Koran Sindo, Jum'at, 6 Januari 2017, h. 7
Ahmad Najib Burhani*
Aksi Bela Islam I, II, dan III yang dilakukan pada 14 Oktober
2016, 4 November 2016, dan 2 Desember 2016 merupakan critical event (peristiwa yang sangat penting) untuk melihat
perkembangan keagamaan di Indonesia. Salah satunya berkaitan dengan fragmentation of religious authority
(fragmentasi atau terpecah-pecahnya otoritas keagamaan). Ini diantaranya bisa
dilihat dari anjuran dari Said Agil Siradj, ketua umum PBNU, yang tidak
diindahkan oleh sebagian warga NU.
Siradj menganjurkan warga NU untuk tidak bergabung dalam Aksi
Bela Islam III dan NU bahkan mengeluarkan fatwa bahwa sholat Jum'ah di jalan
raya adalah tidak sah. Alih-alih mengikuti anjuran ini, beberapa pesantren di
Jawa Barat seperti Ciamis dan Tasikmalaya justru mengirimkan santri-santrinya
untuk pergi ke Monas dengan berjalan kaki. Tentu afiliasi keormasan dari
pesantren-pesantren itu perlu dilihat kembali. Namun tidak bisa dipungkiri
bahwa banyak dari warga NU yang bergabung dalam Aksi Bela Islam III.
Apa yang terjadi di NU itu juga terjadi di Muhammadiyah. Anjuran
Haedar Nasir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, kepada warganya untuk tidak turun
aksi seperti fall on deaf ears, tak
dihiraukan oleh beberapa anggota Muhammadiyah. Alih-alih mengikuti anjuran
ketua umumnya, banyak warga NU dan Muhammadiyah yang memilih bergabung dengan
Habib Rizieq Shihab, Abdullah Gymnastiar, Arifin Ilham, Bachtiar Nasir, dan
Zaitun Rasmin untuk melakukan aksi yang terpusat di tugu Monas (Monumen
Nasional) Jakarta.
Selama ini Habib Rizieq Shihab, jika dianggap sebagai ulama,
maka ia adalah bagian ulama pinggiran atau ulama jalanan. Dalam istilah
akademik, ia biasanya disebut low-brow ulama
dan sering dikontraskan dengan high-brow ulama
semisal Quraish Shihab dan Ma’ruf Amin. Amin Abdullah sering menyebut Shihab
dan FPI (Front Pembela Islam) yang dipimpinnya sebagai noisy minority (kelompok kecil yang berisik). Bahkan Buya Ahmad
Syafii Maarif sama sekali tak menganggap mereka sebagai ulama. Istilah Buya
untuk mereka adalah para preman berjubah. Namun Aksi Bela Islam III seakan
telah mengubahnya dari orang marjinal dan
peripheral menjadi salah satu tokoh nasional.
Rizieq menjadi khatib dalam sholat Jum'at yang berpusat di Monas
yang secara tak sengaja dihadiri oleh Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf
Kalla, Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin, Menteri Polkam Wiranto, Panglima
TNI Gatot Nurmanto, Kapolri Tito Karnavian, dan pimpinan negara yang lain. Pada
hari itu, ia seperti menjadi pimpinan dari jutaan umat Islam Indonesia. Aksi
Bela Islam III seperti telah menyulapnya menjadi tokoh yang tak bisa dikecilkan
atau diabaikan.
Sebelum Aksi Bela Islam III atau disebut juga sebagai Aksi 212,
pemerintah dan juga banyak dari elemen umat Islam bukan hanya tak memandang
Habib Rizieq. Pemerintah cenderung mengacuhkan dan mengabaikannya. Jokowi
berusaha mengontrol suasana dengan mengundang ulama dari NU, Muhammadiyah, dan
MUI untuk datang ke istana negara. Jokowi bahkan mendatangi kantor PP
Muhammadiyah di Menteng dan kantor PBNU di Kramat untuk bertemu dengan pimpinan
kedua organisasi tersebut. Ia bahkan membuat peristiwa penting dengan
menghadiri penutupan Rakernas Pemuda Muhammadiyah di Tangerang. Namun Presiden
mengabaikan atau tidak mau mengadakan pertemuan dengan pimpinan Aksi Bela Islam
yang tergabung dalam GNPF-MUI (Gerakan Nasional Pembela Fatwa - Majelis Ulama
Indonesia).
Setelah peristiwa 212, Rizieq Shihab dan GNPF-MUI seperti tak
ingin kehilangan panggung dan momentum yang telah mengangkat mereka ke panggung
nasional. Diadakanlah Aksi Sholat Subuh Berjamaah pada 12 Desember 2016. Mereka
juga merancang Aksi Bela Islam IV atau yang dalam beberapa meme disebut sebagai Aksi Lempar Jumrah pada 6 Januari 2017 jika
tuntutan mereka agar Ahok dipenjarakan karena dianggap melecehkan Islam tidak
terpenuhi.
Berbeda dari NU dan Muhammadiyah yang memiliki berbagai amal
usaha semisal rumah sakit, sekolah, dan pesantren yang harus selalu diurus,
Shihab dan FPI tidak memiliki lembaga-lembaga semisal itu. Gerakan utamanya
adalah melakukan demonstrasi dan sweeping
tindakan yang dianggap sebagai maksiat dengan menggunakan semboyah "amar
ma'ruf nahi mungkar". Karena tak punya amal usaha, maka tak ada kesibukan
yang menyita pikiran dan tenaganya selain untuk aksi demo dan sweeping.
Selama ini dalam melakukan aksi-aksinya, Shihab lebih banyak
mendapat kecaman dari masyarakat, termasuk dari umat Islam. Momentum 212 telah
mengubahnya dari zero to hero, dari
seorang pecundang menjadi pahlawan. Bahkan beberapa meme yang tersebut di media sosial telah mempersonifikasi sosok
Shihab seperti sosok Umar bin Khattab, sahabat Nabi Muhammad dan khalifah kedua
dalam sejarah Islam yang terkenal dengan ketegasan dan keberaniannya. Karena
itulah, ia ingin terus memelihara momentum tersebut dan membuat gerakan ini
terus bergulir atau jika memungkinkan seperti snow ball yang semakin membesar.
Selain Aksi Sholat Subuh berjamaah pada 12 Desember, Shihab dan
GNPF juga menjadikan semangat 212 sebagai alat kebangkitan ekonomi umat Islam
dengan mengadakan FGD bertema: "Revolusi Ekonomi, Terobosan Ekonomi
Umat". Dan masih dengan semangat 212, ketika MUI mengeluarkan fatwa
tentang atribut yang berkaitan dengan natal, maka sweeping pun dilakukan oleh anggota-anggota FPI di berbagai toko,
swalayan, dan kantor-kantor.
Pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan berkaitan dengan Aksi
Bela Islam I, II, dan III itu diantaranya adalah: Dalam fragmentasi otoritas
ulama sekarang ini, bagaimana kita melihat peran dan posisi NU dan
Muhammadiyah? Apakah Rizieq Shihab akan terus memiliki peran lebih besar,
pengaruh lebih luas, dan dipandang sebagai tokoh nasional yang diikuti setelah
peristiwa ini? Bagaimana dengan peran media sosial dalam penciptaan fragmentasi
otoritas keagamaan ini? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan
kajian serius. Ini juga merupakan pertanyaan yang menjadi titik tolak untuk melihat
keberagamaan di Indonesia pada beberapa tahun mendatang.
-oo0oo-
*Peneliti
Senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
http://nasional.sindonews.com/read/1168539/18/aksi-bela-islam-dan-fragmentasi-otoritas-keagamaan-1483668174
No comments:
Post a Comment