Friday, August 26, 2011

Ukhuwah Kala Lebaran Beda

Ki Ageng Wibisono (Pimpinan Muhammadiyah)

on Friday, August 26, 2011 at 7:18pm

1. Pendahuluan

Umumnya orang berpandangan, bahwa beda pendapat, termasuk beda lebaran itu merusak dan bertolak belakang dengan ukhuwah dan akan menimbulkan masalah. Karena itu, banyak pihak tidak siap mental menghadapi perbedaan. Mereka beranggapan, ukhuwah itu identik dengan keseragaman. Sudut pandang seperti ini bisa menimbulkan peminggiran kreativitas. Orang akan malas berkreasi, khawatir menimbulkan perbedaan yang akan berujung pada stigma merusak ukhuwah. Ukhuwah memang memerlukan fondasi yang seragam untuk terbangunnya ukhuwah itu sendiri. Tanpa fondasi yang kokoh dan seragam, sulit dibangun suatu ukhuwah. Apalagi kalau substansi ukhuwah diacuhkan dan diabaikan. Tulisan ini hendak menjelaskan fondasi bangunan ukhuwah, substansi ukhuwah dan mengelola serta menghindarkan tergangguya ukhuwah.

2. Kategorisasi Perbedaan

Untuk kepentingan menjelaskan fondasi bangunan ukhuwah, substansi ukhuwah dan mengelola serta menghindarkan terganggunya ukhuwah, pertama-pertama akan dijelaskan kategorisasi perbedaan. Ada beberapa kategori perbedaan. Pertama, kategori al-tanawwu' fi al-'ibâdah; keanekaragaman dalam kaifiat dan bacaan dalam beribadah. Istilah ini berasal dari Ibn Taimiah (Majmû' Fatâwâ) untuk menyebut keanekaragaman kaifiat; tatacara dan bacaan dalam ibadah yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Misalnya doa iftitah. Rasulullah saw pernah membaca, Allâhumma bâ'id bainỉ wa baina khathâyâya ... hingga wa al-barad (HR Bukhari Muslim). Rasulullah juga pernah membaca (dalam iftitahnya), wajjahtu wajhia lilladzỉ fathara al-samâwâti wa al-ardh ... hingga astaghfiruka wa atûbuilaihi (HRMuslim).

Kedua, khilâfiah. Beda pendapat kategori ini, berasal dari produk pemikiran atau penafsiran terhadap suatu nash; baik al-Qur'an ataupun al-sunnah. Contoh yang relatif populer di kalangan umat Islam dalam hal ini adalah perbedaan pendapat mengenai batal tidaknya wudhu seseorang bila bersentuhan dengan lawan jenis. Sebagian ulama (di antaranya al-Syafi'i) berpandangan, menyentuh lawan jenis membatalkan wudhu. Ulama lain (di antaranya Abu Hanifah), berpendapat menyentuh lawan jenis tidak membatalkan wudhu Perbedaan ini merupakan produk penafsiran terhadap kalimah, lâmastum al-nisâ` pada QS. 5: 6. Bagi yang berpendapat bahwa menyentuh lawan jenis membatalkan wudhu, lâmastum al-nisâ`, dipahami bersentuhan biasa (tidak jima'). Mereka yang berpendapat, menyentuh lawan jenis tidak membatalkan wudhu, laamastum al-nisaa`, dipahami melakukan hubungan suami istri, bukan sekedar bersentuhan biasa.

Ketiga, al-Khurûj 'an al-haqq; keluar dari kebenaran atau penyimpangan. Perbedaan pendapat yang dapat dimasukkan ke kategori ini, adalah pendapat yang bertentangan dengan nash; al-Qur'an dan al-Sunnah. Contoh populer dalam hal ini adalah pengakuan seseorang sebagai nabi atau rasul. Pengakuan ini adalah palsu, menyimpang dan bertentangan dengan penegasan Nabi saw bahwa setelah beliau tidak ada nabi atau rasul; FALâ RASûLA BAD’ỉY WA Lâ NABIYYA (HR Muslim dari Abu Hurairah dan HR al-Turmudzi dari Anas ibn Malik).

Perbedaan dalam kategori al-tanawwu' fi al-'ibâdah, disikapi dengan menerima apa adanya keanekaragaman kaifiat dan aneka ragam bacaan dalam ibadah sepanjang hal itu diajarkan oleh Rasulullah saw. Dalam contoh membaca doa iftitah, bisa diamalkan kedua-duanya, karena hal tersebut merupakan praktik ibadah (shalat) yang diajarkan oleh Rasulullah saw dan bukan merupakan produk penafsiran. Orang Islam dipersilahkan memilih salah satunya, atau menggunakan keduanya secara bergiliran.

Dalam soal khilâfiah, toleransi antar sesama mutlaq diperlukan. Ada baiknya beda pendapat yang masuk kategori khilâfiah dikelola secara baik dengan berazaskan kemaslahatan.

Untuk beda pendapat yang masuk kategori al-Khurûj 'an al-haqq, sikap yang perlu dikedepankan adalah mengajak para penganutnya kembali ke jalan yang benar dengan bijak dan hikmah, menghindari cara-cara kekerasan dan tidak main hakim sendiri dengan tetap mengacu pada QS. 16: 125). Kepada umat Islam dihimbau untuk berhati-hati dan menolak ajaran yang sudah keluar dari kebenaran tersebut.

3. Tiga Cara Penetapan Awal Bulan

Pertanyaan kemudian, masuk kategoari apa perbedaan dalam menentukan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 1 Dzul Hijjah? Jawabannya, penentuan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 1 Dzulhijjah masuk kategori khilafiah karena ia merupakan produk ijtihadiah. Perbedaan tersebut merupakan produk pemahaman terhadap suatu nash. Yang diperdebatkan adalah cara memastikan kapan hilal dianggap telah ada. Dalam hal ini, sekurang-kurangnya ada tiga cara yang dipergunakan untuk penetapan awal bulan:

Pertama, ru'yaţ al-hilâl bi al-fi’li: melihat hilal (bentuk semu bulan/bulan sabit yang paling kecil) dengan mata telanjang. Metode ini memutlakan terlihatnya hilal oleh mata telanjang sebagai penentu awal bulan. Jika hilal tidak kelihatan disebabkan oleh cuaca mendung, tertutup awan atau sebab lainnya yang menyebabkan hilal tidak terlihat, maka jumlah hari dalam satu bulan digenapkan menjadi 30 hari.

Argumentasi untuk metode ini adalah hadis riwayat Bukhâriy dari Abû Hurairah dan hadis riwayat Bukhâriy dari Ibn Umar r.a. Pada hadis dari Abû Hurairah itu Nabi saw menegaskan bahwa, kewajiban berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihatnya. Apabila terhalang melihatnya, maka umur bulan sya'ban disempurnakan dalam bilangan 30 hari. Pada hadis dari Ibn Umar r.a, Nabi saw berpesan untuk tidak berpuasa Ramadhan sehingga hilal dilihat, dan tidak berbuka sebelum melihat hilal. Jika terhalang (melihat) hilal, usia Ramadhan digenapkan 30 hari.

Kedua, imkân al-ru`yah (Kemungkinan terlihat hilal): Dalam metode ini, hadis Rasulullah saw mengenai ru'yaţ al-hilâl di atas dijadikan dalil sebagaimana pada metode pertama (ru'yaţ al-hilâl bi al-fi’li), namun yang menjadi substansi dari hadis tersebut dalam metode ini, bukan terletak pada melihat hilal akan tetapi terletak pada mungkinnya hilal itu dapat dilihat. Untuk menentukan kemungkinan terlihatnya hilal, dalam metode ini digunakan ilmu hisab atau astronomi. Namun para ahli hisab yang mendukung aliran ini masih berbeda pendapat dalam menetapkan kriteria hilal yang mungkin dapat dilihat. Ada yang hanya menetapkan ketinggian hilal saja dan ada yang menambah dengan kriteria sudut pandang (angular distance). Kriteria ketinggian hilal pun masih terdapat perbedaan, ada yang menetapkan minimal 7 derajat, ada yang 6 derajat dan ada pula yang hanya 3 derajat. Bahkan di Indonesia ditetapkan minimal kemungkinan terlihatnya hilal 2 derajat. Penetapan batas minimal di Indonesia tersebut banyak ditentang oleh ahli Astronomi/Hisab karena sangat kecil kemungkinan atau bahkan mustahil hilal bisa terlihat.

Ketiga, Hisab Hakiki/ wujûd al-hilâl: metode ini menegaskan bahwa awal bulan qamariah (termasuk Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah) dimulai sejak saat terbenam Matahari setelah terjadi ijtimâ' (konjungsi atau batas dan tanda usia bulan berakhir), dan Bulan (hilal) pada saat itu belum terbenam, tapi masih berada di atas ufuk (horizon). Dengan demikian, secara umum, kriteria yang dijadikan dasar untuk menetapkan awal bulan qamariah adalah dimulai sejak saat terbenam matahari setelah terjadi ijtimâ' dan pada saat terbenam matahari hilal belum terbenam atau masih berada di atas ufuk berapapun ketinggiannya. Metode terakhir ini, sebagaimana Imkân al-Ru'yah dan Ijtimâ' qabl al-ghurûb menggunakan ilmu Hisab/Astronomi. Adapun perbedaannya, metode wujûd al-hilâl tidak mempermasalahkan tingkat ketinggian atau besarnya hilal sebagaiamana dalam imkân al-ru`yah. Yang penting hilal itu telah wujud berapapun ketinggiannya. Sedangkan perbedaan dengan Ijtimâ' qabl al-ghurûb, wujûd al-hilâl mensyaratkan kedudukan bulan masih belum terbenam atau masih di atas ufuk saat Matahari terbenam.

4. Pilihan sikap

Sebagaimana diketahui, upaya mencari titik temu selalu dilakukan. Namun demikian, belum ditemukan kriteria yang disepakati dalam menentukan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Para pihak dengan keyakinan masing-masing bertahan pada posisi masing-masing sesuai dengan pemahaman yang sudah diyakini kebenarannya. Penganut rukyat bertahan dengan rukyatnya. Penganut Imkân al-Ru'yah bertahan dengan Imkân al-Ru'yah-nya. Penganut wujûd al-hilâl bertahana dengan wujûd al-hilâl-nya. Ketiga aliran ini terkadang bisa memulai puasa atau berlebaran bareng ketika posisi hilal tiga hingga lima derajat. Ketiga aliran memulai puasa bareng pada awal Ramadhan lalu, karena posisi hilal yang lima derajat dan ada laporan hilal dapat dilihat di Makassar, Madura dan Gresik. Kondisi alam menyatukan ketiga aliran tersebut, bukan kriteria yang disepakati. Ketika posisi hilal yang kurang dari dua derajat seperti akhir Ramadhan (29 Ramadhan) tahun ini, potensi beda lebaran menjadi sangat besar. Dalam kondisi seperti ini ada baiknya posisi pemerintah tetap mengacu kepada UUD 45 Pasal 29 karena mengakhiri puasa itu terkait dengan kebebasan beragama yang merupakan amanat konstitusi. Dalam UUD 45Pasal 29 ayat (2) disebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam Pasal 28E tentangHak Asasi Manusia hasil amendemen UUD 1945 tahun 2000 disebutkan,(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya… (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Dengan kriteria tinggi hilal minimal dua derajat dan bisa dilihat, pemerintah diperkirakan akan menetapkan 1 Syawal 1432 H jatuh pada hari Rabu, 31 Agustus 2011. Dengan mengacu pada konstitusi tersebut, pemerintah ada baiknya tetap memberi peluang kepada masyarakat yang sesuai dengan pemahaman yang diyakini, menetapkan 1 Syawal 2011 jatuh pada 30 Agustus 2011. Pemberian peluang tersebut dieksplisitkan pada salah satu bagian putusan sidang itsbat dan ditambahkan himbauan kepada semua pihak, terutama pemerintah daerah untuk bisa menghormati mereka yang bersatu syawal tgl 30 Agustus serta tidak memberikan stigma berseberangan dengan pemerintah. Dalam menyikapi lebaran ini, masyarakat dapat memilih hari lebaran yang dimantapi. Perbedaan lebaran adalah wiayah khilafiah. Umat Islam dibenarkan memilih sesuai dengan kemantapan dan keyakinannya. Beda lebaran tidak identik dengan merusak ukhuwah.

5. Fondasi dan Substansi UKHUWAH

Di muka telah dikemukakan bahwa, ukhuwah memerlukan fondasi yang seragam untuk terbangunnya ukhuwah itu sendiri. Tanpa fondasi yang kokoh dan seragam, sulit dibangun suatu ukhuwah. Apalagi kalau substansi ukhuwah diacuhkan dan diabaikan. Dengan mengacu pada QS. 49: 10, Al-Alusi dalam kitab Rauhu al-Ma’ânỉ fỉ Tafsỉr al-Qur’ânỉ wa al-Sab’i al-Masânỉ, berpandangan bahwa fondasi ukhuwah adalah keimanan. Dengan keimanan itu, setiap individu muslim diikat dalam suatu persaudaraan permanen yang menempatkan satu sama lain hidup dalam satu ikatan. Ikatan seiman dan keimanan kepada Allah, kapada para malaikat, kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah, kepada Rasul-Rasul Allah, kepada hari akhir (QS. 4: 136) dan keimanan kepada qadar Allah (HR. Muslim dari Abu Hurairah dan Umar ibn a-Khaththab). Mengabaikan unsur-unsur keimanan tersebut menempatkan seseorang pada kesesatan (QS. 4: 136) dan tercerabut dari fondasi ukhuwah. Substansi ukhuwah dengan demikian, bukan terletak pada keseragaman akan tetapi pada terpeliharanya fondasi ukhuwah dan adanya semangat saling menghargai, saling mendukung, saling memperkokoh (yasyuddu ba’dhuhû ba’dhan) dan saling mengasihi serta saling peduli (ftalâthufihim wa tarâhumihim). Substansi lain adalah, adanya upaya secara terus menerus melakukan ishlah, perbaikan, kedamaian dan keharmonisan betatapapun dalam perbedaan pandangan dan pemikiran.

6. Catatan Penutup

Sebagai catatan penutup dalam uraian ini, dikemukakan bahwa yang ideal memang memiliki fondasi dan substansi ukhuwah, sekaligus ada keseragaman pandangan. Disatukan oleh ikatan keimanan dan memiliki semangat saling menghargai, saling mendukung, saling memperkokoh (yasyuddu ba’dhuhû ba’dhan), saling mengasihi, saling peduli (ftalâthufihim wa tarâhumihim) dan memiliki keseragaman pandangan. Manakala keseragaman belum bisa digapai, fondasi dan substansi ukhuwah relevan untuk dikedepankan. Bagi mereka yag memilih berlebaran 30 Agustus 2011, dituntut tetap menghargai, menghormati dan melindungi mereka yang memilih berlebaran 31 Agustus 2011. Begitu pula, mereka yang memilih berlebaran 31 Agustus 2011, dituntut tetap menghargai, menghormati dan melindungi mereka yang memilih berlebaran 31 Agustus 2011. Apapun pilihan yang diambil, semangat saling menghargai, saling mendukung, saling memperkokoh dan saling mengasihi serta saling peduli, selalu dikedepankan. Wallâh A’lam bi al-Shawâb

Retrieved from: http://www.facebook.com/notes/ki-ageng-wibisono/ukhuwah-kala-beda-lebaran/10150263254188639

No comments:

Post a Comment