Friday, April 16, 2010

Menuju Federasi Muhammadiyah

Kamis, 6 Juli 2000

Oleh Hajriyanto Y Thohari

MUHAMMADIYAH adalah organisasi tua, kalau bukannya yang tertua, di negeri ini. Meskipun telah berusia 88 tahun (lahir tahun 1912), tetapi sampai kini gerakan Islam yang pernah disebut sebagai contoh terbaik gerakan modernisme Islam ini masih mampu menunjukkan elan vital-nya untuk tetap survive dan berjaya di masa depan. Reputasi ini menjadi dramatis karena organisasi-organisasi yang lain yang seusia dengannya telah banyak yang terkubur dalam sejarah sehingga tinggal papan nama atau kenangan. "Matahari Terbit" (rising sun)-lambang Muhammadiyah-agaknya belum mau tenggelam, apalagi ditenggelamkan.

Muhammadiyah juga organisasi modernis Islam besar, kalau bukannya yang terbesar di dunia. Namun kebesaran ini terutama bukan terletak pada besarnya jumlah anggotanya, sebab organisasi gaek ini hanya memiliki kader tidak lebih dari satu juta orang, tepatnya: 963.555 orang-yakni mereka yang lulus Darul Arqam (DA) dan berkartu atau ber-Nomor Baku Anggota Muhammadiyah (NBM). Betul, jumlah anggota tanpa kartu (NBM), simpatisan, dan atau konstituen gerakan ini ada sekitar dua puluh delapan juta orang, tetapi angka sebesar ini tidak didukung data tertulis, semuanya menjadi sebatas klaim. Dan yang namanya klaim tentunya bisa benar, bisa pula salah.

Maka kebesaran Muhammadiyah bukan pada aspek jumlah numerik anggotanya yang berskala massif seperti lazimnya sebuah organisasi massa. Sebab, yang berskala massif dalam ormas ini adalah amal nyata-yang biasa disebut dengan istilah "amal usaha"-seperti sekolah/perguruan tinggi, rumah sakit, panti asuhan, dan sebagainya, yang hampir tak pernah terhitung jumlahnya. Perguruan tinggi yang dimilikinya ada 144 buah, lima belas di antaranya universitas besar. Entah berapa ribu Taman Kanak-Kanak (Bustanul Athfal), Sekolah Lanjutan Pertama, Sekolah Menengah Umum dan Kejuruan, rumah sakit/bersalin (PKU), panti asuhan, dan lembaga-lembaga ekonomi/keuangan yang ada.

Alhasil, sejauh diukur dari skala amal usahanya yang begitu massif cerita tentang Muhammadiyah adalah kisah keberhasilan dari sebuah gerakan modernis di dunia. Gerakan Ikhwanul Muslimin-nya Sayyid Qutb di Mesir, atau Jama-at Islam-nya Abdul A'la Al-Maududi di Pakistan, keduanya juga termasuk modernis, jika diukur segi ini, jauh dibanding Muhammadiyah.

Menuju federasi
Fakta kepalingbesaran dan kepalingtuaan ini dikemukakan sama sekali bukan untuk membanggakan, apalagi menyombongkan diri, tetapi untuk tujuan sebaliknya: sebagai tendangan awal guna memulai diskusi tentang serangkaian permasalahan akut yang kini menggelayuti gerakan ini. Fakta menunjukkan, kepalingbesaran dan kepalingtuaan ini disadari atau tidak, pada sejatinya justru telah menjadi beban raksasa yang sebenarnya tak tertanggungkan lagi oleh struktur atau kelembagaan Muhammadiyah selama ini.

Adalah tak terbayangkan, karena itu sejatinya tak masuk akal, sebuah organisasi yang sedemikian besar di negara yang sedemikian luas dengan amal usaha yang sedemikian massif, masih dikelola secara sentralistis seperti sekarang. Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, sebagaimana namanya "pusat", masih memiliki pretensi, bahkan mungkin obsesi, sebagai "pusat" gerakan yang ingin mengendalikan semua aspek gerakan. Laksana Dewa di Kahyangan, PP bukan hanya ingin memonitor kerja daerah dan cabang-cabang, tetapi juga-seperti layaknya corak pemerintahan Orde Baru dulu-bernafsu sekali untuk mengaturnya secara sentralistis. Sentralisasi ini tampak pada hampir semua majelis (bagian): semua program dirancang untuk dilaksanakan secara nasional dan harus diikuti secara kaku atau seragam oleh seluruh daerah dari Sabang sampai Merauke (betapa jauhnya?).

Sentralisme ini menjadikan dinamika gerakan di daerah mengalami stagnasi, bahkan dekadensi, karena terjadi penumpulan kreativitas. Lebih dari itu juga telah mengakibatkan Muhammadiyah menjadi monolitik, homogen, dan serba seragam, baik dalam format gerakan maupun corak pemikiran keagamaan. Untuk mengatasi kecenderungan ini maka format gerakan harus dimodifikasi secara mendasar, yakni dengan mengubah Muhammadiyah menjadi federasi yang terdiri dari daerah-daerah atau cabang-cabang yang memiliki otonomi yang luas dan nyata.

Modifikasi gerakan Muhammadiyah yang dimaksudkan di sini bukan hanya atas isu-isu yang selama ini digarap yang terlalu luas seakan semua isu hendak ditangani, tetapi juga modifikasi format kelembagaan atau manajemen gerakan. Struktur kelembagaan Muhammadiyah yang sentralistis-yang sudah tidak masuk akal itu-harus diubah secara radikal menjadi federasi. Maka ke depan-seiring kebijakan otonomi daerah yang luas dan nyata dalam sistem pemerintahan kita-Muhammadiyah di daerah-daerah juga harus menjadi otonom. PP sekadar menjadi fasilitator dan menggarap isu-isu yang benar-benar strategis dan fundamental, tidak lagi mengurusi amal-amal usaha secara teknis.

Dengan perubahan-perubahan ini maka nantinya Muhammadiyah Bali, Muhammadiyah Nusatenggara Timur, Muhammadiyah Solo, Muhammadiyah Maluku, Muhammadiyah Irian Jaya (Papua), Muhammadiyah Aceh, dan lainnya adalah otonom yang berfederasi dalam gerakan Muhammadiyah secara bersama-sama. Dengan otonominya itu Muhammadiyah di daerah-daerah memiliki cukup ruang kebebasan untuk mengembangkan diri dan amal usahanya sendiri sesuai dinamika daerah.

Sebagai langkah pertama menuju federasi, maka semua majelis di tingkat pusat menjadi tidak relevan dan karena itu harus dihapuskan. Untuk sementara, majelis hanya ada di tingkat wilayah ke bawah, dan pada saatnya nanti hanya ada di tingkat daerah saja. Bahkan pada daerah-daerah yang terdiri dari cabang-abang yang kuat, majelis bisa jadi hanya ada di tingkat Cabang. Dengan otonomi yang luas dan nyata ini maka ribuan amal usaha itu sepenuhnya menjadi wewenang daerah, atau bahkan cabang, dan PP tidak perlu melakukan campur tangan baik secara manajerial apalagi teknis, sehingga tidak lagi terjebak dalam konflik-konflik yang diakibatkan managemen amal usaha. PP mestinya hanya berurusan dengan soal-soal strategis dan bersifat kebijakan.

Dengan otonomi pula maka gerakan Muhammadiyah daerah memiliki keleluasaan untuk melakukan ijtihad melalui Majelis Tarjih (bidang yang mengurusi gerakan ijtihad atau pemikiran keagamaan) masing-masing sesuai latar belakang sosial budayanya. Adalah sulit dipahami obsesi untuk menyeragamkan tarjih sementara persoalan-persoalan yang dihadapi masing-masing daerah sama sekali berbeda.

Kini Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di tingkat pusat, telah berkembang menjadi begitu hegemonik, dan berpretensi membawahi majelis-majelis yang sama di seluruh daerah. Akibatnya dinamika tarjih dan pembaruan pemikiran Islam di daerah tidak berkembang secara inovatif, kreatif, dan relevan dengan persoalan-persoalan lokal. Padahal, Muhammadiyah di Bali jelas amat berbeda dengan Muhammadiyah di Aceh, Muhammadiyah di Maluku, atau Muhammadiyah di Irian, di mana mereka harus memberi jawaban ala Muhammadiyah secara lebih kontekstual sesuai kondisi masing-masing.

Ini belum mempertimbangkan kenyataan betapa ragam pemikiran keagamaan kalangan Muhammadiyah sekarang ini sudah sedemikian beragam dan amat luas spektrumnya. Ada yang sangat liberal, baik yang ke"kiri-kiri"an maupun yang ke"kanan-kanan"-an; dari yang sangat salafi sampai yang sangat moderen yang liberalnya tidak ketulungan; dari yang substantifis sampai yang masih skripturalis formalistik-simbolistik; dan seterusnya. Bagaimana mungkin pemikiran-pemikiran yang sedemikian luas spektrumnya akan diatur dalam Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam yang cenderung sentralistis dan regimented itu.

Maka ke depan, Muhammadiyah tidak lagi perlu memiliki "Kitab Putusan Tarjih" yang diperlakukan sebagai sumber utama rujukan yang berlaku untuk seluruh Indonesia. Masing-masing daerah dibiarkan memiliki "Kitab Putusan Tarjih" sendiri sesuai latar belakang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan lingkungan masing-masing. Keanekaragaman lokal menjadi dihargai. Dengan otonomi inilah iklim kompetisi dan kreativitas akan berjalan lebih dinamis. Bahkan lebih dari itu akan merangsang lahirnya banyak mujtahid (ahli-ahli ijtihad atau ahli tarjih) di daerah-daerah yang selama ini tidak bisa muncul karena hegemoni mujtahid-mujtahid pusat.

Walhasil, dengan kebijakan otonomi ini maka pada waktu-waktu mendatang gerakan Muhammadiyah menjadi federatif saja, di mana masing-masing daerah otonom dan mandiri. Sagat meyakinkan, dengan corak kelembagaan semacam ini, Muhammadiyah akan menjadi sangat dinamis, kompetitif, dan akhirnya tidak akan lagi bercorak monolitik seperti perkembangan sekarang ini. Muhammadiyah bukan "Dahlanisme", melainkan kreativitas KHA Dahlan yang harus dipelihara. Wallahu 'alam.

* Hajriyanto Y Thohari, mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah (1993-1997).

No comments:

Post a Comment