Judul
Buku: Aliran Pembaruan Islam; Dari Jamaluddin Al-Afghani hingga KH Ahmad Dahlan
Penulis: Djarnawi Hadikusuma
Penerbit:
Suara Muhammadiyah, Yogyakarta
Cetakan:
Pertama, 2014
Tebal:
xiii + 191 halaman
Oleh M.
Husnaini
Buku ini termasuk karya yang penting dan
lengkap untuk mengungkap mata rantai pembaruan Kiai Dahlan dan Muhammadiyah yang
berdiri sejak 18 November 1912 M/8 Dzulhijjah 1330 H. Belum banyak penelitian
tentang etos gagasan dan gerakan genial Kiai Dahlan (1868-1923) dalam upaya
mencerahkan kehidupan sosial keagamaan selama satu abad lebih. Kendati
Muhammadiyah terbukti berhasil mengembangkan ribuan amal usaha dalam bidang
pendidikan, kesehatan, dan sosial, masih sering ditemukan anggapan bahwa
pembaruan di tubuh Muhammadiyah terbatas urusan purifikasi agama.
Dengan begitu, buku karya Djarnawi Hadikusuma
ini menarik dikaji. Tokoh teras Muhammadiyah generasi tua ini berhasil melacak pertautan
ide pembaruan Kiai Dahlan dengan tiga tokoh pembaru secara cerdas dan kritis.
Mereka adalah Jamaluddin Al-Afghani (1838-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), dan
Rasyid Ridha (1865-1935). Putra Ki Bagus Hadikusuma ini memang piawai membaca
data sejarah dan memahami betul seluk-beluk Persyarikatan. Tidak heran apabila
Haedar Nashir mengatakan bahwa tiada yang mengkaji Kiai Dahlan dan Muhammadiyah
tanpa membaca buku-buku mantan Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang menguasai lima
bahasa asing ini, ialah Arab, Inggris, Belanda, Perancis, Jepang.
Seperti dituturkan oleh Djarnawi Hadikusuma,
Kiai Dahlan memandang Islam bukan semata agama pribadi yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah. Lebih dari itu, Islam adalah way of human life in all
aspects alias sistem kehidupan manusia dalam segala aspek. Benar bahwa segala
praktik ibadah formal yang tidak berasal dari Al-Qur’an dan Rasulullah harus
digilas habis lewat lembaga pendidikan, pengajian, dan ceramah umum. Tetapi,
upaya itu belum cukup. Kiai Dahlan lantas aktif dalam berbagai aksi pemberdayaan
sosial. Itulah muara Muhammadiyah dalam mendirikan ribuan lembaga pendidikan,
balai pengobatan, panti asuhan, rumah jompo, rumah miskin, dan lainnya.
Pembaruan di Muhammadiyah berbeda dari gerakan
Islam lain. Misi tajdid dalam Persyarikatan ini tidak hanya berdimensi
purifikasi, namun juga dinamisasi. Sejak awal, Kiai Dahlan mengajak umat untuk
memurnikan ajaran Islam dengan kembali ke Al-Qur’an dan hadis sahih sekaligus
melakukan pencerahan kehidupan lewat pemikiran dan gerakan pemberdayaan. Pembaruan
Kiai Dahlan bukan semata soal pelurusan arah kiblat Masjid Besar Kauman
berdasarkan ilmu falak. Etos gagasan dan gerakan Kiai Dahlan yang jauh lebih
monumental ialah keterbukaan sikap dalam mencerap puncak-puncak peradaban dan
melintasi sekat bangsa dan agama.
Kiai Dahlan tertarik dengan kritik Jamaluddin
Al-Afghani soal ketertutupan pintu ijtihad. Pembaru kelahiran Afghanistan itu
mengimani Islam sebagai agama yang selaras dengan akal, kemajuan, dan
peradaban, serta dapat mengantarkan reformasi Islam model Protestan. Mengacu
kepada reformasi Martin Luther pada abad ke-16, Al-Afghani menggugat
konservatisme ulama. Bagi Al-Afghani, ulama konservatif hanya menyebabkan
jatuhnya peradaban Islam selama berabad-abad. Al-Afghani menyerukan semangat
menuntut ilmu, membuang taklid buta, menentang penjajahan, memulihkan fungsi
ulama sebagai pewaris Nabi, dan menegakkan demokrasi dalam negara.
Gairah Kiai Dahlan dan Muhammadiyah dalam
berbagai aksi sosial mirip jalan yang ditempuh oleh Muhammad Abduh. Ketika
tinggal di Mekah pada 1890 dan 1903, Kiai Dahlan memang begitu tekun mendalami
tulisan-tulisan karya murid Al-Afghani ketika belajar di Al-Azhar itu. Di
antara karya Abduh yang menjadi menu bacaan Kiai Dahlan adalah Risalah
At-Tauhid, Al-Islam wa An-Nashraniyah, Tafsir Surah Al-Ashri, Tafsir Juz Amma, dan
Tafsir Al-Manar. Selain sebagai tokoh pembaru dalam bidang pemahaman Islam,
Abduh memang pembaru dalam bidang perkembangan ilmu pengetahuan, terutama di
lingkungan Al-Azhar.
Tidak boleh dilupakan letupan api Kiai Dahlan yang
berasal dari Rasyid Ridha. Sejak 1890, salah seorang kerabat Kiai Dahlan di
Kauman tinggal di Mekah. Namanya KH Baqir. Lewat perantaraan KH Baqir itulah
Kiai Dahlan dapat bertemu dan berkenalan dengan Rasyid Ridha yang kebetulan
berada di Mekah. Ide pembaruan Kiai Dahlan semakin menghunjam ke dada. Rasyid
Ridha, sejak usia 33 tahun, memang mahasisiswa Al-Azhar yang sangat tekun,
selain Saad Zaghlul Pasya dan Musthafa Al-Maraghi. Dialah yang mencatat
materi-materi kuliah Abduh sehingga terbit dengan nama Al-Manar (Mercusuar).
Rasyid Ridha sangat tegas terhadap praktik-praktik takhayul, bid’ah, khurafat.
Yang menarik, meski mata rantai pembaruan Kiai
Dahlan terinspirasi dari tiga tokoh pembaru itu, namun karya Kiai Dahlan
sungguh melampaui Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Kiai
Dahlan telah sukses melahirkan ketertiban organisasi berupa Muhammadiyah. Pengalaman
orang Kristiani, Belanda, Inggris, dan Portugis dalam melakukan aksi-aksi
pemberdayaan sosial juga menggerakkan Sang Pencerah untuk melakukan upaya
serupa. Hingga kini, belum ada organisasi Islam di dunia, termasuk di Timur
Tengah, yang memiliki amal usaha melebihi Muhammadiyah.
Dimuat di MATAN, Edisi Januari 2015
No comments:
Post a Comment