Published On: Thu, Jul 31st, 2014
Muslimdaily.net -Di negeri ini banyak peraturan yang dibuat oleh para pemangku jabatan baik di pusat maupun di daerah. mulai dari Undang-Undang, Tap MPR, Perda Syariah hingga Perwali. Adakalanya peraturan yang dibuat itu sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sebagian lainnya dipandang memuat pasal-pasal multi tafsir bahkan merugikan kalangan tertentu, sehingga rawan digugat ke Mahkamah konstitusi (MK). Baru –baru ini, Undang-Undang no 42 tahun 2008 tentang Pilpres digugat oleh pakar hukum tata negara Prof. Yusril ihza mahendra (Koran Surya 22/1/2014). Di lain pihak, UU 42/2008 tentang Pilpres ini juga digugat Efendi ghazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak. MK memutuskan penyelenggaraan pileg dan pilpres serentak baru bisa diterapkan pada 2019. Dengan pemilu serentak, keuntungannya bisa menghemat waktu dan biaya. Tak hanya itu saja, dampak putusan MK ini membuat ambang batas pencalonan presiden yang sekarang minim 20% otomatis tidak berlaku. Maka dari itu setiap parpol yang berlaga di pemilu 2019 bisa mengusulkan capres masing-masing (Koran Surya 24/1/2014).
Adapun kerugian dari pemilu serentak ialah Parpol makin mengandalkan ketokohan dan tahapan pemilu lebih kompleks (Kabar pemilu TV One 24/1/2014).
Berbicara tentang Yusril, apabila kita telusuri kiprahnya dalam menggugat ketidakberesan implementasi hukum di negeri ini, total sudah 7 kali memenangkan judicial review di MK (Net TV 2/2/2014). Dia pernah memenangkan gugatan atas status jabatan Jaksa agung Hendraman Supanji. Di luar MK misalnya ketika berperkara di PTUN, dia menang atas putusan KPU yang mana Partai PBB sempat diputuskan tidak lolos verifikasi faktual. Yang paling fenomenal, Yusril lolos dari kasus korupsi Sisminbakum. Bukan karena suap melainkan karena pihak Kejaksaan masih minim bukti. Apa yang dilakukan oleh Yusril sebetulnya juga dilakukan oleh Ormas Muhammadiyah melalui Ketua umumnya M. Din syamsuddin.
Artikel ini akan mendeskripsikan peranan Muhammadiyah dalam mengkritisi dan menggugat Undang-undang yang merugikan dirinya, kepentingan negara dan masyarakat pada umumnya ke MK. Karena mekanisme ormas sudah kalah oleh mekanisme partai, maka menurut pihak Muhammadiyah hal ini perlu ditempuh. Inilah sebuah misi yang dinamakan “jihad konstitusi”. Misi ini dijadikan pula dalam agenda tajdid Muhammadiyah ketika menginjak umur seabad (Koran fakta 15/11/2012).
Sebetulnya Muhammadiyah melalui elitnya tidak hanya mengkritisi tetapi juga memback-up sebuah Undang-Undang yang sudah sesuai untuk kebutuhan masyarakat khususnya umat Islam. Undang-undang yang penulis maksud adalah UU PNPS tahun 1965. Muhammadiyah, NU beserta ormas Islam lainnya bersatu padu dalam membendung agenda kalangan liberal dalam Judicial review Undang-Undang No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penodaan agama (PPA). Boleh dibilang ini adalah peluru terakhir dari kalangan liberal yang tergabung dalam sebuah LSM bernama AKKBB, Setara, Desantara dan lain-lain. Dalam gugatannya, kalangan liberal meminta kepada MK untuk mencabut keberadaan lima norma dalam UU Penodaan agama, yakni pasal 1 mengenai larangan menyebarkan agama yang berbeda dengan penafsiran agama yang dianut di Indonesia. Kemudian pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 3 dan pasal 4a. Para pemohon dari kalangan liberal itu juga berargumen UU PNPS ini bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Hak asasi manusia (Adian husaini dkk, 2010). Pasalnya jika gugatan ini gagal maka cita-cita kebebasan beragama yang mereka usung pasti buyar dan kucuran dana dari Barat akan terhenti. Untungnya MK menolak gugatan kalangan liberal tersebut.
Prestasi fenomenal Muhammadiyah adalah ketika menang gugatan terhadap UU Migas. Gugatan itu didasari karena kebijakan pemerintah dan juga regulasi yang kurang berpihak pada pembentukan kesejahteraan. Apalagi dalam bidang ekonomi, terlalu membuka pintu bagi asing. Hasil dari dikabulkannya permohonan ini adalah pembubaran BP Migas (detiknews 16/11/2012). Pasca bubar, beberapa saat kemudian berganti nama menjadi SKK Migas. Sayangnya, lembaga baru ini juga tak sepi dari kasus suap yang melibatkan mantan kepala SKK Migas Rudi rubiandini dan bos Kernel Oil.
Setelah sukses dengan UU Migas, Muhammadiyah menggugat UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Beberapa Pasal yang digugat adalah Pasal 7 ayat (4), Pasal 17, Pasal 21, Pasal 25 ayat (5), Pasal 62, Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 64 ayat (1). Pasal-pasal ini mewajibkan rumah sakit harus dikelola di bawah naungan badan hukum yang bergerak di bidang perumahsakitan (merdeka 18/4/2013). Din Syamsuddin menilai aturan dalam pasal tersebut merugikan karena membuat banyak rumah sakit Muhammadiyah tidak bisa beroperasi, jika rumah sakit serta klinik milik Muhammadiyah telah habis masa izin prakteknya maka tidak bisa diperpanjang. Oleh karena itu, dalam permohonannya, Muhammadiyah meminta kepada MK untuk membatalkan pasal-pasal yang digugat.
Selain UU Rumah sakit, Muhammadiyah berada digarda terdepan dalam menggugat UU Ormas. Muhammadiyah menilai UU tersebut terlalu mengikat kebebasan berserikat. Sikap konsisten Muhammadiyah dalam menolak UU Ormas ini berpengaruh kepada Partai Amanat Nasiaonal yang diketahui memiliki kedekatan emosional dengan ormas terbesar kedua di Indonesia. Dalam sidang Paripurna, Sebanyak 6 faksi yakni Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, PPP, dan PKB mendukung pengesahan UU Ormas, hanya Fraksi PAN beserta Gerindra dan Hanura yang menolak. Uniknya saat perwakilan dari fraksi PAN menjelaskan penolakan partai akan UU Ormas ini, sempat terdengar teriakan “Pecat besan!” dari salah seorang legislator, entah dari fraksi mana. Ketua Umum PAN Hatta Rajasa memang dikenal sebagai besan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (Koran Surya 3/7/2013).
Jihad Konstitusi ala Muhammadiyah perlu kita dukung karena masih banyak aturan-aturan dan kebijakan yang sifatnya diskriminatif serta menguntungkan kalangan tertentu. Bisa penulis sebutkan misalnya: larangan berjilbab bagi Polwan, Kontroversi Pekan Kondom Nasional (PKN) yang dicanangkan oleh Menkes Nafsiah Mboi, hingga Program Jaminan Kesehatan Nasional yang sejatinya bukan jaminan kesehatan nasional, akan tetapi sistemnya seperti asuransi kesehatan nasional. Ormas-ormas Islam lainnya maupun para akademisi di kampus dan praktisi di LSM perlu mengikuti jejak Muhammadiyah. Bukankah ini bagian dari amar ma’ruf nahi munkar?. Wallahu’allambishowab
Penulis: Fadh Ahmad Arifan (Dosen STAI al-Yasini, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur)
http://www.muslimdaily.net/opini/jihad-konstitusi-ala-muhammadiyah.html
No comments:
Post a Comment