Kompas, 20 November 2017
Pada
kuliah umumnya di RSIS NTU Singapura 26 Oktober 2017 yang lalu, Ketua Umum
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, menegaskan kembali alasan mengapa
organisasi yang dipimpinnya mengusung slogan “Islam Berkemajuan”. Menurutnya,
Islam yang ramah, toleran, dan damai itu sudah menjadi jiwa Muhammadiyah sejak
lama. Itu sudah dipraktikkan dalam gerakan ini sejak dahulu. Yang justru
menjadi pertanyaan adalah apa yang perlu dilakukan selanjutnya?
Apa
yang dirancang oleh Muhammadiyah dalam konteks ini adalah menunjukkan Islam yang
maju dengan membangun berbagai pusat keunggulan serta terus menjadi “tangan di
atas, bukan “tangan di bawah”. Inilah cara mengurangi rasa takut, minder, mudah
menyalahkan orang lain, memusuhi mereka yang berbeda, dan inferiority complex yang kerap diidap oleh sebagian masyarakat
Muslim. Meminjam pepatah China, “落后就要挨打 / Luohou Jiuyao Aida” (keterbelakangan itu yang
menyebabkan dikalahkan oleh orang lain).
Sebagian umat Islam menganggap agama lain
atau etnis lain sebagai ancaman. Ini diantaranya karena kondisi mereka yang
lemah. Mereka memang mayoritas dari segi jumlah, namun minoritas dari segi
ekonomi. Ketika mereka termarjinalisasi, baik secara nyata maupun imajinasi
belaka, dan agama adalah satu-satunya senjata yang dimiliki, maka tak ada alat
lain yang bisa dipakai untuk melawan selain dengan agama. Ketika terjadi
persaingan politik, maka agama digunakan sedemikian rupa untuk bisa menang
dalam perebutan kekuasaan. Muhammadiyah meyakini bahwa langkah untuk mengatasi
penyakit umat Islam ini adalah dengan membuat mereka maju, menawarkan Islam
Berkemajuan.
Memang, saat ini gerak dan langkah dari
Islam Berkemajuan masih lamban atau bahkan terengah-engah.Terlalu banyak beban
yang harus dipikul. Beban dari internal Muhammadiyah maupun beban dari luar,
baik yang sifatnya nasional maupun yang berupa tantangan dan ancaman global.
Di dalam Muhammadiyah, beberapa
anggotanya dan juga sebagian pengurusnya sulit diajak berpikir dengan semangat
berkemajuan atau progresif. Mereka masih berkutat dengan paradigma lama tentang
TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Churafat), berpikir eksklusif dan bahkan cenderung
sektarian. Meminjam istilah Mitsuo Nakamura (2017), peneliti Jepang yang sudah
puluhan tahun mengkaji gerakan ini, sebagian warga Muhammadiyah kurang peduli
dengan persoalan “common good” atau kemaslahatan bersama sebagai bangsa.
Belum lagi dengan tarikan konservatisme
yang secara mesra berpasangan dengan kapitalisme dan berusaha mengelabui kita
bahwa ia seolah-olah seperti peradaban berkemajuan, padahal sesungguhnya adalah
kemunduran. Isu isbal dan non-isbal dalam bercelana, memanjangkan atau
memotong jenggot, dan masalah kepemimpinan negara adalah beberapa contohnya.
Beban eksternal tentu saja lebih berat
lagi. Berbagai tuduhan dialamatkan ke Muhammadiyah, terutama terkait konstelasi
politik nasional. Alih-alih mendukung BNPT (Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme) dan Densus 88, misalnya, dalam beberapa kasus Muhammadiyah dituduh
berpihak kepada teroris. Dalam hal Perppu No. 2/2017, Muhammadiyah dianggap
mendukung ormas dan gerakan anti-Pancasila. Muhammadiyah juga tak jarang
dituduh melindungi para aktor gerakan “NKRI Bersyariah”. Di Aceh, Muhammadiyah
tidak dianggap sebagai bagian dari Islam Sunni atau ahlus sunnah wal jama’ah. Muhamadiyah dituduh sebagai Wahabi dan
antek Yahudi, seperti tertulis dalam beberapa coretan di musholla Muhammadiyah
di sana. Masjid At-Taqwa Samalanga, Bireun dilarang berdiri dan bahkan
tiangnya dibakar oleh kelompok yang benci terhadap organisasi ini.
Posisi
Muhammadiyah dalam beberapa isu memang dilematis. Keinginan Muhammaadiyah untuk
mencegah negara berlaku sewenang-wenang terhadap teroris dianggap melawan BNPT
dan Densus 88. Padahal, Muhammadiyah hanya tak setuju dengan cara-cara yang
ditempuh BNPT dan Densus yang kadang justru melahirkan dendam kesumat dari
keluarga dan anak teroris yang pada gilirannya malah melahirkan teroris-teroris
baru. Hanya Muhammadiyah yang bisa jadi jembatan antara kelompok
radikal-teroris dan pemerintah. Kelompok Islam lain sudah tak didengar oleh
mereka karena dianggap selalu pro-pemerintah, apapun kebijakannya.
Dalam
konteks Perppu, semangat Muhammadiyah untuk terus mengawal penegakan hokum yang
merupakan bagian dari ciri kehidupan demokratis kadang diartikan sebagai
keberpihakan kepada HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Padahal keputusan resmi
Muhammadiyah pada Muktamar 2015 menyebutkan “Negara Pancasila sebagai Dar al-‘Ahdi wa al-Syahadah”. Indonesia
adalah rumah bersama, sebagai hasil dari konsensus bangsa yang terdiri dari
berbagai agama, suku, daerah, dan warna kulit. Tidak hanya sebagai rumah tempat
mengukir perjanjian dan kesepakatan bersama, Indonesia adalah tempat mengabdi
dan menunjukkan karya-karya terbaik.
Muhammadiyah
hanya menuntut agar pengadilan dan pembubaran suatu ormas bisa menjadi
pendidikan dan pembelajaran bagi masyarakat tentang demokrasi yang baik. Muhammadiyah
tak menginginkan sejarah buruk masa lampau terulang lagi; ketika partai politik
dan ormas tertentu mendukung kebijakan-kebijakan anti-demokrasi dari
pemerintah, seperti dalam kasus pembubaran Partai Masyumi dan Murba di zaman
Orde Lama. Langkah yang pada ujungnya menghanjurkan rezim itu sendiri.
Dalam
kaitannya dengan NKRI, Muhammadiyah sebetulnya sudah selesai dengan urusan ini.
Sebagai bagian dari pendiri bangsa dan kelompok yang menumpahkan darah untuk
berdirinya republik ini, Muhammadiyah sudah menunjukkan loyalitas dan darma
baktinya kepada bangsa. Bukan hanya dalam slogan, meme, atau kata-kata, tapi
dalam langkah nyata, kerja, dan amal usaha. Memang, saat ini perlu upaya yang
lebih keras lagi untuk menunjukkan nasionalsme dan keislaman kita yang moderat.
Seperti dikatakan oleh Abdul Mu’ti, sekretaris umum PP Muhammadiyah, Muslim moderat itu saat ini masih terlalu banyak
diam dan karena itu “Kita harus menjadi moderat yang radikal”. Ini terutama
karena kelompok intoleran semakin lantang dan berani.
Dalam beberapa aspek, terkait dengan kasus Aceh, keislaman
Muhammadiyah memang berbeda dari kelompok Islam lain. Sebagai gerakan Islam
non-mazhab, Muhammadiyah tentu berbeda dari gerakan Islam lain yang memilih untuk
bermazhab. Namun Muhammadiyah bukanlah Wahabi. Muhammadiyah menggabungkan
purifikasi dan dinamisasi. Ini yang menyebabkan gerakan ini disebut reformis
dan modernis.
Terakhir,
semakin ke belakang dan semakin tua, beban yang dipikul Muhammadiyah bukannya
semakin ringan, tapi justru semakin berat. Apakah Muhammadiyah sanggup
memikulnya? Di sini perlu dikutip ucapan seorang kader Muhammadiyah yang juga
pahlawan nasional, Jenderal Soedirman: “Sungguh berat jadi kader Muhammadiyah,
kalau ragu dan bimbang lebih baik pulang!”
-oo0oo-
*Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP
Muhammadiyah; Peneliti LIPI
No comments:
Post a Comment