Koran Sindo, Jum'at, 10 Februari 2017
Ahmad Najib Burhani*
Ketika Azyumardi Azra
CBE (2015) menyampaikan pandangannya bahwa Indonesian
wasathiyya Islam is too big to fail, beberapa kali saya menegaskan keraguan
dan kekhawatiran atas tesis tersebut. Memang, bila dilihat dari respon umat
Islam terhdap terorisme, maka Islam moderat sepertinya akan menjadi pemenang.
Dan bila dilihat dari wujud dan kuantitas warga NU (Nahdlatul Ulama) dan
Muhammadiyah, yang sering dianggap sebagai representasi dari Islam wasathiyya, maka keduanya sepertinya
akan terus mewarnai pandangan keagamaan di Indonesia pada tahun-tahun
mendatang.
Namun bila melihat
beberapa fenomena belakangan ini, seperti berbagai aksi intoleransi terhadap
minoritas, mudahnya membully secara
berjamaah kepada mereka yang berpandangan berbeda, dan terjadinya konflik
keagamaan hanya karena persoalan sepele, maka ada kekhawatiran bahwa Islam
moderat di Indonesia itu sudah goyah. Tindakan intoleransi, diskriminasi dan bigotry memang bukanlah masuk kategori
terorisme, namun itu bisa menjadi awal dari perilaku yang bisa berujung pada
terorisme.
Ancaman melemahnya Islam
moderat itu juga bisa dilihat dari penyebaran otoritas keagamaan dengan
hadirnya da’i dan muballigh instant,
infiltrasi pandangan non-wasathiyya
ke NU dan Muhammadiyah, masuknya berbagai gerakan keagamaan trans-nasional
dengan agenda yang bertentangan dengan semangat untuk hidup dalam masyarakat
majemuk, serta instant-learning agama
karena media sosial dan teknologi informasi lain. Jika tak sadar dan waspada,
maka kegagalan Islam moderat itu bukanlah sesuatu yang mustahil. Bukan sekarang
tentunya, tapi jika tak diantisipasi bisa terjadi pada tahun-tahun yang akan
datang.
Kekhawatiran itu seperti
semakin mendapatkan peneguhan ketika melihat perkembangan yang terjadi di
Amerika Serikat, Filipina, dan Inggris. Amerika yang selama ini dinggap sebagai
pusatnya toleransi dan multikulturalisme ternyata secara mengejutkan memilih
presiden (Donald Trump) yang sepertinya anti terhadap prinsip-prinsip yang
membuat Amerika seperti sekarang ini. Kemenangan kelompok konservatif sedang
menyebar di seluruh dunia, baik itu konservatisme Islam, Kristen, maupun agama
lainnya. Inilah yang kemudian membuat tulisan ini ingin menyebut fenomena
sekarang ini sebagai the triumph of
conservatism (kemenangan konservatisme).
Buya Ahmad Syafii Maarif
Salah satu tantangan
nyata terhadap otoritas keagamaan tradisional, yang menjadi fondasi bagi Islam
moderat, adalah apa yang dialami oleh Buya Ahmad Syafii Maarif. Tokoh yang
sejak kecil belajar agama dalam sistem pendidikan Islam di Minangkabau,
dilanjutkan dengan sekolah guru di Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, dan
menempuh pendidikan doktoral dalam kajian Islam di Universitas Chicago,
tiba-tiba dipertanyakan otoritasnya berbicara agama oleh mereka yang baru
kemarin sore belajar Islam. Ini adalah sesuatu yang sangat menggelikan, namun
betul-betul terjadi.
Buya Syafii yang selama
delapan tahun (1998-2005) dipilih untuk memimpin Muhammadiyah, organisasi
modernis terbesar di Indonesia dengan puluhan juta anggota, tiba-tiba
dipertanyakan kredibilitasnya dalam memahami Al-Qur’an oleh mereka yang membaca
Al-Qur’an pun barangkali belum fasih. Orang-orang yang belajar Islam melalui
google, facebook, dan twitter tiba-tiba merasa lebih mengerti Islam daripada
imam dari jutaan jamaah Muhammadiyah. Mereka lebih percaya dan menggandrungi
kelompok celebrity preachers yang
memiliki pengetahuan agama dangkal tapi penampilannya penuh dengan aksesoris
dan simbol-simbol agama, atau lebih tepatnya simbol Arab. Mereka bahkan sering
menjadikan kelompok “ulama” ini sebagai kiblat dalam beragama.
Fenomena yang dialami
oleh Buya Syafii ini oleh Julia Day Howell dianggap sebagai pergeseran otoritas
keagamaan dari high-brow (terdidik
dan berpengetahuan) ke low-brow
(dadakan namun gemerlapan) karena adanya revolusi teknologi informasi, terutama
televisi dan media sosial. Yang menjadi daya tarik dari agamawan baru ini
bukanlah kedalaman pengetahuan, tapi performance
dan entertainment yang didukung oleh
media.
Berkaitan dengan
revolusi teknologi informasi dan komunikasi, tentu saja diakui bahwa ia
memudahkan manusia dalam memperoleh data, memberikan akses terhadap sesuatu
yang sebelumnya hanya dimiliki oleh kalangan tertentu. Namun kelemahannya,
seringkali informasi dan data yang kita peroleh sebetulnya hanyalah yang sesuai
dengan keinginan kita. Data yang kita peroleh adalah yang sesuai dengan status
yang kita buat, info yang kita cari, dan teman yang kita miliki. Intinya, apa
yang kita dapat adalah yang sesuai dengan algoritma pikiran kita selama ini.
Sehingga, jika teman-teman kita adalah kelompok liberal atau konservatif, maka
info yang lebih banyak masuk tentu saja sesuai dengan algoritma itu. Ini yang
membuat orang tanpa mengecek dulu siapa Buya Syafii Maarif dengan mudahnya
membagi dan retweet meme-meme jahat
tentang Buya.
Menghargai Perbedaan
Diantara ciri Islam wasathiyya (Islam moderat) adalah sikap tasamuh (toleransi), tawazun (berimbang), dan I’tidal (adil). Ini, misalnya,
diwujudkan dalam mensikapi dan menghargai perbedaan. Imam Syafii, yang menjadi
panutan dalam bidang fikih oleh kelompok Muslim moderat, dikenal dengan qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat baru) yang menunjukkan
kesedian berubah dan menerima perbedaan jika ada argumen yang lebih kuat.
Mengikuti tradisi ulama,
pesantren kita memahami betul semboyan qauluna
shahih yahtamilul khata', qauluhum khata' lakin yahtamilul shahih
(pandangan kita benar, tapi bisa jadi mengandung kesalahan. Pandangan mereka
salah, tapi bisa jadi mengandung kebenaran). Ini adalah refleksi tentang
penghargaan terhadap mereka yang berbeda pandangan, termasuk dalam isu-isu yang
serius. Tidak main mutlak-mutlakan.
Nilai-nilai moderatisme
itu yang belakangan terasa hilang. Karena berbeda pandangan, ada kader
Muhammadiyah yang secara kurang tawadhu’
menyebut Buya Syafii bicara “ngelantur”.
Ada pula yang memplesetkan Buya menjadi buaya atau menyebutnya “tua Bangka”,
“bau tanah”, dan “sudah mau mati”.
Bahkan banyak sekali
kata-kata yang lebih parah dan tidak merefleksikan ajaran Islam tentang bagaimana
bersikap terhadap orang tua. Padahal Nabi Muhammad berpesan: laisa minna man lam yarham saghirana walam
yuwaqqir kabirana (bukanlah bagian dari umatku mereka yang tak menyayangi
yang lebih kecil/ lemah/ minoritas dan mereka yang tak menghormati yang lebih
besar/ tua/ mayoritas).
-oo0oo-
good jobs pak
ReplyDelete