Monday, March 4, 2019

Kelompok Minoritas sebagai Kategori Mustadh’afin



Oleh Ahmad Najib Burhani 

Apakah kelompok minoritas itu perlu ditemani dan dibela? Jika jawabannya “ya”, apa landasan teologis untuk menemani minoritas? Dan siapa yang disebut sebagai minoritas? Tuntutan untuk menemani dan melindungi minoritas dalam dalam konteks HAM (Hak Asasi Manusia) tentu sudah tidak asing dan tak diragukan lagi. Demikian pula dalam konteks kewarganegaraan (citizenship). Namun dalam konteks agama, terutama dalam konteks mutakhir sekarang ini, hal ini masih perlu terus diingatkan kembali. Ini karena, seperti dikemukakan oleh Robert W. Hefner (2019), menemani minoritas, “bisa saja dilihat oleh sebagian dari warga negara sebagai wacana yang kering ataupun kosong – karena dianggap terlalu jauh dari nilai-nilai warga negara yang berdasar atas agama yang dimiliki masyarakat itu”. Di sinilah pentingnya pembahasan teologis tentang minoritas atau mustadh’afin.

Mustadh’afin merupakan tema dan istilah yang telah hadir sejak kedatangan Islam. Menurut catatan Abad Badruzaman (2007, 5), istilah ini disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 13 kali. Namun jika mengacu kepada kata asalnya dan berbagai derivasinya, seperti dhu’afa, maka Al-Qur’an menyebutkannya sekitar 52 kali. Istilah ini sering diterjemahkan sebagai mereka yang lemah, dilemahkan, dihina, didiskriminasi, ditindas, mengalami marjinalisasi, dan sejenisnya. Beberapa penerjemahan dalam Bahasa Inggris untuk istilah ini adalah “brotherhood of the oppressed”, “the oppressed and dispossessed”, “poor and marginalized people”, “the downtrodden”, atau “the abased on earth”.

Dalam masyarakat Islam, kelompok yang dimasukkan dalam kategori mustadh’afin seringkali terbatas pada kelompok fakir dan miskin. Namun ketika Moeslim Abdurrahman memimpin Lembaga Pemberdayaan Buruh, Tani, dan Nelayan (LPBTN) Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada 2000-2005, ia memperkenalkan konsep “the new mustadh’afin” yang keluar dari kategori tradisional dari konsep ini. Mereka yang disebut mustadh’afin bukan hanya fakir miskin, tapi juga mereka mengalami ketertindasan secara sosial dan struktural atau, dalam bahasa Moeslim Abdurrahman (2004, xvi), “’Miskin’ dan ‘mustadh’afin’ sebagai kategori sosial yang lahir dari penindasan struktur kapitalisme nasional maupun global yang tidak adil.”

Apa yang dilakukan oleh Moeslim Abdurrahman itu, meski belum banyak menuai hasil, namun paling tidak berhasil menyodorkan perspektif baru yang membuka wawasan di Muhammadiyah terkait mustadh’afin. Bahwa banyak dari kelompok fakir dan miskin itu menjadi dhu’afa bukan karena mereka malas bekerja, tapi ada yang disebut dengan struktur kemiskinan, kelas dan dosa sosial, matrix penindasan, dan seterusnya. Banyak orang miskin yang justru bekerja 24 jam sehari dan tujuh hari dalam seminggu. Mereka menjadi miskin karena kondisi nasional dan global yang tidak memungkinkan mereka bangkit dari kemiskinannya. Mereka menjadi miskin karena ekonomi digenggam oleh kekuasaan TNC (Trans-National Capitalist Network) yang kadang melakukan “perselingkuhan dengan elite nasional, kaum komprador” (Tuhuleley, 2015).

Meski telah berhasil memberikan perspektif baru tentang ketimpangan sosial dan konsep mustadh’afin, apa yang dilakukan oleh Moeslim Abdurrahman, dan kemudian dilanjutkan oleh Said Tuhuleley, itu masih terfokus kepada ketertindasan dan ketidakadilan secara ekonomi. Padahal, mustadh’afin itu tidak selalu mengacu kepada ekonomi.

Salah satu ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang mustadh’afin adalah Al-Qashash 28: 5, “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)”. Ayat ini berbicara tentang Bani Israil yang ditindas oleh Fir’aun. Makna ketertindasan tentu lebih luas dari persoalan ekonomi, atau bahkan ekonomi bukan merupakan aspek yang utama.

Ayat lain yang berbicara tentang mustadh’afin terdapat dalam Surah Al-Nisa’ 4: 75: “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!’”. Sama seperti ayat yang dikutip sebelumnya, ketertindasan di sini bukanlah terkait persoalan ekonomi, tapi diskriminasi dan persekusi oleh mereka yang kuat kepada mereka yang lemah, atau adanya kelompok superordinate yang bertindak sewenang-wenang terhadap kelompok subordinate.

Karena konsep mustadh’afin itu tidak terkungkung pada dimensi ekonomi, maka berbagai kelompok minoritas yang tertindas, termasuk kelompok minoritas agama, bisa masuk dalam kategori mustadh’afin. Konsekuensinya, adalah sebuah religious imperative (keharusan agama) dan religious call (penggilan keagamaan) untuk melakukan pembelaan terhadap kelompok minoritas. Menemani minoritas adalah level yang lebih rendah daripada melakukan pemberdayaan atau pembelaan terhadap minoritas. Namun menemani minoritas (becoming a friend of minorities) sudah merupakan upaya untuk memenuhi panggilan Allah tersebut.

Dalam konteks Indonesia, pembelaan kepada mereka yang tertindas juga merupakan makna dari Sila Kelima Pancasila, “Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sekali lagi jika keadilan itu tidak hanya dibatasi maknanya dalam aspek ekonomi dan keadilan itu tidak dikekang maknanya dalam batasan proporsional atau jumlah penduduk.

Dalam pembangunan bangsa, dikenal istilah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Dalam distribusi zakat oleh Lazismu juga terdapat istilah 3T yang berarti Tertinggal, Terpencil, dan Terbelakang. Namun mereka yang “Termarjinalisasi” dan “Tertindas” secara sosial dan agama sering luput dari sasaran zakat atau bahkan kadang dihalang-halangi untuk menjadi penerima zakat, infak, dan sadaqah. Seperti yang digambarkan oleh Hilman Latief, Direktur Utama Lazismu (Lembaga Amil Zakat Infaq, dan Sadaqah) Muhammadiyah, dalam tulisannya “Philanthropy and ‘Muslim Citizenship’ in Post-Suharto Indonesia” (2016), ketika organisasi filantropi Islam hendak memberikan bantuan kepada orang-orang Syiah Sampang yang terusir dari kampung halamannya, sejumlah kelompok Islam mengkritik langkah itu. MUI (Majelis Ulama Indonesia), menurut Latief, bahkan tidak berbicara tentang perlunya  mendistribusikan zakat kepada para pengungsi itu.

Dalam beberapa kasus, hanya mereka yang mau “convert” (berpindah keyakinan) menjadi pemeluk Sunni Islam yang diberi zakat dan dimasukkan dalam kategori muallaf. Sementara para mustadh’afin lain dari kelompok Ahmadiyah dan Syiah dibiarkan menderita. “Whereas there were a number of Islamic philanthropic organizations active in raising funds from the public, only a few of them were willing to openly provide aid for Shi’a refugees in Sampang, Madura” (Sementara ada sejumlah organisasi filantropi Islam yang aktif dalam mengumpulkan dana dari publik, hanya beberapa dari mereka yang bersedia secara terbuka memberikan bantuan kepada para pengungsi Syiah di Sampang, Madura) (Latief 2016, 279).

No comments:

Post a Comment