Judul Buku : Nuhammadiyah Bicara Nasionalisme
Penyunting : Binhad Nurrohmat & Moh. Shofan
Penerbit : Ar-Ruzz Media, Yogyakarta
Cetakan : I, 2011
Tebal : 252 halaman
ISBN : 978-979-25-4854-9
Tak selalu dan selamanya, ketika Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) dihadapkan, yang muncul adalah perbedaan. Bila kita sudi menelisik secara lebih mendalam, yang tampak lebih menonjol sesungguhnya justru pada persamaannya daripada perbedaannya. Bukan hanya itu, pikiran-pikiran cerdas pun mampu dialirkan secara deras dari keduanya bila berkesempatan untuk berkolaborasi.
Karena itu, idealnya energi warga Muhammadiyah dan NU lebih utama untuk menggali nilai-nilai persamaan yang (mungkin) selama ini terpendam oleh berbagai kepentingan sesaat dan politis, daripada mempersoalkan perbedaan-perbedaan yang hanya bertebaran di wilayah permukaan (baca : kulit).
Bila perbedaan yang ada di Muhammadiyah dan NU hanya sebatas persoalan-persoalan kecil dan lebih menyangkut khilafiyah (perbedaan pendapat), persamaannya justru menyangkut persoalan-persoalan yang mendasar (fundamental) dan melingkupi hajat hidup bangsa (bukan sekedar kepentingan warga Muhammadiyah atau NU). Dan tampaknya kesadaran bahwa bahwa kebersamaan dan kesamaan harus lebih dikedepankan daripada perbedaan telah ditandaskan oleh kedua belah pihak.
Mengapa lebih fokus pada persoalan kebangsaan (nasionalisme) daripada persoalan keagamaan? Selain seperti penulis ungkap diatas bahwa masalah keagamaan hanya berkutat pada masalah khilafiyah — sehingga tidak terlalu penting dibanding masalah bangsa —, tak terpungkiri bahwa secara historis Muhammadiyah dan NU sama-sama lahir sebelum berdirinya NKRI, dan keduanya secara nyata terlibat dalam perjuangan membentuk NKRI.
Terkait dengan persoalan kebangsaan, dalam buku bunga rampai ini intelektual muda Muhammadiyah, Dr. Zuly Qodir mengungkapkan bahwa baik Prof. Syafi’i Ma’arif maupun Prof. Dien Syamsuddin di era kepemimpinannya masing-masing di Muhammadiyah menandaskan tentang kebersamaannya dengan Nahdlatul Ulama (NU) dalam mengawal Pancasila sebagai satu-satunya pilihan dasar Negara Republik Indonesia yang tidak bisa ditawar lagi.
Menariknya, proposisi yang paling tegas dari elit Muhammadiyah itu muncul ditengah maraknya gempuran dari kelompok Islam kecil-kecil seperti HTI, MMI, Anshoru Tauhit, FPI dan Wahdatul Islamiyah yang menghendaki Islam sebagai dasar negara. Muhammadiyah dan NU tetap pada pendiriannya untuk tidak mendukung pendirian Negara Islam di Indonesia (hal. 84).
Dalam hal ini, Muhammadiyah dan NU yang merupakan komunitas Islam terbesar di Indonesia harus berani dan mampu menjalankan peran-peran kebangsaan untuk melakukan transformasi sosial. Dengan meminjam pandangan Kuntowijoyo (1991), Beni Setiawan mengungkapkan bahwa betapa pentingnya agama dalam konteks kebangsaan diatas. Pemahaman terhadap agama (Islam) tidak sama dengan pemahaman Barat. Islam bukanlah sistem teokrasi, bukan pula cara berpikir yang didikte oleh teologi. Nilai-nilai Islam pada dasarnya bersifat merangkul semua (all-embracing) bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya (hal. 130). Muhammadiyah dan NU tidak cukup hanya lantang bersuara untuk menolak atau menentang berdirinya Negara Islam di Indonesia, tetapi juga perlu menggalang aksi pencerahan kepada umat Islam di Indonesia bahwa perubahan dasar negara hanya dominan mudlarat-nya daripada manfaatnya.
Lepas dari persoalan kebangsaan (nasionalisme), buku yang sesungguhnya sangat menarik — karena penuh dengan gagasan kaum muda Muhammadiyah dan NU pewaris Indonesia masa depan — ini justru kurang diminati sebagian warga Muhammadiyah dan NU sendiri, khususnya yang pola pikirnya masih bercorak konservatif (ideologis?), tak terkecuali dari kalangan pimpinan. Utamanya yang memperlakukan Muhammadiyah atau NU seakan sebagai sebuah mazhab (aliran keagamaan). “Nuhammadiyah” dipahami sebagai keyakinan baru yang berpotensi menghilangkan karakteristik masing-masing, baik Muhammadiyah ataupun NU.
Alasan Binhad yang pertamakali menyodorkan judul tersebut sesungguhnya sederhana. Karena Nadhlatul Ulama diakronimkan menjadi NU, dan huruf “U” tersebut pun bisa menjadi milik dua organisasi itu ketika harus digabungkan. Maka jadilah Nuhammadiyah. Alasan lainnya hanya menimbang efisiensi, estetika atau rasa bahasa (hal. 7).
Karena itu, dengan membaca tulisan ini mudah-mudahan dapat terjadi perubahan pandangan terhadap buku ini, yang semula antipati atau ragu untuk memiliki dan membacanya, kemudian tergerak untuk memiliki, membacanya dengan tuntas dan menyatakan “apalah arti sebuah judul buku”. Semoga buku ini benar-benar mampu menjadi media pencerah bagi warga Muhammadiyah dan NU.
Abd. Sidiq Notonegoro,
Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Gresik
Pengajar di Univ. Muhammadiyah Gresik
Published in Indo Pos, 25 Sep 2011.
Penyunting : Binhad Nurrohmat & Moh. Shofan
Penerbit : Ar-Ruzz Media, Yogyakarta
Cetakan : I, 2011
Tebal : 252 halaman
ISBN : 978-979-25-4854-9
Tak selalu dan selamanya, ketika Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) dihadapkan, yang muncul adalah perbedaan. Bila kita sudi menelisik secara lebih mendalam, yang tampak lebih menonjol sesungguhnya justru pada persamaannya daripada perbedaannya. Bukan hanya itu, pikiran-pikiran cerdas pun mampu dialirkan secara deras dari keduanya bila berkesempatan untuk berkolaborasi.
Karena itu, idealnya energi warga Muhammadiyah dan NU lebih utama untuk menggali nilai-nilai persamaan yang (mungkin) selama ini terpendam oleh berbagai kepentingan sesaat dan politis, daripada mempersoalkan perbedaan-perbedaan yang hanya bertebaran di wilayah permukaan (baca : kulit).
Bila perbedaan yang ada di Muhammadiyah dan NU hanya sebatas persoalan-persoalan kecil dan lebih menyangkut khilafiyah (perbedaan pendapat), persamaannya justru menyangkut persoalan-persoalan yang mendasar (fundamental) dan melingkupi hajat hidup bangsa (bukan sekedar kepentingan warga Muhammadiyah atau NU). Dan tampaknya kesadaran bahwa bahwa kebersamaan dan kesamaan harus lebih dikedepankan daripada perbedaan telah ditandaskan oleh kedua belah pihak.
Mengapa lebih fokus pada persoalan kebangsaan (nasionalisme) daripada persoalan keagamaan? Selain seperti penulis ungkap diatas bahwa masalah keagamaan hanya berkutat pada masalah khilafiyah — sehingga tidak terlalu penting dibanding masalah bangsa —, tak terpungkiri bahwa secara historis Muhammadiyah dan NU sama-sama lahir sebelum berdirinya NKRI, dan keduanya secara nyata terlibat dalam perjuangan membentuk NKRI.
Terkait dengan persoalan kebangsaan, dalam buku bunga rampai ini intelektual muda Muhammadiyah, Dr. Zuly Qodir mengungkapkan bahwa baik Prof. Syafi’i Ma’arif maupun Prof. Dien Syamsuddin di era kepemimpinannya masing-masing di Muhammadiyah menandaskan tentang kebersamaannya dengan Nahdlatul Ulama (NU) dalam mengawal Pancasila sebagai satu-satunya pilihan dasar Negara Republik Indonesia yang tidak bisa ditawar lagi.
Menariknya, proposisi yang paling tegas dari elit Muhammadiyah itu muncul ditengah maraknya gempuran dari kelompok Islam kecil-kecil seperti HTI, MMI, Anshoru Tauhit, FPI dan Wahdatul Islamiyah yang menghendaki Islam sebagai dasar negara. Muhammadiyah dan NU tetap pada pendiriannya untuk tidak mendukung pendirian Negara Islam di Indonesia (hal. 84).
Dalam hal ini, Muhammadiyah dan NU yang merupakan komunitas Islam terbesar di Indonesia harus berani dan mampu menjalankan peran-peran kebangsaan untuk melakukan transformasi sosial. Dengan meminjam pandangan Kuntowijoyo (1991), Beni Setiawan mengungkapkan bahwa betapa pentingnya agama dalam konteks kebangsaan diatas. Pemahaman terhadap agama (Islam) tidak sama dengan pemahaman Barat. Islam bukanlah sistem teokrasi, bukan pula cara berpikir yang didikte oleh teologi. Nilai-nilai Islam pada dasarnya bersifat merangkul semua (all-embracing) bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya (hal. 130). Muhammadiyah dan NU tidak cukup hanya lantang bersuara untuk menolak atau menentang berdirinya Negara Islam di Indonesia, tetapi juga perlu menggalang aksi pencerahan kepada umat Islam di Indonesia bahwa perubahan dasar negara hanya dominan mudlarat-nya daripada manfaatnya.
Lepas dari persoalan kebangsaan (nasionalisme), buku yang sesungguhnya sangat menarik — karena penuh dengan gagasan kaum muda Muhammadiyah dan NU pewaris Indonesia masa depan — ini justru kurang diminati sebagian warga Muhammadiyah dan NU sendiri, khususnya yang pola pikirnya masih bercorak konservatif (ideologis?), tak terkecuali dari kalangan pimpinan. Utamanya yang memperlakukan Muhammadiyah atau NU seakan sebagai sebuah mazhab (aliran keagamaan). “Nuhammadiyah” dipahami sebagai keyakinan baru yang berpotensi menghilangkan karakteristik masing-masing, baik Muhammadiyah ataupun NU.
Alasan Binhad yang pertamakali menyodorkan judul tersebut sesungguhnya sederhana. Karena Nadhlatul Ulama diakronimkan menjadi NU, dan huruf “U” tersebut pun bisa menjadi milik dua organisasi itu ketika harus digabungkan. Maka jadilah Nuhammadiyah. Alasan lainnya hanya menimbang efisiensi, estetika atau rasa bahasa (hal. 7).
Karena itu, dengan membaca tulisan ini mudah-mudahan dapat terjadi perubahan pandangan terhadap buku ini, yang semula antipati atau ragu untuk memiliki dan membacanya, kemudian tergerak untuk memiliki, membacanya dengan tuntas dan menyatakan “apalah arti sebuah judul buku”. Semoga buku ini benar-benar mampu menjadi media pencerah bagi warga Muhammadiyah dan NU.
Abd. Sidiq Notonegoro,
Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Gresik
Pengajar di Univ. Muhammadiyah Gresik
Published in Indo Pos, 25 Sep 2011.
No comments:
Post a Comment