Dr Biyanto
Dosen Fakultas Ushuluddin & Filsafat, UINSA
Dosen Fakultas Ushuluddin & Filsafat, UINSA
TIDAK
berlebihan jika dikatakan bahwa Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU)
merupakan gerakan kebudayaan. Dua organisasi masyarakat (ormas) itu
telah banyak berjuang melalui jalur kultural. Yang menarik, keduanya
akan bermuktamar dalam waktu yang hampir bersamaan tahun ini. Diawali
pelaksanaan Muktamar Ke-33 NU di Jombang pada 1–5 Agustus. Dilanjutkan
Muktamar Ke-47 Muhammadiyah di Makassar pada 3–7 Agustus.
Dalam
banyak hal, Muhammadiyah dan NU menunjukkan perjuangan yang hampir
sama. Keduanya menjadikan organisasi sebagai media untuk mendakwahkan
Islam yang moderat. Keduanya juga bekerja di bidang pendidikan,
kesehatan, ekonomi, dan amal sosial lainnya. Yang berbeda adalah
strategi dakwah, pendekatan, budaya berorganisasi, dan karakter
anggotanya.
Juga ada perbedaan yang bersifat furu’iyah (cabang) dalam memahami dan mempraktikkan ajaran agama.
Sejumlah kesamaan dalam berkiprah itu menegaskan bahwa Muhammadiyah dan NU semestinya bersinergi untuk memperbaiki kualitas hidup umat. Keduanya harus lebih banyak melakukan pertemuan informal sehingga dapat saling bertegur sapa dan menjauhkan diri dari prasangka.
Sejumlah kesamaan dalam berkiprah itu menegaskan bahwa Muhammadiyah dan NU semestinya bersinergi untuk memperbaiki kualitas hidup umat. Keduanya harus lebih banyak melakukan pertemuan informal sehingga dapat saling bertegur sapa dan menjauhkan diri dari prasangka.
J
ika
menengok sejarah, seharusnya memang tidak ada halangan bagi
Muhammadiyah dan NU untuk bersinergi. Apalagi jika melihat hubungan
pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dan pendiri NU KH Hasyim Asy’ari.
Pendiri dan ideolog dua gerakan kebudayaan itu tercatat pernah belajar
di Makkah pada guru yang sama, yakni Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Ahmad Khatib merupakan ulama besar kelahiran Minangkabau yang bermukim
di Makkah. Dia telah menjadi guru bagi ulama Nusantara yang pergi haji
sekaligus belajar di Tanah Suci.
Sejumlah
ulama Muhammadiyah juga pernah nyantri di pesantren NU. Salah satunya
adalah tokoh Muhammadiyah asal Lamongan, Jawa Timur, KH Abdurrahman
Syamsuri al hafiz. Beliau pernah nyantri di Tebuireng dan diasuh
langsung KH Hasyim Asy’ari. Bahkan, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP)
Muhammadiyah Prof Din Syamsuddinjugaseringmenceritakan pengalamannya
saat ”menjadi NU”. Menurut pengakuannya, Din pernah menjadi aktivis
Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU).
Pengalaman
beberapa tokoh itu menunjukkan bahwa Muhammadiyah dan NU sesungguhnya
memiliki modal sosial untuk bersinergi. Tetapi harus diakui, hubungan
keduanya terkadang mengalami pasang surut. Itu terjadi tatkala keduanya
bersinggungan dengan persoalan politik. Misalnya saat keduanya terlibat
dalam Partai Masyumi pada masa Orde Lama. Demikian juga halnya saat
sebelum dan sesudah pelengseran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai
presiden.
Tetap,
di luar urusan politik, dua ormas tersebut dapat bersinergi dengan
baik. Sebagai contoh, Buya Syafi’i Ma’arif (PP Muhammadiyah) dan KH
Hasyim Muzadi (PB NU) pernah bersama-sama melakukan kunjungan ke luar
negeri untuk menjelaskan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.
Penjelasan dua tokoh tersebut penting untuk meluruskan pemahaman Barat
terhadap Islam yang selalu dikaitkan dengan radikalisme dan terorisme.
Melihat kiprah Muhammadiyah dan NU dalam sejarah bangsa ini, rasanya
tidak berlebihan jika dikatakan bahwa keduanya merupakan aset yang
sangat berharga.
Tokoh
Muhammadiyah dan NU menyadari bahwa Indonesia adalah negara yang
ber-Bhinneka. Meski begitu, Indonesia harus tetap Tunggal Ika. Dengan
kata lain, negeri ini harus berdiri tegak di atas prinsip unity in
diversity (bersatu dalam keragaman). Nilai-nilai itulah yang selalu
digelorakan tokoh Muhammadiyah dan NU. Tokoh dua ormas itu juga
berkomitmen mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
sebagai warisan dari the founding father yang bersifat final.
Komitmen
keduanya dalam mewujudkan wajah Islam yang moderat dan tegaknya NKRI
penting untuk menangkal virus radikalisme. Dengan mendakwahkan Islam
yang moderat, inklusif, dan bermazhab tengah (al-wasath), keduanya jelas
memiliki sumbangsih yang besar bagi negeri ini.
Karena
itu, tidak mengherankan jika dunia banyak berharap pada teladan Islam
di Nusantara. Itu berarti Indonesia harus menjadi mozaik Islam mazhab
tengahan yang moderat dan saling menghargai di tengah keragaman.
Persoalan pluralitas tersebut penting menjadi atensi. Sebab, jika
diamati, pluralitas bangsa, dilihat dari etnis, budaya, dan agama,
sungguh luar biasa. Hebatnya, kondisi plural tidak menghalangi bangsa
ini untuk hidup berdampingan.
Dengan
demikian, dapat dikatakan, warga bangsa ini telah menerapkan
nilai-nilai agree in disagreement (bersepakat dalam perbedaan). Jika
ditanya mengapa bangsa ini dapat hidup rukun meski faktanya sangat
beragam, jawabannya, kondisi itu terjadi berkat dakwah kebudayaan
Muhammadiyah dan NU sehingga melahirkan wajah Islam moderat di tanah
air.
Ibarat
sayap, dua ormas tersebut harus terus mengembang. Tidak boleh ada salah
satu sayap yang patah. Rasanya tidak terbayang jika dua gerakan
kebudayaan itu tidak lahir dari rahim negeri tercinta. Jika keduanya
tidak ada, barangkali kita akan menyaksikan negeri ini mengalami
kehancuran peradaban layaknya Iraq, Syria, Mesir, Libya, Nigeria, dan
Yaman. Negara-negara tersebut kini terus membara karena gagal mengatasi
persoalan kemajemukan.
Artikel ini dimuat di Opini Jawa Pos 25 Mei 2015
No comments:
Post a Comment