Oleh : Muhammad Ridha Basri**
Jihad
konstitusi yang mengemuka sejak tahun 2010, menjadi fenomena baru yang berhasil
menarik perhatian banyak kalangan dalam ranah hukum di Indonesia. Menyentak
segenap kekuatan korporat kapitalis, perusahaan pribumi dan asing yang selama
ini nyaman mengeruk untung dari bumi pertiwi. Jihad konstitusi berhasil menusuk
ke jantung dan hulu. Beberapa Undang-undang yang memberi ruang untuk melemahkan
kedaulatan bangsa akhirnya dianulir oleh MK.
Awal muda
kemunculan Jihad Konstitusi, dipelopori oleh ormas Persyarikatan Muhammadiyah
di bawah kepemimpinan Din Syamsuddin. Term “jihad” dapat diartikan sebagai suatu
bentuk usaha sungguh-sungguh untuk melaksanakan sesuatu. Misalkan disebut dalam
Quran Surat al-Ankabut ayat [29]: 69. Secara kebahasaan, jihad berakar
pada kata yang sama dengan ijtihad, yaitu jahd atau juhd. Baik
kata jihad maupun ijtihad bermuara pada artian mengerahkan seluruh tenaga,
daya, pikiran, waktu, dan harta benda secara totalitas (total endeavor),
sehingga terwujud nilai-nilai luhur universal yang dicintai dan diridhai oleh Allah
serta membawa kemanfaatan dalam kehidupan bersama.[1]
Adapun term “konstitusi”
berkaitan dengan undang-undang dan hukum yang berlaku di Indonesia. KBBI
mengartikan konstitusi sebagai segala ketentuan dan aturan tentang
ketatanegaraan atau Undang-Undang Dasar, yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada hari Sabtu, tanggal 18 Agustus 1945.[2]
Jadi, istilah jihad konstitusi dalam artian mudahnya adalah berkaitan dengan pengerahan
segenap daya dan upaya untuk melakukan judicial review terhadap
undang-undang, yang dalam pertimbangan logis telah memicu mudarat, kontroversi,
merugikan rakyat, dan tidak sesuai dengan nilai-nilai moral yang seharusnya.
Elemen masyarakat
madani harus berani mengkritisi dan merekonstruksi ulang ketika menemukan
adanya suatu produk perundang-undangan yang tidak memihak pada rakyat. Meskipun
suatu undang-undang sudah disetujui di DPR --yang merupakan representasi
keterwakilan publik--, namun tetap harus dicermati bagaimana suatu produk
legislagi tersebut berdampak positif pada kepentingan jangka panjang dalam
memakmurkan segenap komponen bangsa Indonesia. Untuk tujuan itu, maka
Muhammadiyah berinisatif terlibat di garda terdepan dalam hal mengkritisi dan
menggugat sejumlah undang-undang yang berpihak pada liberalisme ekonomi,
neokolonialisme, oligarki, dan kepentingan asing, serta merugikan masyarakat
kecil, baik secara langsung maupun tidak.[3]
Pada dasarnya,
prosesi judicial review sudah pernah dilakukan oleh banyak
kalangan, baik atas nama lembaga maupun perseorangan. Konstitusi Indonesia
menjamin secara penuh dan memberikan hak bagi siapapun warga negara untuk
melakukan gugatan atas undang-undang yang ada. Gugatan misalkan pernah
dilakukan oleh Yusril Ihza Mahendra dan Efendi Ghazali. Atas nama organisasi
kemasyarakatan, maka Muhammadiyah dengan menggunakan istilah jihad konstitusi
bisa dikatakan sebagai pelopor gaya baru dalam melakukan judicial review
terhadap suatu produk perundangan di Indonesia.
Sikap ini
sebagai wujud komitment dan keberlanjutan perjuangan. Muhammadiyah sejak
sebelum lahirnya bangsa sudah berperan besar. Merebut kemerdekaan dan kemudian
mengisi kemerdekaan. Di masa awal kemerdekaan, beberapa tokoh Muhammadiyah
–bersama dengan berbagai komponen bangsa lainnya—telah ikut serta menyusun dan
merumuskan konstitusi Indonesia. Sejak kelahirannya, Muhammadiyah memang
berperan sebagai pelopor, mulai dari ranah pendidikan modern, manajerial
pelayanan publik, pelayanan kesehatan, mengkritisi dogmatisasi agama, hingga
mempelopori pola membangun relasi dengan non-muslim, terutama kerjasama dalam
ranah sosial-kemanusiaan.[4]
Target yang
menjadi konsen perlawanan Muhammadiyah melalui jihad konstitusi adalah semua
Undang-undang yang dianggap menabrak Undang-Undang Dasar 1945. Lebih ditekankan
lagi ketika berkaitan dengan UUD 1945 pasal 33 tentang Kedaulatan Ekonomi. Pada
ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) secara jelas merumuskan tentang prinsip dasar
dalam ranah perekonomian, yang keseluruhan poinnya sangat memihak kepada
pemenuhan kesejahteraan rakyat dan kedaulatan sebagai sebuah bangsa. Misalkan pasal
33 UUD 1945 ayat (2) menyatakan, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi
Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”. Pada
ayat (3) menyatakan “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”[5]
Realitasnya, apa yang diamanatkan oleh undang-undang itu tidak berjalan
maksimal. Menurut Dawam Rahardjo, dominasi
saham asing telah merambah berbagai segmen. Mulai dari perbankan, makanan,
telekomunikasi, air minum, industri, perkebunan, hingga pertambangan, dijejali
oleh campur tangan saham asing yang berkisar antara 60% hingga 100%. Ironisnya,
justru pemerintah lebih sering mengundang dan mengajak asing untuk melakukan
investasi di Indonesia dibanding dengan memberikan kesempatan kepada bangsa
sendiri.[6]
Keadaan ini tentu menjadi kegelisahan bagi Muhammadiyah dan mendorongnya untuk
melakukan sesuatu.
Secara lebih spesifik, Muhammadiyah melalui Lembaga Hikmah dan Kebijakan
Publik (LHKP) senantiasa memberikan perhatian dan kepedulian untuk menjaga
Indonesia sebagai sebuah bangsa besar yang berciri; pertama, berdaulat
dan bermartabat, terbebas dari rongrongan atau tekanan kekuatan manapun, baik dari dalam maupun luar
negeri. Kedua, menjunjung tinggi
keadilan, demokrasi, dan hak asasi manusia. Ketiga, menjunjung tinggi
nilai-nilai luhur, sebagaimana diajarkan agama dan Pancasila. Keempat, menghormati
dan memberikan perlindungan sekaligus memperkokoh kerukunan di kalangan umat
dengan keyakinan dan pandangan keagamaan yang berbeda. Kelima, memberikan
tempat yang cukup bagi terwujudnya kehidupan dan sistem politik yang demokratis
dan bermartabat.[7]
Melalui keputusan Muktamar ke-46, juga dikemukakan bahwa Muhammadiyah akan
berperan dalam isu-isu strategis keummatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal. Isu kebangsaan
meliputi kemiskinan, kepemimpinan keteladanan, komoditisasi agama,
konservatisme agama, kemajemukan, dan gender. Masalah kebangsaan meliputi
peluruhan visi dan karakter bangsa, korupsi, penegakan hukum, kesejahteraan
pekerja, suksesi kepemimpinan nasional, reformasi birokrasi, dan persoalan
agraria. Adapun masalah kemanusiaan universal terkait dengan krisis pangan dan
energi, krisis ekonomi, krisis lingkungan hidup dan perubahan iklim,
islamfobia, migrasi global, serta dialog agama dan peradaban.[8]
Muhammadiyah
sebagai kelompok kepentingan pada umumnya, bisa menggunakan empat saluran dalam
memperjuangkan aspirasinya, yaitu demonstrasi dan kekerasan, hubungan pribadi,
perwakilan langsung (formal-institusional), dan saluran formal instusi lain
seperti media massa.[9]
Pada kenyataannya, Muhammadiyah bersikap realistis dalam usaha-usaha mencapai kepada
tujuan yang dicita-citakan. Atas sikapnya yang tidak mau larut dalam belenggu
kemapanan dan keterbelakangan ini, maka Muhammadiyah senantiasa melakukan
dakwah amar makruf nahi mungkar. Wujudnya sering
mengalami dinamisasi dengan beragam
kreasi. Dalam teori perubahan sosial (social movement theory),
sebuah pergerakan atau gerakan –seperti halnya Muhammadiyah-- selalu lahir
untuk melakukan perubahan tertentu, baik yang evolusioner (perubahan bertahap)
hingga yang revolusioner (perubahan drastis).[10]
Gerakan amar
makruf nahi mungkar menjadi ciri khas bagi organisasi
massa yang sudah eksis sejak 1912. Slogan itu menjadi ruh yang menggerakkan
roda organisasi. Kesehariannya diisi oleh aktifitas yang real, tidak sekedar
berwacana. Menyeru umat pada kebaikan, mempelopori kemajuan, memberdayakan
mereka yang terlindas, membebaskan kaum marjinal, membela kaum yang lemah, mencipta
terobosan baru, melakukan amal-amal kemanusiaan. Semua itu menjadi laku yang
rutin dilakukan Muhammadiyah dan menjadi fokus dari gerakan yang didirikan oleh
KH. Ahmad Dahlan ini sejak awal. Konsistensinya terlihat dalam bentuk amal
nyata dan amal usaha yang tumbuh berkembang tiada henti, secara mandiri. Atas
semua peran itu, Muhammadiyah dapat dikategorisasikan sebagai komunitas creative
minority yang berhasil melakukan banyak perubahan besar dalam struktur
kehidupan.
Setelah
memasuki abad kedua, di satu sisi terlihat begitu banyak capaian yang dituai
oleh Muhammadiyah. Terutama dalam hal kepemilikan amal usaha. Baik di bidang
pendidikan, kesehatan, hingga ranah ekonomi. Muhammadiyah juga telah
memberdayakan masyarakat di seluruh pelosok Indonesia. Tugas-tugas ini pada
dasarnya merupakan tugas pokok negara, namun oleh Muhamamdiyah sebagai pembantu
negara, ikut serta mengambil peran dan tanggung jawab tersebut. Dari sisi ini,
Muhammadiyah sangat berjasa. Tak hanya sebagai pembantu, tapi juga penentu.
Walaupun demikian, Muhammadiyah tak (boleh) cepat berpuas diri, sebagai sebuah
gerakan, Muhammadiyah (harus) terus bergerak dinamis
Sekedar
membantu dalam hal fisik secara terus menerus tentu tidak akan mampu
menyelesaikan masalah yang dihadapi secara totalitas. Di satu sisi,
Muhammadiyah memang berkewajiban moral untuk turut andil dalam melayani dan
memberdayakan rakyat kecil, namun di sisi lain menunjukkan bahwa apa yang dilakukan
oleh Muhammadiyah akan sia-sia belaka jika tidak diimbangi dengan pembenahan
sistem. Selain konsisten membantu rakyat secara real, Muhammadiyah juga
harus membantu rakyat dalam melawan dan mengubah sistem. Harus proporsional
antara peran sebagai pembantu dan penentu kebijakan. Maka, judicial review
terhadap perundangan yang merugikan kepentingan rakyat kecil merupakan langkah
strategis yang harus selalu didukung. Faktanya, banyak orang yang miskin di
Indonesia bukan karena disebabkan oleh faktor malas bekerja, justru mereka
telah bekerja siang dan malam, namun sistem yang berlaku telah memaksa mereka
untuk terus miskin. Kesenjangan yang terjadi begitu kentara antara pemilik
modal dengan mereka yang tidak kuasa menguasai pasar.
Di antara tantangan
sekaligus peluang Muhammadiyah di abad kedua adalah bahwa Muhammadiyah akan berhadapan
dengan dunia korporasi.[11] Jika
perjuangan di masa dahulu melawan bangsa asing, maka pada masa sekarang,
perjuangan yang harus ditempuh oleh Muhammadiyah adalah secara non fisik,
melawan bangsa asing dan bangsa sendiri sekaligus. Dikarenakan lawan yang
dihadapi adalah para pemilik modal, para pemegang kuasa, korporat, orang-orang
serakah, perusahaan, dan seterusnya, maka Muhammadiyah harus bisa mengimbangi,
memberi solusi, dan bahkan melawan “segenap kejahatan” dengan langkah bijak,
kreatif, dan penuh perhitungan. Salah satu langkah yang bijak itu adalah jihad
konstitusi. Jihad konstitusi merupakan bentuk dari amar makruf nahi
mungkar yang berupaya untuk mencegah kerusakan langsung pada hulunya,
pada akar penyebab masalahnya.
Di masa
globalisasi ini, Muhammadiyah perlu mengoptimalkan segenap kelebihan yang
dipunyai untuk dakwah pencerahan yang lebih kreatif. Muhammadiyah punya bekal
sumber daya manusia, amal usaha, dan jaringan yang sangat berlimpah. Untuk itu,
kini saatnya Muhammadiyah tidak lagi terjebak pada konsep amar makruf
dan nahi mungkar dalam artian purifikasi (saja), namun juga dalam
artian dinamisasi di segala lini kehidupan. Sayap purifikasi dan dinamisasi ini
harus bisa dikepakkan secara seimbang dan sesuai konsteks. Sebagaimana peran di
abad pertama, Muhammadiyah harus tetap menjadi pelopor, berpikir jauh kedepan
demi kemaslahatan bersama. Jihad konstitusi di satu sisi merupakan perluasan
cakupan dakwah amar makruf nahi mungkar, tidak hanya kepada masyarakat,
namun juga kepada penguasa.
Ketika sayap
dinamisasi dikepakkan, maka akan ditemukan salah satu yang patut disinggahi
berupa produk undang-undang, yang menentukan hajat hidup orang banyak. Di saat
banyak kalangan yang mulai pesimis dengan segala sistem yang berlaku di
Indonesia, mulai dari persoalan carut-marut perekonomian hingga perpolitikan,
maka kemunculan Muhammadiyah dengan amalan jihad konstitusi menumbuhkan
harapan baru. Hal ini mampu menawarkan solusi untuk menyelamatkan jutaan umat
manusia. Melalui jalan jihad konstitusi, menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak
berdiam diri. Cara ini terbilang efektif untuk jangka pendek. Namun, untuk
solusi jangka panjang, Muhammadiyah perlu lebih mengefektifkan dakwahnya dengan
cara ikut terlibat sejak awal proses penyusunan draft Rancangan Undang-Undang
(RUU), mulai proses assesment, penjajakan ide, pembahasan, pengesahan,
evaluasi, hingga sosialisasi. Muhammadiyah harus lebih berani dan maju dan
masuk ke ranah ini, melakukan amar makruf nahi mungkar
secara lebih efektif. Hal itu merupakan sebuah keniscayaan dan sesuai dengan
bunyi ayat (1) pasal 33 UUD 1945, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas asas kekeluargaan.”
Hingga kini, Muhammadiyah
telah berhasil menggolkan empat kali judicial riview di Mahkamah
Konstitusi (MK), yaitu UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
(Migas), UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, UU nomor 17 tahun 2013
tentang ormas, serta UU nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Selain itu,
Muhammadiyah beserta ormas lain juga sedang berjuang menggugat UU Nomor 24
Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, UU Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), dan UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan. Ketiga undang-undang tersebut secara langsung maupun tidak,
menunjukkan adanya pertentangan dengan amanat konstitusi, khususnya Pasal 33
ayat 1, 2, dan 3 UUD 1945.[12]
Terakhir, di balik kesuksesan Muhammadiyah,
yang diwakili oleh Pimpinan Pusat (PP), ada fakta yang terbilang ironis.
Capaian gemilang para PP belum bisa menyebar ke ranah di bawahnya. Artinya,
cara-cara elegan yang dilakukan PP belum (banyak) ditiru oleh para pimpinan
wilayah dan daerah –walaupun tidak bisa digeneralisir. Bahkan terkesan
Muhammadiyah tidak punya nyali dan tidak bisa menyumbangkan sumbangsih di
daerah dalam ranah kebijakan. Padahal, banyak kasus pemberlakuan Perda
(peraturan daerah), Pergub (peraturan gubernur), dan lain-lain, yang sebenarnya
tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Karena itu, Muhammadiyah perlu untuk
melakukan strukturisasi pemahaman jihad konstitusi ini pada level wilayah dan daerah.
Sehingga keberpihakan Muhammadiyah pada mustad’afin di abad kedua bisa
menemukan gerak pembaharuan yang genuin dan khas Muhammadiyah.[13]
Hal ini juga sebagai bukti bahwa Muhammadiyah mampu menerjemahkan konsep amar
makruf nahi mungkar secara konstektual. Jika tetap pada
jalur ini, maka roda organisasi Muhammadiyah akan selalu hidup dan terus
bergerak dinamis. Pada saatnya, masyarakat akan menilai kiprah kepeloporan dan
keberpihakan Muhammadiyah terhadap siapapun yang patut dibela dan diperjuangkan
(termasuk kaum new-mustad’afin). Dengan demikian, sinar
pencerahan tak pernah meredup, meski sejenak. []
* Makalah ini
ditulis dalam rangka kegiatan Darul Arqam Madya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah,
yang diselenggarakan PC IMM Ciputat pada 2 s.d. 6 Desember 2015, di gedung
Fokal IMM, Jakarta.
** Penulis
adalah mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Aktifis PC.
IMM Sleman. Penggiat di Lembaga KIBAR.
Daftar Pustaka
Bahkri, Syaiful, “Genealogi Jihad Konstitusi”,
artikel, dalam http://muhammadiyahstudies.com.
Lampiran Laporan Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
“Laporan Lembaga Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 2010-2015”, diterbitkan
oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2015.
Mustopa, Zaenal. 2014, Perekonomian
Indonesia Penerapan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33, makalah pada Jurusan
Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta.
Nashir,
Haedar. 2015, Dinamisasi Gerakan Muhammadiyah, Agenda Strategis Abad
Kedua. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Setiawan, Benni, “Jihad Konstitusi
Muhammadiyah”, dalam Jawa Pos, 2015.
Setyawan, Dharma, Muhammadiyah dan Jihad
Konstitusi, Makalah di STAIN Jurai Siwo Metro, Lampung
Sofyat, Riza, “Jihad Konstitusi Menuju Kiblat
Konstitusi”, dalam Sindo Weekly Magazine. 2015.
Thaib, Dahlan, dkk. 2001, Theori dan Hukum
Konstitusi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hartono, Waskito, “Fakta Jihad Konstitusi yang
Harus Kamu Ketahui”, Artikel dalam http://sambilngaji.com
Sadewo, Joko, “Jalan Memakmurkan Rakyat dengan
Jihad Konstitusi”, Artikel dalam http://republika.com.
[1] Waskito Hartono, “Fakta Jihad Konstitusi yang
Harus Kamu Ketahui”, dalam http://sambilngaji.com diakses pada 25 November 2015
[2] Dahlan Thaib, dkk., Theori dan Hukum
Konstitusi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 95.
[3] Joko Sadewo, “Jalan Memakmurkan Rakyat dengan
Jihad Konstitusi”, Artikel, dalam http://republika.com, diakses pada 24
November 2015
[4] Kepeloporan Muhammadiyah sering tidak
terekspose di media, tak tercatat detil di buku-buku sejarah, apalagi terdokumentasi
dalam tradisi oral. Kepribadian ini berdasar filosofi yang langsung dicontohkan
Kyai Dahlan untuk banyak bekerja sedikit bicara.
Lihat Abdul Munir Mulkhan, Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan Kyai Ahmad
Dahlan, (Jakarta: Kompas, 2010).
[5] Zaenal Mustopa, Perekonomian Indonesia
Penerapan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33, makalah pada Jurusan
Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta, 2014, hlm. 5.
[6] Wawancara dengan M. Dawam Rahardjo, Rektor
Universitas Proklamasi 45, di Yogyakarta pada tanggal 15 Oktober 2015
[7] Lihat Lampiran Laporan Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, “Laporan Lembaga Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 2010-2015”,
diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2015, hlm. 235.
[8] Haedar Nashir, Dinamisasi Gerakan
Muhammadiyah, Agenda Strategis Abad Kedua, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,
2015), hlm. 70.
[9] Syaiful Bahkri, “Genealogi Jihad Konstitusi”,
artikel, dalam http://muhammadiyahstudies.com,
diakses pada 24 November 2015, pukul 22.20.
[10] Haedar Nashir, Dinamisasi Gerakan
Muhammadiyah, Agenda Strategis Abad Kedua, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,
2015), hlm. 258.
[11] Benni Setiawan, “Jihad Konstitusi
Muhammadiyah”, dalam Jawa Pos, 10 Juni 2015.
[12] Riza Sofyat, “Jihad Konstitusi Menuju Kiblat
Konstitusi”, Sindo Weekly Magazine. April 2015, hlm. 10.
[13] Dharma Setyawan, Muhammadiyah dan Jihad
Konstitusi, Makalah di STAIN Jurai Siwo Metro, Lampung
No comments:
Post a Comment