Selasa
04 Aug 2015, 10:40 WIB
Pramono
U Tanthowi - detikNews
Jakarta - Pada hari Sabtu (1/8/2015) lalu telah
dilaksanakan proses pemilihan 39 nama calon anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah
dalam Sidang Tanwir pra-Muktamar, yang hasilnya diumumkan pada hari berikutnya.
Dari 39 nama tersebut, akan dipilih sebanyak 13 anggota PP Muhammadiyah oleh
peserta Muktamar.
Bagi sebagian orang, proses pemilihan pimpinan di Muhammadiyah ini dianggap rumit. Namun bagi kalangan internal sendiri, sistem ini dianggap lebih mampu membawa nuansa silaturahmi dan musyawarah, bukan nuansa politik. Tulisan singkat ini akan menjelaskan bagaimana seluk beluk sistem pemilihan ini, apa kelebihannya, apa kekurangannya, dan bagaimana implikasi politiknya.
Sebagaimana di organisasi-organisasi bentuk lain, seperti organisasi bisnis, organisasi paguyuban, organisasi politik, atau bahkan organisasi pemerintahan, seorang pemimpin organisasi sosial keagamaan (seperti Muhammadiyah) menempati posisi sangat sentral. Ia bukan sekedar representasi organisasi itu di ruang publik, namun bagaimana corak dan kebijakan organisasi tersebut ke depan akan banyak ditentukan oleh siapa yang memimpin organisasi tersebut.
Karena peran pemimpin organisasi sangat penting, maka aturan-aturan mengenai pemilihan pimpinan organisasi juga menjadi sangat penting. Karena, sebagaimana dalam pemilu, perbedaan sistem dapat mempengaruhi perbedaan hasil. Misalnya dalam Pilkada DKI tahun 2012 yang lalu.
Jika tidak ada aturan mengenai putaran kedua (sehingga siapapun yang memperoleh suara terbesar pada putaran pertama akan ditetapkan menjadi pemenang), sebagaimana aturan Pilkada serentak saat ini, maka Jokowi tidak akan pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sehingga cerita berikutnya bisa akan sangat berbeda.
Atau contoh lain (di organisasi kepemudaan dan parpol) mengenai batas minimal pengusul bagi seorang calon untuk dapat mengikuti pemilihan tahap berikutnya. Tinggi rendah batas pengusulan akan sangat mempengaruhi siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Karena begitu pentingnya aturan pemilihan tersebut, menjadi penting bagi kita untuk memahami dari mana aturan-aturan tersebut muncul. Dua pertanyaan secara khusus membutuhkan uraian jawaban.
Pertama, seberapa sering perubahan sistem pemilihan tersebut terjadi? Dan kapan perubahan itu dilakukan? Kedua, apa kepentingan atau nilai di balik penentuan sistem tersebut? Apakah penentuan tersebut semata-mata dipengaruhi kepentingan partisan jangka pendek, atau apakah ada nilai-nilai lebih luas bagi masyarakat?
Dalam tulisan ini, yang saya maksud dengan politik pemilihan berkaitan dengan banyak aspek: siapa yang berhak mencalonkan, siapa yang berhak memilih, siapa yang berhak dipilih, siapa yang berwenang menyelenggarakan pemilihan, bagaimana preferensi seorang pemilih diekpresikan ke dalam surat suara, dan bagaimana perolehan suara dikaitkan dengan keterpilihan seorang pemimpin.
Karena pentingnya sistem (atau tata tertib) pemilihan tersebut, tidak heran jika selalu muncul upaya untuk mengubah aturan-aturan pemilihan dalam setiap kali kongres, muktamar, atau musyawarah nasional setiap organisasi. Hal itu disebabkan karena tata tertib pemilihan menjadi instrumen yang paling dapat dimanipulasi, dan bisa didesain untuk mencapai tujuan-tujuan dan hasil-hasil tertentu. Karenanya, jika ada pihak yang ingin memenangkan calonnya dalam kongres, muktamar, atau munas, maka tata tertib pemilihan menjadi instrumen yang paling mungkin dan paling efektif untuk direkayasa.
Dalam organisasi Muhammadiyah, proses pemilihan di tingkat pusat berlangsung rumit dan lama. Proses ini dimulai dengan pembahasan tata tertib pemilihan (dan tata tertib muktamar) melalui Sidang Tanwir (lembaga permusyawaratan tertinggi kedua setelah Muktamar) lebih kurang satu tahun sebelumnya. Untuk Muktamar ke-47 ini, tata tertib pemilihan (dan tata tertib muktamar) telah disahkan sejak Tanwir di Samarinda pada akhir Mei 2014.
Berikutnya mengenai panitia pemilihan (Panlih), yang berwenang menangani proses pencalonan, verifikasi administrasi, pemungutan suara, dan penghitungan suara. Panitia pemilihan juga ditetapkan melalui Sidang Tanwir di Samarinda tersebut. Panlih terdiri dari wakil-wakil pimpinan wilayah, wakil organisasi otonom (ortom), dan wakil PP Muhammadiyah. Dan bagi sama sekali Panlih tidak ada larangan untuk dicalonkan.
Selanjutnya, terkait dengan sistem pemilihan secara keseluruhan meliputi lima tahap:
Pertama, adalah tahap nominasi atau pengusulan calon. Tahap ini dilakukan oleh setiap anggota PP (13 orang dan pengurus PP tambahan), Anggota Tanwir (4 orang dari setiap pimpinan wilayah se-Indonesia), dan 2 orang masing-masing pimpinan ortom. Sekitar 165 orang ini masing-masing mengusulkan 13 nama calon. Proses pencalonan ini berlangsung selama kurang lebih 3 bulan, dimulai sejak akhir tahun lalu.
Pada Muktamar kali ini, tersaring 108 nama calon. Selain syarat minimal 3 usulan, calon-calon tersebut harus memenuhi syarat minimal keanggotaan selama enam tahun, pernah menjadi pimpinan di ortom tingkat pusat atau majelis/lembaga di tingkat pusat, atau pimpinan di tingkat wilayah atau daerah.
Pada tahap kedua, Panlih menyebarkan formulir kesediaan kepada 108 calon tersebut. Dari jumlah tersebut, hanya terdapat 96 formulir yang dikembalikan. Dari 96 formulir yang dikembalikan, sebanyak 83 menyatakan bersedia, dan 13 calon menyatakan tidak bersedia. Dari 83 yang menyatakan bersedia tersebut, satu calon meninggal dunia, sehingga calon pimpinan Muhammadiyah tahun ini tinggal 82 nama.
Pada tahap ketiga, 82 nama calon tersebut dipilih dalam Sidang Tanwir pra-muktamar, yang dilaksanakan 2 hari sebelum pelaksanaan Muktamar. Dalam Sidang Tanwir ini, 82 nama tersebut dikerucutkan menjadi 39 nama. Pemilihan dilakukan oleh Anggota Tanwir (4 orang dari setiap pimpinan wilayah se-Indonesia), 1 orang wakil dari tiap Pimpinan Wilayah Aisyiyah se-Indonesia, 2 orang pimpinan masing-masing ortom, dan setiap anggota PP (13 orang dan pengurus tambahan). Setiap pemilih berhak memilih 39 nama di antara 82 calon tersebut. 39 nama yang terpilih dalam Sidang Tanwir tersebut lalu diajukan sebagai calon di Muktamar.
Pada tahap keempat, pemilihan di Muktamar akan mengerucutkan 39 nama menjadi 13 nama anggota PP Muhammadiyah. Pemilihan dilakukan oleh seluruh peserta Muktamar, yang terdiri dari pengurus PP Muhammadiyah, Pengurus PW Muhammadiyah, pengurus PD Muhammadiyah, dan ortom, yang secara keseluruhan berjumlah sekitar 2600 orang. Setiap pemilih, yang dibuktikan dengan surat mandat, berhak memilih 13 nama. Dan 13 nama yang memperoleh suara terbesar itulah yang nantinya disebut anggota PP Muhammadiyah.
Pada tahap kelima, 13 anggota PP Muhammadiyah tersebut lantas melakukan musyawarah tertutup untuk menentukan ketua umum dan sekretaris umum. Biasanya, yang memperoleh suara terbanyak secara konvensional ditetapkan sebagai ketua umum. Hal ini telah dijalankan saat terpilihnya Din Syamsuddin, Syafii Maarif, maupun Amien Rais.
Sistem pemilihan yang rumit dan panjang ini telah lama diadopsi Muhammadiyah. Tepatnya sejak 1990. Sebelumnya, Muhammadiyah menggunakan sistem formatur 9 (sejak 1950). Sebelum 1950, Muhammadiyah menggunakan sistem pemilihan langsung.
Dari uraian di atas, terlihat beberapa perbedaan sistem pemilihan di Muhammadiyah dengan organisasi politik maupun ormas lain.
Pertama, dalam hal pembahasan tata tertib pemilihan. Di Muhammadiyah, pembahasan dan penetapan tata tertib pemilihan dilakukan sekitar satu tahun sebelum Muktamar. Hal ini berbeda dengan parpol atau ormas lain, di mana pembahasan tata tertib pemilihan dilakukan dalam sidang komisi di forum kongres, muktamar, atau munas. Hal itu tidak jarang menimbulkan politisasi yang kadang sangat berlebihan, terutama karena pembahasan tata tertib pemilihan telah diarahkan untuk memenangkan atau menggagalkan salah satu calon.
Kedua, dalam hal penentuan Panlih. Penentuan Panlih di Muhammadiyah dapat dikatakan jauh dari nuansa politisasi. Di Kongres, munas, atau Muktamar parpol atau ormas lain, penentuan panlih biasanya merupakan pemanasan untuk melihat peluang kemenangan atau kekalahan salah calon, yang akan dilihat dari paket siapa yang terpilih sebagai panlih. Hal ini karena panlih juga dipilih oleh peserta (biasanya) berdasarkan paket. Sementara di Muhammadiyah, panlih ditetapkan pada Sidang Tanwir tahun sebelumnya, dan biasanya berdasarkan keterwakilan, yang penetapannya berdasarkan musyawarah mufakat.
Ketiga, dalam hal pencalonan. Di parpol atau ormas lain inisiatif pencalonan biasanya berasal dari kandidat, yang lalu diikuti dengan usaha mengumpulkan dukungan menjelang kongres, munas, atau muktamar. Sementara di Muhammadiyah, pencalonan berlangsung secara bottom up, dan sebagian besar dilakukan dari tingkat provinsi, sebelum jelas seorang tokoh bersedia dicalonkan kembali atau tidak.
Keempat, dalam hal bagaimana pemilih mengekspresikan preferensinya. Di Muhammadiyah, setiap pemilih menggunakan hak suaranya untuk memilih sejumlah orang: 39 nama dalam Tanwir, dan 13 nama dalam Muktamar. Peserta Muktamar tidak memilih ketua umum secara langsung. Sementara di parpol atau ormas lain, pemilihan ketum biasanya dilakukan secara langsung oleh peserta. Sementara untuk memilih formatur, peserta baru diberi keleluasaan untuk memilih sejumlah nama tertentu.
Uniknya sistem pemilihan dalam Muhammadiyah ini membawa beberapa kekurangan maupun kelebihan. Kekurangan yang sering diatribusikan pada sistem ini adalah:
(1) kadar demokratisnya seringkali dipertanyakan, karena pemilihan ketum hanya dilakukan oleh 13 orang anggota PP Muhammadiyah saja, tanpa melibatkan seluruh peserta;
(2) pemilih yang diharuskan memilih sejumlah nama (39 dan 13) cenderung mempertahankan status quo, karena sulit memunculkan nama-nama baru. Dalam istilah beberapa pihak, pemilihan di Muktamar Muhammadiyah ibarat hanya memperbarui SIM bagi sebagian besar pengurus, karena perubahan biasanya hanya terjadi pada beberapa orang saja.
Namun demikian, sistem pemilihan demikian juga membawa beberapa keuntungan, terutama dari sisi politik.
Pertama, sistem pemilihan di Muhammadiyah dapat mencegah kemunculan calon yang tidak punya track record di organisasi ini. Dengan sistem pencalonan yang bersifat bottom up dan persyaratan yang ketat (terutama pengalaman menjadi pengurus satu periode sebelumnya atau aktif di ortom), akan sulit bagi tokoh manapun yang tidak dikenal secara baik oleh pengurus di tingkat kab/kota dan provinsi untuk diajukan sebagai calon.
Kedua, sistem pemilihan di Muhammadiyah juga membuat Muhammadiyah relatif mampu mengeliminasi munculnya intervensi dari kekuatan politik eksternal. Sebagai sebuah Ormas besar yang memiliki bobot politik sangat besar, organisasi ini tentu menarik minat dari kekuatan-kekuatan politik eksternal untuk ikut "bermain". Terutama mendukung calon yang dianggap "ramah" dengan parpol tersebut, dan/atau tidak mendukung calon yang dianggap "tidak ramah".
Namun dalam sistem pemilihan di Muhammadiyah ini, pemilih tidak dihadapkan pada pilihan antara tokoh A, tokoh B, atau tokoh C. Dengan memilih 13 nama, muncul kecenderungan bagi pemilih untuk akomodatif terhadap sejumlah nama yang selama ini telah dikenal dengan baik. Karenanya sulit dibayangkan seorang pemilih hanya memilih beberapa nama yang diarahkan oleh parpol tertentu, dengan mengabaikan beberapa nama lain yang selama ini telah lama menjadi pengurus.
Ketiga, sistem pemilihan di Muhammadiyah juga dapat menjaga kontinuitas kepengurusan. Di Muhammadiyah tidak dikenal terjadinya pergantian sepenuhnya sebuah rezim oleh rezim berikutnya, sebagaimana di parpol atau ormas lain. Sebaliknya, dalam sistem ini terjadi kecenderungan bahwa yang akan terpilih dalam 13 besar adalah nama-nama yang telah ada di kepengurusan sebelumnya, dengan pergantian nama tidak lebih dari setengahnya.
Dengan seluruh uraian di atas, maka Muktamar-Muktamar di Muhammadiyah (sebagaimana dapat dilihat saat ini) selalu lebih kecil nuansa politiknya (less-politicized), karena pemilih tidak akan terbelah dalam blok-blok (mendukung paket A atau Paket B) secara eksklusif.
Itupun jika dikatakan bahwa blok itu ada. Bukankah memilih pimpinan Ormas keagamaan seharusnya tidak didasarkan pada banyak-banyakan dukungan, sebagaimana parpol, tetapi lebih karena kedalaman ilmu, keluasan wawasan, dan ketinggian akhlak? Wallahu a'lam.
*) Pramono U Tanthowi, MA adalah Sekretaris Lembaga Litbang PP Muhammadiyah, memperoleh gelar MA bidang Ilmu Politik dari University of Hawaii at Manoa.
(nwk/nwk)
Bagi sebagian orang, proses pemilihan pimpinan di Muhammadiyah ini dianggap rumit. Namun bagi kalangan internal sendiri, sistem ini dianggap lebih mampu membawa nuansa silaturahmi dan musyawarah, bukan nuansa politik. Tulisan singkat ini akan menjelaskan bagaimana seluk beluk sistem pemilihan ini, apa kelebihannya, apa kekurangannya, dan bagaimana implikasi politiknya.
Sebagaimana di organisasi-organisasi bentuk lain, seperti organisasi bisnis, organisasi paguyuban, organisasi politik, atau bahkan organisasi pemerintahan, seorang pemimpin organisasi sosial keagamaan (seperti Muhammadiyah) menempati posisi sangat sentral. Ia bukan sekedar representasi organisasi itu di ruang publik, namun bagaimana corak dan kebijakan organisasi tersebut ke depan akan banyak ditentukan oleh siapa yang memimpin organisasi tersebut.
Karena peran pemimpin organisasi sangat penting, maka aturan-aturan mengenai pemilihan pimpinan organisasi juga menjadi sangat penting. Karena, sebagaimana dalam pemilu, perbedaan sistem dapat mempengaruhi perbedaan hasil. Misalnya dalam Pilkada DKI tahun 2012 yang lalu.
Jika tidak ada aturan mengenai putaran kedua (sehingga siapapun yang memperoleh suara terbesar pada putaran pertama akan ditetapkan menjadi pemenang), sebagaimana aturan Pilkada serentak saat ini, maka Jokowi tidak akan pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sehingga cerita berikutnya bisa akan sangat berbeda.
Atau contoh lain (di organisasi kepemudaan dan parpol) mengenai batas minimal pengusul bagi seorang calon untuk dapat mengikuti pemilihan tahap berikutnya. Tinggi rendah batas pengusulan akan sangat mempengaruhi siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Karena begitu pentingnya aturan pemilihan tersebut, menjadi penting bagi kita untuk memahami dari mana aturan-aturan tersebut muncul. Dua pertanyaan secara khusus membutuhkan uraian jawaban.
Pertama, seberapa sering perubahan sistem pemilihan tersebut terjadi? Dan kapan perubahan itu dilakukan? Kedua, apa kepentingan atau nilai di balik penentuan sistem tersebut? Apakah penentuan tersebut semata-mata dipengaruhi kepentingan partisan jangka pendek, atau apakah ada nilai-nilai lebih luas bagi masyarakat?
Dalam tulisan ini, yang saya maksud dengan politik pemilihan berkaitan dengan banyak aspek: siapa yang berhak mencalonkan, siapa yang berhak memilih, siapa yang berhak dipilih, siapa yang berwenang menyelenggarakan pemilihan, bagaimana preferensi seorang pemilih diekpresikan ke dalam surat suara, dan bagaimana perolehan suara dikaitkan dengan keterpilihan seorang pemimpin.
Karena pentingnya sistem (atau tata tertib) pemilihan tersebut, tidak heran jika selalu muncul upaya untuk mengubah aturan-aturan pemilihan dalam setiap kali kongres, muktamar, atau musyawarah nasional setiap organisasi. Hal itu disebabkan karena tata tertib pemilihan menjadi instrumen yang paling dapat dimanipulasi, dan bisa didesain untuk mencapai tujuan-tujuan dan hasil-hasil tertentu. Karenanya, jika ada pihak yang ingin memenangkan calonnya dalam kongres, muktamar, atau munas, maka tata tertib pemilihan menjadi instrumen yang paling mungkin dan paling efektif untuk direkayasa.
Dalam organisasi Muhammadiyah, proses pemilihan di tingkat pusat berlangsung rumit dan lama. Proses ini dimulai dengan pembahasan tata tertib pemilihan (dan tata tertib muktamar) melalui Sidang Tanwir (lembaga permusyawaratan tertinggi kedua setelah Muktamar) lebih kurang satu tahun sebelumnya. Untuk Muktamar ke-47 ini, tata tertib pemilihan (dan tata tertib muktamar) telah disahkan sejak Tanwir di Samarinda pada akhir Mei 2014.
Berikutnya mengenai panitia pemilihan (Panlih), yang berwenang menangani proses pencalonan, verifikasi administrasi, pemungutan suara, dan penghitungan suara. Panitia pemilihan juga ditetapkan melalui Sidang Tanwir di Samarinda tersebut. Panlih terdiri dari wakil-wakil pimpinan wilayah, wakil organisasi otonom (ortom), dan wakil PP Muhammadiyah. Dan bagi sama sekali Panlih tidak ada larangan untuk dicalonkan.
Selanjutnya, terkait dengan sistem pemilihan secara keseluruhan meliputi lima tahap:
Pertama, adalah tahap nominasi atau pengusulan calon. Tahap ini dilakukan oleh setiap anggota PP (13 orang dan pengurus PP tambahan), Anggota Tanwir (4 orang dari setiap pimpinan wilayah se-Indonesia), dan 2 orang masing-masing pimpinan ortom. Sekitar 165 orang ini masing-masing mengusulkan 13 nama calon. Proses pencalonan ini berlangsung selama kurang lebih 3 bulan, dimulai sejak akhir tahun lalu.
Pada Muktamar kali ini, tersaring 108 nama calon. Selain syarat minimal 3 usulan, calon-calon tersebut harus memenuhi syarat minimal keanggotaan selama enam tahun, pernah menjadi pimpinan di ortom tingkat pusat atau majelis/lembaga di tingkat pusat, atau pimpinan di tingkat wilayah atau daerah.
Pada tahap kedua, Panlih menyebarkan formulir kesediaan kepada 108 calon tersebut. Dari jumlah tersebut, hanya terdapat 96 formulir yang dikembalikan. Dari 96 formulir yang dikembalikan, sebanyak 83 menyatakan bersedia, dan 13 calon menyatakan tidak bersedia. Dari 83 yang menyatakan bersedia tersebut, satu calon meninggal dunia, sehingga calon pimpinan Muhammadiyah tahun ini tinggal 82 nama.
Pada tahap ketiga, 82 nama calon tersebut dipilih dalam Sidang Tanwir pra-muktamar, yang dilaksanakan 2 hari sebelum pelaksanaan Muktamar. Dalam Sidang Tanwir ini, 82 nama tersebut dikerucutkan menjadi 39 nama. Pemilihan dilakukan oleh Anggota Tanwir (4 orang dari setiap pimpinan wilayah se-Indonesia), 1 orang wakil dari tiap Pimpinan Wilayah Aisyiyah se-Indonesia, 2 orang pimpinan masing-masing ortom, dan setiap anggota PP (13 orang dan pengurus tambahan). Setiap pemilih berhak memilih 39 nama di antara 82 calon tersebut. 39 nama yang terpilih dalam Sidang Tanwir tersebut lalu diajukan sebagai calon di Muktamar.
Pada tahap keempat, pemilihan di Muktamar akan mengerucutkan 39 nama menjadi 13 nama anggota PP Muhammadiyah. Pemilihan dilakukan oleh seluruh peserta Muktamar, yang terdiri dari pengurus PP Muhammadiyah, Pengurus PW Muhammadiyah, pengurus PD Muhammadiyah, dan ortom, yang secara keseluruhan berjumlah sekitar 2600 orang. Setiap pemilih, yang dibuktikan dengan surat mandat, berhak memilih 13 nama. Dan 13 nama yang memperoleh suara terbesar itulah yang nantinya disebut anggota PP Muhammadiyah.
Pada tahap kelima, 13 anggota PP Muhammadiyah tersebut lantas melakukan musyawarah tertutup untuk menentukan ketua umum dan sekretaris umum. Biasanya, yang memperoleh suara terbanyak secara konvensional ditetapkan sebagai ketua umum. Hal ini telah dijalankan saat terpilihnya Din Syamsuddin, Syafii Maarif, maupun Amien Rais.
Sistem pemilihan yang rumit dan panjang ini telah lama diadopsi Muhammadiyah. Tepatnya sejak 1990. Sebelumnya, Muhammadiyah menggunakan sistem formatur 9 (sejak 1950). Sebelum 1950, Muhammadiyah menggunakan sistem pemilihan langsung.
Dari uraian di atas, terlihat beberapa perbedaan sistem pemilihan di Muhammadiyah dengan organisasi politik maupun ormas lain.
Pertama, dalam hal pembahasan tata tertib pemilihan. Di Muhammadiyah, pembahasan dan penetapan tata tertib pemilihan dilakukan sekitar satu tahun sebelum Muktamar. Hal ini berbeda dengan parpol atau ormas lain, di mana pembahasan tata tertib pemilihan dilakukan dalam sidang komisi di forum kongres, muktamar, atau munas. Hal itu tidak jarang menimbulkan politisasi yang kadang sangat berlebihan, terutama karena pembahasan tata tertib pemilihan telah diarahkan untuk memenangkan atau menggagalkan salah satu calon.
Kedua, dalam hal penentuan Panlih. Penentuan Panlih di Muhammadiyah dapat dikatakan jauh dari nuansa politisasi. Di Kongres, munas, atau Muktamar parpol atau ormas lain, penentuan panlih biasanya merupakan pemanasan untuk melihat peluang kemenangan atau kekalahan salah calon, yang akan dilihat dari paket siapa yang terpilih sebagai panlih. Hal ini karena panlih juga dipilih oleh peserta (biasanya) berdasarkan paket. Sementara di Muhammadiyah, panlih ditetapkan pada Sidang Tanwir tahun sebelumnya, dan biasanya berdasarkan keterwakilan, yang penetapannya berdasarkan musyawarah mufakat.
Ketiga, dalam hal pencalonan. Di parpol atau ormas lain inisiatif pencalonan biasanya berasal dari kandidat, yang lalu diikuti dengan usaha mengumpulkan dukungan menjelang kongres, munas, atau muktamar. Sementara di Muhammadiyah, pencalonan berlangsung secara bottom up, dan sebagian besar dilakukan dari tingkat provinsi, sebelum jelas seorang tokoh bersedia dicalonkan kembali atau tidak.
Keempat, dalam hal bagaimana pemilih mengekspresikan preferensinya. Di Muhammadiyah, setiap pemilih menggunakan hak suaranya untuk memilih sejumlah orang: 39 nama dalam Tanwir, dan 13 nama dalam Muktamar. Peserta Muktamar tidak memilih ketua umum secara langsung. Sementara di parpol atau ormas lain, pemilihan ketum biasanya dilakukan secara langsung oleh peserta. Sementara untuk memilih formatur, peserta baru diberi keleluasaan untuk memilih sejumlah nama tertentu.
Uniknya sistem pemilihan dalam Muhammadiyah ini membawa beberapa kekurangan maupun kelebihan. Kekurangan yang sering diatribusikan pada sistem ini adalah:
(1) kadar demokratisnya seringkali dipertanyakan, karena pemilihan ketum hanya dilakukan oleh 13 orang anggota PP Muhammadiyah saja, tanpa melibatkan seluruh peserta;
(2) pemilih yang diharuskan memilih sejumlah nama (39 dan 13) cenderung mempertahankan status quo, karena sulit memunculkan nama-nama baru. Dalam istilah beberapa pihak, pemilihan di Muktamar Muhammadiyah ibarat hanya memperbarui SIM bagi sebagian besar pengurus, karena perubahan biasanya hanya terjadi pada beberapa orang saja.
Namun demikian, sistem pemilihan demikian juga membawa beberapa keuntungan, terutama dari sisi politik.
Pertama, sistem pemilihan di Muhammadiyah dapat mencegah kemunculan calon yang tidak punya track record di organisasi ini. Dengan sistem pencalonan yang bersifat bottom up dan persyaratan yang ketat (terutama pengalaman menjadi pengurus satu periode sebelumnya atau aktif di ortom), akan sulit bagi tokoh manapun yang tidak dikenal secara baik oleh pengurus di tingkat kab/kota dan provinsi untuk diajukan sebagai calon.
Kedua, sistem pemilihan di Muhammadiyah juga membuat Muhammadiyah relatif mampu mengeliminasi munculnya intervensi dari kekuatan politik eksternal. Sebagai sebuah Ormas besar yang memiliki bobot politik sangat besar, organisasi ini tentu menarik minat dari kekuatan-kekuatan politik eksternal untuk ikut "bermain". Terutama mendukung calon yang dianggap "ramah" dengan parpol tersebut, dan/atau tidak mendukung calon yang dianggap "tidak ramah".
Namun dalam sistem pemilihan di Muhammadiyah ini, pemilih tidak dihadapkan pada pilihan antara tokoh A, tokoh B, atau tokoh C. Dengan memilih 13 nama, muncul kecenderungan bagi pemilih untuk akomodatif terhadap sejumlah nama yang selama ini telah dikenal dengan baik. Karenanya sulit dibayangkan seorang pemilih hanya memilih beberapa nama yang diarahkan oleh parpol tertentu, dengan mengabaikan beberapa nama lain yang selama ini telah lama menjadi pengurus.
Ketiga, sistem pemilihan di Muhammadiyah juga dapat menjaga kontinuitas kepengurusan. Di Muhammadiyah tidak dikenal terjadinya pergantian sepenuhnya sebuah rezim oleh rezim berikutnya, sebagaimana di parpol atau ormas lain. Sebaliknya, dalam sistem ini terjadi kecenderungan bahwa yang akan terpilih dalam 13 besar adalah nama-nama yang telah ada di kepengurusan sebelumnya, dengan pergantian nama tidak lebih dari setengahnya.
Dengan seluruh uraian di atas, maka Muktamar-Muktamar di Muhammadiyah (sebagaimana dapat dilihat saat ini) selalu lebih kecil nuansa politiknya (less-politicized), karena pemilih tidak akan terbelah dalam blok-blok (mendukung paket A atau Paket B) secara eksklusif.
Itupun jika dikatakan bahwa blok itu ada. Bukankah memilih pimpinan Ormas keagamaan seharusnya tidak didasarkan pada banyak-banyakan dukungan, sebagaimana parpol, tetapi lebih karena kedalaman ilmu, keluasan wawasan, dan ketinggian akhlak? Wallahu a'lam.
*) Pramono U Tanthowi, MA adalah Sekretaris Lembaga Litbang PP Muhammadiyah, memperoleh gelar MA bidang Ilmu Politik dari University of Hawaii at Manoa.
(nwk/nwk)
No comments:
Post a Comment