Sudarnoto Abdul Hakim | Merawat Catatan Mbah-mbah Muhammadiyah | Jakarta
Harian Kompas edisi 13 Januari 2015 menurunkan sosok Sudarnoto Abdul Hakim. Ia adalah perawatan catatan-catatan yang luput dari radar dokumentasi resmi; terutama ormas sebesar Moehammadijah. Usaha pengarsipan dan perawatan naskah sudah menjadi tugas negara. Tapi keterlibatan individu yang sadar juga dibutuhkan ketika tradisi arsip belum menjadi kultur masyarakat. Berikut ini adalah laporan minibiografi Sudarnoto Abdul Hakim yang diturunkan Kompas dan ditulis oleh Imam Prihadiyoko. (Redaksi)NASKAH lama, tulisan-tulisan tentang Islam, yang dibuat oleh mbah-mbah Muhammadiyah banyak yang belum dibukukan. Tulisan itu sebagian besar juga masih berupa tulisan tangan yang ditulis dalam lembaran lepas. Sebagian besar tulisan itu berbahasa Jawa dan ditulis dengan huruf Latin, tetapi tidak sedikit juga yang menggunakan huruf Arab yang dikenal sebagai Arab Jawi.
Itulah yang menjadi kerisauan Sudarnoto Abdul Hakim (56). Aktivis Persyarikatan Muhammadiyah, yang saat ini sedang mengumpulkan naskah, tulisan, dan catatan lama yang dibuat oleh tokoh Muhammadiyah, dan guru-guru Muhammadiyah, ini tidak ingin catatan dan tulisan tersebut hilang ditelan zaman. Apalagi, pendidikan formal yang ditekuninya juga berlatar belakang sejarah Islam.
Ia khawatir jika warisan para guru Muhammadiyah yang amat berharga bagi perkembangan peradaban Islam dan Indonesia itu tidak didokumentasikan dengan baik, bisa hilang dari sejarah peradaban.
Padahal, catatan tentang sebuah ayat atau terjemahan dan penjelasan dari tulisan yang mereka baca ketika itu, menurut Sudarnoto, amat berharga bagi sejarah Islam.
”Apalagi, ada tulisan dari para tabi’ut dan tabi’ut tabi’in tokoh pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dan Ki Bagus Hadikusumo yang amat berharga. Dan kita sekarang sebagai generasi setelahnya, perlu mempelajari dan mendokumentasikan semua catatan tersebut,” ujar suami Nuraina Silin ini, pekan lalu.
Keberadaan naskah tersebut, menurut Sudarnoto, merupakan salah satu bukti bahwa para guru, mbah-mbah Muhammadiyah, merupakan intelektual Islam. Sebagian catatan itu sudah dicetak. Hal itu membuktikan bahwa mereka pun sadar akan bentuk publikasi tentang keilmuan.
Tulisan dan berbagai catatan yang dibuat juga memperlihatkan pemikiran yang amat luas, terbuka, dan maju. Meskipun mereka menuliskan catatan tersebut awalnya mungkin hanya untuk tujuan mengajarkan Islam kepada murid-murid mereka.
Relevan
Dari sejumlah naskah yang sudah dikumpulkan dan dibacanya, ayah empat anak ini mengungkapkan, tulisan tersebut relevansinya masih sangat dekat dengan keislaman dan keindonesiaan sekarang. Sebagian besar tafsir Jus Amma. Ada naskah terjemahan. Ada yang berbicara soal peradaban dan cara membangun peradaban bangsa. Ada catatan tentang perjalanan negeri ini dan komentar mereka tentang peristiwa yang terjadi ketika itu. Ada juga tentang catatan pengajian biasa, tetapi diberikan catatan penting tentang tafsir mereka.
”Semua itu penting dalam peradaban Islam Indonesia untuk membangun bangsa ini dengan elemen Islam dalam kebangsaannya,” ujar ayah empat anak ini.
Klop sudah. Sudarnoto yang hidupnya amat dekat dengan orang- orang yang menjadi ahli waris catatan tersebut berniat membukukan dan memublikasikannya. Saat memulai obsesinya ini, Sudarnoto tidak ingin dibilang terlalu bercita-cita muluk.
Pria yang selalu ramah dengan semua orang ini mengerjakan dari hal-hal yang bisa dikerjakannya sendiri dan dari catatan yang berserakan di keluarga besarnya. Ia mulai mengumpulkan tulisan-tulisan tangan dari orangtuanya, kakeknya, pamannya, dan lainnya.
Putra tertua dari lima bersaudara pasangan Zaini Ibrohim (almarhum) dan Syamchah ini pun tidak segan bertanya dan mendatangi banyak pihak yang mungkin masih menyimpan catatan-catatan mengaji yang dimiliki leluhur mereka.
Sudarnoto, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Rektor Universitas Islam Negeri Syarih Hidayatullah ini, juga mengajak kader-kader muda Muhammadiyah untuk ikut mengumpulkan catatan ataupun tulisan dari mbah-mbah Muhammadiyah.
”Kalau ada yang menemukan buku atau tulisan para tokoh Muhammadiyah dan sekarang tidak diterbitkan lagi, bisa ditulis ulang dan diterbitkan agar lebih banyak yang mendapatkan manfaat dari tulisan tersebut,” ujar cucu penghulu Banjarnegara dan Temanggung, Jawa Tengah, ini.
Dengan cara inilah Sudarnoto berharap bisa mengikuti jejak para penggerak Persyarikatan Muhammadiyah, yang selalu menularkan nilai universal, bersikap plural, mampu membumikan Islam dengan masyarakat dan budaya setempat, serta diakui di dunia Islam.
Sudarnoto Abdul Hakim
Lahir: Kauman Banjarnegara, Jawa Tengah, 3 Februari 1959
Istri: Nuraina Silin
Anak: Farah, Adaby, Sarah, dan M Januar
Pendidikan:
– Doktor, Sejarah dan Pemikiran Islam (cum laude) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2006)
– Master, Sejarah dan Pemikiran Islam, Institute Islam Sudies, McGill University, Montreal, Kanada (1993)
– Sarjana, Sejarah dan Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1986)
– BA, Sejarah Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1981)
– Pesantren Persis Bangil, Jawa Timur (1978)
– PGA, Muhammadiyah Temanggung, Jawa Tengah (1973)
– SD, Muhammdiyah Temanggung, Jawa Tengah (1972)
Buku/Tulisan:
– Al-Islam wal Qanun wa al-Dawlah fi Fikr Ki Bagus Hadikusumo wa Dawrihi, Studi Islamika, vol.21 number 1 (2004)
– Rekonstruksi Ilmu Peradaban dan Humaniora
– Integrasi Keilmuan UIN Syafih Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset
– Gus Dur Dalam Sorotan Cendekiawan Muhammadiyah
– NU, Khittah dan Godaan Politik
– ABIM: Dinamika Islam Politik Malaysia Kontemporer (Jakarta: UHAMKA Pers, 2009)
No comments:
Post a Comment