Kompas, 8 Juli 2015
MUKTAMAR Ke-47 MUHAMMADIYAH (2)
Jihad Kebangsaan Muhammadiyah
Oleh Anita Yossihara
Sikap
Muhammadiyah terhadap Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) itu ditegaskan dalam pokok pikiran Tanwir Muhammadiyah 2012 yang
ditetapkan dalam sidang tanwir di Bandung, Jawa Barat. Muhammadiyah
meneguhkan Indonesia sebagai negara hasil konsensus nasional yang
mengikat semua komponen bangsa.
Sebagai hasil konsensus, Muhammadiyah merasa harus turut serta mengisi dengan pembangunan di berbagai bidang. Muhammadiyah juga menyadari pentingnya mendorong dan membantu bangsa mencapai cita-cita kemerdekaan, yakni memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sepanjang Indonesia merdeka yang pada 17 Agustus 2015 nanti tepat berusia 70 tahun, Muhammadiyah melihat banyak kemajuan yang dicapai. Kemajuan yang dimaksud Muhammadiyah adalah pertumbuhan ekonomi, peningkatan kehidupan berdemokrasi dan hak asasi manusia, serta pluralitas yang terjaga dengan baik.
Meski demikian, masih banyak persoalan yang harus diselesaikan. Ketua Lembaga Hubungan Kerja Sama Internasional Pimpinan Pusat Muhammadiyah Rizal Sukma, dalam Pengajian Ramadhan di Universitas Muhammadiyah Tangerang, Banten, menjelaskan, ada tiga persoalan mendasar yang berulang kali dihadapi bangsa Indonesia. Tiga persoalan itu adalah stagnasi, deviasi, dan distorsi kehidupan kebangsaan.
Tiga persoalan itu terlihat dari masih masifnya korupsi, lemahnya penegakan hukum, serta eksploitasi dan penguasaan sumber daya alam oleh pihak asing. Kondisi itu mengakibatkan masyarakat adil dan makmur yang dicita-citakan bangsa Indonesia belum juga terwujud.
Padahal, menurut Rizal, Indonesia memiliki modal menjadi negara maju atau berkemajuan. Salah satunya modal sejarah dan budaya yang telah terbukti berhasil menumbuhkan nasionalisme dan memerangi kolonialisme.
Keterlibatan Muhammadiyah dalam pembangunan bangsa sebenarnya sudah terlihat jauh sebelum kemerdekaan. Persyarikatan melahirkan banyak kader yang terlibat dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Sebut saja Jenderal Sudirman, Soekarno, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Kahar Muzakir, Kasman Singodimedjo, dan lainnya. Para kader Muhammadiyah juga terlibat aktif dalam pembahasan Pancasila sebagai dasar negara serta UUD 1945.
Keterlibatan Muhammadiyah dalam masa awal pembangunan negara-bangsa Indonesia turut menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk mengisi kemerdekaan. Muhammadiyah sangat menyadari pentingnya memajukan bangsa, seperti cita-cita yang tercantum dalam konstitusi. Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya, Jawa Timur, Zainudin Maliki mengatakan, kesadaran itu timbul karena sejak awal berdiri Muhammadiyah memang tak bisa lepas dan melepaskan diri dari politik.
Saat ini, Muhammadiyah melihat salah satu hambatan terwujudnya cita-cita kemerdekaan adalah banyak perilaku dan kebijakan yang menyimpang dari konstitusi. Oleh karena itulah Ketua Umum PP Muhammadiyah menyerukan jihad konstitusi.
Jihad dalam Islam berarti mengerahkan seluruh tenaga, daya, dana, dan pikiran untuk mewujudkan nilai-nilai yang diridai Allah SWT. Muhammadiyah mengartikan jihad konstitusi sebagai gerakan untuk mengembalikan undang-undang agar tak menyimpang dari konstitusi.
Muhammadiyah telah menginventarisasi, sedikitnya 115 undang-undang yang melanggar konstitusi, terutama Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal tersebut mengatur tentang bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Bukan hanya itu, Pasal 33 UUD 1945 itu juga mengamanatkan perekonomian nasional harus diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi.
Hal ini membuat Muhammadiyah mengajukan gugatan uji materi undang-undang yang dianggap telah menyeleweng dari amanat konstitusi. Semenjak 2012, Muhammadiyah telah mengajukan uji materi sedikitnya tujuh undang-undang.
Empat di antaranya sudah dikabulkan oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK), yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Rumah Sakit.
Keempat undang-undang tersebut berkaitan erat dengan rakyat. Bahkan, salah satu yang fenomenal adalah dikabulkannya uji materi terhadap Undang-Undang tentang Migas yang berdampak terhadap pembubaran Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Selain tidak memiliki kekuatan hukum, keberadaan BP Migas juga dinilai bisa memicu liberalisasi dalam pengelolaan migas.
Selain itu, pembatalan semua pasal dalam Undang-Undang tentang Sumber Daya Air juga merupakan "kemenangan" jihad konstitusi Muhammadiyah tersebut. Jihad itu membuat privatisasi dan komersialisasi pengelolaan sumber daya air oleh pihak swasta yang sampai menguasai sumber-sumber mata air di hulu sehingga merugikan rakyat bisa dicegah.
Setelah berhasil memenangi empat kali uji materi, Muhammadiyah kembali mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Sistem Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
Din menegaskan, Muhammadiyah tidak akan berhenti melakukan jihad konstitusi selama masih ada undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. Jihad konstitusi dilakukan hanya untuk mengembalikan pengelolaan sumber daya alam dan perekonomian yang menyangkut hajat hidup orang banyak kepada negara. Dengan cara tersebut, negara bertanggung jawab penuh mengelola sumber daya alam untuk manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat sesuai cita-cita masyarakat adil dan makmur.
Hal itu berarti perjuangan Muhammadiyah juga fokus pada penanggulangan bencana dan resolusi konflik, pemberdayaan masyarakat, serta mobilisasi dana umat. Meski ada trisula baru, bukan berarti trisula lama perjuangan Muhammadiyah diabaikan. Muhammadiyah tetap menjalankan tiga program utama, yakni pendidikan, pelayanan kesehatan, dan sosial.
Begitulah Muhammadiyah memaknai jihad. Berjihad bukan berarti harus berangkat ke medan perang dengan memanggul senjata. Di alam modern seperti sekarang, berpikir dan bergerak secara cerdas dan cermat dalam menjawab tantangan zaman juga jihad. Jihad yang terus dijalankan Muhammadiyah demi mewujudkan cita-cita Indonesia.
MUKTAMAR Ke-47 MUHAMMADIYAH (2)
Jihad Kebangsaan Muhammadiyah
Oleh Anita Yossihara
Muhammadiyah menempatkan Indonesia yang
berdasarkan Pancasila sebagai negara perjanjian atau kesepakatan (darul
ahdi), negara kesaksian atau pembuktian (darus syahadah), serta negara
yang aman dan damai (darussalam). Tidak ada keraguan pada Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila sebagai dasar negara.
Sebagai hasil konsensus, Muhammadiyah merasa harus turut serta mengisi dengan pembangunan di berbagai bidang. Muhammadiyah juga menyadari pentingnya mendorong dan membantu bangsa mencapai cita-cita kemerdekaan, yakni memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Negara berkemajuan
Muhammadiyah
berkomitmen menjadikan bangsa Indonesia sebagai negara berkemajuan.
Negara yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat, seperti
cita-cita dan tujuan kemerdekaan yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar
1945.Sepanjang Indonesia merdeka yang pada 17 Agustus 2015 nanti tepat berusia 70 tahun, Muhammadiyah melihat banyak kemajuan yang dicapai. Kemajuan yang dimaksud Muhammadiyah adalah pertumbuhan ekonomi, peningkatan kehidupan berdemokrasi dan hak asasi manusia, serta pluralitas yang terjaga dengan baik.
Meski demikian, masih banyak persoalan yang harus diselesaikan. Ketua Lembaga Hubungan Kerja Sama Internasional Pimpinan Pusat Muhammadiyah Rizal Sukma, dalam Pengajian Ramadhan di Universitas Muhammadiyah Tangerang, Banten, menjelaskan, ada tiga persoalan mendasar yang berulang kali dihadapi bangsa Indonesia. Tiga persoalan itu adalah stagnasi, deviasi, dan distorsi kehidupan kebangsaan.
Tiga persoalan itu terlihat dari masih masifnya korupsi, lemahnya penegakan hukum, serta eksploitasi dan penguasaan sumber daya alam oleh pihak asing. Kondisi itu mengakibatkan masyarakat adil dan makmur yang dicita-citakan bangsa Indonesia belum juga terwujud.
Padahal, menurut Rizal, Indonesia memiliki modal menjadi negara maju atau berkemajuan. Salah satunya modal sejarah dan budaya yang telah terbukti berhasil menumbuhkan nasionalisme dan memerangi kolonialisme.
Keterlibatan Muhammadiyah dalam pembangunan bangsa sebenarnya sudah terlihat jauh sebelum kemerdekaan. Persyarikatan melahirkan banyak kader yang terlibat dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Sebut saja Jenderal Sudirman, Soekarno, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Kahar Muzakir, Kasman Singodimedjo, dan lainnya. Para kader Muhammadiyah juga terlibat aktif dalam pembahasan Pancasila sebagai dasar negara serta UUD 1945.
Keterlibatan Muhammadiyah dalam masa awal pembangunan negara-bangsa Indonesia turut menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk mengisi kemerdekaan. Muhammadiyah sangat menyadari pentingnya memajukan bangsa, seperti cita-cita yang tercantum dalam konstitusi. Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya, Jawa Timur, Zainudin Maliki mengatakan, kesadaran itu timbul karena sejak awal berdiri Muhammadiyah memang tak bisa lepas dan melepaskan diri dari politik.
Jihad konstitusi
Peran
yang diambil Muhammadiyah bukanlah politik praktis, melainkan politik
kebangsaan. Jika dahulu peran politik Muhammadiyah ditunjukkan dengan
keterlibatan dalam perjuangan kemerdekaan dan pembentukan bangunan
bangsa, kini Muhammadiyah punya ladang perjuangan lain. Ketua Umum PP
Muhammadiyah Din Syamsuddin menyebutnya jihad konstitusi.Saat ini, Muhammadiyah melihat salah satu hambatan terwujudnya cita-cita kemerdekaan adalah banyak perilaku dan kebijakan yang menyimpang dari konstitusi. Oleh karena itulah Ketua Umum PP Muhammadiyah menyerukan jihad konstitusi.
Jihad dalam Islam berarti mengerahkan seluruh tenaga, daya, dana, dan pikiran untuk mewujudkan nilai-nilai yang diridai Allah SWT. Muhammadiyah mengartikan jihad konstitusi sebagai gerakan untuk mengembalikan undang-undang agar tak menyimpang dari konstitusi.
Muhammadiyah telah menginventarisasi, sedikitnya 115 undang-undang yang melanggar konstitusi, terutama Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal tersebut mengatur tentang bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Bukan hanya itu, Pasal 33 UUD 1945 itu juga mengamanatkan perekonomian nasional harus diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi.
Hal ini membuat Muhammadiyah mengajukan gugatan uji materi undang-undang yang dianggap telah menyeleweng dari amanat konstitusi. Semenjak 2012, Muhammadiyah telah mengajukan uji materi sedikitnya tujuh undang-undang.
Empat di antaranya sudah dikabulkan oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK), yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Rumah Sakit.
Keempat undang-undang tersebut berkaitan erat dengan rakyat. Bahkan, salah satu yang fenomenal adalah dikabulkannya uji materi terhadap Undang-Undang tentang Migas yang berdampak terhadap pembubaran Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Selain tidak memiliki kekuatan hukum, keberadaan BP Migas juga dinilai bisa memicu liberalisasi dalam pengelolaan migas.
Selain itu, pembatalan semua pasal dalam Undang-Undang tentang Sumber Daya Air juga merupakan "kemenangan" jihad konstitusi Muhammadiyah tersebut. Jihad itu membuat privatisasi dan komersialisasi pengelolaan sumber daya air oleh pihak swasta yang sampai menguasai sumber-sumber mata air di hulu sehingga merugikan rakyat bisa dicegah.
Setelah berhasil memenangi empat kali uji materi, Muhammadiyah kembali mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Sistem Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
Din menegaskan, Muhammadiyah tidak akan berhenti melakukan jihad konstitusi selama masih ada undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. Jihad konstitusi dilakukan hanya untuk mengembalikan pengelolaan sumber daya alam dan perekonomian yang menyangkut hajat hidup orang banyak kepada negara. Dengan cara tersebut, negara bertanggung jawab penuh mengelola sumber daya alam untuk manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat sesuai cita-cita masyarakat adil dan makmur.
Trisula baru
Memasuki
100 tahun kedua ini Muhammadiyah juga menyiapkan trisula baru gerakan
persyarikatan. Kader Muhammadiyah, yang juga Wakil Ketua Majelis
Permusyawaratan Rakyat periode 2009-2014, Hajriyanto Y Thohari
memaparkan, trisula baru gerakan Muhammadiyah adalah Muhammadiyah
Disaster Management Center (MDMC), Majelis Pemberdayaan Masyarakat
(MPM), serta Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah
(Lazizmu).Hal itu berarti perjuangan Muhammadiyah juga fokus pada penanggulangan bencana dan resolusi konflik, pemberdayaan masyarakat, serta mobilisasi dana umat. Meski ada trisula baru, bukan berarti trisula lama perjuangan Muhammadiyah diabaikan. Muhammadiyah tetap menjalankan tiga program utama, yakni pendidikan, pelayanan kesehatan, dan sosial.
Begitulah Muhammadiyah memaknai jihad. Berjihad bukan berarti harus berangkat ke medan perang dengan memanggul senjata. Di alam modern seperti sekarang, berpikir dan bergerak secara cerdas dan cermat dalam menjawab tantangan zaman juga jihad. Jihad yang terus dijalankan Muhammadiyah demi mewujudkan cita-cita Indonesia.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Juli 2015, di halaman 5 dengan judul "Jihad Kebangsaan Muhammadiyah".
http://print.kompas.com/baca/2015/07/08/Jihad-Kebangsaan-Muhammadiyah
No comments:
Post a Comment