Solo Pos, Kamis, 9 Juli 2015 10:00 WIB
Oleh Azaki Khoirudin
Wacana Islam Nusantara dan Islam
Berkemajuan semakin menarik untuk diperbincangkan di republik ini. Dimana
akhir-akhir ini, 'Islam Nusantara', menjadi
istilah khas NU, sedangkan ‘Islam Berkemajuan’ menjadi idiom khas
Muhammadiyah. Kedua wacana ini muncul saat kedua ormas besar Islam ini akan menggelar
hajatan Muktamar. Gagasan Islam Nusantara menemukan momentumnya saat PBNU tema
Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, pada 1-5 Agustus 2015. Tema itu
persisnya berbunyi “Meneguhkan Islam Nusantara sebagai Peradaban Indonesia dan
Dunia”. Sementara, gaung “Islam Berkemajuan juga menemukan relevansinya dengan
Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makasar, Sulawesi Selatan, 3-8 Agustus
2015.
Muhammadiyah mengusung tema, “Gerakan Pencerahan menuju Indonesia Berkemajuan”. Kedua tema ini menarik untuk
ditelaah dan diperbandingkan kekhasannya masing-masing, terutama relevansinya
dengan kondisi Islam Indonesia, bahkan dunia.
Islam Nusantara ala NU
Islam Nusantara adalah Islam yang ramah,
terbuka, dan inklusif. Dikatakan pula sebagai mampu memberi solusi terhadap
masalah-masalah besar bangsa dan negara. Islam yang dinamis dan bersahabat
dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama yang multi. Islam bukan hanya
cocok diterima bumi Nusantara, tetapi juga mewarnai bersifat akomodatif
terhadap budaya Nusantara, yakni rahmatan lil ‘alamin. Abdul Mun’im DZ
(2010) menandaskan, Islam Nusantara adalah paham keislaman yang berdialog dan
menyatu dengan kebudayaan Nusantara, melalui proses seleksi, akulturasi dan
adaptasi.
Sebenarnya istilah 'Islam Nusantara' pada
dasarnya tidaklah baru. Menurut Azyumardi Azra (2015) istilah ini mengacu pada
Islam di gugusan kepulauan atau benua maritim (nusantara) yang mencakup tidak
hanya kawasan Indonesia, tetapi juga wilayah Muslim Malaysia, Thailand Selatan
(Patani), Singapura, Filipina Selatan (Moro), dan juga Champa (Kampuchea). Bagi
Azra, “Islam Nusantara adalah Islam distingtif sebagai hasil interaksi,
kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi Islam universal dengan
realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia. Ortodoksi Islam Nusantara
(kalam Asy'ari, fikih mazhab Syafi'i, dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan karakter
wasathiyah yang moderat dan toleran. Islam Nusantara yang kaya dengan
warisan Islam (Islamic legacy) menjadi harapan renaisans
peradaban Islam global”
Islam nusantara bukan Islam lokal. Ahmad Baso,
(2015) menegaskan Islam nusantara sebagai cara bermadzhab secara qauli
dan manhaji dalam ber-istimbath tentang Islam dari dalil-dalilnya yang
disesuaikan dengan teritorial, kondisi alam, dan cara pengamalannya penduduk
kita. Islam nusantara itu sejajar dengan kajian Islam India, Islam Turki, Islam
Yaman dan sebagainya. Jika Islam Nusantara merupakan proses berkelanjutan, maka
bentuk paradigma dan etika Islam yang selalu senada dengan gerak sejarah.
Islam Berkemajuan ala Muhammadiyah
Islam Berkemajuan Muhammadiyah telah dibawa sejak Kyai Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah.
Gerakan mengembalikan umat pada sumber ajaran Al - Quran dan Sunnah Nabi
yang otentik. Sebagaimana risalah Nabi Muhammad yang
membawa pencerahan dari bangsa Arab yang jahiliyah menjadi bangsa yang
tercerahkan sehingga lahir Al-Madinah Al-Munawwarah, sebagai kota
peradaban yang cerah dan mencerahkan titik peradaban "al-munawwarah"
tatkala dunia Barat kala itu masih teridur lelap di era kegelapan. Gerakan pencerahan (tanwir) merupakan praksis
Islam yang berkemajuan untuk membebaskan, memberdayakan, dan memajukan
kehidupan.
Muhammadiyah bukan gerakan yang mendewakan
masa lampau, bahkan konsep masa
lalu sebagai konsep ideal (romantisisme), misalnya Khilafah Islamiyah
(Negara Islam). Akan tetapi,
cita-cita ideal Muhammadiyah adalah “Masyarakat Islam Yang Sebenar-Benarnya”.
Untuk itu Islam berkemajuan membawa spirit “Teologi Berkemajuan”. Karena
hakekat Islam adalah agama kemajuan (dinul hadlarah). Dimana “Teologi
Berkemajuan” Muhammadiyah selalu
berorientasi ke masa depan. Meminjam
istilah Din Syamsuddin (2015), bahwa berkemajuan menyiratkan adanya
keberlangsungan, dan bahkan perkembangan, sebagai usaha yang terus-menerus
untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang bermakna (sustainable
development with meaning).
Paling tidak, dalam melakukan
transformasi Islam
berkemajuan di abad kedua,
Muhammadiyah harus melakukan
berbagai hal berikut: pertama, menyekolahkan generasi mudanya ke berbagai
negara maju dan berkemajuan. Kedua, pemberdayaan ekonomi. Tanpa gerakan
ekonomi yang kuat, Muhammadiyah tak akan mampu menjalankan gerakan al-Ma’un.
Pendidikan Muhammadiyah harus inklusif yang mampu menampung kaum lemah, tak
hanya orang-orang kaya yang mampu sekolah di Muhammadiyah. Ketiga,
kekuatan Muhammadiyah sebagai masyarakat sipil sangat penting bagi pembangunan
kemandirian masyarakat.
Islam Tengahan
Dikotomi antara “Islam Tradisionalis” dan
“Islam Modernis”, jika menilik wacana Islam Nusantara NU vs Islam Berkemajuan Muhammadiyah
semakin melemah. NU tradisional dan
Muhammadiyah modern adalah pandangan yang sudah umum. Tradisional karena dalam
praktek keagamaan NU banyak praktek ritual yang campur-aduk dengan
budaya-budaya yang Nusantara. Sebaliknya, Muhammadiyah terkenal modern karena
golongan ini mencoba membawa Islam agar sesuai dengan tuntutan dan keadaan
zaman..
Kenyataan membuktikan bahwa untuk konteks
sekarang ternyata NU semakin tradisionalis, terutama dalam hal merawat tadisi
dan budaya. Memang di NU sudah banya lompatan, misalnya dengan muncul istilah
”pemaknaan ulang ahlus Sunnah Waljamaah” dan ”pemaknaan ulang konsep
bermazdhab”. Akan tetapi, kemunculan Islam
Nusantara Islam khas ala Indonesia, serta integrasi nilai Islam teologis dengan
nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di Tanah Air menjadi
paradok. Islam Tradisionalis itulah dengan Islam Nusantara.
Kedua arus Islam ini, baik “Nusantara” ataupun
“Berkemajuan” harus bersama-sama menjadi kekuatan Islam moderat (tengahan) di
Indonesia. Pertama, melihat wajah Islam di dunia saat ini, Islam Nusantara yang
mengedepankan jalan tengah dengan tawasut (moderat), tidak ekstrim, inklusif,
toleran dan damai, serta menerima demokrasi. Islam Nusantara jika ingin menjadi
alternatif peradaban dunia Islam tidak cukup hanya mengembangkan tradisi lokal.
Akan tetapi, Islam yang damai itu tidak cukup, karena Islam adalah agama
peradaban, maka selain ramah, santun, dan toleran, Islam juga harus berkemajuan
dan berkeunggulan di segala bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, dan
budaya di level lokal dan global.
Berbeda dengan
kedua, Islam berkemajuan yang bersifat cosmopolitan. Muhammadiyah juga
dapat menjadi teologi tengahan dengan karakteristik sebagai berikut: pertama, Muhammadiyah
mengakui kebinnekaan (diversity), menjadi masyarakat madani (civil
society), memiliki Perguruan Tinggi Islam, dan menjunjung tinggi konstitusi
yang ada. Dalam konteks tersebut, tolak ukur atau indikatornya paling tidak
Muhammadiyah harus fokus dan menjadikan isu-isu berikut sebagai agenda besar,
seperti: pendidikan yang selalu mengembangkan paradigma baru; penghormatan
kepada hak asasi manusia (al-karomah al-insaniyah) dengan bertumpu pada
maqasid syari’ah, bukan sekedar hukum syariah; membangun relasi harmonis antar
umat beragama; dan gender serta anak-anak.
Baik NU maupun
Muhammadiyah harus bersama-sama memnghadirkan Islam sebagai yang ber sikap
tengahan (wasithiyah). NU dan Muhammadiyah diharapkan bersatu
mengamalkan nilai-nilai Islam yang ramah dan berporos pada jalan tengah atau
aqidah washatiyah. Saling menghargai sebagai Islam rahmatan lil
alamin untuk kesejahteraan seluruh alam semesta.
AZAKI KHOIRUDIN
Koord. JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) Solo
Alumni Pondok Hajjah Nuriyyah Shabran UMS
Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah
http://www.solopos.com/2015/07/09/gagasan-islam-nusantara-dan-islam-berkemajuan-622052
No comments:
Post a Comment