Pradana Boy ZTF
AWAL dasawarsa 2000an, merupakan sebuah era penting bagi sejarah
pemikiran Islam di Muhammadiyah. Itu setidaknya ditandai dengan kelahiran dua
lembaga pemikiran yang sebagian besar dimotori aktivis-pemikir muda, yakni
Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) dan Ma’arif Institute for Culture and
Humanity. Lembaga yang disebut pertama belakangan sudah jarang terdengar,
sementara yang kedua semakin aktif dan berkembang dengan segala macam variasi
aktivitas yang bermuara pada penyebaran gagasan Islam yang inklusif, memihak
dan partisipatoris.
Perkenalan saya dengan Maarif Institute bermula
pada tahun 2003, ketika gagasan menghimpun potensi intelektual yang berserak di
kalangan generasi muda Muhammadiyah mengkristal. Ada fakta yang tak bisa
ditutup-tutupi bahwa di sejumlah tempat di Indonesia, terdapat elemen generasi
muda Muhammadiyah yang mengabdikan diri pada dunia olah fikir dan
kemasyarakatan. Secara tak disadari pula berbagai elemen ini sesungguhnya
memiliki kesamaan cita-cita: menghimpun potensi berserak tersebut. Tapi dari
mana hendak dimulai dan oleh siapa?
Pada situasi seperti inilah, Maarif Institute memainkan
perannya. Maarif Institute menjadi titik simpul berhimpun. Kristalisasi gagasan
itu pada akhirnya mewujud dalam kelahiran sebuah jejaring aktivis kultural anak
muda Muhammadiyah yang kemudian dikenal sebagai Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah (JIMM). Keduanya lalu menjadi dua entitas yang tak terpisahkan dan
saling menguatkan, bahkan jika diibaratkan Maarif Institute adalah bidan yang
menangani kelahiran JIMM.
Maka gagasan “menghimpun potensi berserak”
itupun mendapatkan momentumnya. Maarif Institute dan JIMM lalu benar-benar
menjadi simpul pengembangan dan pematangan gagasan di kalangan aktivis dan
pemikir muda Muhammadiyah. Di sinilah untuk pertama kali saya bertemu dengan
Dr. Moeslim Abdurrahman (1948-2012), yang selama masa pendidikan sarjana saya,
hanya saya kenal lewat buku atau media massa. Pada tahun 1996, sebagai mahasiswa
tingkat sarjana di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, saya
membaca sebuah jurnal terbitan fakultas di mana saya belajar, Ulumuddin nama jurnal itu. Jurnal itu
memuat wawancara dengan Dr. Moeslim Abdurrahman. Saya menikmati wawancara itu
dan menemukannya sebagai sebuah refleksi intelektual yang memantik pemikiran
lebih dalam. Sejak saat itulah, saya semakin mengakrabi gagasan-gagasan Kang
Moeslim.
Maka pertemuan secara fisik dan pribadi dengan
Kang Moeslim di Maarif Institute pada tahun 2003 memang menjadi titik penting bagi
petualangan intelektual saya. Melalui Maarif Institute dan JIMM pulalah, saya
mengenal secara lebih dekat nama besar lainnya, Prof Ahmad Syafii Maarif yang
lebih akrab dengan panggilan Buya Syafii.
Buya Syafii tak hanya memberikan dukungan moral
kepada JIMM tatkala jejaring ini menebar kontroversi, lalu menuai kecaman dan
penolakan dari berbagai kalangan di Muhammadiyah. Tetapi Buya Syafii dengan
caranya sendiri juga secara cermat mengikuti perkembangan individual
aktivis-pemikir muda Muhammadiyah ini. Itu yang saya rasakan tatkala di awal
2004, saya tiba-tiba mendapatkan panggilan telepon dari Kang Moeslim. Ia
mengabarkan bahwa Buya Syafii membaca sebuah artikel saya tentang hermeneutika di
Harian Republika dan menyampaikan
apresiasi yang sangat tinggi atasnya.
Tak hanya itu, arti penting Maarif Institute sebagai
titik simpul adalah karena di sinilah untuk pertama kalinya saya berjumpa
dengan tokoh-tokoh muda Muhammadiyah yang saat itu telah mapan sebagai intelektual
publik seperti Zuly Qodir, Zakiyuddin Baidhawy, Ahmad Najib Burhani, dan Hilman
Latief. Atau nama-nama lainnya yang saat itu tengah beranjak menapaki karier
intelektual publik dan sekarang telah banyak mewarnai belantara pemikiran Islam
dan sosial di tanah air seperti Ahmad Fuad Fanani, Andar Nubowo, Fajar Riza
ul-Haq, David Krisna Alka, dan Hilaly Basya.
Melalui Maarif Institute dan JIMM, Kang Moeslim menjadi mentor
intelektual yang tangguh bagi banyak aktivis-pemikir muda Muhammadiyah. Ia adalah
seorang pedagog ulung. Kang Moeslim mengajarkan banyak hal, tanpa kami merasa
diajari. Ia mengajar secara transformatif. Gagasan transformasi yang ia
kembangkan, tak hanya berhenti pada teori. Ia membimbing kami dalam totalitas:
waktu, ilmu, raga, materi. Maka mustahil memisahkan nama Moeslim Abdurrahman
dari geliat kebangkitan intelektual muda di Muhammadiyah setidaknya dalam satu
dekade terakhir ini.
Kang Moeslim pernah berujar tentang Cak Nur, yang ia sejajarkan dengan
Kiai Ahmad Dahlan. Menurut Kang Moeslim, keduanya adalah contoh orang-orang
yang memiliki kemampuan “nubuwah”
atau kenabian. Yakni, kemampuan membaca tanda-tanda zaman, dan melalui pembacaan
itu lalu merumuskan postulat-postulat perubahan sosial pada masanya. Kedua
orang ini, kata Kang Moeslim, adalah contoh aktivis-pemikir yang berhasil
menemukan kunci-kunci hermeneutika sosial pada zamannya.
Meskipun tak pernah mengakuinya, sesungguhnya Kang Moeslim pun telah
menemukan kunci-kunci hermeneutika dalam membaca masyarakat Islam. Istilah seperti
“dosa sosial”, “kemunkaran sosial”, dan “yatim sosial” adalah di antara
kunci-kunci hermeneutis yang diwariskan Kang Moeslim kepada dunia intelektual
Indonesia. Segaris dengan itu, maka Kang Moeslim tak pernah bosan berpetuah
agar kami berjuang menjadi “nabi-nabi sosial” baru untuk perbaikan masyarakat.
“Tetapi menjadi nabi tidaklah mudah,” begitu kata Kang Moeslim. Harus ada di
antara kalian, kata Kang Moeslim, yang belajar bersungguh-sungguh, “bertapa”
secara serius untuk mengasah kemampuan nubuwah
itu. Tentu tidak dalam arti kenabian sebagaimana kita fahami secara teologis.
Maarif Institute dan JIMM adalah dua simpul kepada siapa kita bisa
bergantung untuk lahirnya “nabi-nabi” yang mampu memecahkan kunci-kunci
hermeneutis sosial baru pada setiap zaman. Itu menjadi mutlak adanya, karena dari
situlah perubahan sosial bermula.
Pradana
Boy ZTF, dosen Universitas
Muhammadiyah Malang (UMM). Kandidat doktor sosiologi hukum Islam di National
University of Singapore (NUS).
http://jimm-indonesia.org/
No comments:
Post a Comment