Umat Islam Harus Segera Bangkit
Suara Muhammadiyah, 03/100 - 11-25 Rabiul Akhir 1436 H/ 1-15 Februari 2015, h. 48-49
Suara Muhammadiyah, 03/100 - 11-25 Rabiul Akhir 1436 H/ 1-15 Februari 2015, h. 48-49
Ahmad
Najib Burhani*
Beberapa kajian telah dilakukan untuk
melihat mengapa umat Islam sepertinya selalu kalah di Indonesia. Salah satu
temuan dari kajian itu misalnya menyebutkan bahwa umat Islam Indonesia itu
merupakan mayoritas dalam jumlah, tapi memiliki mentalitas sebagai minoritas.
Istilah yang sering dipakai adalah minority
complex. Penyakit minority complex
ini tentu biasanya dialami oleh kelompok minoritas. Ini terwujud, misalnya, ketika
mereka melihat sesuatu yang unique yang ada pada mereka sebagai suatu
penyimpangan atau keanehan. Mereka melihat uniqueness sebagai kelemahan atau
bahkan sebagai problem atau masalah. Namun minority
complex juga bisa terjadi pada kelompok mayoritas, seperti terjadi pada
umat Islam Indonesia yang secara kuantitas mencapai hamper 90 persen dari total
penduduknya. Penyakit inilah yang diantaranya yang menyebabkan sebagian umat
Islam selalu berpikir tentang ancaman dari kelompok minoritas, hidup dalam
bayang-bayang ketakutan, dan sulit berpikir sebagai bangsa atau umat yang
besar. Orang yang menderita minority
complex ini biasanya akan merasa perlu bantuan kekuasaan untuk bisa
memperoleh sesuatu yang semestinya bisa diperoleh tanpa melalui bantuan
kekuasaan.
Fenomena ini juga bisa dilihat dengan
kajian pos-kolonialisme, bahwa mentalitas atau minority complex sebagai warisan dari masa kolonial. Dalam
perspektif ini, apa yang terjadi di Indonesia ini bisa dijelaskan dengan
melihat fenomena beberapa negara bekas jajahan negara lain. Meski penjajah
telah meninggalkan negeri jajahannya, sifat dan mentalitas sebagai bangsa
jajahan masih melekat pada sebagaian rakyat dan kebetulan mereka yang menjadi
penguasa juga ingin berperilaku seperti penjajah.
Sikap dan mentalitas seperti itu diciptakan
atau ditanamkan oleh penjajah untuk melanggengkan kekuasaannya. Ini misalnya
terwujud dalam penamaan inlander kepada
pribumi, sebagai bentuk diskriminasi sosial. Pada zaman colonial kelompok
openjajah menciptakan tiga kelas yang berbeda, yaitu: kelompok penjajah kulit
putih (Europeanen) sebagai kelas sosial
tertinggi. Kelopok berikutnya yang menjadi kelompok sosial kelas dua adalah orang
Arab, India dan Tionghoa. Istilah yang biasanya dipakai adalah Vreemde Oosterlingen (Timur Asing).
Mereka sering menjadi mediator atau broker antara kelas atas penjajah dan
kelompok masyarakat kelas tiga yang merupakan pribumi atau inlander.
Dengan sistem kelas sosial ini, maka kelas
paling bawah diharapkan terus menghamba kepada orang asing. Sistem kelas ini
kemudian ditiru atau dilanjutkan oleh oleh Orde Baru dengan menjadikan kelompok
Tionghoa sebagai kelompok pedagang, tidak menjadi aparat pemerintah. Diskriminasi
ini diperparah dengan politik Orde Baru yang tidak berpihak kepada umat Islam.
Pada awal pemerintahan Orde Baru, umat Islam yang taat sering dianggap sebagai
ancaman terhadap negara karena mereka dianggap memiliki loyalitas ganda ke
negara dan agama.
Adakah persoalan lain yang membuat kita
ketinggalan selain isu minority complex?
Tentu ada, diantaranya adalah ketidakmampuan kita berpikir luas, keluar dari
bingkai kelompok agama. Kasus yang terjadi di Mesir dan Tunisia menunjukkan
bahwa ketika umat Islam mendapat kesempatan memimpin atau mendapat kekuasaan,
maka yang pertama kali diurus atau diperhatikan seringkali adalah urusan
kelompok agama saja. Ketika Ikhwanul Muslimin memenangkan pemilu di Mesir pasca
Arab Spring. Ikhwanul Muslimin mendapat suara terbanyak dan Mohamed Morsi
terpilih menjadi presiden. Namun baru satu tahun memimpin, banyak rakyat Mesir
yang merasa dikecewakan. Rasa kecewa itu kemudian memberi kesempatan kepada
militer untuk melakukan kudeta dengan menggunakan kekuatan rakyat.
Demikian pula halnya yang terjadi di
Tunisia dengan Partai Ennahda. Nasibnya memang tak seburuk Ikhwanus Muslimin di
Mesir. Partai ini juga lebih terbuka terhadap perbedaan dan pluralitas di
masyarakat dengan berusaha merangkul beragam kelompok dan menjembatani berbagai
perbedaan. Bahkan banyak yang melihat partai ini jauh lebih baik dari AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi) di Turki. Namun
pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Moncef Marzuki dari Ennahda Party
akhirnya kalah dalam pemilu yang diadakan tiga tahun setelah Arab Spring.
Mereka dianggap tak bisa memuaskan harapan berbagai kelompok kepentingan di
masyarakat.
Untuk di Indonesia, hal serupa terjadi
dengan partai-partai Islam seperti PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Ketika
orang dari partai ini mendapat mandat menjadi menteri di kementerian tertentu,
isu yang berkembang adalah bahwa kementerian itu hanya menjadi sapi perahan. Pejabat
dan staf di kementerian itu diganti dengan orang partai atau di-PKS-kan. Benar
atau tidaknya isu ini tentu masih perlu dibuktikan. Tapi mencuatnya “skandal
sapi” menunjukkan bahwa apa yang selama ini dituduhkan kepada PKS mendapat
semacam pembenaran. Tentu saja ini tidak hanya terjadi di PKS, tapi juga
partai-partai lain yang berbasiskan Islam semisal PKB (Partai Kebangkitan
Bangsa) dan PAN (Partai Amanat Nasional). Jika itu terjadi pada partai yang tak
membawa label agama, maka ada sedikit maklum meski tetap saja tak bisa
diterima. Namun jika itu terjadi pada partai yang membawa bendera Islam, maka
sepertinya dosanya lebih besar.
Cara berpikir sektarian, hanya untuk partai
atau kelompok agamanya, ini diantaranya yang membuat Islam kalah atau orang tak
percaya dengan partai Islam lagi. Umat Islam ini masih sulit berpikir atau
berjuang dengan melepaskan belenggu kelompok. Meminjam bahasa Buya Ahmad Syafii
Maarif, mestinya kita sudah membalikkan cara berpikir kita dari “ke-Muhammadiyahan,
ke-Indonesiaan, dan kemanusiaan” menuju “kemanusiaan, kebangsaan, dan
ke-Muhammadiyahan”. Namun yang terjadi tetap pada pola yang pertama.
Ringkasnya, paling tidak ada dua persoalan yang sering membuat umat Islam
kalah, pertama adalah “minority complex” dan yang kedua adalah cara berpikir sektarian
atau kekelompokan.
--oo0oo--
Download file
No comments:
Post a Comment