IFTITAH : MENAKAR ULANG SUDUT PANDANG KITA
Suara Muhammadiyah No. 23/TH. Ke-93/1-15 Desember 2008 pada rubrik Telaah Pustaka, memuat resensi AIK Berwawasan HAM bertajuk “Wawasan HAM Dalam Al-Islam dan Kemuhammadiyahan”. Resensi tersebut ditulis oleh Farid Setiawan, peneliti di Lentera Research Institute Yogyakarta dan sekretaris Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Yogyakarta.
Farid Setiawan menulis demikian,
“Di era sekarang, HAM dan Islam sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Ini tidak dimaknai bahwa posisi HAM berada di atas Al-Qur’an dan Al-Hadits. Akan tetapi, hal itu lebih dititik-beratkan pada upaya penggalian kembali terhadap khasanah Islam. Dalam konteks ini, para cendikiawan muslim sudah selayaknya melakukan “adaptasi” dan bahkan “integrasi” terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern yang dilandasi oleh spiritualitas agama. Di sinilah posisi HAM menjadi elemen penting bagi kehidupan masyarakat Muslim modern, khususnya dalam dunia pendidikan.”
“Berangkat dari upaya penggalian khasanah Islam yang disertai dengan keprihatinan teramat mendalam akan tindakan-tindakan tidak manusiawi di zaman modern, buku Al-Islam dan ke-Muhammadiyahan (AIK) berwawasan Hak Asasi Manusia ini hadir…”
“Karenanya, buku ini menjadi layak untuk dipelajari oleh semua pihak, tak terkecuali, para stake-holder pendidikan Muhammadiyah.
“Ada sebuah harapan yang sangat obsesif ketika buku ini diperkenalkan dan dipelajari oleh peserta didik. Upaya pengenalan akan HAM terhadap peserta didik tentunya dapat mengeliminasi munculnya para “preman berseragam”, yang pada kurun waktu terakhir ini mulai mendominasi”.[1]
Namun anehnya, pada bagian akhir resensinya, Farid mengekspresikan sikapnya yang ambivalen dan paradoks dengan segala pujian dan harapan obsesifnya yang tertulis dan terbaca di atas. Dengan nada bimbang ia menulis sebagai berikut :
“Sebaliknya, saya kurang sependapat jikalau buku ini benar-benar dipaksakan sebagai buku pegangan wajib siswa maupun guru di sekolah Muhammadiyah se Indonesia. Karena, dalam dunia yang sangat pluralis, sebagaimana terjadi sekarang, adalah penting untuk dicatat, bahwa susah memaksakan satu standar paradigma atau worldview, di mana paradigma itu mengklaim orang lain salah dan harus berubah mengikuti paradigma HAM. Pun juga demikian, apabila materi pokok AIK cenderung dipaksakan dalam perspektif HAM, tentu saja pemahaman peserta didik akan AIK menjadi terlalu sempit. Masih banyak perspektif lain yang perlu disampaikan melalui AIK…”[2]
Tulisan resensi di atas, secara sederhana, menggambarkan sedikitnya tiga hal; pertama, sikap ‘gamang’ dan ‘bingung’ bagaimana seharusnya mendudukkan Al-Qur’an dan Sunnah secara operasional dalam keseharian kita; kedua, keresahan akan tindak kekerasan atas nama agama yang “selalu” dan “hanya” dialamatkan kepada umat Islam berikut stigma negatifnya yang khas “preman berseragam”. Ada juga yang melabelnya dengan sebutan “preman berjubah”; ketiga, idealisasi Duham sebagai paradigma penafsiran atas Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, konsep hak asasi manusia ala Duham yang menafikan relasi transenden manusia dengan Allah s.w.t., antroposentris dan sekaligus dualis itu menjadi standar nilai bagi aplikasi Islam dan Kemuhammadiyahan.
Mencermati tiga catatan di atas, dalam hemat pendapat penulis, kita berkewajiban untuk merefresh kembali struktur aqliyah, ruhiyah dan jasadiyah ke-Islaman dan ke-muhammadiyahan kita, khususnya tentang pandangan hidup. Sekali lagi, Pandangan hidup atau worldview kita (al-tashawwur al-Islami) meniscayakan wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah) sebagai dasar perspektif dan cara pandang. Sepadan dengan penjelasan Dr. Haedar Nashir, “Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, berasas Islam, dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi s.a.w., menjadikan ajaran Islam itu sebagai Way of Life bagi kehidupan segenap warga Muhammadiyah sebagaimana tercermin dalam keseluruhan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah.”[3] Penjelasan inilah yang semestinya menjadi spirit dan pedoman kita dalam menerima atau menolak segala sesuatu yang belum sepenuhnya disepakati dalam Persyarikatan Muhammadiyah. Tidak apriori menerima ataupun apriori menolak.
Berbeda dengan buku AIK Berwawasan HAM tersebut. Islam dan Sunnah, atau lebih khusus lagi semacam Kemuhammadiyahan, Pedoman Hidup Islami, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah yang menjadi rujukan otentik manhaj dakwah Muhammadiyah, tidak lagi menjadi perspektif dan cara pandang. Tetapi semuanya ditundukkan dan diletakkan dibawah ‘mikroskop’ bernama Hak Asasi Manusia versi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM 1948). Lugasnya, Islam (Al-Qur’an dan Sunnah) dan Muhammadiyah dikungkung dalam teropong dan perspektif HAM. Implikasinya jelas, apapun pemaknaan terhadap Islam dan Muhammadiyah beserta seluruh sistem nilai dan ajarannya harus diselaraskan dengan pasal-pasal deklarasi tersebut yang sejak kemunculannya hingga kini masih problematis dan menyisakan sejumlah perkara substantif dan prinsip dalam agama.
Mungkin ada banyak tawaran yang lebih menggiurkan secara pragmatis, tapi Al-Qur’an bertutur demikian :
Lagi pula, sebagai manusia beriman kita wajib mawas diri sekaligus khawatir dengan keterangan dan tuntunan ayat lain terbaca di bawah ini. Mungkin pengembaraan intelektualitas tak terbendung. Akal beranjak ke tangga langit pengetahuan tak lagi tertahankan. Sokongan dan pujian sosial tak lagi tertakar. Tapi, sekali lagi, apalah makna hidup bertabur mutiara, pujian dan kilauan lentera dunia, sementara di akherat, sudah buta tak menatap, dicuekin pula?! Ah, terlalu gambling dan spekulatif!
Jika kita tak mampu menundukkan segala kepentingan pragmatis kehidupan dalam berbagai konteks; pemikiran, sosial, politik, budaya, adat-istiadat dan seterusnya dibawah tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah maka, dalam pandangan KH Ahmad Dahlan rahimahullah, kita telah tertawan oleh hawa nafsu, bahkan kita telah mempertuhankannya. Memaknai ayat 36 surat al-Jatsiyah, beliau berkata demikian,
“Kita dilarang untuk menghambakan diri kepada siapapun atau benda apapun jua, kecuali kepada Allah SWT. Orang yang menghambakan diri kepada hawa nafsunya, mengerjakan apa saja yang menjadi dorongan hawa nafsunya dapat dikategorikan sebagai musyrik. Kaum musyrikin menyembah berhala karena taqlid buta kepada orang tua dan nenek moyang mereka. Ini bermakna mereka menjadi hamba dari hawa nafsunya, patuh mengikuti perilaku kebiasaan yang menyimpang dalam lingkungan dan masyarakat mereka.”
“Siapa saja yang tunduk/taat dan berbuat mengikuti kebiasaan yang bertentangan dengan hukum Allah SWT juga dapat disebut sebagai penyembah hawa nafsu. Karena jelas, kita tidak diperbolehkan secara syar’iy untuk mencintai siapapun jua di atas cinta kasih kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.”
“Berhala hawa nafsu merupakan pokok berhala yang menyesatkan. Pengaruhnya sedemikian kuat dan merajalela. Hawa nafsu mematikan kemampuan dan potensi manusia untuk membedakan antara al-Haqq dan al-Bathil. Bahkan manusia bertabiat sebagai hewan karena terjajah oleh hawa nafsu tersebut. Dalam pemenuhan cinta terhadap hawa nafsunya, manusia seringkali lupa akan akibat dan malapetaka yang ditimbulkannya, lupa akan akibat-akibat buruknya. Manusia berbuat semaunya, mengabaikan tatanan etis dan moral. Inilah yang kemudian melahirkan kekacauan, kerusakan dan kerugian kepada dirinya sendiri, masyarakat dan negaranya.”[4]
[1] Suara Muhammadiyah No. 23/TH. Ke-93/1-15 Desember 2008, hal. 43 (paragraf ke-1)
[2] Ibid. (paragraf ke-10)
[3] Haedar Nashir, Ideologi Gerakan Muhammadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2001), Cet. Pertama, hal. 96
[4] KRH Hadjid, “Muqaddimah” dalam Budi Setiawan dan Arief Budiman Ch. [Peny.] Pelajaran KHA Dahlan : 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an [Yogyakarta: LPI PPM, 2006], Cet. Ke-2, hal. 45-47
Retrieved from: http://fathurkamal.staff.umy.ac.id/?p=168
For those who are interested to read the next part of this article, see the following link:
KRITIK BUKU : “Al-Islam & Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM” (Bagian Kedua) -->http://fathurkamal.staff.umy.ac.id/?p=170
KRITIK BUKU : “Al-Islam & Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM” (Bagian Ketiga) -->http://fathurkamal.staff.umy.ac.id/?p=172
KRITIK BUKU : “Al-Islam & Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM” (Bagian Keempat) -->http://fathurkamal.staff.umy.ac.id/?p=174
KRITIK BUKU : “Al-Islam & Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM” (Bagian Kelima) -->http://fathurkamal.staff.umy.ac.id/?p=176
Fathurrahman Kamal, Lc., MA
Pada awal Nopember lalu, sahabat saya Ustadz Adian Husaini, bercerita tentang pengajian warga Muhammadiyah, yang kebetulan, beliau menjadi nara sumbernya. Seorang jama’ah pengajian menyodorkan buku bertajuk “Al-Islam & Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM” yang diterbitkan oleh Ma’arif Institute dengan sokongan dana dari New Zealand Agency for International Development, seperti penjelasan Fajar Riza Ulhaq, direktur program penyusunan buku panduan mata pelajaran AIK bagi para guru di lingkungan pendidikan menengah Muhammadiyah. Alhamdulillah, tak lama kemudian saya mendapatkan satu naskah copian buku tersebut.Suara Muhammadiyah No. 23/TH. Ke-93/1-15 Desember 2008 pada rubrik Telaah Pustaka, memuat resensi AIK Berwawasan HAM bertajuk “Wawasan HAM Dalam Al-Islam dan Kemuhammadiyahan”. Resensi tersebut ditulis oleh Farid Setiawan, peneliti di Lentera Research Institute Yogyakarta dan sekretaris Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Yogyakarta.
Farid Setiawan menulis demikian,
“Di era sekarang, HAM dan Islam sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Ini tidak dimaknai bahwa posisi HAM berada di atas Al-Qur’an dan Al-Hadits. Akan tetapi, hal itu lebih dititik-beratkan pada upaya penggalian kembali terhadap khasanah Islam. Dalam konteks ini, para cendikiawan muslim sudah selayaknya melakukan “adaptasi” dan bahkan “integrasi” terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern yang dilandasi oleh spiritualitas agama. Di sinilah posisi HAM menjadi elemen penting bagi kehidupan masyarakat Muslim modern, khususnya dalam dunia pendidikan.”
“Berangkat dari upaya penggalian khasanah Islam yang disertai dengan keprihatinan teramat mendalam akan tindakan-tindakan tidak manusiawi di zaman modern, buku Al-Islam dan ke-Muhammadiyahan (AIK) berwawasan Hak Asasi Manusia ini hadir…”
“Karenanya, buku ini menjadi layak untuk dipelajari oleh semua pihak, tak terkecuali, para stake-holder pendidikan Muhammadiyah.
“Ada sebuah harapan yang sangat obsesif ketika buku ini diperkenalkan dan dipelajari oleh peserta didik. Upaya pengenalan akan HAM terhadap peserta didik tentunya dapat mengeliminasi munculnya para “preman berseragam”, yang pada kurun waktu terakhir ini mulai mendominasi”.[1]
Namun anehnya, pada bagian akhir resensinya, Farid mengekspresikan sikapnya yang ambivalen dan paradoks dengan segala pujian dan harapan obsesifnya yang tertulis dan terbaca di atas. Dengan nada bimbang ia menulis sebagai berikut :
“Sebaliknya, saya kurang sependapat jikalau buku ini benar-benar dipaksakan sebagai buku pegangan wajib siswa maupun guru di sekolah Muhammadiyah se Indonesia. Karena, dalam dunia yang sangat pluralis, sebagaimana terjadi sekarang, adalah penting untuk dicatat, bahwa susah memaksakan satu standar paradigma atau worldview, di mana paradigma itu mengklaim orang lain salah dan harus berubah mengikuti paradigma HAM. Pun juga demikian, apabila materi pokok AIK cenderung dipaksakan dalam perspektif HAM, tentu saja pemahaman peserta didik akan AIK menjadi terlalu sempit. Masih banyak perspektif lain yang perlu disampaikan melalui AIK…”[2]
Tulisan resensi di atas, secara sederhana, menggambarkan sedikitnya tiga hal; pertama, sikap ‘gamang’ dan ‘bingung’ bagaimana seharusnya mendudukkan Al-Qur’an dan Sunnah secara operasional dalam keseharian kita; kedua, keresahan akan tindak kekerasan atas nama agama yang “selalu” dan “hanya” dialamatkan kepada umat Islam berikut stigma negatifnya yang khas “preman berseragam”. Ada juga yang melabelnya dengan sebutan “preman berjubah”; ketiga, idealisasi Duham sebagai paradigma penafsiran atas Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, konsep hak asasi manusia ala Duham yang menafikan relasi transenden manusia dengan Allah s.w.t., antroposentris dan sekaligus dualis itu menjadi standar nilai bagi aplikasi Islam dan Kemuhammadiyahan.
Mencermati tiga catatan di atas, dalam hemat pendapat penulis, kita berkewajiban untuk merefresh kembali struktur aqliyah, ruhiyah dan jasadiyah ke-Islaman dan ke-muhammadiyahan kita, khususnya tentang pandangan hidup. Sekali lagi, Pandangan hidup atau worldview kita (al-tashawwur al-Islami) meniscayakan wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah) sebagai dasar perspektif dan cara pandang. Sepadan dengan penjelasan Dr. Haedar Nashir, “Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, berasas Islam, dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi s.a.w., menjadikan ajaran Islam itu sebagai Way of Life bagi kehidupan segenap warga Muhammadiyah sebagaimana tercermin dalam keseluruhan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah.”[3] Penjelasan inilah yang semestinya menjadi spirit dan pedoman kita dalam menerima atau menolak segala sesuatu yang belum sepenuhnya disepakati dalam Persyarikatan Muhammadiyah. Tidak apriori menerima ataupun apriori menolak.
Berbeda dengan buku AIK Berwawasan HAM tersebut. Islam dan Sunnah, atau lebih khusus lagi semacam Kemuhammadiyahan, Pedoman Hidup Islami, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah yang menjadi rujukan otentik manhaj dakwah Muhammadiyah, tidak lagi menjadi perspektif dan cara pandang. Tetapi semuanya ditundukkan dan diletakkan dibawah ‘mikroskop’ bernama Hak Asasi Manusia versi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM 1948). Lugasnya, Islam (Al-Qur’an dan Sunnah) dan Muhammadiyah dikungkung dalam teropong dan perspektif HAM. Implikasinya jelas, apapun pemaknaan terhadap Islam dan Muhammadiyah beserta seluruh sistem nilai dan ajarannya harus diselaraskan dengan pasal-pasal deklarasi tersebut yang sejak kemunculannya hingga kini masih problematis dan menyisakan sejumlah perkara substantif dan prinsip dalam agama.
Mungkin ada banyak tawaran yang lebih menggiurkan secara pragmatis, tapi Al-Qur’an bertutur demikian :
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (Al-An’am : 153)Lagi pula, sebagai manusia beriman kita wajib mawas diri sekaligus khawatir dengan keterangan dan tuntunan ayat lain terbaca di bawah ini. Mungkin pengembaraan intelektualitas tak terbendung. Akal beranjak ke tangga langit pengetahuan tak lagi tertahankan. Sokongan dan pujian sosial tak lagi tertakar. Tapi, sekali lagi, apalah makna hidup bertabur mutiara, pujian dan kilauan lentera dunia, sementara di akherat, sudah buta tak menatap, dicuekin pula?! Ah, terlalu gambling dan spekulatif!
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى. قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا. قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آَيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى.
“Dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta. Berkatalah ia: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam Keadaan buta, Padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?. Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, Maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan.” (Thaha : 124-126)Jika kita tak mampu menundukkan segala kepentingan pragmatis kehidupan dalam berbagai konteks; pemikiran, sosial, politik, budaya, adat-istiadat dan seterusnya dibawah tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah maka, dalam pandangan KH Ahmad Dahlan rahimahullah, kita telah tertawan oleh hawa nafsu, bahkan kita telah mempertuhankannya. Memaknai ayat 36 surat al-Jatsiyah, beliau berkata demikian,
“Kita dilarang untuk menghambakan diri kepada siapapun atau benda apapun jua, kecuali kepada Allah SWT. Orang yang menghambakan diri kepada hawa nafsunya, mengerjakan apa saja yang menjadi dorongan hawa nafsunya dapat dikategorikan sebagai musyrik. Kaum musyrikin menyembah berhala karena taqlid buta kepada orang tua dan nenek moyang mereka. Ini bermakna mereka menjadi hamba dari hawa nafsunya, patuh mengikuti perilaku kebiasaan yang menyimpang dalam lingkungan dan masyarakat mereka.”
“Siapa saja yang tunduk/taat dan berbuat mengikuti kebiasaan yang bertentangan dengan hukum Allah SWT juga dapat disebut sebagai penyembah hawa nafsu. Karena jelas, kita tidak diperbolehkan secara syar’iy untuk mencintai siapapun jua di atas cinta kasih kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.”
“Berhala hawa nafsu merupakan pokok berhala yang menyesatkan. Pengaruhnya sedemikian kuat dan merajalela. Hawa nafsu mematikan kemampuan dan potensi manusia untuk membedakan antara al-Haqq dan al-Bathil. Bahkan manusia bertabiat sebagai hewan karena terjajah oleh hawa nafsu tersebut. Dalam pemenuhan cinta terhadap hawa nafsunya, manusia seringkali lupa akan akibat dan malapetaka yang ditimbulkannya, lupa akan akibat-akibat buruknya. Manusia berbuat semaunya, mengabaikan tatanan etis dan moral. Inilah yang kemudian melahirkan kekacauan, kerusakan dan kerugian kepada dirinya sendiri, masyarakat dan negaranya.”[4]
[1] Suara Muhammadiyah No. 23/TH. Ke-93/1-15 Desember 2008, hal. 43 (paragraf ke-1)
[2] Ibid. (paragraf ke-10)
[3] Haedar Nashir, Ideologi Gerakan Muhammadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2001), Cet. Pertama, hal. 96
[4] KRH Hadjid, “Muqaddimah” dalam Budi Setiawan dan Arief Budiman Ch. [Peny.] Pelajaran KHA Dahlan : 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an [Yogyakarta: LPI PPM, 2006], Cet. Ke-2, hal. 45-47
Retrieved from: http://fathurkamal.staff.umy.ac.id/?p=168
For those who are interested to read the next part of this article, see the following link:
KRITIK BUKU : “Al-Islam & Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM” (Bagian Kedua) -->http://fathurkamal.staff.umy.ac.id/?p=170
KRITIK BUKU : “Al-Islam & Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM” (Bagian Ketiga) -->http://fathurkamal.staff.umy.ac.id/?p=172
KRITIK BUKU : “Al-Islam & Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM” (Bagian Keempat) -->http://fathurkamal.staff.umy.ac.id/?p=174
KRITIK BUKU : “Al-Islam & Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM” (Bagian Kelima) -->http://fathurkamal.staff.umy.ac.id/?p=176
No comments:
Post a Comment