Tuesday, April 13, 2010

Agenda Tajdid Muhammadiyah di Bidang Pemikiran dan Amal Kemasyarakatan

Oleh Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag

ISLAM adalah agama Allah yang ajarannya secara garis besar mencakup empat aspek: (1) Aqidah: Aspek keyakinan terhadap Allah, para Malaikat, Kitab-kitab Suci, para Nabi dan Rasul, Hari Akhir dan Taqdir; (1) Ibadah: Segala cara dan upacara pengabdian kepada Allah (ritual) yang telah diperintahkan dan diatur tata cara pelaksanaannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya; (3) Akhlaq: Nilai dan prilaku baik yang harus diikuti seperti sabar, syukur, tawakkal, berbakti pada kedua orang tua, berani dan lain sebagainya, serta nilai dan prilaku buruk yang harus dijauhi seperti sombong, takabur, dengki, riya, durhaka kepada kedua orang tua dan lain sebagainya; dan (4) Mu’amalah: Aspek kemasyarakatan yang mengatur pergaulan hidup manusia di atas bumi, baik tentang harta benda, pernjanjian-perjanjian, ketatanegaraan, hubungan antara negara dan lain-lain sebagainya.[3]

Keempat aspek ajaran Islam itu bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah atau Hadits Nabi Muhammad SAW. Berbeda dengan Al-Qur’an yang seluruh ayat-ayatnya bersifat qath’iyyah ats-tsubût (validitasnya sebagai wahyu Allah SWT diakui secara mutawâtir), hadits baru dapat dijadikan sumber apabila validitas dan otentitasnya telah teruji dengan kriteria yang diakui oleh para ulama hadits, baik yang menyangkut sanad maupun matan hadits. Hadits-hadits yang masuk kategori mutawâtir semuanya dijadikan sumber, sementara hadits-hadits ahâd yang dapat dijadikan sumber hanyalah yang masuk kategori shahîh dan hasan. Hadits dha’îf hanya dapat digunakan sebagai pelengkap, misalnya untuk menjelaskan keutamaan amalan tertentu yang keberadaannya ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an dan hadits mutawâtir, shahîh atau hasan.

Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an hadits atau sunnah berfungsi sebagai bayân dalam tiga kategori: (1) Bayân Tafsîr; yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak, seperti hadits Shallû kamâ raaitumûni ushalli adalah tafsir dari ayat-ayat yang memerintahkan untuk mendirikan shalat; (2) Bayân Taqrîri, yaitu memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an seperti hadits shûmû li ru’yatihi adalah memperkokoh ayat faman syahida minkum asy-syahra fal yashumhu (Q.S. Al-Baqarah 2:185); (3) Bayân Taudhîhi, yaitu menerangkan maksud dan tujuan suatu ayat seperti pernyataan Nabi, “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu”, adalah taudhîhi dari surat At-Taubah ayat 34.

Segala sesuatu mengenai hidup dan kehidupan sudah diatur oleh Al-Qur’an dan Sunah, tapi tidak semuanya bersifat terperinci, ada yang diatur garis besar atau prinsip-prinsipnya saja. Untuk menetapkan hal-hal yang belum diatur hukumnya, atau untuk mengembangkan aspek-aspek yang Al-Qur’an baru memberikan prinsi-prinsipnya Nabi memberikan kesempatan kepada para ulama mujtahidin untuk melakukan ijtihad baik dengan menggunakan metode ijmâ, qiyâs, istihsân, mashâlih mursalah atau metode lainnya.

Sebagai produk akal pikiran keputusan ijtihad tidak bersifat absolut, tapi bersifat relatif, dalam pengertian selalu terbuka untuk menerima koreksi dengan argumen-argumen yang lebih kuat. Tentu saja ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.

Dari uraian di atas tampaklah bagi kita bahwa aspek aqidah,. Akhlaq dan ibadah bersifat tertutup, sedangkan aspek mu’amalah terbuka. Tajdid dalam Muhammadiyah ditujukan baik kepada ajaran Islam yang bersifat tertutup maupun yang terbuka. Untuk ajaran Islam yang bersifat tertutup, tajdid dilakukan dalam bentuk purifikasi atau pemurnian. Sedangkan untuk ajaran Islam yang bersifat terbuka, tajdid dilakukan dalam bentuk dinamisasi, reformasi, reinterpretasi, reaktualisasi atau apa pun istilahnya. [4]

Aqidah Islam haruslah dipastikan murni berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak bercampur dan dicampurkan dengan keyakinan lain yang datang dari Islam.[5] Keyakinan tauhid misalnya, harus dimurnikan dari segala unsur kemusyrikan, takhayul dan khurafat. Purifikasi tauhid inilah yang dilakukan oleh Muhammadyah sejak awal berdirinya sampai sekarang dan tidak akan pernah berhenti pada masa yang akan datang. Setiap zaman punya tantangan sendiri-sendiri. Jika pada masa yang lalu Muhammadiyah banyak berhadapan dengan praktek tawasul, kultus individu terhadap orang-orang yang dianggap wali dan memiliki keramat, kepercayaan kepada klenik, mistik, perdukunan dan sejenisnya, maka pada masa sekarang ini, di samping tantangan lama belum sepenuhnya habis, muncul tantangan baru berupa faham sinkretisme dan relativisme agama, keyakinkan bahwa semua agama benar, semua pemeluk agama akan masuk sorga. Faham bahwa pada hakikatnya Tuhan adalah Satu tapi dengan nama yang berbeda-beda, dengan cara penyembahan yang juga berbeda-beda (perenialisme). Ujungnya tetap saja kepada sinkretisme agama, relativisme agama bahkan sampai kepada pluralisme agama. Penggunaan istilah pluralisme agama memang mengundang konroversi. Satu pihak, seperti MUI mendefenisikan pluralisme agama dalam pengertian pembenaran semua agama, tetapi pihak lain menyatakan pluralisme agama adalah sikap mengakui dan menghormati keragaman agama dengan tetap meyakini kebenaran agama masing-masing. Untuk pengertian yang kedua ini, saya lebih cenderung menggunakan istilah prulitas agama, bukan pluralisme agama.

Pluralitas dalam Islam bukanlah sesuatu yang baru, baik pluritas yang bersifat alami, kodrati, seperti perbedaan warna kulit, bahasa, suku bangsa, maupun pluralitas hasil konstruksi sosial budaya, seperti pemikiran, kebudayaan, peradaban, bahkan pluralitas agama. Di dalam intern umat Islam sendiripun kita sudah lama mengenal pluralitas, keberadaan aliran-aliran teologis dan mazhab-mazhab fiqih misalnya adalah contoh pluralitas internal umat Islam. Lalu ada apa dengan pluralitas?

Pluralitas menjadi persoalan tatkala dijumbuhkan dengan pluralisme. Dalam pemahaman saya pluralitas berbeda dengan pluralisme. Pluralitas adalah mengakui keberadaan segala sesuatu yang berbeda, tetapi pluralisme adalah mengakui kebenaran semua yang berbeda. Harus ada pembedaan antara mengakui keberadaan dengan mengakui kebenaran. Untuk lebih jelasnya kita ambil contoh pluralitas yang paling sensitif dan paling menentukan dari semua pluralitas yang lain, yaitu agama. Islam mengakui keberadaan semua agama, bahkan sebagaimana keberadaan orang-orang yang anti agama dan anti Tuhan pun diakui. Semua agama-agama itu mempunyai hak hidup bersama dengan agama Islam itu sendiri. Tetapi Islam hanya mengakui kebenaran satu agama, yaitu agama Allah yang sepanjang masa dinamai dengan Islam. Menurut Al-Qur’an Islam adalah satu-satunya agama yang diturunkan dan diridhai Allah SWT untuk umat manusia. Barangsiapa yang mencari agama selain dari pada Islam, niscaya tidak akan diterima oleh Allah SWT. Doktrin ini ditegaskan Allah dalam dua ayat berikut ini:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” ( Q.S. Ali Imran 3:19)

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di Akhirat termasuk orang-orang yang merugi”. (Q.S. Ali Imran 3:85)

Sebagai konsekuensi dari doktrin bahwa Islam lah satu-satunya agama yang benar di sisi Allah, maka Islam menolak kebenaran agama-agama yang lain. Tapi doktrin ini jangan dipahami bahwa apapun yang datang dan diajarkan oleh agama-agama yang lain ditolak kebenarannya. Bisa saja sebagian dari ajaran agama-agama yang lain diakui kebenarannya oleh Islam, dan sebagian lagi ditolak. Tolak ukurnya adalah kebenaran yang diajarkan oleh Islam. Metode penilaian benar atau tidaknya suatu ajaran dibedakan dari segi aspeknya.

Dalam hubungannya dengan kebenaran yang ada pada agama lain, dalam aspek tiga aspek yang pertama, semua ajaran yang terdapat pada agama lain dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan dalam aspek mu’amalah, semua ajaran agama lain dinilai benar apabila tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam konteks inilah dapat dipahami hadits Nabi yang menyatakan al-hikmah itu adalah baranghilang milik orang yang beriman, dia dapat mengambilnya di manapun ditemukannya.

Pluralitas, bukan pluralisme, sudah diterapkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam masyarakat Madinah. Dalam Piagam Madinah Rasulullah SAW memperlakukan sama semua warga negara (Madinah) dalam masalah hak dan kewajibanya, termasuk dalam membela dan mempertahankan negara dari serangan musuh-musuh, tanpa membedakan suku, ras dan agama. Hak orang-orang Yahudi sama dengan hak-hak orang Islam. Tapi sayang sekali, komunitas Yahudi Madinah mengkhianati kepercayaan yang diberikan oleh Nabi, sehingga setelah Perang Ahzab usai, mereka dihukum dan diusir oleh Rasulullah SAW. Semenjak itulah kemudian diatur kembali hak-hak non Muslim dalam hubungannya dengan kewajiban mempertahankan negara, sehingga kemudian dikenallah sebutan ahlu az-zimmah atau kafir zimmi yang tidak diwajibkan membela negara secara militer tetapi harus membayar jizyah (iuran keamanan).

Dalam membangun masyarakat madani di Madinah, Rasulullah SAW tidak pernah berusaha menafikan pluralitas, bahkan menjadikannya sebagai sumber energi untuk menghidupkan api layaknya kayu api ditungku yang tidak pernah disusun secara berjejer tapi disilangkan supaya apinya hidup, tetapi Rasulullah tidak pernah menjadikan pluralitas sebagai sebuah ideologi. Pluralitas apabila dijadikan ideologi bukanya merukunkan masyarakat, tetapi malah menyulut konflik. Kampanye pluralisme agama di Indonesia belakangan ini, walaupun masih dalam skala kecil sudah mendapatkan reaksi yang suatu saat justru menjadi sumber konflik baru. Tujuan yang ingin dicapai dengan kampanye pluralisme agama, yaitu menumbuhkan kembali toleransi antara umat beragama yang belakangan ini terganggu oleh adanya beberapa konflik antar pemeluk agama di beberapa daerah, justru menghasilkan sebaliknya. Bahkan dapat menimbulkan konflik intern agama sendiri. Saya yakin, semua pemeluk agama yang baik (apapun agamanya) pasti tidak dapat membenarkan ajaran agama lain yang bertentangan dengan ajaran agamanya.

Ilustrasi tentang tantangan aqidah kontemporer ini agak panjang dibahas, khususnya tentang pluralisme agama, karena isu sensitif ini sangat penting dan menentukan sekali, karena sekali kita meyakini kebenaran semua agama secara mutlak, maka pada saat itu sebenarnya kita berhenti meyakini kebenaran agama kita.

Dalam aspek ibadah, dalam MKCH dinyatakan bahwa Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia. Prinsip yang dipegang dalam ibadah mahdhah adalah segala sesuatu adalah terlarang kecuali apabila ada dalil yang memerintahkannya.

Setiap bentuk ibadah yang dilaksanakan harus diyakini secara pasti ada dalilnya dari Al-Qur’an dan as-Sunnah. Yang dicari bukan nash yang melarang, tetapi nash yang memerintahkan. Tajid dalam aspek ini berarti memurnikan ibadah dari segala unsur tambahan (bid’ah).

Muhammadiyah tidak pernah ragu untuk meninggalkan praktek ibadah yang yang diyakini tidak ada dalilnya sekalipun praktek tersebut sudah mentradisi di tengah-tengah masyarakat. Sekalipun sudah berusaha secara persuasif dan bertahap, tetapi tidak jarang juga gerakan Muhammadiyah memberantas praktek bid’ah ini menimbulkan konflik dan gejolak Tetapi dalam perkembangannya semakin banyak yang memahami dan menerimanya.

Belakangan ini, di samping praktek-praktek bid’ah masih belum habis sama sekali di tanah air kita ini, muncul pula gerakan sebaliknya yang memperluas wilayah bid’ah tidak hanya pada aspek ibadah mahdhah tetapi juga memasuki wilayah budaya. Pakaian laki-laki misalnya, apabila tidak mengikuti model pakaian Arab yang diklaim sebagai pakaian Nabi dianggap melanggar sunnah, paling kurang dinilai meninggalkan sunnah. Padahal yang tsabit, tidak boleh berobah-robah, dari pakaian adalah menutup aurat dan tidak menunjukkan kesombongan, sedangkan bentuk dan model pakaian adalah bagian yang mutaghayir, yang dapat saja berobah-robah sesuai dengan zaman dan budaya tertentu. Bahkan ada juga yang membid’ahkan organisasi, partai politik, negara bangsa karena di zaman Nabi hal tersebut dianggap tidak ada.

Belakangan ada juga yang mempersoalkan memulai acara dengan membaca basmallah dan mengakhiri dengan hamdallah yang dianggap tidak ada dalilnya. Begitu juga upacara ijab qabul di masjid yang diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan ditutup dengan do’a sebagai sesuatu yang juga bid’ah. Bahkan sudah sejak lama beberapa pihak menilai peringatan maulid Nabi, Nuzul Qur’an, Isra’ Mi’raj masuk kategori bid’ah. Alasan yang dikemukakan untuk membid’ah contoh-contoh di atas adalah karena hal tersebut tidak ada di zaman Nabi Muhammad SAW dan tidak dilakukan oleh generasi awal.

Beberapa contoh di atas cukup untuk menjelaskan bahwa di samping mengajak meninggalkan praktek bid’ah yang belum tuntas sampai sekarang, Muhammadiyah pada waktu yang sama juga harus menjelaskan kepada warga dan masyarakat lainnya bahwa tidak semua yang baru itu adalah bid’ah, karena bid’ah hanyalah terdapat pada wilayah praktek ibadah mahdhah.

Dalam aspek akhlaq, dalam MKCH dinyatakan Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, tidak bersendi pada nilai-nilai ciptaan manusia.

Ukuran baik dan buruk, terpuji dan tercela di dalam Islam sudah pasti yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Berbeda dengan etika yang menjadi ukurannya adalah akal, dan tidak sama juga dengan moral yang menjadi ukurannya adalah pandangan masyarakat. Etika dan moral bisa saja berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain, antara satu zaman dengan zaman lainnya, tetapi akhlaq tidak akan pernah berbeda karena ukurannya bersifat tetap yaitu Al-Qur’an dan as-Sunnah.

Tajdid dalam aspek ini adalah memurnikan nilai-nilai akhlak mulia dari nilai-nilai ciptaan manusia yang dinilai tidak sejalan dengan nilai-nilai yang diajarkan Islam. Apalagi pada zaman globalisasi sekarang ini dimana dunia sudah berobah menjadi kampung besar, lalu lintas budaya begitu cepat tanpa mengenal batas-batas geografi, bangsa-bangsa di dunia saling mempengaruhi, maka tantangan dalam bidang akhlaq ini semakin besar dan berat. Didukung oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, melalui media tv, inernet, telpon celuler, radio dan segala macam media lainnya, nilai-nilai asing (baca: luar Islam) masuk dengan cepat dan membongkar nilai-nilai Islam yang dianut dan diikuti masyarakat.

Muktamar Muhammadiyah di Malang tahun 2005 yang lalu telah mengingatkan bahwa penetrasi budaya (masuknya budaya asing secara meluas) dan multikulturalisme (kebudayaan masyarakat dunia yang majemuk dan serta melintasi) yang dibawa oleh globalisasi (proses hubungan-hubungan sosial-ekonomi-politik-budaya yang membentuk tatanan sosial yang mendunia) yang akan makin nyata dalam kehidupan bangsa.

Demikianlah tajdid dalam aspek aqidah, ibadah dan akhlaq yang bersifat pemurnian. Inilah sayap pertama dari tajdid dalam Muhammadiyah. Sayap keduanya adalah pengembangan, yaitu mengembangkan ajaran Islam dalam aspek muamalah duniawiyah baik sosial, politik, ekonomi, seni, budaya, pendidikan dan lain sebagainya berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang sudah dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Dalam aspek ini, Muhammadiyah sejauh ini dinilai sudah mengalami kemajuan yang signifikan dalam menterjemahkan ajaran Islam dalam bidang pendidikan dan pelayanan sosial baik bidang kesehatan maupun pengasuhan anak-anak yatim piatu dan orang-orang miskin tetapi masih belum berperan banyak dalam aspek ekonomi, seni budaya, dan aspek-aspek muamalah duniawiyah lainnya. Namun demikian, belakangan ini, banyak pihak menilai Muhammadiyah sepertinya berhenti melakukan pembaharuan dan modernisasi dalam dunia pendidikan. Muhammadiyah sepertinya terjebak dalam rutinitas pendidikan sehingga pendidikan Muhammadiyah tidak lagi bersifat kreatif dan inovatif, bakan secara umum, Muhammadiyah hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah. Memasuki abad kedua Muhammadiyah harus kembali menunjukkan kreatifvitas, inovasi, ide-ide cemerlangnya dalam dunia pendidikan, kesehatan, politik, seni budaya dan aspek muamalah duniawiyah lainnya.

Sebagai penutup perlu ditekankan di sini, bahwa Muhammadiyah melakukan pembaharuan bukan lah untuk pembaruan itu sendiri, dan tidak pula asal melakukan pembaharuan. Muhammadiyah tidak boleh berada dalam tekanan pihak mana pun dalam melakukan pembaruan. Misalnya karena tidak mau dinilai beku, stagnan, tidak mau tertinggal dari pihak lain, lalu kita ikut-ikutan melakukan pembaharuan tanpa dasar dan metodologi yang kuat. Muhammadiyah harus kuat, istiqamah menghadapi tuntutan zaman, dan arus besar dunia. Memasuki abad kedua kita berharap Muhammadiyah semakin besar dan kuat dengan segala amal usahanya, tetapi tetap tidak kehilangan jati diri atau kepribadiannya sebagai gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

[1] Makalah disampaikan dalam Seminar Satu Abad Gerakan Tajdid Muhammadiyah Menuju Peradaban Utama: Paradigma, Model dan Strategi Tajdid, diadakan oleh Universitas Muhammadiyah Malang, di Malang 21-22 November 2009..

[2] Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2005-2010

[3] Dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKCH) Muhammadiyah urutannya adalah Aqidah, Akhlak, Ibadah dan Mu’amalah Duniawiyah.

[4] Musyawarah Nasional Tarjih XXIV di Malang tahun 2000 menggunakan istilah pemurnian (tajdid salafi) dan pengembangan (tajdid khalafi).

[5] Dalam aspek aqidah, dalam MKCH disebutkan bahwa Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.

Retrieved from: http://prmsendangharjo.wordpress.com/2010/04/11/agenda-tajdid-muhammadiyah-di-bidang-pemikiran-dan-amal-kemasyarakatan/

No comments:

Post a Comment