Penulis : Acep Zamzam Nur, Zuly Qodir, dkk
Penyunting : Binhad Nurrohmat dan Moh. Shofan
Penerbit : Ar-Ruzz Media
Edisi : Cetakan I, 2011
Tebal : 252 halaman |
Membaca Semangat Nasionalisme
oleh Mukhamad Zulfa*)
Sebagai organisasi terbesar di Indonesia,
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) tentu mempunyai segudang
pengalaman heroik dalam membangun bangsa ini. Hadratusy Syekh Kyai
Hasyim Asy’ari sebagai pendiri sekaligus ketua umum pertama mempunyai
pandangan bahwa beliau tidak berkoperasi dengan penjajah. Bahkan
menyerukan resolusi jihad untuk melawan.
Walau mempunyai guru yang sama dengan Hasyim Asyari dari Mekkah ataupun Indonesia
sendiri. Ahmad Dahlan kemudian mendirikan perserikatan Muhammadiyah
pada tahun 1912. Dia mempunyai terjemahan tersendiri terhadap kolonial
Belanda. Bahwa pendidikan itu penting untuk mencerdaskan bangsa.
Terkesan bahwa mengekor pada cara dan kurikulum yang diajarkan Belanda
pada masa itu yang kemudian dikembangkan di pesantrennya.
Buku
ini hadir untuk menanggapi bagaimana nasionalisme itu diterjemahkan
oleh generasi Muhammadiyah dan NU sekarang. Memberikan interpretasi
terhadap cinta tanah air. Guna membangun bangsa ini agar lebih sadar
betapa pentingnya menjunjung tinggi rasa kebangsaan. Sebagai organisasi
besar yang ada di Indonesia mempunyai tanggung jawab penuh untuk tetap menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Terdapat
adagium bahwa cinta tanah air merupakan sebagian dari pada iman. Hal
ini menjadi salah satu landasan bersama untuk memperjuangkan kemerdekaan
yang telah direbut oleh pahlawan. Kita
mempunyai kewajiban untuk memberikan kontribusi positif terhadap kemajuan bangsa.
mempunyai kewajiban untuk memberikan kontribusi positif terhadap kemajuan bangsa.
Bunga
rampai ini merupakan buah persinggungan dari buku yang dihadirkan
masing-masing organisasi. Satu Abad Muhammadiyah (2010) dan bunga rampai
Dari Kyai Kampung ke NU Miring (2010). Hingga
Binhad dan Sofwan setuju untuk memberikan sumbangsih pemikiran menyunting tulisan guna mewujudkan buku ini.
Binhad dan Sofwan setuju untuk memberikan sumbangsih pemikiran menyunting tulisan guna mewujudkan buku ini.
Dalam
halaman depan Binhad mengawali dengan semangat perlawanan yang
dilakukan oleh Kyai Ahmad Rifai terhadap Belanda di masa penjajahan
dengan menggunakan tulisan. Berupa pamlet yang
disajikan merupakan bentuk protes terhadap ulama dan birokrasi yang tunduk pada Belanda.
Cerita tentang kyai Rifai ini ditulis hasil dari perjalanan Binhad di kota Pekalongan untuk menemukan kebenaran cerita yang langsung dari sumber asalnya. Gaya khas NU ini menjadi ciri bahwa Binhad merupakan NU sejati yang cinta ziarah sebagai laku “orang NU”. Beliau yang sadar akan keadaan yang menindas kaum muslimin, mulai mencurahkan pemikiran dengan menulis kitab yang berbahasa Jawa
menggunakan huruf pegon yang lebih mudah difaham oleh masyarakat. Dibanding dengan bahan ajar kitab di pesantren pada umumnya yang berbahasa Arab.
disajikan merupakan bentuk protes terhadap ulama dan birokrasi yang tunduk pada Belanda.
Cerita tentang kyai Rifai ini ditulis hasil dari perjalanan Binhad di kota Pekalongan untuk menemukan kebenaran cerita yang langsung dari sumber asalnya. Gaya khas NU ini menjadi ciri bahwa Binhad merupakan NU sejati yang cinta ziarah sebagai laku “orang NU”. Beliau yang sadar akan keadaan yang menindas kaum muslimin, mulai mencurahkan pemikiran dengan menulis kitab yang berbahasa Jawa
menggunakan huruf pegon yang lebih mudah difaham oleh masyarakat. Dibanding dengan bahan ajar kitab di pesantren pada umumnya yang berbahasa Arab.
Untuk
menyebarkan propaganda pada kyai Rifai dan pengikutnya merupakan orang
yang patut dimusuhi Belanda menyebutnya sebagai santri celeng. Guna
membunuh karakternya. Bahkan Kyai Rifai pernah dibuang di Ambon
sebab menurut Belanda ajaran yang dibawanya membahayakan kolonial. Di
tanah Maluku, beliau masih melakukan propaganda untuk melawan penjajah.
Sebab itulah akhirnya beliau dibuang di Manado. Dan meninggal di sana.
Lain
dengan tulisan Soffa Ihsan yang berjudul Nasionalisme Miring
Nahdliyyin, membeber bahwa banyak tokoh dari NU yang melakukan perilaku
“miring” dalam berbangsa. Misalnya, Mbah Lim
(Kyai Imam Puro) dari Klaten Jawa Tengah bernadzar apabila dirinya siap diadzab oleh Allah. Apabila hingga terwujudnya Indonesia bersatu, adil, dan makmur. Tak ayal, Mbah Lim tidak bisa berak selama beberapa bulan, walaupun makan dengan kenyang. (halaman 109)
(Kyai Imam Puro) dari Klaten Jawa Tengah bernadzar apabila dirinya siap diadzab oleh Allah. Apabila hingga terwujudnya Indonesia bersatu, adil, dan makmur. Tak ayal, Mbah Lim tidak bisa berak selama beberapa bulan, walaupun makan dengan kenyang. (halaman 109)
Tak mau kalah dengan Mbah Lim, Gus Mus (Musthafa Bisri) menyerukan bahwa nasionalisme santri adalah dengan cinta Indonesia. Bahwa kita makan minum di tanah air ini. Jadilah Indonesia yang Islam
bukan Islam yang Indonesia. (119) Dan masih banyak lagi laku miring yang dilakukan oleh tokoh NU lainnya.
Nasionalisme ala Muhammadiyah
bukan Islam yang Indonesia. (119) Dan masih banyak lagi laku miring yang dilakukan oleh tokoh NU lainnya.
Nasionalisme ala Muhammadiyah
Paparan
Benni Setiawan dalam Nasionalisme Muhammadiyah, mengutip perkataan
Muarif bahwa terbagi menjadi tiga periode dalam proses nasionalisme
Muhammadiyah yaitu pertama pada masa Kyai Ahmad Dahlan nasionalisme
dimaknai sebagai konteks persatuan. Zaman kedua masa Kyai Ibrahim
Nasionalisme berarti Indonesia sedangkan terakhir pada zaman Kyai Mas Mansur penerjemahan nasionalisme adalah semangat patriotik. (133)
Dalam
pengantar penyunting buku ini, Binhad menjelaskan bahwa judul buku ini
merupakan masalah rasa bahasa. Bukan berarti apa. Jika ditilik dalam
kacamata historis tentu NU lebih muda dibanding
Muhammadiyah. Mengapa ditaruh di depan, bukan di belakang. Terdapat satu huruf yang dapat melebur antara keduaanya, yaitu huruf u. Sehingga lebih menarik menggunakan kata NUhammadiyyah dibandingkan MuhammadiyahNU.
Muhammadiyah. Mengapa ditaruh di depan, bukan di belakang. Terdapat satu huruf yang dapat melebur antara keduaanya, yaitu huruf u. Sehingga lebih menarik menggunakan kata NUhammadiyyah dibandingkan MuhammadiyahNU.
*)Mukhamad Zulfa, kader muda NU aktif di IDEASTUDIES Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.
Retrieved from: http://analisisnews.com/analisis/resensi-buku/710-nuhammadiyah-bicara-nasionalisme
----------
Binhad Nurrohmat (Penyunting, Kontributor), Moh. Shofan (Penyunting, Kontributor), David Krisna Alka (Kontributor), Soffa Ihsan (Kontributor),Benni Setiawan (Kontributor), Hodri Arief (Kontributor), Sahlul Fuad(Kontributor), Anggi Ahmad Haryono (Kontributor) , Sa’duddin Sabilurrasad (Kontributor), Subhi Ridho (Kontributor), M. Arief Hidayat(Kontributor), Asman Azis (Kontributor), Acep Zamzam Noor(Kontributor), Zuly Qodir (Kontributor), Eyik Mustain Romly(Kontributor)
----------
Binhad Nurrohmat (Penyunting, Kontributor), Moh. Shofan (Penyunting, Kontributor), David Krisna Alka (Kontributor), Soffa Ihsan (Kontributor),Benni Setiawan (Kontributor), Hodri Arief (Kontributor), Sahlul Fuad(Kontributor), Anggi Ahmad Haryono (Kontributor) , Sa’duddin Sabilurrasad (Kontributor), Subhi Ridho (Kontributor), M. Arief Hidayat(Kontributor), Asman Azis (Kontributor), Acep Zamzam Noor(Kontributor), Zuly Qodir (Kontributor), Eyik Mustain Romly(Kontributor)
No comments:
Post a Comment