Koran Sindo, Jum'at 3 Juli 2015
*Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia)
http://nasional.sindonews.com/read/1019580/18/islam-nusantara-vs-berkemajuan-1435886805
Ahmad Najib Burhani*
Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama) akan
menyelenggarakan Muktamar pada waktu yang berdekatan, yakni minggu pertama
Agustus 2015. Tema yang diangkat sekilas mirip: Muhammadiyah “Gerakan Pencerahan
Menuju Indonesia Berkemajuan” dan NU “Meneguhkan Islam Nusantara untuk
Peradaban Indonesia dan Dunia”. Meski terlihat bersinggungan, namun “Islam
berkemajuan” dan “Islam Nusantara” adalah respon yang berbeda terhadap fenomena
yang sama, yaitu globalisasi, terutama globalisasi kebudayaan, baik dalam
bentuk Arabisasi ataupun Westernisasi.
Globalisasi sering dipahami sebagai proses penyatuan
dunia dimana waktu, jarak dan tempat bukan lagi persoalan dan ketika setiap hal
dan setiap orang di bumi ini terkait satu sama lain. Ada empat pergerakan utama
dalam globalisasi, yaitu: barang dan layanan, informasi, orang, dan
modal. Perpindahan keempat hal tersebut dari satu negara ke negara lain memang
telah terjadi sejak dahulu kala. Namun perpindahan dengan sangat cepat hanya
terjadi setelah revolusi dalam teknologi telekomunikasi dan transportasi pada
beberapa dekade belakangan ini. Akibat dari revolusi itu, dimensi jarak dan
waktu menjadi semakin kabur dan sedikit demi sedikit menghilang.
Dalam konteks Indonesia, globalisasi ini menyebabkan
masyarakat secara mudah mengakses informasi dari luar ataupun berinteraksi secara intens dalam sebuah ruang global.
Ketika ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) mendeklarasikan kekhilafahan
dibawah Abu Bakar al-Baghdadi, kita dikejutkan dengan adanya sejumlah orang
Indonesia yang sudah bergabung dengan mereka di Timur Tengah dan sebagian dari
mereka merekrut anggota di Indonesia serta melakukan baiat di UIN (Universitas
Islam Negeri) Jakarta. Ketika konflik Sunni dan Syiah terjadi di Suriah,
pengaruhnya merembet ke Indonesia dengan munculnya gerakan anti-Syiah seperti
dalam bentuk ANNAS (Aliansi Nasional Anti-Syiah).
Globalisasi juga menyebabkan Trans-National
Capitalist Network (TNC) masuk dalam kehidupan masyarakat dan menyedot kekayaan
yang mestinya diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat. Bekerjasama dengan
‘komprador’, para kapitalis global itu menciptakan jurang yang begitu lebar
antara mereka yang kaya dan miskin seperti terjadi di daerah penambangan
Freeport di Papua.
Filosofi yang mendasari globalisasi adalah
asimilasionisme. Dalam filosofi ini, yang kuat akan mendominasi yang lemah. Makanya,
dalam globalisasi budaya, salah satu dampaknya adalah homogenisasi. Ini,
misalnya, terwujud dalam bentuk McWorld atau McDonaldization. Contoh lainnya
adalah memandang Islam secara homogen dengan mengidentikkannya dengan Arab dan
Arabisasi.
Islam
Nusantara
Homogenisasi ini tentu tidak serta merta diterima
oleh masyarakat. Respon balik atau resistensi terhadap homogenisasi ini
diantaranya dalam bentuk indigenization.
Islam Nusantara yang dipopulerkan anak-anak NU dan menjadi tema Muktamar NU
ke-33 di Jombang pada 1-5 Agustus nanti adalah satu bentuk respon terhadap
globalisasi dengan melakukan indigenisasi.
Islam Nusantara merupakan istilah yang sering
dipakai untuk mengacu kepada Islam ala Indonesia yang otentik; langgamnya
Nusantara, tapi isi dan liriknya Islam; bajunya Indonesia, tapi badannya Islam.
Ide Islam Nusantara ini berkaitan dengan gagasan “pribumisasi Islam” yang pernah
dipopulerkan almarhum KH Abdurrahman Wahid. Penggunaan resmi nama ini
diantaranya adalah dalam Jurnal Tashwirul
Afkar edisi no. 26 tahun 2008.
Munculnya Islam Nusantara adalah bagian dari apa
yang biasanya disebut sebagai “paradoks globalisasi”. Dalam istilah TH Erikson
(2007, 14), “Semakin orang mengglobal seringkali dia menjadi semakin terobsesi
dengan keunikan budaya asalnya.” Dalam kalimat ilmuwan lain, “ketika dunia
semakin global maka perbedaan-perbedaan kecil antar umat manusia itu semakin
ditonjolkan” (Ang 2014, 10). Banyak yang menduga bahwa semakin kita mengenal
dunia luar dan kelompok yang berbeda, maka kita menjadi semakin terbuka. Namun
seringkali yang terjadi tidak sejalan dengan logika itu. Di tengah globalisasi,
banyak orang yang semakin fanatik dan tidak menerima perbedaan serta
pluralitas. Ini misalnya terjadi dalam beberapa pilkada yang “mengharuskan” putra
daerah yang dipilih. Dalam konteks dunia, justru di era globalisasi ini hampir
setiap tahun kita melihat kemunculan negara baru dalam keanggotaan PBB.
Tentu saja respon terhadap globalisasi dalam bentuk
“Islam Nusantara” adalah pilihat terbaik dibandingkan dengan penolakan total
atau penerimaan total. Dalam merespon terhadap globalisasi, terutama yang
datang dari Barat, beberapa kelompok agama justru mencari perlindungan dalam
homogenitas dan eksklusivitas kelompoknya. Sepertinya kedamaian itu bisa terjadi
dengan menolak keragaman atau sesuatu yang asing. Di tengah globalisasi, banyak
orang yang mencoba menutup diri dan menghalangi orang yang berbeda hadir di
tengah masyarakat. Fenomena munculnya perumahan atau cluster perumahan eksklusif untuk komunitas agama tertentu adalah
misal. Bahkan kuburan/ pemakaman dan rumah kos pun kadang dibuat untuk pengikut
agama tertentu. Respon terhadap globalisasi yang lebih buruk lagi tentu saja
seperti dalam bentuk redikalisme dan terorisme. Islam Nusantara bisa menjadi
respon yang sangat baik terhadap globalisasi jika ia tidak mengarah kepada
parokhialisme dan sektarianisme.
Islam
Berkemajuan
Respon lain terhadap globalisasi ditampilkan oleh
Muhammadiyah dengan slogan “Islam berkemajuan”. Sebelum tahun 2009, slogan
ini jarang terdengar bahkan di kalangan
Muhamadiyah sendiri. Ia baru diperkenalkan kembali, setelah cukup lama
terpendam, dengan terbitnya buku berjudul Islam
Berkemajuan: Kyai Ahmad Dahlan dalam Catatan Pribadi Kyai Syuja’ (2009).
Buku yang ditulis oleh murid langsung Kyai Dahlan ini diantaranya menjelaskan
seperti apa karakter Islam yang dibawa oleh Muhammadiyah. Istilah yang dipakai
oleh Muhammadiyah awal untuk menyebut dirinya adalah “Islam berkemajuan”. Pada
Muktamar di Yogyakarta tahun 2010, istilah ini lantas dipakai dan dipopulerkan
untuk mengidentifikasi karakter ke-Islaman Muhammadiyah.
Dalam kaitannya dengan globalisasi, Islam
berkemajuan itu sering dimaknai sebagai “Islam kosmopolitan”, yakni kesadaran
bahwa umat Muhammadiyah adalah bagian dari warga dunia yang memiliki “rasa
solidaritas kemanusiaan universal dan rasa tanggung jawab universal kepada
sesama manusia tanpa memandang perbedaan dan pemisahan jarak yang bersifat
primordial dan konvensional” (Tanfidz
Muhammadiyah 2010, 18). Mengapa Islam kosmopolitan menjadi pilihan
Muhammadiyah? Muhammadiyah menyadari bahwa kelahirannya merupakan produk dari
interaksi Timur-tengah dan Barat yang dikemas menjadi sesuatu yang otentik di
Indonesia. Ia memadukan pemikiran Muhammad Abduh, sistem yang berkembang di
Barat, dan karakter Indonesia. Karena
itu, kosmopolitanisme yang dikembangkan Muhammadiyah diharapkan menjadi wahana
bagi untuk dialog antar peradaban.
Ringkasnya, kelahiran dari slogan “Islam Nusantara”
dan “Islam berkemajuan” memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi pada tahun
1920-an. Ketika itu, sebagai respon terhadap berbagai peristiwa di Arabia dan
Turki (comite chilafat dan comite hijaz), maka lahirlah NU. Sementara
Muhammadiyah lahir sebagai reaksi terhadap penjajahan, misi Kristen, pemikiran
Abduh, dan budaya Jawa. Bisa dikatakan bahwa apa yang terjadi saat ini adalah semacam
Déjà vu.
-oo0oo-
http://nasional.sindonews.com/read/1019580/18/islam-nusantara-vs-berkemajuan-1435886805
Cah mblitar, bitten koncoku MTsN kunir. Sami dadi wong pinter.
ReplyDeleteDlaarizto Blitar iki sopo? Aku ke Blitar 20-28 Juli ini. Ada reuni angkatan kita lho di Togogan.
DeleteMaaf mas aq adik kelas jenengan, Rofiq (sdr nya nanang garum). InsyaAlloh Pd tgl itu aq tak sowan Salem jenengan
ReplyDelete