Republika, Selasa, 27 Oktober 2015, 14:00 WIB
Muhammadiyah merupakan organisasi Islam besar di Indonesia yang punya sejarah panjang dalam kehidupan sosial dan politik nasional. Dalam sejarahnya yang sudah lebih dari satu abad di bumi Nusantara, Muhammadiyah sedikit banyak berinteraksi dengan institusi politik formal, baik itu partai politik, pemerintah, parlemen, dan institusi peradilan.
Dalam kaitan berinteraksi dengan institusi negara, Saud El Hujaj membagi dalam tiga model. Pertama, Muhammadiyah tidak ikut campur perpolitikan negara seperti pada masa Hindia Belanda. Muhammadiyah bukan agen negara dan bukan musuh negara.
Kedua, Muhammadiyah diposisikan sebagai subordinat kekuasaan yang memaksa sebagaimana pada masa pemerintahan Jepang. Namun, hal itu membawa kepada keselamatan organisasi dan tetap berlangsungnya amal usaha Muhammadiyah dalam amar makruf nahi mungkar. Ketiga, Muhammadiyah masuk ke dalam wacana negara dan partai politik yang bisa dilihat dari keterlibatan tokoh dan artikulasi kepentingannya melalui partai politik.
Keterlibatan Muhammadiyah dalam politik tampak nyata. Meskipun pada Muktamar ke-38 Muhammadiyah yang digelar di Makassar pada 1971 ditegaskan Muhammadiyah tak terlibat politik praktis, perilaku Muhammadiyah melalui tokohnya bersifat akomodatif dalam mengartikulasikan kepentingan melalui partai politik, misalkan pembentukan Partai Islam Indonesia (PII), Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), Partai Masjumi, Partai Muslimin Indonesia, dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Kendati sempat mengambil jarak, sejak masa kepemimpinan Amien Rais, Muhammadiyah kembali tampil dan memainkan peranan penting sebagai kekuatan sosial untuk mengoreksi pemerintah. Upaya ini dilanjutkan Ahmad Syafii Maarif dan Din Syamsuddin. Pada masa Din Syamsuddin, upaya korektif dilakukan melalui jalur formal dengan mengajukan judicial review terhadap undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi.
Langkah Muhammadiyah menguji UU yang dipandang bertentangan dengan Islam dan merugikan rakyat kecil menjadikan Muhammadiyah bukan saja organisasi gerakan sosial, tapi juga gerakan pembaruan hukum. Hal ini memperkuat posisi Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan yang mendorong perubahan kebijakan sekaligus kelanjutan kegiatan politik tak langsung (high politics) yang diwariskan Amien Rais.
Muhammadiyah tampil berbeda dalam diskursus mengenai konstitusi, khususnya hubungan antara Islam dan negara. Sejak didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, diskursus pemikiran ideologis demikian tak begitu mendapat perhatian besar. Sebab, Muhammadiyah sejak awal bersifat kultural dalam membela kaum lemah, seperti mengembangkan pendidikan, panti asuhan, dan pelayanan kesehatan. Gerakan kultural itu sedari awal oleh KH Ahmad Dahlan disebut sebagai gerakan Islam nonpolitik, tetapi tidak antipolitik (Syaifullah 2015).
Keterlibatan pertama Muhammadiyah dalam diskursus ketatanegaraan terjadi pada masa perumusan Piagam Jakarta. Salah satu anggota Panitia 9 yang merumuskan adalah kader Muhammadiyah, Prof KH Abdoel Kahar Moezakir. Namun, keterlibatan Prof Abdoel Kahar Moezakir di Panitia 9 tidak dapat disimpulkan sebagai sikap politik Muhammadiyah.
Sejak saat itu, pandangan Muhammadiyah terhadap hubungan Islam dan negara lebih bersifat substansial daripada formal. Menurut Masdar F Mas'udi, UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia memang tidak ditulis dengan bahasa agama, tetapi nilai-nilainya sejalan dengan ajaran Islam.
Agenda utama umat Islam Indonesia bukanlah memperjuangkan formalisasi negara Islam, tapi merealisasikan nilai dan aturan konstitusi yang Islami itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara sungguh-sungguh. Ajaran Islam yang dimaksud bukan bersifat detail (juz'iyat dan tfshiliyat), tapi fundamental (muhkamat) dan mendasar (ushuliyat) sebagai garis pemisah antara yang sejati (haqq) dari yang palsu (bathil), antara yang terpuji (mahmudah) dari yang tercela (madzmumah).
Pada titik inilah kita melihat bertemunya pandangan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama terkait hubungan antara Islam dan negara, yaitu dalam pandangan melihat similaritas antara ajaran Islam dan norma konstitusi.
Hal itu sejalan dengan pandangan Sukarno mengenai negara Islam. Menurutnya, Islam adalah api yang menyinari kehidupan, bukan abunya. Sukarno menghendaki ajaran Islam yang menjadi penerang dan yang membuat semangat berkobar-kobar dalam penyelenggaraan negara.
Sedangkan, Hatta mengambil perumpamaan lain. Bagi Hatta, "Negara Islam" menempatkan Islam sebagai garam kehidupan, tidak terlihat mata, tetapi terasa maknanya; bukan Islam gincu, yang mencolok mata, tapi tidak ada rasa apa-apa.
Muhammadiyah bukanlah partai politik, tapi organisasi yang terkadang dikualifikasikan sebagai organisasi masyarakat, organisasi agama, organisasi sosial, maupun organisasi pendidikan. Syaifullah mengategorikan Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan yang pada umumnya menggunakan empat saluran dalam memperjuangkan aspirasinya, yaitu demonstrasi dan kekerasan, hubungan pribadi, perwakilan langsung (formal-institusional), dan saluran formal instusi lain seperti media massa.
Dalam realitanya, Muhammadiyah menggunakan saluran hubungan pribadi melalui lobi, perwakilan langsung atau institusi formal seperti judicial review UU kepada MK, dan penggunaan media massa. Di antara itu, yang paling dominan penggunaan saluran hubungan pribadi melalui keterampilan lobi dengan pemilik kewenangan.
Beberapa tahun terakhir, strategi menggunakan institusi formal melalui judicial review UU yang bermasalah diajukan kepada MK. Din Syamsuddin selaku ketua umum PP Muhammadiyah saat itu menyebut langkah ini sebagai "Jihad Konstitusi".
Jihad berasal dari kata juhada-yujahidu yang secara harfiah berarti sungguh-sungguh atau "berusaha secara sungguh-sungguh mencapai sesuatu yang diyakini bernilai tinggi dalam keseluruhan hidup yang bersangkutan". (QS al-Ankabut ayat [29]: 69).
Lalu bagaimana istilah jihad yang selalu dikaitkan dengan tindakan berlandaskan hukum Islam disandingkan dengan upaya pembelaan konstitusi? Jihad konstitusi atas dasar pandangan bahwa nilai Islam telah tecermin di dalam konstitusi. Penegakan konstitusi secara tidak langsung adalah penegakan ajaran Islam.
Selain itu juga semangat pembelaan terhadap warga yang lemah, bahwa negara sebagai pelindung dan penegak keadilan harus menempatkan warga yang lemah sebagai prioritas agendanya sehingga keadilan (keseimbangan dan kesetaraan) bisa diwujudkan.
Mendorong perubahan melalui jalur peradilan konstitusi ini memiliki posisi strategis bagi Muhammadiyah, mengingat perwakilan Muhammadiyah di parlemen yang kurang signifikan. Penelitian Syaifullah menunjukan, rata-rata kader Muhammadiyah di pemerintahan maupun parlemen (DPR dan DPD) berkisar 5-6 persen dari jabatan di DPR, DPD, dan kementerian negara.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan realitas bahwa Muhammadiyah memang tidak representatif kalau harus berjuang di dunia politik. Muhammadiyah juga termasuk "puritan" berpolitik, cenderung lugu dan lugas, tidak mampu "luwes" dan "zigzag" sehingga berpengaruh pada kemampuannya mengalokasikan sumber daya kadernya.
Dalam situasi itu, langkah judicial review UU yang merugikan kepentingan rakyat kecil merupakan langkah strategis bagi gerakan Muhammadiyah.
Syaiful Bakhri
Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta
http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/10/27/nwva472-genealogi-jihad-konstitusi
Muhammadiyah merupakan organisasi Islam besar di Indonesia yang punya sejarah panjang dalam kehidupan sosial dan politik nasional. Dalam sejarahnya yang sudah lebih dari satu abad di bumi Nusantara, Muhammadiyah sedikit banyak berinteraksi dengan institusi politik formal, baik itu partai politik, pemerintah, parlemen, dan institusi peradilan.
Dalam kaitan berinteraksi dengan institusi negara, Saud El Hujaj membagi dalam tiga model. Pertama, Muhammadiyah tidak ikut campur perpolitikan negara seperti pada masa Hindia Belanda. Muhammadiyah bukan agen negara dan bukan musuh negara.
Kedua, Muhammadiyah diposisikan sebagai subordinat kekuasaan yang memaksa sebagaimana pada masa pemerintahan Jepang. Namun, hal itu membawa kepada keselamatan organisasi dan tetap berlangsungnya amal usaha Muhammadiyah dalam amar makruf nahi mungkar. Ketiga, Muhammadiyah masuk ke dalam wacana negara dan partai politik yang bisa dilihat dari keterlibatan tokoh dan artikulasi kepentingannya melalui partai politik.
Keterlibatan Muhammadiyah dalam politik tampak nyata. Meskipun pada Muktamar ke-38 Muhammadiyah yang digelar di Makassar pada 1971 ditegaskan Muhammadiyah tak terlibat politik praktis, perilaku Muhammadiyah melalui tokohnya bersifat akomodatif dalam mengartikulasikan kepentingan melalui partai politik, misalkan pembentukan Partai Islam Indonesia (PII), Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), Partai Masjumi, Partai Muslimin Indonesia, dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Kendati sempat mengambil jarak, sejak masa kepemimpinan Amien Rais, Muhammadiyah kembali tampil dan memainkan peranan penting sebagai kekuatan sosial untuk mengoreksi pemerintah. Upaya ini dilanjutkan Ahmad Syafii Maarif dan Din Syamsuddin. Pada masa Din Syamsuddin, upaya korektif dilakukan melalui jalur formal dengan mengajukan judicial review terhadap undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi.
Langkah Muhammadiyah menguji UU yang dipandang bertentangan dengan Islam dan merugikan rakyat kecil menjadikan Muhammadiyah bukan saja organisasi gerakan sosial, tapi juga gerakan pembaruan hukum. Hal ini memperkuat posisi Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan yang mendorong perubahan kebijakan sekaligus kelanjutan kegiatan politik tak langsung (high politics) yang diwariskan Amien Rais.
Muhammadiyah tampil berbeda dalam diskursus mengenai konstitusi, khususnya hubungan antara Islam dan negara. Sejak didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, diskursus pemikiran ideologis demikian tak begitu mendapat perhatian besar. Sebab, Muhammadiyah sejak awal bersifat kultural dalam membela kaum lemah, seperti mengembangkan pendidikan, panti asuhan, dan pelayanan kesehatan. Gerakan kultural itu sedari awal oleh KH Ahmad Dahlan disebut sebagai gerakan Islam nonpolitik, tetapi tidak antipolitik (Syaifullah 2015).
Keterlibatan pertama Muhammadiyah dalam diskursus ketatanegaraan terjadi pada masa perumusan Piagam Jakarta. Salah satu anggota Panitia 9 yang merumuskan adalah kader Muhammadiyah, Prof KH Abdoel Kahar Moezakir. Namun, keterlibatan Prof Abdoel Kahar Moezakir di Panitia 9 tidak dapat disimpulkan sebagai sikap politik Muhammadiyah.
Sejak saat itu, pandangan Muhammadiyah terhadap hubungan Islam dan negara lebih bersifat substansial daripada formal. Menurut Masdar F Mas'udi, UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia memang tidak ditulis dengan bahasa agama, tetapi nilai-nilainya sejalan dengan ajaran Islam.
Agenda utama umat Islam Indonesia bukanlah memperjuangkan formalisasi negara Islam, tapi merealisasikan nilai dan aturan konstitusi yang Islami itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara sungguh-sungguh. Ajaran Islam yang dimaksud bukan bersifat detail (juz'iyat dan tfshiliyat), tapi fundamental (muhkamat) dan mendasar (ushuliyat) sebagai garis pemisah antara yang sejati (haqq) dari yang palsu (bathil), antara yang terpuji (mahmudah) dari yang tercela (madzmumah).
Pada titik inilah kita melihat bertemunya pandangan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama terkait hubungan antara Islam dan negara, yaitu dalam pandangan melihat similaritas antara ajaran Islam dan norma konstitusi.
Hal itu sejalan dengan pandangan Sukarno mengenai negara Islam. Menurutnya, Islam adalah api yang menyinari kehidupan, bukan abunya. Sukarno menghendaki ajaran Islam yang menjadi penerang dan yang membuat semangat berkobar-kobar dalam penyelenggaraan negara.
Sedangkan, Hatta mengambil perumpamaan lain. Bagi Hatta, "Negara Islam" menempatkan Islam sebagai garam kehidupan, tidak terlihat mata, tetapi terasa maknanya; bukan Islam gincu, yang mencolok mata, tapi tidak ada rasa apa-apa.
Muhammadiyah bukanlah partai politik, tapi organisasi yang terkadang dikualifikasikan sebagai organisasi masyarakat, organisasi agama, organisasi sosial, maupun organisasi pendidikan. Syaifullah mengategorikan Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan yang pada umumnya menggunakan empat saluran dalam memperjuangkan aspirasinya, yaitu demonstrasi dan kekerasan, hubungan pribadi, perwakilan langsung (formal-institusional), dan saluran formal instusi lain seperti media massa.
Dalam realitanya, Muhammadiyah menggunakan saluran hubungan pribadi melalui lobi, perwakilan langsung atau institusi formal seperti judicial review UU kepada MK, dan penggunaan media massa. Di antara itu, yang paling dominan penggunaan saluran hubungan pribadi melalui keterampilan lobi dengan pemilik kewenangan.
Beberapa tahun terakhir, strategi menggunakan institusi formal melalui judicial review UU yang bermasalah diajukan kepada MK. Din Syamsuddin selaku ketua umum PP Muhammadiyah saat itu menyebut langkah ini sebagai "Jihad Konstitusi".
Jihad berasal dari kata juhada-yujahidu yang secara harfiah berarti sungguh-sungguh atau "berusaha secara sungguh-sungguh mencapai sesuatu yang diyakini bernilai tinggi dalam keseluruhan hidup yang bersangkutan". (QS al-Ankabut ayat [29]: 69).
Lalu bagaimana istilah jihad yang selalu dikaitkan dengan tindakan berlandaskan hukum Islam disandingkan dengan upaya pembelaan konstitusi? Jihad konstitusi atas dasar pandangan bahwa nilai Islam telah tecermin di dalam konstitusi. Penegakan konstitusi secara tidak langsung adalah penegakan ajaran Islam.
Selain itu juga semangat pembelaan terhadap warga yang lemah, bahwa negara sebagai pelindung dan penegak keadilan harus menempatkan warga yang lemah sebagai prioritas agendanya sehingga keadilan (keseimbangan dan kesetaraan) bisa diwujudkan.
Mendorong perubahan melalui jalur peradilan konstitusi ini memiliki posisi strategis bagi Muhammadiyah, mengingat perwakilan Muhammadiyah di parlemen yang kurang signifikan. Penelitian Syaifullah menunjukan, rata-rata kader Muhammadiyah di pemerintahan maupun parlemen (DPR dan DPD) berkisar 5-6 persen dari jabatan di DPR, DPD, dan kementerian negara.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan realitas bahwa Muhammadiyah memang tidak representatif kalau harus berjuang di dunia politik. Muhammadiyah juga termasuk "puritan" berpolitik, cenderung lugu dan lugas, tidak mampu "luwes" dan "zigzag" sehingga berpengaruh pada kemampuannya mengalokasikan sumber daya kadernya.
Dalam situasi itu, langkah judicial review UU yang merugikan kepentingan rakyat kecil merupakan langkah strategis bagi gerakan Muhammadiyah.
Syaiful Bakhri
Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta
http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/10/27/nwva472-genealogi-jihad-konstitusi
No comments:
Post a Comment