Suara Muhammadiyah, 11/100, 13 - 27 SYAKBAN 1436 H / 1 - 15 JUNI 2015, hal. 48-49.
Oleh Ahmad Najib Burhani*
Dari segi jumlah penduduk, bangsa Indonesia sering berbangga
sebagai negara dengan jumlah populasi terbesar keempat di dunia. Dalam konteks
dunia Islam, Indonesia adalah negara dengan pemeluk umat Islam terbesar di
dunia. Namun dalam catatan sejarah, peran umat Islam Indonesia di dunia
internasional terlihat masih minimal. Tidak perlu membandingkan dengan
Pakistan, Iran, Turki, dan Saudi Arabia, dengan negara tetangga Malaysia-pun
sepertinya Indonesia masih kalah aktif.
Dulu pada tahun 1970-an, Indonesia memiliki tokoh yang
sangat diperhitungkan di dunia Islam semisal Mohamad Natsir. Ia cukup disegani
di berbagai negara dan bahkan menjadi salah satu pimpinan OKI (Organisasi Kerjasama
Islam) dan Rabitah Alam Islami. Terlepas dari pengaruh dari Saudi Arabia
terhadap dirinya, paling tidak Natsir memiliki suara yang cukup didengar di
dunia Islam. Semenjak kepergian Natsir, sepertinya Indonesia belum melahirkan
tokoh, pemikir ataupun pemimpin yang berskala Internasional. Inilah yang
membuat sebagian orang kadang mengungkapkan kerinduannya akan hadirnya orang
dari negeri ini yang mampu menjadi pemimpin dunia atau berperan secara
signifikan dalam percaturan global.
Tentu saja ada beberapa tokoh Muslim nasional yang sangat
hebat semisal Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Syafii Maarif.
Namun demikian, sebagai pemikir dan pemimpin, level mereka sepertinya masih
berskala nasional. Karya-karya dari Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafii hampir
seluruhnya berbahasa Indonesia dan belum banyak yang diterjemahkan ke bahasa
dunia. Karya tulis mereka belum menjadi rujukan akademik di dunia luar dan juga
belum banyak menjadi inspirasi dari gerakan Islam di luar negeri. Ini tentu
berbeda dari Muhammad ‘Abid al-Jabiri dari Maroko, Hassan Hanafi dari Mesir,
Mahmoud Muhammed Thaha dari Sudan, Muhammad Arkoun dari Al-Jazair, Abul A’la
Maududi dari Pakistan dan nama-nama lain yang bukunya banyak diterjemahkan ke
Bahasa Indonesia dan sering dijadikan referensi akademik di berbagai komunitas
ilmuwan di Indonesia.
Dulu kita memiliki Buya Hamka yang mendapat gelar Doktor
Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Mesir. Karya-karya Hamka, terutama
Tafsir Al-Azhar, juga banyak dipakai di Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand,
dan Singapura. Meski masih berada di level Asia Tenggara tentu kita sebagai
orang yang se-tanah air dengan Hamka merasa ada kebanggaan dengan kebesarannya.
Dulu sekali, kita memiliki Syaikh Nawawi Al-Bantani yang menulis karya-karya berbahasa
Arab. Meski seberapa besar pengaruh dari karya itu di dunia luar masih perlu
terus dikaji, tapi paling tidak karya-karyanya dapat ditemukan di beberapa
negara.
Memang sudah ada beberapa sarjana dari Inggris, Amerika
Serikat, Jepang, Belanda, dan Australia yang mempromosikan gagasan-gagasan dari
para pemikir Indonesia ke tingkat global. Orang semisal Carool Kersten, Greg
Barton, Greg Fealy, Mitsuo Nakamura, Robert Hefner, dan Martin van Bruinessen
adalah sarjana-sarjana asing yang memperkenalkan Islam Indonesia ke dunia luar.
Namun apa yang mereka lakukan pada dasarnya adalah suplemen, bukan langkah
utama untuk meningkat peran Indonesia di tingkat dunia.
Selain keterbatasan dalam hal pemikiran, dalam konteks
kepemimpinan dunia, tokoh-tokoh dari Indonesia juga belum banyak menjadi decision maker ke arah mana dunia ini
akan dibawa. Dulu kita kagum dengan Presiden Sukarno yang mampu menjadi
pemimpin dunia dan mengajak negara-negara lain bergabung dalam gerakan
Non-Blok, tidak mengikuti cara Amerika Serikat dan Uni Soviet (sekarang Rusia).
Pada zamannya, Sukarno adalah leader
dunia, bukan follower.
Aktivitas dan cara pandang bangsa ini terhadap percaturan
internasional itu seringkali terpengaruh oleh cara pandang kita terhadap konsep
negara-bangsa dan organisasi Internasional. Banyak dari kita yang terlalu fokus
dalam urusan dalam negeri dan menganggap urusan luar negeri tak terlalu
penting. Ini misalnya terlihat dari orang-orang yang dijadikan duta besar dan
wakil Indonesia di dunia internasional. Mereka seringkali dipilih dari orang
orang yang sudah tidak terpakai atau pensiun di dalam negeri.
Tentu saja memberikan tekanan dalam urusan dalam negeri
bukanlah sebuah kesalahan karena jika negaranya berhasil maka peran
internasional akan meningkat. Namun menutup mata dari diplomasi internasional
akan membuat sulit untuk pengembangan dalam negeri karena dunia ini saling
terkait satu dengan lain dan apa yag terjadi di luar sana memiliki dampak yang
cukup cepat terhadap apa yang terjadi di negeri ini. Radikalisme dan terorisme
adalah contohnya. Apa yang terjadi di Afghanistan, Pakistan, dan Timur Tengah
akan dengan cepat mempengaruhi Indonesia. Ketika ISIS (Islamic State of Irak
and Syria) mendirikan khilafah, tiba-tiba sudah ada beberapa orang yang
bergabung di sana dan beberapa orang di negeri ini juga berbai’at kepada
khalifah ISIS tersebut.
Kelemahan peran internasional dari umat Islam Indonesia
itulah yang sejak beberapa tahun terakhir dicoba ditutupi oleh Din Syamsuddin. Selain
secara pribadi aktif dalam berbagai pertemuan internasional, Din Syamsuddin
juga mengajak Muhammadiyah mulai keluar dari lingkup ke-Indonesiaan dan menjadi
gerakan yang meng-global.
Beberapa hal yang dilakukannya selama ini, diantaranya,
adalah dengan mempromosikan Muhammadiyah di berbagai forum dunia, mendorong
pendirian PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) di berbagai negera,
mendorong kerjasama luar negeri bagi berbagai amal usaha Muhammadiyah,
mengirimkan kader-kader Muhammadiyah untuk sekaloh di luar negeri. Selain itu,
Muhammadiyah juga terlibat aktif dalam penciptaan perdamaian di Thailand
selatan dan juga memberikan beasiswa kepada pelajar dari negeri itu untuk
melanjutkan studi di berbagai perguruan tinggi Muhammadiyah di Indonesia. Langkah-langkah
ini tentu perlu dilanjutkan oleh ketua umum Muhammadiyah yang akan datang jika
Muhammadiyah tak ingin hanya dipengaruhi oleh dunia global, tapi juga ikut
menentukan arah dunia.
-oo0oo-
Persyarikatan yang sudah berumur 104 tahun jalan dapat menjajajaki Negara Timur Leste dapat membangun Perguruan tinggi atau RS PKU Muhammadiyah. Apalagi Lahan sudah ada dan Negara tsb sudah mempersilahkan. Secara bertahap dapat dimulai TK ABA- SMA dan Balkesmas dahulu baru ada pengembangan selanjutnya.
ReplyDelete