Koran Sindo, Jum'at, 19 Juni 2015, hal. 8.
Obituari
Dr. Said Tuhuleley
Muhammadiyah dan Pemberdayaan
Masyarakat
Oleh Ahmad Najib Burhani*
Di
luar komunitas Muhammadiyah, mungkin banyak yang tidak mengenal sosok Said
Tuhuleley. Tapi bagi orang Muhammadiyah dan mereka yang mempelajari gerakan
ini, maka dalam diri Pak Said Tuhuleley inilah jadi diri, karakter, dan
kepribadian Muhammadiyah dapat ditemukan secara jernih.
Muhammadiyah,
melalui UMM (Universitas Muhammadiyah Malang), menganugerahkan gelar kehormatan
Doktor Honoris Causa (Dr. HC) kepada Pak Said pada Desember 2014 lalu.
Penghargaan itu diberikan atas kegiatan akademik dan pemberdayaan masyarakat yang
dilakukannya selama ini. Gelar itu adalah yang pertama diberikan UMM sejak
kampus itu berdiri tahun 1964. Di lingkungan kampus Muhammadiyah seluruh
Indonesia, gelar itu juga sedikit yang pernah diberikan kepada seseorang.
Presiden Sukarno, misalnya, pernah mendapatkannya dari UMJ (Universitas
Muhammadiyah Jakarta) tahun 1965. Enam bulan setelah Muhammadiyah memberikan
penghargaan kepada kader terbaiknya, Pak Said dipanggil Yang Maha Kuasa untuk
selamanya pada Selasa 9 Juni lalu.
Mengapa
bisa dikatakan bahwa potret Muhammadiyah bisa dilihat pada sosok Pak Said? Sejak
lahirnya pada 1912, inti dari gerakan Muhammadiyah sering diringkas dalam tiga
kata: feeding (santunan dan
pemberdayaan), schooling
(pendidikan), dan healing (pengobatan
dan penyehatan). Tiga gerakan inilah yang menyebabkan Muhammadiyah mampu memiliki
7.227 PAUD, TK, TPA, dan SD/MI; 2.915 SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK; 67 pesantren;
172 universitas, akademi, dan politeknik; 457 rumah sakit, klinik, dan poliklinik;
serta 454 panti asuhan, rumah jompo, dan pusat rehabilitasi cacat (Maarif
2012). Bila dibandingkan dengan ormas Islam lain, baik ditingkat nasional
maupun global, maka apa yang dimiliki Muhammadiyah itu adalah yang terbanyak.
Tak ada ormas Islam dari negara manapun yang memiliki amal usaha sebanyak yang
dimiliki oleh Muhammadiyah.
Namun
demikian, sebagaimana berulangkali disampaikan oleh almarhum Pak Said, konsep
dan
praktik amal usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah saat ini berbeda dari Muhammadiyah awal. Apa yang dilakukan Muhammadiyah pada dekade-dekade belakangan ini tidak bisa masuk pada definisi murni dari “amal usaha” dimana sebuah kegiatan sosial hanya berharap pahala akhirat dan orientasinya adalah untuk membantu orang miskin, terpinggirkan, dan tertindas. “Amal usaha Muhammadiyah pun dikelola sebagai industri jasa dan dilepaskan dari pengarusutamaan pemberdayaan rakyat miskin, sebagaimana Muhammadiyah pada periode awal ketika masih dipimpin K.H. Ahmad Dahlan” (Tuhuleley 2015).
praktik amal usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah saat ini berbeda dari Muhammadiyah awal. Apa yang dilakukan Muhammadiyah pada dekade-dekade belakangan ini tidak bisa masuk pada definisi murni dari “amal usaha” dimana sebuah kegiatan sosial hanya berharap pahala akhirat dan orientasinya adalah untuk membantu orang miskin, terpinggirkan, dan tertindas. “Amal usaha Muhammadiyah pun dikelola sebagai industri jasa dan dilepaskan dari pengarusutamaan pemberdayaan rakyat miskin, sebagaimana Muhammadiyah pada periode awal ketika masih dipimpin K.H. Ahmad Dahlan” (Tuhuleley 2015).
Apa
yang dilakukan Pak Said, terutama sejak Muktamar Muhammadiyah di Jakarta tahun
2000, adalah menggali dan mengangkat kembali prinsip yang melandasi gerak
Muhammadiyah awal, serta memakanai dan mengimplementasikan dalam bentuk baru. Prinsip
dari gerakan Muhammadiyah awal yang hendak dibangkitkan kembali oleh pak Said
itu terutama adalah humanitarianisme non-sektarian. Prinsip ini mengacu pada
berbagai dokumen sejarah yang menyebutkan bahwa “Pertolongan Moehammadijah b/g
PKO itoe, boekan sekali-sekali soeatoe djaring kepada manoesia oemoemnja,
soepaja dapat menarik hati akan masoek kepada agama Islam atau perserikatan
Moehammadijah, itoe tidak, akan tetapi segala pertolongannja itoe semata-mata karena
memenoehi kewadjiban atas agamanja Islam terhadap segala bangsa, tidak
memandang agama” (Almanak Moehammadijah 1929).
Prinsip
itu diterjemahkan oleh MPM (Majelis Pemberdayaan Masyarakat), dibawah pimpinan
Pak Said, dalam bentuk pemberdayaan dan pertolongan kepada semua masyarakat
tanpa memandang latar belakang agama dan golongan. Ini, misalnya, diwujudkan
dalam bentuk bantuan dan advokasi terhadap komunitas Syiah Sampang yang
mengalami diskriminasi dan pengusiran. Ketika banyak lembaga filantropi yang
enggan membantu Syiah karena dianggap sebagai komunitas sesat, Muhammadiyah tak
ragu ikut membantu dan mendampingi mereka.
Untuk
metode pemberdayaan, Pak Said sering menekankan perbedaan antara zaman
Muhammadiyah awal dan sekarang. Dulu banyak orang yang miskin karena kita hidup
dibawah penjajahan. Sekarang ini banyak orang yang menjadi miskin, tak berdaya,
dan termarjinalkan karena adanya kapitalisme global. “Kini kekuasaan TNC
(Trans-National Capitalist Network) telah menaklukkan ekonomi negara yang
sesungguhnya diperuntukkan bagi menegakkan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat…
kekuasaan TNCs yang besar seperti itu dimungkinkan terjadi karena ada
perselingkuhan dengan elite nasional, kaum ‘komprador’” (Tuhuleley 2015). Orang
menjadi miskin bukan karena malas bekerja. Banyak orang miskin yang justru
bekerja 24 jam sehari dan tujuh hari dalam seminggu. Mereka menjadi miskin
karena kondisi nasional dan global yang tidak memungkinkan mereka bangkit dari
kemiskinannya.
Pak
Said tidak hanya berkata, berdiskusi, dan berteori. Ia adalah ujung tombak dari
gerakan melawan kemiskinan. Ia mengembalikan arti PKO dari “Pemberdayaan
Kesejahteraan Ummat” kepada makna awal “Penolong Kesengsaraan Oemoem”, yang
mengindikasikan bahwa PKO bukan hanya untuk umat Islam, tapi untuk semua
manusia. Ia memilih untuk hidup membujang hingga meninggal dunia dan
mendedikasikan umurnya (62 tahun) untuk Muhammadiyah, bangsa, dan kemanusiaan.
Ia mendirikan beberapa Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pertanian Terpadu untuk
memberdayakan masyarakat.
Pak
Said tak pernah berhenti bekerja meski dalam kondisi sakit. Semboyan yang
selalu diulangnya adalah, “Selama rakyat masih menderita, tidak ada kata
istirahat.” Memang misi Pak Said belum sepenuhnya berhasil. Masih banyak orang
yang miskin dan menderita. Tapi Tuhan telah memintamu untuk istirahat. Biarlah
kami yang melanjutkan misi dan semangatmu. Selamat jalan Pak Said. Semoga
engkau damai di sisi-Nya.
-oo0oo-
*Aktivis Muhammadiyah, Peneliti LIPI, dan
doktor dari Universitas California – Santa Barbara
No comments:
Post a Comment