu, Ketua “Komisi
Penyesuaian Undang-undang Belanda dengan Keadaan Istimewa di Hindia-Belanda,”
Mr. Scholten van oud Harlem, mengirimkan nota kepada pemerintah Belanda.
Menurut Harlem dalam notanya: “Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak
menyenangkan, mungkin juga perlawanan, jika diadakan pelanggaran terhadap agama
orang bumiputera, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu
dapat tinggal tetap dalam lingkungan (hukum) agama serta adat istiadat mereka.”
Pendapat Harlem didukung oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg yang
mengatakan bahwa orang-orang bumiputera yang beragama Islam telah melakukan
resepsi terhadap hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai kesatuan.
Perubahan mulai terjadi
ketika seorang ahli hukum adat, Cornelis van Vollenhoven mengeritik dan
menyerang teori Receptio in Complexu.
Kritik dan serangan van Vollenhoven didukung oleh Penasihat Pemerintah
Hindia-Belanda tentang Soal-soal Islam dan Anak Negeri, Christian Snouck
Hurgronje. Menurut keduanya, yang sesungguhnya berlaku di Hindia-Belanda
bukanlah hukum Islam, melainkan hukum adat. Ke dalam hukum adat itu memang
masuk hukum Islam, tetapi hukum Islam baru mempunyai kekuatan kalau sudah
diterima sebagai hukum adat. Pendapat kedua orang ini dikenal sebagai teori Receptie.
Tidak syak lagi,
diperkenalkannya teori Receptie
semata-mata dimaksudkan untuk menahan gerak laju hukum Islam di Kepulauan Nusantara.
Inilah benih kekacauan yang ditanam oleh kaum penjajah dan yang pengaruhnya
baru terasa oleh beberapa generasi kemudian berupa konflik laten tiga sistem
hukum: Islam, Adat, dan Barat.
Sejak muncul teori
inilah, di kalangan masyarakat lahir dua kubu mengenai hubungan agama (dalam
hal ini Islam) dengan negara. Golongan-golongan dalam masyarakat yang
diciptakan oleh pemerintah kolonial itu secara otomatis akan saling berhadapan
jika dimunculkan isu menyangkut kepentingan mereka.
Pandangan
Ki Bagus Hadikoesomo
Pada masa Hindia-Belanda
sampai akhir zaman Jepang, pandangan tokoh pergerakan mengenai hubungan antara
negara dengan agama masih terbagi dua: Golongan Kebangsaan yang berpandangan
bahwa negara hendaknya “netral” terhadap agama, dan Golongan Islam yang
berpandangan bahwa “urusan negara” tidak bisa dipisahkan dari “urusan agama.”[8] Di zaman Jepang, pandangan utama mengenai
posisi agama dengan negara tercermin pengelompokannya dalam Jawa Hokokai, dan Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi).[9]
Tentara pendudukan
Jepang sendiri membagi anggota BPUPK menjadi lima golongan, yakni “Golongan
Pergerakan”, “Golongan Islam”, “Golongan Birokrat (Kepala-kepala Jawatan)”,
“Wakil Kerajaan (Kooti)”, “Pangreh
Praja (Residen/Wakil Residen, Bupati, dan Walikota)”, dan “Golongan Minortitas
(Peranakan Belanda, Tionghoa, dan Arab)”.[10]
Dengan pandangan tentara
pendudukan Jepang seperti itu, tidak heran dari 60 anggota BPUPK, hanya 15
orang yang beraspirasi atau berasal dari organisasi Islam. Mereka adalah:
Abikoesno Tjokrosoejoso (Syarikat Islam), K.H. Ahmad Sanoesi (Persatuan Umat
Islam, Sukabumi), K.H. Abdoel Halim (Perikatan Umat Islam, Majalengka), Ki
Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), K.H. Masjkur (Nahdlatul Ulama), K.H. Abdoel
Kahar Moezakir (Muhammadiyah), K.H. Mas Mansoer (Muhammadiyah), Raden Rooslan
Wongsokoesoemo (bekas anggtota Perindra yang bergabung ke Masjumi tahun 1945),
H. Agus Salim (Penyadar), Raden Sjamsuddin (bekas Perindra, dari PUI), Dr.
Soekiman Wirjosandjojo (Partai Islam Indonesia), K.H. Abdul Wahid Hasjim
(Nahdlatul Ulama), Ny. Sunarjo Mangunpuspito (Aisyiah, bekas aktivis Jong Islamieten Bond), Abdul Rahman
Baswedan (bekas Partai Arab Indonesia), dan Abdul Rahim Pratalykrama (residen
Kediri, afiliasi tidak diketahui). Ketika pada 28 Juli 1945 sejumlah 28 orang
lagi ditambahkan sebagai anggota, hanya dua yang dapat dikatakan termasuk
golongan Islam, yaitu Pangeran Mohammad Noor (bekas JIB yang bergabung ke
Masjumi tahun 1945), dan H. Abdul Fatah Hassan (afiliasi organisasi tidak
diketahui). Meskipun hahya 15 dari keseluruhan anggota BPUPK, akan tetapi
tokoh-tokoh dari kalangan Islam, cukup memberi warna terhadap perumusan dasar
dan konstitusi dari negara Indonesia yang akan dibentuk. [11]
Wakil-wakil kalangan
Islam dan mereka yang memiliki aspirasi Islam di BPUPK gigih berjuang agar
dasar negara dari negara Indonesia yang akan dibentuk itu adalah dasar negara
yang tidak menutup diri terhadap “intervensi” wahyu.
Ki Bagus Hadikusumo
(1890-1954) misalnya, sejak permulaan, yaitu dalam pidatonya pada sidang BPUK
tanggal 31 Mei 1945 yang sepenuhnya merujuk kepada ajaran Islam, dengan lantang
mengingatkan pengaruh agama Islam kepada rakyat Indonesia yang sangat kuat dan
mendalam sehingga berani menentang imperialis Belanda. Ki Bagus juga
mengingatkan bahwa umat Islam sekarang sudah insaf, sudah luas pandangannya dan
sudah lebar dadanya, suka bekerja bersama-sama dengan siapa dan di mana saja,
asal tidak tersinggung agamanya.[12]
Didorong oleh
keyakinannya terhadap Islam yang antara lain mengajarkan persatuan berdasarkan
persaudaraan yang kokoh; maka Ki Bagus Hadikusumo menganjurkan agar negara
dibangunkan di atas dasar ajaran Islam.
Dalam hubungan dengan
semangat kebangsaan, Ki Bagus mengingatkan, bukankah tokoh-tokoh yang berani menentang
imperalisme Belanda adalah tokoh-tokoh seperti Pangeran Diponegoro, Teuku Umar,
Imam Bonjol, dan kiai-kiai lain yang merupakan penganjur dan pendekar rakyat
yang berpegang teguh kepada Islam serta mendasarkan perjuangannya di atas dasar
agama Islam.
Menurut Ki Bagus, jika
dilihat perkembangan pergerakan rakyat Indonesia pada kurun terakhir di awal
abad ke-20, mulai Indische Partij,
Boedi Oetomo, Sarekat Islam, dan lain-lain; maka yang mendapat sambutan serta
pengaruh yang terbesar dari seluruh rakyat Indonesia adalah Sarekat Islam.
Sarekat Islam yang
mendasarkan pergerakannya kepada ajaran Islam mampu menggabungkan segenap
rakyat dari segala pelosok kepulauan Indonesia. Tidak hanya di Jawa, pengaruh
Sarekat Islam menyebar ke Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan lain-lain.
Melihat kenyataan
tersebut, Ki Bagus menyimpulkan bahwa di dalam diri umat Islam tersembunyi jiwa
yang hidup dan bersemangat. Dengan pengaruh agama Islam kepada rakyat Indonesia
yang sangat kuat dan mendalam, maka Ki Bagus yang menyebut dirinya sebagai
“seorang bangsa Indonesia tulen” dan “sebagai Muslim yang mempunyai cita-cita
Indonesia Raya dan merdeka” mengharapkan agar Indonesia merdeka mendasarkan dirinya kepada agama Islam,
sesuai dengan jiwa rakyat yang terbanyak.
Bagi Ki Bagus, Islam
yang diusulkannya menjadi dasar negara itu, paling sedikit mengandung
nilai-nilai yang: (1). Mengajarkan persatuan atas dasar persaudaraan yang
kukuh, (2). Mementingkan perekonomian dan mengatur pertahanan negara, (3).
Membangun pemerintahan yang adil dan menegakkan keadilan, (4). Tidak
bertentangan, bahkan sangat sesuai dengan kebangsaan kita, dan (5). Membentuk
potensi kebangsaan lahir dan batin serta menabur semangat kemerdekaan yang
menyala-nyala.
Berdasarkan
pengalamannya menjadi anggota sebuah kepanitiaan yang dipimpin oleh Prof. Dr.
Husein Djajadiningrat pada tahun 1922,
Ki Bagus mengingatkan BPUPK bahwa tidak berjalannya hukum Islam di Indonesia
bukan karena tidak sempurna dan tidak sesuainya dengan tempat dan masa, akan
tetapi karena dihlang-halangi dan kalau mungkin akan dihapuskan.[13]
Tujuh
Usul Dasar Negara
Patut diduga, lantaran
keteguhannya menyuarakan aspirasi Islam, maka ketika mula-mula dibentuk Panitia
Kecil BPUPK yang terdiri atas 8 anggota, karena itu boleh juga disebut Panitia
Delapan, Ki Bagus Hadikusumo dipilih menjadi salah seorang anggotanya.[14]
Tujuh anggota yang lain ialah: Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. Mohammad
Yamin, Mr. A.A. Maramis, R. Oto Iskandardinata, Mas Soetardjo KartoHadikusumo,
dan K.H. A. Wahid Hasjim.[15]
Tugas Panitia Delapan ini adalah mengumpulkan usul-usul para anggota yang akan
dibahas pada masa sidang yang akan diselenggarakan pada bulan Juli 1945.[16]
Mengenai dasar negara,
Panitia Kecil/Delapan mencatat 7 usul dari para Iin/Anggota BPUPK. Ketujuh usul beserta penjelasannya ialah sebagai
berikut:
1. Kebangsaan dan
Ketuhanan (11 Iin). Satu menerangkan,
kebangsaan secara Timur berdasarkan ilham Ketuhanan yang murni. Dari ilham itu
timbullah hasrat kebaktian yang mengandung sifat keridoan dari seluruh rakyat.
Ada yang menerangkan: Pemerintah memperkuat perintah-perintah Tuhan dan tidak
boleh melanggar hukum Islam.
2. Kebangsaan dan
Kerakyatan (2 Iin). Satu
menerangkan, Kebangsaanlah yang mengikat kita semua. Baik Indonesia Muslim
maupun orang Indonesia Kristen adalah putra Indonesia yang mengakui tanah
Indonesia sebagai tanah tumpah darahnya. Tentang Kerakyatan diterangkan bahwa
masyarakat kita bersifat kerakyatan, seperti ternyata di desa-desa, di mana
soal-soal diputuskan dengan jalan mufakat dan permusyawaratan.
3. Kebangsaan,
Kerakyatan, dan Ketuhanan
(3 Iin). Tidak ada keterangan.
4. Kebangsaan,
Kerakyatan, dan Kekeluargaan (4 Iin). Satu
menerangkan, cita-cita kekeluargaan perlu sebagai dasar untuk mencapai dan
memelihara perdamaian Negara dan perdamaian dunia.
5. Kemakmuran hidup bersama, kemajuan
kerohanian, kecerdasan pikiran bangsa Indonesia bertakwa, berpegangan teguh
pada tuntunan Tuhan Yang Maha Esa, Igama
Negara ialah agama Islam (1 Iin).
6. Kebangsaan,
Kerakyatan, dan Islam (3 Iin). Satu
menerangkan: Kebangsaan dan keigamaan
tak bisa dipisahkan, seolah-olah telah merupakan rohani dan jasmani rakyat.
Jiwa rakyat Indonesia ialah agama Islam. Jadi, dasar Negara harus agama Islam
yang bersatu dengan kebangsaan. Oleh karena Agama Islam memakai dasar
kerakyatan, dengan sendirinya corak negara kita bersifat kerakyatan. Iin lainnya berpendapat: Agama Islam
harus diakui sebagai agama negara dengan kemerdekaan seluas-luasnya bagi
penduduk untuk memeluk agama yang bukan Islam. Ada lagi yang menerangkan sebab
apa harus berdasar Islam, sebagai berikut: Negara Dai Nippon sejak berdiri
tidak terpisah dari Y.M.M. Tenno Haika yang berdiri sebagai Kepala Negara dan
pokok Agama (Kami-isme). Pemimpin India, Mahatma Gandhi juga pernah berkata
bahwa negara yang merdeka dengan tidak didasarkan atas agama rakyat murba, akan
roboh pula.
7. Jiwa Asia Timur Raya
(4 Iin). Satu menerangkan: oleh
karena jiwa itu dengan sendirinya dapat mewujudkan suatu kenyataan yang tepat
dengan kedudukannya Indonesia sebagai negara merdeka di dalam lingkungan Asia
Timur Raya (ATR) dan Indonesia merdeka merupakan salah satu mata rantai yang
tidak bisa dipisahkan dengan lain-lain negara Asia yang berada dalam lingkungan
kemakmuran itu. Lain Iin menerangkan: Negara Indonesia mengakui dirinya sebagai
anggota yang sejati dalam lingkungan Keluarga ATR dan berhasrat mencapai
perdamaian dunia bersendi atas kekeluargaan seluruh manusia di dunia. Yang
ketiga menjelaskamn: Negara Indonesia merdeka tidak teringkar dari mata rantai
kemakmuran bersama di ATR. Di dalam lingkungan ini, Dai Nipponlah yang menjadi
Guru dan pemimpinnya. Yang keempat merancang sebagai pasal 2 dari hukum dasar:
Negara Indonesia berjiwa sehidup semati dengan Dai NipponTeikoku dan senantiasa berusaha dengan seluruh
negara-negara ATR dalam suasana persaudaraan dan perdamaian untuk mencapai
kemakmuran bersama. Negara berusaha sekuat-kuatnya untuk mencapai Hakko Itiu. [17]
Melihat kenyataan
usul-usul di atas, tidak mengherankan jika dalam rumusan Panitia Sembilan
(pengganti Panitia Delapan)[18]
yang terdiri atas Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. Mohammad Yamin, Mr.
A.A. Maramis, K.H. A. Wahid Hasjim, Mr. Achmad Soebardjo, K.H. A. Kahar
Muzakkir, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan H. Agus Salim[19];
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menjadi dasar yang pertama dari
susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.
Menurut Soekarno,
mula-mula ada kesukaran mencari pertemuan faham antara kedua golongan ini
(Islam dan Kebangsaan –ed), terutama
yang mengenai soal agama dan negara, tetapi “sebagai tadi saya katakan, Allah subhanahu wa ta’ala memberkati kita
sekarang ini, kita sekarang sudah ada persetujuan,” katanya.[20]
Ketika pada 10 Juli 1945
hasil ini dibawa ke sidang paripurna BPUPK, dan mendapat kritik dan sanggahan
dari beberapa anggota, Ir. Sukarno selaku Ketua Panitia Sembilan gigih
mempertahankan rumusan Pembukaan hukum dasar itu. Soekarno dan Panitia Kecil yang dipimpinnya sangat
yakin inilah preambule yang bisa
menghubungkan, mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan
anggota-anggota Dokuritu Zyundi Tyoosakai.[21]
Dalam nada yang sangat ekspresif, Soekarno berkata: “Saya minta dengan rasa
menangis, rasa menangis, supaya sukalah saudara-saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa
kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan supaya Indonesia merdeka bisa lekas
damai.”[22]
Sesudah melalui
perdebatan panjang, dalam rapat BPUPK pada tanggal 16 Juli 1945, rancangan Preambule dan batang tubuh Undang-Undang
Dasar diterima –dalam kata-kata Ketua BPUPK Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat—“dengan sebulat-bulatnya.” [23]
Preambule rumusan 22 Juni 1945 itulah
yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta.
Sesungguhnya sangat menarik
jika kita dapat membaca secara lengkap perdebatan yang terjadi di dalam Panitia
Sembilan perumus rancangan Preambule
itu. Perdebatan itu niscaya bakal memperkaya khazanah pengetahuan dan pemahaman
kita mengenai proses pembentukan dan pemikiran yang melatarbelakangi berdirinya
negara Republik Indonesia. Sayangnya sampai sekarang dokumen perdebatan di
Panitia Sembilan belum ditemukan sehingga belum terpublikasikan.
Ki
Bagus, Kasman, dan Hilangnya Tujuh Kata
Sesudah bersidang pada
16 Juli 1945, BPUPK “hilang”. Posisi BPUPK digantikan oleh PPKI. Berbeda dengan BPUPK yang
beranggotakan 60 orang ditambah 6 anggota tambahan dan 7 wakil Jepang sebagai
anggota istimewa, PPKI hanya beranggotakan 27 orang (21 anggota tetap plus 6
anggota tambahan). PPKI yang dibentuk pada 7 Agustus 1945, baru bersidang pada
18 Agustus 1945.
Di PPKI, jumlah anggota
yang berasal dari kalangan Islam makin merosot, yaitu hanya 4 orang. Keempatnya
ialah Ki Bagus Hadikusumo, K.H. A. Wahid Hasjim, Mr. Kasman Singodimedjo
(aktivis Jong Islamieten Bond dan
Muhammadiyah yang saat itu lebih dikenal sebagai Daidantjo Jakarta), dan Mr. T.M. Hasan (Ikhwanus Shafa Indonesia
yang keanggotaannya dalam PPKI lebih karena faktor ke-Sumatera-annya).[24]
Kasman (sebagai anggota
tambahan) dan Hasan (sebagai anggota tetap) adalah dua pendatang baru yang
tidak ikut dan karena itu tidak menghayati proses perumusan Undang-Undang Dasar
di BPUPK.
Di tangan PPKI dengan
format seperti itulah, menurut Ketua Umum Partai Masyumi, Prawoto Mangkusasmito
(1910-1970), terjadi historische vraag
(pertanyaan sejarah).[25]
Karya besar 60 + 6 anggota BPUPK berupa Undang-Undang Dasar Negara Indonesia
yang dengan susah payah dan dengan penuh kesabaran dirancang, diperdebatkan,
dan pada 16 Juli 1945 dengan suara bulat disahkan dalam rapat besar BPUPK,
hanya dalam hitungan jam, serta merta dianulir oleh 20 + 6 anggota PPKI.
Situasi pada pagi 18
Agustus 1945 itu, sungguh-sungguh sangat krusial. Sejarah meletakkan beban
berat itu di pundak anggota PPKI, Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo.
Pastilah sama sekali bukan suatu kebetulan jika keduanya adalah kader
Muhammadiyah.
Menurut Prawoto
Mangkusasmito, ketika pada rapat 18 Agustus 1945 itu seluruh eksponen non-Islam
menghendaki tidak ada klausul tujuh kata yang menjadi inti dari Piagam Jakarta,
K.H. A. Wahid Hasjim belum tiba di Jakarta, karena masih dalam perjalanan di
Jawa Timur.[26] Mr. Kasman Singodimedjo
sebagai anggota tambahan, yang baru mendapat undangan rapat pada pagi hari itu,
belum mengetahui sama sekali duduk persoalan yang didiskusikan. Mudah difahami
dan lumrah sekali jika seluruh tekanan psikologis tentang berhasil atau
tidaknya penetapan Undang-Undang Dasar diletakkan di atas pundak Ki Bagus
Hadikusumo sebagai satu-satunya eksponen perjuangan Islam di PPKI pada saat itu
yang dari awal aktif dalam proses penyusunan Undang-Undang Dasar.
Tidak mudah meyakinkan
Ki Bagus untuk menghapus tujuh kata dari rancangan Preambule Undang-Undang Dasar. Sesudah Bung Hatta --yang konon pada
sore 17 Agustus 1945 menerima opsir Angkatan Laut Jepang[27]
untuk menyampaikan keberatan rakyat di Indonesia Timur atas masuknya tujuh kata
dalam Preambule Undang-Undang
Dasar—gagal meyakinkan Ki Bagus, dia meminta T. M. Hasan untuk melobbi Ki
Bagus. Hasan ternyata juga tidak mampu.melunakkan hati ki Bagus.
Dalam situasi kritis
itulah, Hatta --yang pagi itu aktif memimpin lobby[28]--
meminta Kasman untuk membujuk Ki Bagus. Dengan menggunakan bahasa Jawa halus,
Kasman meyakinkan Ki Bagus untuk mau menerima usul perubahan. Kasman antara
lain mengingatkan Ki Bagus bahwa karena
kemarin kemerdekaan sudah diproklamasikan, maka Undang-Undang Dasar
harus cepat ditetapkan supaya memperlancar roda pemerintahan. Kasman juga
mengingatkan Ki Bagus bahwa bangsa Indonesia sekarang posisinya terjepit di
antara bala tentara Dai Nippon yang masih tongol-tongol
di bumi Indonesia dengan persenjataan moderennya; dan tentara Sekutu –termasuk
Belanda—yang tingil-tingil mau masuk
Indonesia, juga dengan persenjataan moderennya. Di akhir pembicaraannya, Kasman
bertanya kepada Ki Bagus apakah tidak bijaksana jika kitra sebagai umat Islam
yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi
kemenangan cita-cita bersama, yakni tercapainya Indonesia merdeka sebagai
negara yang berdaulat, adil makmur, tenang tenteram, diridhai Allah.[29]
Entah karena dilobbi
oleh sesama kader Muhammadiyah, atau karena kepiawaian Kasman melobbi dengan
bahasa Jawa halus, Ki Bagus luluh hatinya. Ki Bagus setuju tujuh kata dalam
rancangan Preambule Undang-Undang
Dasar, Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dihapus dan diganti
dengan kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bersamaan dengan itu Ki Bagus meminta supaya anak kalimat “menurut dasar” di dalam Preambule
Undang-Undang Dasar dihapus, sehingga penulisannya dalam Preambule Undang-Undang Dasar menjadi: “…. Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, dan seterusnya.” Usul Ki Bagus disetujui.
Impian
Abdul Kahar Mudzakkir
Dalam proses penyusunan konstitusi, terutama pada
saat-saat kritis dalam proses penetapan Undang-Undang Dasar, terbukti tiga
tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo, K.H. A. Kahar Muzakkir, dan Mr. Kasman
Singodimedjo telah menorehkan peranan yang cukup signifikan.
Meskipun nama Prof. K.
H. Abdul Kahar Mudzakkir
(1907-1973) terabadikan di dalam sejarah pembentukan Negara Republik Indonesia
sebagai salah seorang anggota Panitia Sembilan yang menghasilkan rumusan resmi pertama rancangan Preambule Undang-Undang Dasar 1945 seperti dirumuskan dalam Piagam
Jakarta 22 Juni 1945, dan meskipun Pak Abdul Kahar telah turut dalam proses pembentukan Sekolah Tinggi
Islam (STI) sejak masa paling awal serta menjadi pemimpin pertama dari
perguruan tinggi yang kemudian menjadi Universitas Islam Indonesia (UII)
Yogyakarta, ternyata tidak mudah “menyajikan” apa dan siapa Abdul
Kahar kepada publik.[30]
Hal itu terutama sekali
karena sifat tawadhu para pemimpin
kita di masa lalu, yang tidak mau mencatat dan menuliskan apa yang pernah
mereka perbuat untuk negeri ini, dan sejarah pun tidak cukup berbaik hati untuk
mencatat peranan mereka. Berbagai buku sejarah politik dan konstitusi
Indonesia, bagai melupakan tokoh kelahiran Yogyakarta ini, padahal Abdul Kahar
adalah anggota BPUPK yang pada 1 Juni 1945 menyampaikan pikirannya mengenai
dasar negara Indonesia yang akan dibentuk.
Pada persidangan pertama
BPUPK, 29 Mei – 1 Juni 1945, terdapat 31 anggota yang menyampaikan pidato, akan
tetapi Risalah Sidang hanya memuat
notulasi pidato-pidato Yamin (29 dan 31 Mei 1945), Soepomo (31 Mei 1945), dan
Soekarno (1 Juni 1945). Ke manakah para
tokoh, calon pembicara yang sudah terjadualkan itu?[31]
Mungkinkah 28 anggota
BPUPK
yang lain, termasuk di dalamnya
Mohammad Hatta, H. Agus Salim, K.H. Ahmad Sanusi, Soekiman Wirjosandjojo, A.R.
Baswedan, dan Latuharhary membuang begitu saja peluang bersejarah untuk
mengemukakan gagasan mengenai Indonesia merdeka yang sudah mereka suarakan dan
perjuangkan sejak dua dasawarsa terakhir? Atau, jika pidato mereka tidak
tercatat, mengapa tidak tercatat? Jika hilang, tidak adakah ikhtiar yang
sungguh-sungguh untuk menemukannya?
Ini misteri yang mesti
diusut oleh para ahli sejarah!
Seperti Ki Bagus, mimpi
Abdul Kahar sejak awal ialah bagaimana negara Indonesia merdeka memberi tempat
terhormat dan strategis kepada
agama. Antara agama dengan negara memang dapat dibedakan, tetapi dalam
keyakinan Abdul Kahar dan banyak pemimpin bangsa yang lain, antara agama dan
negara tidak dapat dipisahkan.
Dalam pidato di
Konstituante, Abdul Kahar mengecam orang Islam yang merasa tidak perlu
menyerahkan kehidupan kepada syariat Islam karena mereka percaya bahwa agama
hanya berurusan dengan iman dan ibadah. Dia .menegaskan kembali pendiriannya
bahwa ajaran Islam itu mencakup iman, ibadah, moralitas, ajaran, ideologi,
negara, dan hukum.[32]
Soekiman
di Belanda, Mudzakkir di Timur Tengah
Pada usia 17 tahun,
selepas menyelesaikan pendidikan di berbagai pondok pesantren dan madrasah
Mambaul Ulum, Surakarta, Abdul Kahar pergi jauh. Mula-mula ke Mekkah untuk menunaikan ibadah
haji. Setahun kemudian ia sudah berada di Mesir untuk melanjutkan pendidikan.
Selama 12 tahun di
Mesir, Abdul Kahar yang kuliah di Universitas Al-Azhar, kemudian di Universitas
Darul Ulum, aktif memperkenalkan Indonesia yang sedang berjuang untuk
melepaskan diri dari penjajahan Belanda kepada publik melalui berbagai
tulisannya di koran-koran Mesir seperti Al-Ahram, Al-Balagh, Al-Fatayat, dan Al-Hayat.
Pada 1936, Abdul Kahar diminta oleh seorang tokoh pejuang Palestina, Sayyid
Mohammad Ali Attahir untuk membantunya menjadi staf redaksi surat kabar Atsturah (Pemberontakan).[33]
Berkat aktivitasnya itu,
Abdul Kahar populer di kalangan aktivis Islam di Mesir. Pada 1931, dia diminta
oleh Mufti Besar Palestina, Sayid Amin Husaini untuk menghadiri Muktamar Islam
Internasional di Palestina mewakili Asia Tenggara. Setelah berkomunikasi dengan
Partai Syarikat Islam Indonesia di Tanah Air, Abdul Kahar pun berangkat
menghadiri muktamar. Abdul Kahar yang baru berusia 24 tahun, bukan hanya
menjadi peserta termuda, tetapi terpilih sebagai sekretaris mendampingi Mufti Besar Palestina. Kesempatan
ini, dimanfaatkan Abdul Kahar untuk lebih mengenalkan kondisi Indonesia yang
mayoritas Muslim dan meminta dukungan muktamar untuk perjuangan Indonesia
menuju kemerdekaan.
Mengenai hal ini,
Tashadi menulis:
“Kongres
Islam di Palestina pada tahun 1931 bagi bangsa Indonesia yang terjajah
merupakan suatu tonggak sejarah. Jika almarhum Tjokroaminoto dan K.H. Mas
Mansur telah mewakili umat Islam Indonesia dalam konferensi yang diadakan oleh
almarhum Raja Abdul Aziz ibnu Saud pada tahun 1926, maka pemuda Abdul Kahar
Mudzakkir dengan inisiatifnya sendiri menghubungi Partai Syarikat Islam
Indonesia dan berhasil mewakili Indonesia dalam muktamar di Palestina. Pemuda
Abdul kahar Mudzakkir berani menghadapi seluruh struktur kolonial
Hindia-Belanda pada tahun 1930, yakni pada waktu Perdana Menteri Colyn
mengatakan bahwa kekuasaan Belanda di Indonesia adalah kokoh seperti gunung.”[34]
Pada periode 1930-an,
kata Rasjidi, di Mesir dan Timur Tengah, publik bersimpati kepada Indonesia
karena aktivitas Abdul Kahar yang merupakan lambang atau personifikasi
Indonesia di Timur Tengah. Jauh sebelum Indonesia merdeka, sebelum ada duta
besar Indonesia di Mesir, Abdul Kahar telah menjalankan tugas itu dengan
sebaik-baiknya.[35]
Bukan kebetulan, jika
aktivitas memperkenalkan Indonesia di luar negeri pada masa itu dilakukan oleh
tokoh-tokoh pergerakan Islam. Jika di Mesir dan Timur Tengah ada tokoh bernama
Abdul Kahar Mudzakkir, maka di Belanda ada tokoh bernama Soekiman
Wirjosandjojo.
Hampir-hampir dilupakan
sejarah, pada awal tahun 1920-an, terjadi peristiwa yang terlihat biasa-biasa
saja, tetapi sesungguhnya sangat revolusioner, yaitu perubahan nama organisasi
para mahasiswa pribumi di Belanda dari De
Indische Vereeniging (Perhimpoenan Hindia-Belanda) menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpoenan Indonesia).
Tidak berhenti sampai di situ, para mahasiswa itu mengubah nama majalah
organisasinya dari Hindia Poetera
menjadi Indonesia Merdeka, memperkenalkan semboyan “Indonesia merdeka, sekarang!”, dan mengeluarkan “Manifesto
Politik” yang berisi hasrat untuk memperjuangkan tercapainya kemerdekaan
Indonesia yang demokratis.
Menurut sejarawan Prof.
Dr. Taufik Abdullah, peristiwa sederhana itu sekaligus mengatakan tiga hal yang
fundamental, yakni: (1). Adanya sebuah bangsa yang bernama Indonesia, (2). Adanya
sebuah negeri yang bernama Indonesia, dan (3). Bangsa ini menuntut kemerdekaan
bagi negerinya.[36] Para mahasiswa yang
tergabung dalam PI di negeri Belanda itulah yang sesungguhnya merupakan pelopor
pergerakan nasionalisme antikolonial yang radikal.
Ketika semua peristiwa
radikal-revolusioner di negeri penjajah itu berlangsung, Ketua De Indische Vereeniging pada 1923 adalah
Soekiman Wirjosandjojo (1896-1974). Di masa kepemimpinan Soekiman, Indonesische Vereeniging memperingati
usia ke-15. Pada kesempatan tersebut
diterbitkan Buku Peringatan yang isinya mencerminkan semangat yang menjiwai
anggota Perhimpoenan Indonesia (PI). PI juga mendeklarasikan Dasar-dasar
Perhimpoenan Indonesia yang pada pokoknya menekankan ide kesatuan atau ideologi
kesatuan dan prinsip demokrasi.[37]
Dibandingkan dengan
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang berhenti pada penyatuan tekad akan bangsa
yang satu, tanah air yang satu, dan menjunjung bahasa persatuan; Manifesto
Politik Perhimpoenan Indonesia 1923 telah melampaui tekad Sumpah Pemuda itu dan
menjadikan “Indonesia Merdeka, sekarang!”
sebagai tujuan perjuangan. Anehnya, dengan sekali lagi mengutip Taufik
Abdullah, yang mengalami proses mitologisasi, diperlakukan sebagai salah satu
tonggak dalam perjalanan sejarah nation-formation,
pembentukan bangsa, dan selalu dirayakan, justru Sumpah Pemuda.[38]
Bukan Manifesto Politik PI 1923 yang radikal-revolusioner dan lebih kongkrit
dari sekadar tekad itu.
Pada 1933, Abdul Kahar
turut serta membentuk Perhimpoenan Indonesia Raja (PIR) di Mesir yang merupakan jaringan dari
Perhimpoenan Indonesia di Belanda.dan terpilih menjadi Ketua.[39]
PIR di bawah pimpinan Abdul Kahar kemudian mendirikan kantor berita Indonesia Raja. Tuntutan Indonesia
merdeka disiarkan oleh kantor berita tersebut.
Abdul Kahar dan Soekiman
kemudian bertemu dalam proses pembentukan Sekolah Tinggi Islam (STI). Soekiman
mewakili kalangan ulama dan cendekiawan Muslim, Abdul Kahar mewakili Kantor
Urusan Agama (Shumubu); keduanya
bertemu lagi dalam Muhammadiyah, bertemu kembali dalam BPUPK, dan bertemu pula
dalam Partai Masyumi.
Tidak syak lagi,
aktivitas Abdul Kahar selama di Mesir, kelak mempermudah ikhtiar Menteri Muda
Luar Negeri H. Agus Salim, Menteri Muda Penerangan AR. Baswedan, Sekretaris
Jenderal Kementerian Agama H.M. Rasjidi, dan Dr. Mr. Nazir St. Pamoentjak untuk
memperoleh pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia dari Mesir. Pengakuan Mesir
terhadap kemerdekaan Republik Indonesia ditandai dengan ditandatanganinya
Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir pada 10 Juni 1947 oleh Perdana
Menteri/Menteri Luar Negeri Mesir Nokrashi Pasha dan Menteri Muda Luar Negeri
Republik Indonesia H. Agus Salim.[40]
Perjanjian Persahabatan
Indonesia-Mesir itu memiliki nilai sangat strategis karena baik pemerintah
Mesir maupun Liga Arab mengetahui bahwa saat perjanjian itu ditandatangani,
Indonesia masih terikat oleh Perjanjian Linggajati yang hanya mengakui Republik
Indonesia sebagai bagian dari Indonesia Serikat yang nanti akan dibentuk oleh
Belanda dengan mengikutsertakan kepulauan-kepulauan Indonesia lainnya.[41]
Meskipun mengetahui kondisi itu, Mesir memutuskan untuk mengakui Republik
Indonesia sebagai negara merdeka yang berdaulat penuh, dan mengadakan hubungan
diplomatik.[42]
Setelah Mesir, pada 29
Juni 1947 giliran pemerintah Libanon yang mengakui kemerdekaan Republik
Indonesia. Pada 24 November 1947, dalam keadaan Indonesia sangat sulit dan
gelap, Kerajaan Saudi Arabia mengakui kemerdekaan Indonesia. Surat pengakuan
itu diserahkan langsung oleh Raja Abdul Aziz al Su’ud kepada Ketua Delegasi
Diplomasi Republik Indonesia, H.M. Rasjidi di Riyadh.[43]
Kasman:
Sang Perintis yang Dilupakan
Mr. Kasman Singodimedjo
(1904-1982) yang dilahirkan Purworejo bagai ditakdirkan untuk selalu tampil
sebagai perintis di saat-saat kritis. Di waktu sekitar proklamasi, kata
Jenderal TNI Abdul Haris Nasution adalah lazim kalangan pemuda menyebut
Soekarno-Hatta-Kasman, di mana Kasman dirasakan sebagai tokoh militer yang
terdepan ketika itu.[44]
Dalam buku Sekitar Perang Kemerdekaan,
berulang kali Jenderal Nasution menyebut Kasman, bahwa “hanya dengan pimpinan Soekarno-Hatta-Kasman
Singodimedjo rakyat dapat digerakkan secara massal, dan kegiatan tanpa disertai
ketiga pemimpin ini, dewasa itu akan merupakan suatu gerakan yang hanya
setengah-setengah saja,” bahwa “dewasa itu sangat diperlukan pimpinan dari yang
telah memegang kepercayaan rakyat dan tentara serta telah mempunyai kedudukan
berkomando, yakni Soekarno-Hatta-Kasman Singodimedjo,” dan bahwa
“perwira-perwiranya (PETA) taat sepenuhnya kepada Kasman Singodimedjo dan
Soekarno-Hatta, sedangkan yang muda-muda banyak yang telah menggabungkan diri
dengan pemuda-pemuda revolusioner.”[45]
Menjelang Proklamasi
Kemerdekaan, Kasman yang berlatar belakang pendidikan Barat, bertahun-tahun
menjadi aktivis Jong Islamieten Bond
(JIB), dan menjadi guru serta pengurus Muhammadiyah, oleh tentara pendudukan
Jepang ditunjuk menjadi Komandan Batalyon (Daidancho)
Pembela Tanah Air (PETA) Jakarta. Sebagai Daidancho
paling senior, pada 16 Agustus 1945, dalam pertemuan dengan para Daidancho se-Jawa dan Madura Kasman
memberi arahan kepada para Daidancho
agar semua persenjataan yang telah berada di tangan PETA tidak diserahkan
kepada tentara Jepang.
Pada 18 Agustus 1945, Daidancho Kasman diangkat menjadi
anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang menghasilkan
konstitusi negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945.
Pada 20 Agustus 1945,
sidang ketiga PPKI memutuskan membentuk
Badan Keamanan Rakyat (BKR) dengan tugas dan kewajiban “harus memelihara
keamanan bersama-sama rakyat dengan jawatan-jawatan negeri yang bersangkutan.”
Otto Iskandar Dinata ditunjuk menjadi Kepala BKR dengan Kasman Singodimedjo
sebagai Wakil. Oleh karena sejak ditunjuk menjadi Kepala BKR, Otto tidak pernah
muncul (diduga hilang atau gugur di
daerah Tangerang), praktis Kasman-lah yang memimpin BKR. Kita tahu, BKR inilah
yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan dalam konteks
ini kita dapat memahami kesaksian Jenderal Nasution di atas.
Belum rampung
mengkonsolidasikan BKR, pada 29 Agustus 1945, Kasman dipilih menjadi Ketua
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). KNIP adalah parlemen pertama di era
kemerdekaan, dan Kasman adalah orang
pertama yang memimpin parlemen pertama itu.
Meskipun sudah menjadi
ketua parlemen, perhatian Kasman kepada pembentukan tentara, tidak pudar. Pada
9 Oktober 1945, Kasman Singodimedjo selaku Ketua KNIP mengumumkan bahwa untuk
menjaga keamanan rakyat pada dewasa ini, oleh Presiden RI telah diperintahkan
pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Kasman menyerukan agar seluruh
pemuda, bekas prajurit PETA, bekas prajurit Hindia-Belanda, Pelopor, dan
lain-lain, baik yang sudah maupun yang belum pernah memperoleh latihan militer
supaya selekas-lekasnya mendaftarkan diri di kantor BKR yang ditunjuk oleh
Residen atau wakilnya.[46]
Jabatan Ketua KNIP
dipegang Kasman sampai 15 Oktober 1945 ketika Kasman menyerahkan jabatan itu
kepada Sutan Sjahrir.
Selepas dari jabatan
Ketua KNIP, Kasman diangkat menjadi Jaksa Agung. Ini pun jabatan rintisan,
sebab Jaksa Agung yang pertama (17 Agustus-6 November 1945), Mr. Gatot, yang
tinggal di Purwokerto, karena situasi pada saat itu, tidak efektif di dalam
melaksanakan tugasnya. Sebagai Jaksa Agung di masa permulaan kemerdekaan,
Kasman melakukan penyusunan administrasi dan personalia dari atas ke
bawah, hubungannya dengan
instansi-instansi horisontal, pertunjuk-petunjuk dan instruksi ke bawah,
turne-turne ke daerah-daerah di Jawa dan Madura untuk memeriksa kantor-kantor
kejaksaan dan penjara-penjara, dan menyertai turba (turun ke bawah) Presiden
Soekarno ke Tanggerang, Balajara, Serang, Rangkasbitung, Bogor, dan seluruh
Jawa Timur, termasuk Madura.[47]
Sebagai Jaksa Agung
dengan masa jabatan relative singkat, Kasman dikenang karena pada 15 Januari
1946 mengeluarkan Maklumat Jaksa Agung No. 3. Maklumat yang ditujukan kepada
para Gubernur, Jaksa, dan Kepala Polisi itu mengajak para pejabat tersebut
untuk membuktikan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, yaitu
negara yang selalu menyelenggarakan pengadilan yang cepat, dan tepat.
Pada masa
kepemimpinannya pula, ada instruksi Jaksa Agung yang sangat penting bagi
perkembangan eselonisasi dan tata kerja Kejaksaan selanjutnya. Dalam suatu
instruksi tanpa tanggal pengeluaran yang ditujukan kepada para kepala
pemerintahan di Jawa dan madura, Jaksa Agung Kasman menegaskan bahwa susunan
Kejaksaan di Jawa dan Madura untuk sementara terdiri dari Kejaksaan Agung
sebagai pusat yang langsung memimpin Kejaksaan di bawahnya.[48]
Setelah
berhenti dari jabatan Jaksa Agung, Kasman ditunjuk menjadi Kepala Urusan
Kehakiman dan Mahkamah Tinggi pada Kementerian Pertahanan RI dengan pangkat
Jenderal Mayor. Setelah itu, Kasman diangkat menjadi Kepala Kehakiman dan
Pengadilan Militer pada Kementerian Pertahanan. Jabatan terakhir Kasman di
pemerintahan adalah sebagai Menteri Muda Kehakiman dalam Kabinet Amir
Sjarifuddin II. Sesudah itu Kasman aktif di Partai Masyumi, dan di
Muhammadiyah. Pada pemilihan umum 1955, Kasman terpilih menjadi anggota Majelis
Konstituante dan diberi amanah menjadi Ketua Fraksi Islam yang merupakan
gabungan dari anggota Partai Masyumi, Partai Nahdlatul Ulama, Partai Syarikat
Islam Indonesia, dan Partai Islam PERTI
di Konstituante, sebelum diganti oleh K.H. Masjkur karena Kasman pada 5
September 1958 ditangkap oleh pemerintahan Presiden Soekarno dengan tuduhan
subversi.[49]
Menurut Jenderal TNI
A.H. Nasution, ketampilan ikut memimpin negara dan tentara pada saat-saat yang
amat kritik itu, tidak akan datang dari
“pemimpin-pemimpin rutin.” Tugas memimpin di masa-masa kritik pasti jauh lebih
berbahaya dan lebih menentukan bagi nasib bangsa, dibanding dengan di masa
negara dan tentara telah tegak terkonsolidasi.[50]
Kasman Singodimedjo, bukanlah jenis tokoh yang berpolitik
untuk mencapai tujuan dan kepentingan pribadi, apalagi sekadar untuk memperkaya
diri sendiri. Kasman berpolitik berdasarkan cita-cita dan keyakinan.
Perjuangannya yang dilandasi cita-cita dan keyakinan itu
menyebabkan Kasman tidak pernah mau duduk berpangku tangan. Ketika pada 19
Desember 1948, ibukota RI di Yogyakarta diserang dan diduduki tentara Belanda,
dan para pemimpin Republik ditawan, Kasman sebagai Juru Bicara Pemerintah Pusat
berkeliling, sering kali dengan berjalan kaki, ke basis-basis Republik di Jawa
Tengah dan Jawa Timur untuk memberikan penerangan bahwa meskipun Presiden
Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan para menteri ditawan oleh Belanda,
roda pemerintahan Republik Indonesia masih terus berjalan. Kasman juga
mengobarkan semangat rakyat untuk terus melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang, Jenderal Mayor T.B.
Simatupang, mencatat pertemuannya dengan Kasman di masa itu, di daerah Ngawen.
Simatupang menyebut Kasman sebagai type yang lain sama sekali daripada teman separtainya, Prawoto Mangkusasmito.
“Mr. Kasman,” kata Simatupang, “tidak dapat tinggal tenang dan tenteram, dia
harus bergerak.” Simatupang mengakui di masa perang-rakyat itu, dirinya tidak
mungkin mampu mengunjungi daerah-daerah yang sudah dikunjungi Kasman. “Gambaran
yang saya peroleh dari ceritanya (Kasman) itu pada dasarnya adalah sama dengan
keadaan yang telah saya lihat sendiri di daerah Kedu, Yogyakarta, dan Surakarta
itu. Belanda menduduki kota-kota besar, tetapi di luar kota-kota itu tentara
dan pamongpraja kita bergerak dan bekerja terus,” demikian Jenderal Simatupang.[51]
Sebagai aktivis Muhammadiyah sejak 1921, cita-cita dan
keyakinan Kasman dipengaruhi oleh rumusan Kepribadian Muhammadiyah. Dengan
khidmat, Kasman mengatakan: “Kita tetap dalam kepribadian Muhammadiyah.” Kepribadian
Muhammadiyah terdiri atas butir-butir sebagai berikut: (1). Beramal dan
berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan, (2). Memperbanyak kawan dan
mengamalkan ukhuwah Islamiyah, (3). Lapang dada luas pandangan dengan memegang teguh ajaran
Islam, (4). Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan, (5). Mengindahkan segala
hukum, undang-undang, peraturan serta dasar dan filsafat negara yang sah, (6).
Amar ma’ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh tauladan
yang baik, (7) Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud isilah dan
pembangunan sesuai dengan ajaran Islam, (8). Kerjasama dengan golongan Islam
mana pun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama Islam serta membela
kepentingannya, (9). Membantu pemerintah serta kerja sama dengan golongan lain
dalam pemeliharaan dan membangun negara untuk mencapai masyarakat yang adil dan
makmur dan diridhai Allah subhanahu wa
ta’ala, dan (10). Bersifat adil serta korektif ke dalam dan keluar dengan
bijaksana.[52]
Dengan cita-cita dan keyakinan seperti itu, kita tidak
perlu heran melihat Kasman yang bukan pengurus atau calon anggota legislative
(caleg), pada 1977 sangat aktif dan bersemangat menjadi juru kampanye salah
satu organisasi peserta pemilihan umum. Kasman berkampanye di Sumatera Barat,
Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan
Maluku. Semangat kampanye Kasman melampaui semangat para pengurus dan caleg
partai yang bersangkutan, karena Kasman bergerak didasari keyakinan. Bukan
karena kepentingan sesaat untuk melanggengkan kekuasaan di partai atau untuk
menjadi anggota parlemen. Padahal, pada saat itu, masih banyak tokoh yang
bersikap wait and see atau memilih
menjadi golongan putih (golput) karena menganggap pemilu kedua di masa Orde
Baru itu tidak ada manfaatnya untuk demokrasi dan hanya menguntungkan rezim
yang berkuasa saja.
Akan tetapi, jika tiba saatnya Kasman harus mengeritik,
dia pun tidak segan melancarkan kritik. Itu terjadi di masa Presiden Soekarno.
Akibat pidatonya yang kritis terhadap pemerintahan Soekarno yang disampaikannya
pada 31 Agustus 1958 di Magelang, Kasman dituduh menyebarkan permusuhan kepada
pemerintah dan menyebabkannya ditangkap, diadili, dan divonnis tiga tahun
penjara.[53]
Sikap kritis Kasman juga terjadi di masa Presiden Soeharto
dengan mengajukan Petisi Kasman (Petisi 26)[54]
mengenai pemilihan umum, dan Pernyataan Keprihatinan (Petisi 50) yang
mengeritik dua pidato Presiden Soeharto pada awal 1980, dan yang menyebabkan
hak-hak sipilnya dibunuh.[55]
Yang mengenaskan, ketika pada 12 Agustus 1992, Presiden Soeharto memberikan
Bintang Mahaputera kepada para mantan anggota BPUPK dan PPKI, Kasman
Singodimedjo dilewati.[56]
Patut diduga, ini adalah dampak dari keikutsertaan Kasman menandatangani Petisi
50.
Berbagai resiko yang dihadapi, tidak menyebabkan Kasman
surut dari lapangan perjuangan. Seorang Muslim, kata Kasman, harus berjuang
terus karena hidup itu adalah perjuangan.
Bagi Kasman, seorang Muslim harus berjuang terus, betapa
pun keadaannya lebih sulit dari sebelumnya. Adanya kesulitan-kesulitan itu
tidak membebaskan seorang Muslim untuk berhenti berjuang, bahkan ia harus
berjuang lebih gigih daripada waktu lampau dengan strategi tertentu dan taktik
yang lebih tepat dan sesuai.
Kasman Singodimedjo adalah tokoh pemimpin yang unik. Dia
seorang nasionalis yang memperjuangkan tegaknya Islam, sekaligus pemimpin Islam
yang berjuang untuk kepentingan nasional. Dia seorang politikus yang sekaligus
seorang pekerja sosial. Dia seorang cendekiawan yang selalu berada di
tengah-tengah rakyat. Dia seorang intelek sekaligus seorang kiai. Lebih dari
itu semua, Kasman adalah seorang pejuang tanpa pamrih yang nyaris dilupakan
oleh bangsanya.
Tidak
Menarik Garis Pemisah
Makna penting buku ini,
yang bagian terbesar isinya bersumber dari seminar[57]
yang diselenggarakan oleh Panitia Pengusulan Pemberian Gelar Pahlawan Nasional
Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Abdoel Kahar Moezakir --dibentuk
oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan Surat Keputusan Nomor
328/Kep/I.0/D/2012-- antara lain untuk menyegarkan kembali ingatan kolektif
bangsa, betapa sejak awal, para pendahulu kita tidak pernah menarik garis
pemisah antara eksistensinya sebagai Muslim dan statusnya sebagai warga bangsa.
Bahwa di dalam proses
pembentukan negara-bangsa ini, terdapat gagasan yang berbeda, misalnya mengenai
dasar dan struktur negara, tidak perlu kita cepat-cepat memberi kualifikasi kepada yang berbeda itu sebagai
pengkhianat bangsa, atau tidak setia kepada Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam
proses, semua ide memang harus dikonfrontasikan, agar dengan demikian dapat
ditemukan kesepakatan bersama yang kukuh dan dapat dipertanggungjawabkan
kepada generasi bangsa yang datang
kemudian.
Jika berbagai pendapat
yang berbeda itu tidak dikonfrontasikan, maka yang akan didapat paling banter
hanyalah toleransi. Toleransi tanpa konfrontasi, hanyalah mengelak dari
persoalan. Dan para tokoh pendiri negara itu dengan caranya masing-masing telah
mengemukakan pendiriannya dengan terang.
Perdebatan bermutu tinggi sejak di BPUPK, PPKI, sampai di Konstituante
itu akhirnya mengerucut dengan temuan unik bangsa Indonesia, yaitu Pancasila
yang dijiwai oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang diberlakukan melalui Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Dekrit Presiden itu, sesudah didialogkan
secara intensif, pada 22 Juli 1959 diterima secara aklamasi oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) hasil pemilihan umum 1955.[58]
Dekrit Presiden 5 Juli
1959 yang diterima secara aklamasi oleh DPR hasil Pemilu 1955 itu, menurut
Prawoto Mangkusasmito, menjadi landasan bersama (common platform) bagi semua aliran dan golongan warga negara
Republik Indonesia yang harus ditegakkan bersama dengan saling menghormati
identitas masing-masing.[59]
Tujuh tahun kemudian,
lahir Memorandum DPR Gotong Royong tertanggal 9 Juni 1966 yang mengingatkan,
meskipun Dekrit 5 Juli 1959 itu merupakan suatu tindakan darurat, namun
kekuatan hukumnya bersumber pada dukungan seluruh rakyat Indonesia, terbukti
dari persetujuan DPR hasil pemilihan umum (1955) secara aklamasi pada 22 Juli
1959.[60]
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) membenarkan Memorandum DPR-GR
itu dengan melahirkan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR
Gotong Royong mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia yang mengukuhkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai sumber hukum bagi berlakunya kembali
Undang-Undang Dasar 1945.
Itulah jalan panjang
menuju penemuan dasar negara sebagai commont
flatform. Dalam proses itu
terdapat sumbangan pikiran Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, Mr.
Kasman Singodimedjo, K.H. Abdul Kahar Mudzakkir dan lain-lain para pendiri
negara --yaitu para pejuang yang merintis berdirinya Republik Indonesia sejak
awal abad XX sampai berdirinya Republik Indonesia, yang meneruskan
perjuangannya secara aktif untuk mendirikan Negara Proklamasi Republik
Indonesia, ikut merumuskan Pembukaan UUD 1945/Pancasila, ikut menyusun UUD
1945, dan secara terus menerus ikut menjaga tegaknya Republik Indonesia selama
Perang Kemerdekaan dari tahun 1945 sampai akhir 1949.
Melengkapi penelusuran
kita terhadap pemikiran dan kiprah trio ulama-patriot: Ki Bagus Hadikusumo, Mr.
Kasman Singodimedjo, dan Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir, di bagian akhir
disajikan Senarai Pemikiran ketiga tokoh tersebut.
Makin lengkap
pengetahuan dan pemahaman kita terhadap masa lalu bangsa ini, insya Allah makin
bijak pula kita menata masa depan bangsa menuju negara Republik Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur di bawah bimbingan dan ridha Allah
subhanahu wa ta’ala.
Sukabumi,
Dzulhijjah 1433
Oktober 2012
Daftar Pustaka
Abdul
Gani Abdullah, “Badan Hukum Syara’ Kesultanan Bima 1947-1957 Sebuah Studi
Mengenai Peradilan Agama”, Disertasi Doktor, Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah,
1987
Adnan
Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan
Konstitusional di Indonesia Studi Sosio Legal atas Konstituante 1956-1959,
(a.b. Sylvia Tiwon), Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1995
Anwar
Harjono, Perjalanan Politik Bangsa
Menoleh ke Belakang Menatap Masa Depan, Jakarta, Gema Insani Press, 1997
Anwar
Harjono dan Lukman Hakiem, Di Sekitar
Lahirnya Republik Bakti Sekolah Tinggi Islam dan Balai Muslimin Indonesia
kepada Bangsa, Jakarta, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1997
Deliar
Noer, Partai Islam di Pentas Nasional
1945-1965, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1997
Djenderal
Major T.B. Simatupang, Laporan dari
Banaran Pengalaman Seorang Prajurit Selama Perang Kemerdekaan, Jakarta, PT.
Pembangunan, 1961
George
McTurnan Kahin, Refleksi Pergumulan
Lahirnya Republik dan Revolusi Indonesia, (a.b. Nin Bakdi Sumanto),
Surakarta-Jakarta, Sebelas Maret University Press-Pustaka Sinar Harapan, 1995
Kementerian
Penerangan, Republik Indonesia Daerah
Istimewa Jogjakarta, tanpa kota, tanpa nama penerbit, tanpa tahun.
Lukman
Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan dan
Persatuan Biografi Dr. Anwar Harjono, S.H., Jakarta, Media Dakwah, 1993
O.E.
Engelen dkk, Lahirnya Satu Bangsa dan
Negara, Jakarta, UI Press, 1997
Panitia
Buku Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim, Haji Agus Salim Seratus Tahun, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan,
1984
Panitia
Peringatan 75 Tahun Kasman, Hidup Itu
Berjuang Kasman Singodimedjo 75 Tahun, Jakarta, PT. Bulan Bintang, 1982
RM.
A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar
1945 Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha2 Persiapan
Kemerdekaan, Jakarta, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2004
Saafroedin
Bahar dkk (Penyunting), Risalah Sidang
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945,
Jakarta, Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995
Sartono
Kartodirdjo, Sejak Indische Sampai
Indonesia, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2005
S.U.
Bajasut (Penyunting), Alam Fikiran dan
Djedjak Perdjuangan Prawoto Mangkusasmito, Surabaya, Documenta, 1972
Tashadi,
Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir Riwayat
Hidup dan Perjuangan, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986
Trias
Setiawati, Prof. K.H. Abdul Kahar
Mudzakkir Mutiara Nusantara dari Yogyakarta, Yogyakarta, Badan Wakaf
Universitas Islam Indonesia, 2007
www.kejaksaaan.go.id
[1] Menurut
RM. A.B. Kusuma, penerjemahan Dokuritsu
Zjunbi Tjoosakai menjadi Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) kurang tepat, karena Badan ini dibentuk oleh Rikugun (Angkatan Darat Jepang), Tentara XVI, yang wewenangnya
hanya meliputi Pulau Jawa dan Madura. Badan serupa baru akan dibentuk di
Sumatera pada 25 Juli 1945. Dalam Pengoemoeman
Saikoo Sikikan nama badan ini memang disebut/ditulis: “BADAN OENTOEK
MENJELIDIKI OESAHA-OESAHA PERSIAPAN KEMERDEKAAN”. Pengoemoeman Saikoo Sikikan selanjutnya menulis (dengan penyesuaian ejaan): “Oleh badan ini
bersama-sama dengan pihak pemerintah dan
pihak penduduk akan diselidiki serta dipelajari soal-soal perlu yang mengenai
persiapan kemerdekaan di daerah Pemerintah di pulau Jawa ini.” Mengenai tanggal
pembentukan badan ini,menurut Pidato Kaityoo
Dr. Radjiman Wedodiningrat,ialah “…. pada tanggal 29 bulan 4 yang baru
lalu….” Artinya, bukan 1 Maret 1945
seperti ditulis di banyak buku selama ini. Selanjutnya lihat, RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 Memuat
Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki (seharusnya Menjelidiki –ed) Oesaha2
Persiapan Kemerdekaan, Jakarta, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2004, halaman 1, 93-94, dan 534-535.
[2] George
McTurnan Kahin, Refleksi Pergumulan
Lahirnya Republik Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (a.b. Nin Bakdi
Soemanto), Surakarta-Jakarta, Sebelas Maret University Press bekerjasama dengan
Pustaka Sinar Harapan, 1995, halaman 153.
[3] Menurut
RM. A.B. Kusuma, op cit, halaman 10,
anggota istimewa (Tokubetu Iin)
berjumlah 8 orang. Bukan 7 orang.
[4]
Saafroedin Bahar dkk (ed), Risalah Sidang
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945,
jakarta, Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995, halaman 367.
[5] Abdul
Gani Abdullah, “Badan Hukum Syara’ Kesultanan Bima 1947-1957 Sebuah Studi
Mengenai Peradilan Agama”, Disertasi Doktor, IAIN Syarif Hidayatullah, 1987,
halaman 213.
[6] Abdul Gani Abdullah, ibid, halaman 209.
[7] Alinea
ini dan beberapa alinea terkait berikutnya, dikutip dari Anwar Harjono, Perjalanan Politik Bangsa Menoleh ke
Belakang Menatap Masa Depan, Jakarta, Gema Insani Press, 1997, halaman
11-12.
[8] RM. A.B.
Kusuma, op cit, halaman 19. Menurut
Kusuma, jika dirinci, Golongan Kebangsaan terbagi lagi menjadi dua: yakni
golongan yang sepenuhnya memisahkan Urusan Negara dana Urusan Agama dan
golongan yang tidak sepenuhnya memisahkan Urusan Negara dengan Urusan Agama.
[9] Bedakan
antara Madjelis Sjuro Muslimin (Masjumi) sebagai federasi organisasi Islam yang
dibentuk di zaman Jepang sebagai kelanjutan dari Madjelis Islam ‘Ala Indonesia
(MIAI), dengan Partai Politik Islam Masjumi (nukan singkatan) yang dibentuk
oleh Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta pada 7 November 1945.
[10] RM. A.B.
Kusuma, op cit, catatan kaki nomor
57, halaman 19.
[11] Deliar
Noer, Partai Islam di Pentas Nasional
1945-1965, Jakarta, PT. Pustaka Utama Grafiti, 1997, halaman 31. Senada
dengan A.B. Kusuma, op cit, halaman
19, yang menyebut membagi anggota BPUPK menjadi dua golongan saja, yakni
“golongan Nasionalis” dan “golongan Islam” atau “Nasionalis Sekuler” dan
“Nasionalis Islami” terlalu menyederhanakan masalah; Deliar pun mencatat bahwa
nama-nama (anggota BPUPK) yang afiliasi organisasinya tidak diketahui, termasuk
orang-orang yang dengan gigih mempertahankan cita-cita Islam dalam sidang-sidang BPUPK.
[12] Bagian ini dan alinea terkait berikutnya,
lihatlah RM. A.B. Kusuma, ibid,
halaman 136-148.
[13] RM. A.B.
Kusuma, ibid, halaman 145-146.
Analisis mengenai pidato Ki Bagus di BPUPK, lihat Sudarnoto Abdul Hakim, “Ki
Bagus Hadikusuma Dedikasi untuk Islam dan Bangsa” dalam buku ini.
[14] Panitia Delapan dibentuk oleh BPUPK pada 1 Juni 1945 dan diketuai oleh Ir.
Soekarno setelah pidato Bung Karno pada hari itu disambut dengan gegap gempita
oleh seluruh anggota BPUPK.
[15] Seperti
dilaporkan oleh Soekarno kepada Rapat Besar BPUPK, 10 Juli 1945. Lihat
Saafroedin Bahar dkk (ed), op cit,
halaman 88.
[16] Dalam
kalimat Ketua BPUPKI, Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, kewajiban Panitia
Kecil , menggolong-golongkan dan memeriksan catatan-catatan yang tertulis.
Saafroedin Bahar dkk (ed), ibid,
halaman 88.
[17] RM. A.B.
Kusuma, op cit, halaman 175-176.
Seperti dilaporkan oleh ketuanya, selain usul mengenai dasar negara, Panitia
Kecil/Delapan juga mencatat usul-usul lain, semuanya ada sembilan. Kesembilan usul
itu ialah: (1). Golongan usul yang minta Indonesia Merdeka selekas-lekasnya,
(2). Golongan usul mengenai dasar, (3) Golongan usul mengenai soal unificatie
atau federatie, (4). Golongan usul yang mengenai bentuk negara dan Kepala
Negara, (5) Golongan usul mengenai warga negara, (6). Golongan usul yang
mengenai daerah, (7). Golongan usul yang mengenai soal agama dan negara, (8).
Golongan usul yang mengenai pembelaan, dan (9) Golongan usul yang mengenai soal
keuangan. Lihat Saafroedin Bahar dkk (ed), op
cit, halaman 88-89.
[18]
Pembentukan Panitia Sembilan menurut RM. A.B. Kusuma, op cit, halaman 20-21 menyimpang dari prosedur. Soekarno menyadari
bahwa kegiatan menyusun Mukaddimah itu melanggar formalitet, sebab itu pada sidang BPUPK, 10 Juli 1945, Soekarno
meminta maaf atas “pelanggaran” yang dilakukannya. Pelanggaran yang dengan
sadar dilakukan oleh Bung Karno itu terutama karena dia melihat susunan Panitia
Kecil “Resmi” (Panitia Delapan) kurang menampung semua aliran pemikiran dari
golongan Islam, dan mengubah perbandingan antara golongan Kebangsaan dengan golongan Islam di Panitia Delapan yang
6:2 menjadi 5:4 di Panitia Sembilan.
[19] Urutan
anggota Panitia Sembilan, sebagaimana disampaikan oleh Soekarno kepada Rapat
Besar BPUPK pada 10 Juli 1945. Saafroedin Bahar dkk (ed), ibid, halaman 94.
[20]
Saafroedin Bahar dkk (ed), ibid,
halaman 94.
[21]
Saafroedin Bahar dkk (ed), ibid,
halaman 96.
[22]
Saaafroedin Bahar dkk (ed), ibid,
halaman 357.
[23]
Saafroedin Bahar dkk (ed), ibid,
halaman 361.
[24] Ketua
Umum Partai Masyumi, Prawoto Mangkusasmito, tidak memasukkan T.M. Hasan sebagai
golongan Islam. Bagi Prawoto, golongan Islam di PPKI adalah Ki Bagus
Hadikoesoemo, K.H. Abdul Wahid Hasjim, dan Mr. Kasman Singodimedjo. Menurut Prawoto,
Syaikh Muhammad Djamil Djambek yang saat itu menjadi Ketua Majelis Islam Tinggi
se-Sumatera lebih layak menjadi anggota PPKI dan lebih repesentatif. Lihat S.U.
Bajasut (ed), Alam Fikiran dan Djedjak
Perdjuangan Prawoto Mangkusasmito, Surabaya, Documenta, 1972, halaman 307
dan 320.
[26] Prawoto
Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus
Dasar Negara dan Sebuah Projeksi, Jakarta, Hudaya, 1970, halaman 38-39
seperti dikutip Deliar Noer, op cit,
halaman 41. Menurut A.B. Kusuma, tidak seorang pun dari tokoh Islam yang ikut
menyusun Piagam Jakarta (K.H.A. Wahid Hasjim, K.H.A. Kahar Mudzakkir, H. Agus
Salim, dan R. Abikoesno Tjokrosoejoso –ed)
yang diajak berunding pada pertemuan tanggal 18 Agustus 1945 tersebut. K.H. A.
Wahid Hasjim sedang ke Surabaya. Lihat RM. A.B. Kusuma, op cit, halaman 59,.
[27] Versi
lain mengenai “kedatangan” opsir Angkatan Laut Jepang menemui Hatta, lihatlah
O.E. Engelen dkk, Lahirnya Satu Bangsa
dan Negara, Jakarta, UI-Press, 1997, halaman 87-90.
[28] Menurut
Kasman Singodimedjo, Bung Karno pada lobbying itu sengaja tidak mau ikut-ikut
bahkan menjauhkan diri dari ketegangan dan kesengitan tersebut, mungkin karena
Bung Karno adalah ketua PPKI dan terutama sebagai Ketua Panitia Sembilan yang merumuskan Piagam
Jakarta sehingga merasa kagok untuk menghadapi Ki Bagus. Lihat Panitia
Peringatan 75 Tahun Kasman, Hidup itu
Berjuang Kasman Singodimedjo 75 Tahun, Jakarta, N.V. Bulan Bintang, 1982,
halaman 123.
[29] Panitia
Peringatan 75 Tahun Kasman, ibid,
halaman 129.
[30] Tentang
proses pembentukan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kemudian menjadi Universitas
Islam Indonesia (UII), lihat antara lain Anwar Harjono dan Lukman Hakiem, Di Sekitar Lahirnya Republik Bakti Sekolah
Tinggi Islam dan Balai Muslimin Indonesia kepada Bangsa, Jakarta, Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia, 1997.
[31] “Acara
Sidang BPUPKI” dalam Saafroedin Bahar dkk (ed), op cit, halaman 365-366.
[32] Adnan
Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan
Konstitusional di Indonesia Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959
(a.b. Sylvia Tiwon), Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1995, halaman 362.
[33] Tashadi,
Prof. K.H. Abdul kahar Mudzakkir Riwayat
Hidup dan Perjuangan, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986, halaman 19.
[34] Tashadi,
ibid, halaman 20.
[35] Tashadi,
ibid, halaman 47.
[36] Taufik
Abdullah, “Kata Pengantar” dalam Sartono Kartodirdjo, Sejak Indische sampai Indonesia,
Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2005, halaman xii.
[37] Sartono
Kartodirdjo, ibid, halaman 8-10.
[38] Taufik
Abdullah dalam Sartono Kartodirdjo, ibid,
halaman xii-xiii.
[39] Trias
Setiawati, Prof. K.H. Abdul Kahar
Mudzakkir Mutiara Nusantara dari Yogyakarta, Yogyakarta, Badan Wakaf
Universitas Islam Indonesia, 2007, halaman 129.
[40] A.R.
Baswedan, “Catatan dan Kenangan”, dalam Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun
Haji Agus Salim, Seratus Tahun Haji Agus
Salim, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan, 1984, halaman 147-148. Menurut
Prof. Dr. H.M. Rasjidi dalam buku yang sama di halaman 154, penandatanganan
perjanjian bertepatan dengan tanggal 21 Rajab 1366 Hijriah, dan nama Perdana
Menteri/Menteri Luar Negeri Mesir ialah Mahmoed Fahmi el Nokrasyi.
[41]
Perjanjian Linggajati yang berisi 17 pasal dengan satu pasal penutup itu, pada
pokoknya meliputi hal-hal sebagai berikut: (1). Pengakuan Belanda secara de
facto atas kekuasaan Republik Indonesia di Jawa, Madura, dan Sumatera; (2).
Pengakuan terhadap Republik Indonesia sebagai salah satu negara dalam Republik
Indonesia Serikat yang akan dibentuk, dan (3) Pembentukan Uni Indonesia-Belanda
yang akan dikepalai oleh Ratu Kerajaan Belanda. Lihat Kementerian Penerangan, Republik Indonesia Daerah Istimewa
Jogjakarta, tanpa nama penerbit, tanpa kota, tanpa tahun, halaman 157-160.
[42] Prof.
Dr. H.M. Rasjidi, “Pengakuan Pertama dari Negara-negara Arab”, dalam Panitia Buku
Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim, op
cit, halaman 154.
[43] Prof.
Dr. H.M. Rasjidi dalam ibid, halaman
154-155.
[44] A.H.
Nasution, “Menyambut Bapak Kasman Singodimedjo 75 Tahun” dalam Panitia
Peringatan 75 Tahun Kasman, op cit,
halaman 273.
[45] Panitia
Peringatan 75 Tahun Kasman, ibid,
halaman 68-69.
[46] Panitia
Peringatan 75 Tahun Kasman, ibid,
halaman 271-272.
[47] Panitia
Peringatan 75 Tahun Kasman, ibid,
halaman 145.
[48]
Kejaksaan Republik Indonesia dalam
www.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id....
[49] Deliar
Noer, op cit, halaman 265.
[51]
Djenderal Major T.B. Simatupang, Laporan
dari Banaran Kisah Pengalaman Seorang Pradjurit Selama Perang Kemerdekaan,
Jakarta, PT. Pembangunan, 1961, halaman 83-84.
[53] Panitia
Peringatan 75 Tahun Kasman, ibid,
halaman 224.
[54] Petisi
20 Februari 1980 ini sesungguhnya berjudul “Petisi kepada Pemerintah dan DPR-RI
tentang Pemilihan Umum.” Karena ditandatangani oleh 26 warga negara, sering
disebut sebagai “Petisi 26.” Harian Pelita,
28 Februari 1980, menyebutnya “Petisi Kasman” karena penandatangan pertama
petisi ini ialah Prof. Dr. Mr. Kasman Singodimedjo. Turut menandatangani petisi
ini antara lain K.H.M. Thahir Rahily, dan K.H. Abdullah Syafi’I, dua ulama
terkemuka di Jakarta. Lihat Lukman Hakiem, Perjalanan
Mencari Keadilan & Persatuan Biografi Dr. Anwar Harjono, S.H., Jakarta,
Media Da’wah, 1993, halaman 383-388. Isi lengkap Petisi 26 dan para
penandatangannya, halaman 542-544
[55] Lukman
Hakiem, ibid, halaman 388-410, dan
545-547.
[56] Lihat
“Biodata Anggota BPUPKI dan Anggota PPKI” dalam Saafroedin Bahar dkk (ed), op cit, halaman 569-636.
[57] Seminar
tersebut diselenggarakan bekerjasama dengan (1). Universitas
Islam Indonesia Yogyakarta pada 9 Juli 2012 dengan
tema “Prof. K. H. Abdul Kahar Mudzakkir Mutiara Nusantara yang Terlupakan”, (2).
Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang pada 17 Juli 2012 dengan
tema “Prof. Dr. Kasman Singodimedjo Pahlawan yang Terlupakan”, (3). Universitas
Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA) pada 3 Agustus 2012 bertema
“Kenegarawanan Ki Bagus Hadikusumo”, (4). Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia (DPD-RI) pada 6 September 2012 bertema “Bung Karno bersama Ki Bagus
Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Abdul kahar Mudzakkir dalam Penyusunan
Undang-Undang Dasar 1945”, dan (5) Universitas Muhammadiyah Purworejo pada 6
Oktober 2012 bertema “Kepahlawanan Mr. Kasman Singodimedjo”.
[58] S.U.
Bajasut, op cit, halaman 337.
[60] S.U.
Bajasut, ibid, halaman 337-338.
Retrieved from: http://lukmanhakiem.blogspot.co.id/2013_04_01_archive.html
No comments:
Post a Comment