Muhammadiyah.or.id, 02 Mei 2011 21:23 WIB
Syamsul Anwar
A. Surat Tausiah
Beberapa waktu lalu Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menerima satu lembar surat, semacam surat tausiah. Surat itu berisi pointers yang ditulis K. H. Maman Abdurahman Ks, anggota Dewan Hisab Rukyat Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PERSIS), yang disampaikannya dalam Sidang Itsbat 1 Zulhijah 1431 H di Kementerian Agama. Kopi surat itu disampaikan kepada Majelis Tarjih dan Tajdid. Surat itu terdiri atas 6 (enam) butir tausiah: empat butir (1-4) ditujukan kepada beberapa organisasi keagamaan Islam, dan dua (5-6) merupakan pernyataan pendapat Kiyai Maman tentang upaya penyatuan penanggalan Islam lewat pembuatan suatu kalender global Hijriah.
Penulis merasa gembira dengan adanya surat Kiyai Maman di atas dan sekaligus merasa perlu berterima kasih kepada beliau karena dua alasan:
- Dengan surat tersebut penulis mendapat semacam data tentang bagaimana persepsi mengenai upaya penyatuan penanggalan Islam secara global di kalangan tokoh-tokoh oraganisasi keagamaan Islam di Indonesia, terutama mengingat Kiyai Maman adalah anggota Dewan Hisab Rukyat PP Persis, sebuah lembaga yang tidak ragu lagi amat penting dalam masalah terkait penanggalan.
- Penulis mendapat dorongan baru untuk menulis lagi tentang permasalahan penyatuan sistem pengorganisasian waktu Islam lewat upaya perumusan suatu kalender global Hijriah.
Sebelum ini penulis telah membuat sejumlah tulisan tentang masalah tersebut, baik yang dipublikasikan maupun dalam bentuk makalah seminar dan ceramah. Di antaranya dapat disebutkan di sini:
- Buku Hari Raya dan Problematika Hisab-Rukyat di mana Bab 5 buku ini berjudul “Bagaimana Perkembangan Upaya Perumusan Kalender Islam Internasional?”[1]
- Artikel berjudul, “Al-Jaw±nib asy-Syar‘iyyah wa al-Fiqhiyyah li Wa«‘at-Taqw³m al-Isl±m³ al-‘²lam³,” Al-Jami‘ah: Journal of Islamic Studies, Vol. 46:2 (2008/1429), h. 457-478. Artikel ini berasal dari makalah yang penulis presentasikan dalam Second Experts’ Meeting for the Study of Establishment of Islamic Calendar yang diselenggarakan di Maroko oleh ISESCO (sebuah badan di OKI) tahun 2008.
- Makalah “Perkembangan Pemikiran tentang Kalender Islam Internasional,” disampaikan pada Musyawarah Ahli Hisab dan Fikih Muhammadiyah, Yogyakarta 21-22 Jumada£-¤±niah 1429 H / 25-26 Juni 2008.
- Makalah “Perkembangan Upaya Penyatuan Kalender Hijriah Internasional,” dipresentasikan dalam “Seminar Nasional Penentuan Awal Bulan Kamariah di Indonesia: Merajut Ukhuwwah di Tengah Perbedaan,” yang diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, hari Kamis s/d Ahad, 29 Zulkaidah s/d 2 Zulhijah 1429 H / 27-30 Desember 2008 M.
- Artikel “Dari Deklarasi Dakar Hingga Temu Pakar II: Upaya Penytauan Penanggalan Islam Se-dunia,” Suara Muhammadiyah, No. 2/Th. Ke-94 (16-31 Januari 2009), 56-57.
- Artikel “Empat Kalender Diusulkan dalam Temu Pakar II untuk Menjadi Kalender Hijriah Internasional,” Suara Muhammadiyah, No. 5/Th. Ke-94 (1-15 Maret 2009), 56-57; dan No. 6/Th. Ke-94 (16-31 Maret 2009), 56-57.
- Terjemahan “Keputusan dan Rekomendasi Temu Pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam,” dimuat dalam edisi ke-2 buku Rasy³d Ri«± dkk., Hisab Bulan Kamariah.[2]
Selain itu penulis juga menulis beberapa artikel terkait masalah penyatuan almanak Islam secara global melalui situs Muhammadiyah (www. muhammadiyah.or.id). Tulisan-tulisan tersebut dapat dibaca dan diunduh (didownload) pada situs tersebut pada rubrik artikel kalender Islam.
Tulisan sekarang ini akan memokuskan perhatian pada butir 5 dan 6 dari surat tausiah Kiyai Maman. Butir tersebut secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
- Bikin almanak sedunia bagai pungguk merindukan bulan, bila dimulai ijtimak di negara mana saja, akan terjadi almanaknya 29 hari semua, kalau berdasar garis bujurnya Jogja, orang-orang Makkah ogah.
- Bila sepakat tinggi hilal 6 darjah berarti kembali kepada haq sesuai hadits Kireb dalam Shahih Muslim, perbedaan antara Syam dan Madinah awal shaumnya karena waktu itu ketinggiannya baru 5 darjah tahun 53 H.[3]
Namun sebelum memasuki masalah almanak global, penulis terlebih dahulu ingin menyinggung butir ke-4 yang merupakan tausiah Kiyai Maman kepada Muhammadiyah sebagai berikut. “Kepada teman di Muhammadiyah sebenarnya sebutan wujudul hilal maknanya sama dengan imkanu rukyat. Kata wujud [adalah] suatu yang bisa dipandang mata, jangan sampai dilecehkan orang, katanya itu mah wujudul qamar. Wujudul qamar sebenarnya waktu terjadinya ayyamul bayadh. Lebih indah didengar kalau menyebutkan ijtimak qablal ghurub, walaupun tanpa dalil karena Rasulullah saw tak pernah berkata shuumuu ba’dal ijtima‘.”
Saya sangat menghormati Kiyai Maman, namun saya berbeda pendapat dengan beliau tentang tausiah ini. Pertama, wujudul hilal jelas tidak sama dengan imkanu rukyat. Imkanu rukyat terkait dengan konsep penampakan, sedang wujudul hilal tidak ada hubungannya dengan soal penampakan. Apabila posisi bulan saat gurub (terbenamnya matahari) berada di atas ufuk betapa pun rendahnya (misalnya 0,1º) itu maknanya sudah wujudul hilal, pada hal sama sekali belum imkanu rukyat. Wujudul hilal adalah kriteria memasuki bulan baru yang sifatnya non penampakan, yaitu kriteria memasuki bulan baru bilamana parameter astronomis tertentu telah terpenuhi, yaitu: (1) telah terjadi ijtimak, (2) ijtimak terjadi sebelum gurub, dan (3) saat gurub posisi Bulan berada di atas ufuk betapapun rendahnya. Kedua, wujudul hilal tidak mungkin disebut ijtimak qablal gurub. Keduanya sama sekali berbeda. Salah satu parameter dalam wujudul hilal adalah keberadaan Bulan di atas ufuk saat terbenamnya matahari. Sementara kriteria ijtimak qablal gurub tidak mempertimbangkan keberadaan Bulan di atas ufuk saat gurub. Apabila jarak waktu ijtimak dengan gurub sangat dekat, misalnya ijtimak terjadi pukul 17:00, maka dipastikan bahwa saat gurub Bulan berada di bawah ufuk, dan ini tidak memenuhi kriteria wujudul hilal, meskipun telah terjadi ijtimak qablal gurub. Jadi nama “indah” itu sama sekali tidak dapat dipakaikan kepada wujudul hilal. Ketiga, soal penggunaan kata wujud untuk sesuatu yang dapat dipandang mata, ini tidak sepenuhnya benar. Sebagai orang Muslim kita semua tentu mempercayai wujud (eksistensi) Tuhan. Dalam pelajaran ilmu tauhid kita diajari bahwa sifat pertama Allah adalah “wujud”. Bahkan dikatakan bahwa Allah itu wabjibul wujud. Pada hal jelas Dia tidak dapat dipandang mata. Jadi tidak benar bahwa sesuatu yang wujud selalu terlihat.
Adapun penggunaan kata “hilal” dalam istilah wujudul hilal, bukanlah suatu kesalahan. Itu adalah soal gaya bahasa, yaitu menggunakan apa yang dalam Ilmu Stilistika disebut gaya bahasa prolepsis (gaya antisipasi, at-tawaqqu‘/ i‘tib±ru m± sayakn). Dalam bahasa Indonesia kita sering mengatakan “dia masak nasi di dapur” dan kita tidak pernah mengatakan “masak beras” pada hal sesungguhnya yang kita masak bukan nasi, tetapi beras. Namun kita tetap mengatakan ‘masak nasi’. Maksudnya masak sesuatu yang diantisipasi akan menjadi nasi. Inilah gaya bahasa prolepsis. Begitu pula halnya dalam ungkapan wujudul hilal, meskipun saat itu hilal belum nampak, namun kita mengatakan wujudul hilal, yakni wujud sesuatu yang diantisipasi akan menjadi hilal.
Penggunaan kata hilal pada saat belum tampak sudah sangat lumrah dalam bahasa Arab di bidang ilmu falak. Misalnya istilah “miladul hilal” (kelahiran hilal). Salah satu syarat validitas kalender global yang disepakati adalah bahwa kalender tersebut tidak mengakibatkan suatu kawasan masuk bulan baru qabla m³l±di al-hil±l (sebelum kelahiran hilal). Yang dimaksud dengan kelahiran hilal itu adalah saat ijtimak. Kita semua tahu bahwa saat ijtimak itu hilal belum nampak, tetapi tetap dikatakan kelahiran hilal. Jadi sekali lagi ini adalah gaya bahasa prolepsis.
B. Pesimisme dan Optimisme Kalender Hijriah Global
Kembali kepada soal almanak global, Butir 5 statemen Kiyai Maman yang dikutip di atas menggambarkan sangat pesimisnya Kiyai tentang kemungkinan penyatuan almanak Islam secara global. Bagi Kiyai, penyatuan global itu mustahil, bagai pungguk merindukan bulan. Memang dalam menyikapi upaya ini di dunia Islam ada dua pandangan yang berbeda: pandangan pesimis dan pandangan optimis. Dalam salah satu makalah (2008), penulis menyatakan sebagai berikut:
Ada orang yang pesimis dan berpandangan bahwa tidak mungkin awal bulan kamariah disatukan, karena kenyataan alam menunjukkan bahwa tampakan atau wujud pertama hilal tidak merata di seluruh muka bumi seperti dikemukakan di atas. Selain itu luas dan beragamnya komunitas Muslim di dunia akan menyulitkan untuk mencapai kesepakatan dalam penyatuan pandangan mengenai awal bulan kamariah itu, khususnya menyangkut bulan-bulan ibadah.
Akan tetapi di pihak lain banyak pakar (syariah dan falak) yakin bahwa awal bulan kamariah, termasuk bulan-bulan ibadah, dan secara keseluruhan sistem penanggalan Islam dapat disatukan. Optimisme ini didasarkan kepada suatu falsafah dasar yang diajarkan Nabi saw bahwa, “Setiap ada penyakit pasti ada obatnya; apabila ditemukan obat penyakit yang tepat, maka penyakit itu akan sembuh dengan izin Allah” [HR Muslim, an-Nas±’i, A¥mad, al-Baihaq³, Ibn ¦ibb±n dan al-¦±kim dari J±bir; al-¦±kim menyatakannya sahih].[4] Ini artinya bahwa setiap ada problem tentu ada jalan keluar dan pemecahannya. Demikian pula halnya dengan awal bulan kamariah. Meskipun fakta alam mengharuskan terjadinya pembelahan muka bumi pada saat visibilitas pertama hilal menjadi kawasan yang dapat melihat atau mengalami wujud hilal dan kawasan yang tidak dapat melihat atau mengalami wujud hilal, namun tentu ada jalan keluar untuk mengatasi hal tersebut.[5]
Menurut penulis, kita harus optimis dan wajib berupaya untuk melakukan penyatuan tersebut. Penulis yakin, seandainya Kiyai Maman memberi banyak perhatian dengan cara lebih serius terhadap perkembangan internasional terkini dari upaya-upaya yang sedang dijalankan untuk penyatuan almanak ini, pesimisme tersebut tidak akan terlalu berlebihan seperti tergambar dalam pernyataan beliau di atas.
C. Perkembangan Upaya Penyatuan
Sebenarnya capaian sekarang dalam perkembangan pemikiran tentang upaya penyatuan penanggalan Islam di tingkat dunia dapat dikatakan merupakan kemajuan besar bila dibandingkan, misalnya, 30 tahun silam. Konferensi Istambul 1978 yang terkenal itu, misalnya, belum sama sekali berbicara tentang almanak global. Perdebatannya masih soal apakah penentuan awal bulan menggunakan rukyat atau hisab. Masalah metode penentuan awal bulan sebenarnya hanyalah sebagian saja dari keseluruhan masalah penyatuan almanak Hijriah global. Dalam makalah yang dikutip di atas, penulis menulis sebagai berikut,[6]
Salah satu yang awal dan cukup dikenal adalah Konferensi Penetapan Awal Bulan Kamariah (Mu‘tamar Ta¥d³d Aw±’il asy-Syuhr al-Qamariah)di Turki tanggal 26-29 Zulhijah 1398 H yang bertepatan dengan 27-30 Nopember 1978. Di antara kesimpulannya adalah:
- Pada asasnya penetapan awal bulan dilakukan dengan rukyat,
- Sah menentukan masuknya awal bulan dengan rukyat di salah satu tempat dan berlaku untuk seluruh dunia (rukyat global), dan
- untuk sahnya penggunaan hisab dalam penetapan awal bulan kamariah harus dipenuhi dua syarat, yaitu elongasi minimal 8º dan tinggi bulan minimal 5º.[7]
Sebagai pertemuan yang awal dapat dilihat bahwa perdebatannya masih sekitar masalah metode penetapan awal bulan apakah dengan rukyat atau hisab. Keputusan ini mencerminkan kecenderungan kuat kepada rukyat. Namun ada unsur-unsur pandangan berorientasi hisab masuk ke dalam putusan konferensi ini, yaitu menerima hisab imkanu tukyat.
Masuknya hisab imkanu rukyat ini kemudian mendapat kritik tajam dari seorang ulama ahli hisab dan syariah Maroko Mu¥ammad ‘Abd ar-R±ziq yang juga peserta konferensi tersebut, paman dari penulis buku at-Taqw³m al-Qamar³ al-Islam³ al-Muwa¥¥ad, Jam±ludd³n ‘Abd ar-R±ziq. Seusai konferensi, ia menulis suatu kritik atas putusan tersebut dalam majalah Da‘wat al-¦aqq,
… akan tetapi sayang terdapat beberapa anasir yang hanya berkeinginan menjadikan hisab sebagai dasar penetapan awal bulan dan menyatukan awal bulan itu untuk seluruh dunia …, sehingga lahirlah keputusan-keputusan yang satu sama lain saling bertentangan di samping berseberangan dengan nas-nas syariah dan kaidah-kaidah falak yang benar.[8]
Pada sisi lain, Akademi Fikih Islam (Majma‘al-Fiqh al-Isl±m³) dari Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga telah membahas apa yang disebutnya sebagai penyatuan awal bulan kamariah dalam Muktamar Ketiganya tanggal 11-16 Oktober 1986. Muktamar ini menelorkan dua putusan mengenai masalah ini:
- Apabila terjadi rukyat di suatu negeri, wajib diikuti oleh seluruh kaum Muslimin tanpa mempertimbangkan perbedaan matlak karena keumuman perintah berpuasa dan beridul fitri;
- Wajib mendasarkan penetapan awal bulan pada rukyat, dengan dibantu oleh hisab dan observatorium dalam rangka mengamalkan hadis-hadis Nabi saw dan kebenaran ilmiah.[9]
Pandangan pada Muktamar ini juga masih sangat kental berorientasi rukyat sebagai mana tampak dalam butir ke-2 dalam keputusan di atas yang menegaskan wajib mendasarkan penetapan awal bulan Hijriah pada rukyat. Rukyat yang dipegangi adalah rukyat global dalam arti di mana pun terjadinya, rukyat itu berlaku bagi seluruh dunia yang dianggap sebagai satu-kesatuan matlak.[10]
Pada tahun 80-an dan 90-an abad ke-20 tercapai kemajuan signifikan dalam upaya pembuatan kalender global Islam. Mohammad Ilyas, astronom Malaysia, berhasil menemukan bentuk tampakan rukyat yang terproyeksikan ke atas muka bumi, yaitu suatu bentuk lengkungan kurve yang menjorok dari barat ke arah timur. Hal ini ditemukan karena ide Ilyas yang tidak lagi melakukan hisab secara tradisional, di satu tempat tertentu saja. Ilyas melakukan hisab secara global.
Artinya hisab dilakukan di berbagai tempat di muka bumi untuk menemukan titik-titik imkanu rukyat. Misalnya hisab dimulai dari garis lintang 0º guna menemukan pada titik mana di garis itu hilal mungkin terlihat pertama kali. Kemudian hisab dilakukan lagi pada garis-garis lintang berikutnya ke utara dan ke selatan dengan interval 5º sampai 15º guna menemukan titik-titik imkanu rukyat pada masing-masing garis lintang itu. Bilamana semua itu telah selesai dilakukan dan telah ditemukan titik-titik imkanu rukyat pada berbagai garis lintang itu, maka titik-titik visibilitas pertama rukyat itu dihubungkan satu sama lain dengan sebuah garis, sehingga akan ditemukan suatu garis lengkung (parabolik atau semi parabolik) yang lengkungannya menjorok ke arah timur. Garis itu akan memisahkan dua kawasan bumi: kawasan sebelah barat garis dan kawasan sebelah timur garis. Kawasan sebelah barat adalah kawasan yang mungkin bisa merukyat hilal dan kawasan sebelah timur adalah kawasan yang tidak mungkin terjadi rukyat, dengan suatu catatan bahwa garis itu tidak bersifat eksak, melainkan garis yang kasar.[11]
Temuan Ilyas ini mendorong perkembangan kajian hisab-rukyat di lingkungan umat Islam dunia jauh ke muka. Bersamaan dengan itu tercapai pula kemajuan dalam upaya pembuatan kriteria imkanu rukyat, sehingga terdapat berbagai macam kriteria yang didasarkan kepada lebih dari satu parameter. Selaras dengan kemajuan teknologi komputer, para sarjana Muslim berhasil pula membuat berbagai software yang dapat menghitung gerak bulan dan matahari secara amat cepat dan dapat membuat peta dunia yang memperlihatkan kawasan muka bumi di mana hilal muda mungkin terukyat dengan berbagai kategori. Pada tahun 1993, Dr. Monzur Ahmed berhasil membuat software Moon Calculator, yang terus disempurnakan hingga mencapai versi terakhir versi 6. Inilah software pertama yang dapat menggambarkan peta rukyat berdasarkan sejumlah kriteria. Pada tahun 2000, Ir. Muhammad Audah dari Yordania membuat pula software yang dinamakannya al-Maw±q³t ad-Daq³qah (Accurate Times). Software ini mula-mula hanya untuk menghisab waktu-waktu salat. Namun dalam perjalanan waktu dikembangkan sehingga dapat pula menghisab awal bulan kamariah dan membuat peta rukyat yang diproyeksikan di atas muka bumi. Pada tanggal empat Januari 2011, telah diluncurkan versi terbaru, versi 5.2.5.
Kemajuan-kemajuan ini sangat membantu para sarjana Muslim kini untuk melakukan kajian-kajian lebih jauh dalam upaya merancang konsep-konsep kalender Islam terpadu yang menyatukan seluruh dunia. Dengan software-software itu mereka tidak lagi terbebani untuk melakukan perhitungan astronomis manual yang rumit dan memakan waktu yang amat lama. Semua perhitungan tersebut dapat dilakukan oleh berbagai swoftware tersebut dengan sangat cepat dan dalam hitungan detik saja.
Banyak rahasia gerak benda-benda langit yang dulu belum diketahui oleh para ulama, kini telah dimengerti oleh sarjana-sarjana Muslim kontemporer. Ketika Imam Nawawi pada abad ke-7 H / 13 M menyatakan dalam Syarh Sahih Muslim[12]bahwa rukyat di suatu tempat di muka bumi berlaku untuk seluruh muka bumi beliau belum memahami bahwa rukyat global fisik semacam itu adalah mustahil. Kemustahilan rukyat global fisik itu disebabkan oleh karena transfer rukyat fisik seperti itu hanya dapat dilakukan ke kawasan timur yang tidak bisa merukyat maksimal selisih waktunya 10 jam. Selisih waktu lebih dari 10 jam, maka transfer rukyat mustahil karena kawasan bersangkutan telah memasuki pagi hari berikutnya. Jadi ketika, misalnya, terjadi rukyat di Chicago (AS) pukul 06:00 sore, maka di Indonesia Barat jam sudah menunjukkan pukul 06:00 pagi hari berikutnya. Jadi orang Indonesia Barat, apalagi Tengah dan Timur, tidak mungkin bisa menanti terjadinya rukyat di Chicagon itu untuk menentukan masuknya bulan kamariah baru. Bulan itu berjalan (secara semu) dari kawasan timur dunia ke arah kawasan barat dengan semakin meninggi. Ketika ia melintas di ufuk Indonesia, posisinya masih amat rendah sehingga tidak terlihat, dan ketika ia sampai di ufuk Chicago, setelah berjalan 12 jam lamanya, posisinya sudah tinggi sehingga dapat dilihat. Namun ketika terlihat oleh orang di Chicago, orang di Indonesia sudah memasuki pagi hari. Ketika orang Indonesia pada pukul 04:00 subuh menanti-nanti rukyat Chicago itu untuk memutuskan apa sahur atau tidak guna memulai puasa Ramadan atau Idulfitri, di Chicago sendiri rukyat belum terjadi karena baru pukul 04:00 sore. Jadi transfer rukyat Chicago ke Jakarta mustahil.
Di zaman Imam an-Nawawi belum difahami bahwa rukyat itu terbatas. Kini telah dimengerti bahwa rukyat mustahil dilakukan di seluruh dunia. Yang bisa merukyat hanya kawasan bumi yang terletak antara garis lintang utara 60º dan garis lintang selatan 60º. Kawasan di luar itu tidak dapat merukyat. Apalagi kawasan di mana siang di musim panas dan malam di musim dingin lebih dari 24 jam.
Kemajuan-kemajuan pengetahuan astronomi yang dicapai membawa para pemikir Muslim dalam “Temu Pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam” tahun 2008 di Maroko menyimpulkan bahwa, “pemecahan problematika penetapan bulan kamariah di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan kamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu salat, dan menyepakati pula bahwa penggunaan hisab itu adalah untuk penolakan rukyat dan sekaligus penetapannya.”[13]
Hisab hanyalah alat yang digunakan untuk menghitung posisi geometris benda langit. Yang lebih penting adalah bagaimana membuat sebuah rumusan (kaidah) kalender pemersatu dan itu adalah wilayah syar’i. Kriteria-kriteria tradisional dengan parameter tunggal, seperti ketinggian Bulan, sama sekali tidak memecahkan persoalan. Apabila kita memegangi kriteria imkanu rukyat dengan ketinggian Bulan 6º, seperti diusulkan Kiyai Maman dan dikatakannya sebagai kriteria yang “haq”, sama sekali tidak menjadi jalan keluar dan malah menimbulkan masalah. Apabila tinggi bulan di Indonesia, misalnya, baru 3,5º berarti bulan kamariah baru belum dimulai keesokan harinya, melainkan dimulai lusa. Bulan terus bergerak ke arah Barat dan sampai di ufuk Mekah dan saat itu mata hari sedang bergerak di utara, maka Mekah akan dapat melihat hilal karena posisinya sudah tinggi. Berarti Mekah mendahului Indonesia. Apabila itu terjadi pada bulan Zulhijah, maka akan menimbulkan masalah ibadah puasa Arafah, yakni kapan orang Indonesia melaksanakannya, karena jatuhnya hari Arafah di Mekah tidak sama dengan di Indonesia.
Contoh konkretnya adalah bulan Zulhijah 1455 H. Ijtimak jelang Zulhijah terjadi hari Ahad 19-02-2034 M pukul 06:10 WIB. Tinggi toposentrik titik pusat Bulan sore Ahad di Pelabuhanratu adalah 3º. Jadi belum memenuhi kriteria “haq” Kiyai Maman. Ini berarti 1 Zulhijah di Indonesia jatuh lusa, yaitu hari Selasa 21-02-2034 M. Sementara itu di Mekah sore Ahad 19-02-2034 itu tinggi toposentrik titik pusat Bulan sudah 6,5º lebih, apalagi tinggi piringan atas, bisa mencapai 7º. Ini artinya 1 Zulhijah di Mekah jatuh pada keesokan hari, yaitu Senin 20-02-2034 M. Jadi 1 Zulhijah di Mekah jatuh berbeda dengan Indonesia. Mekah mendahului Indonesia satu hari. Akibatnya hari Arafah antara kedua negeri itu juga jatuh berbeda. Di Mekah tanggal 9 Zulhijah akan jatuh hari Selasa 28 Februari 2034 M, sementara di Indonesia jatuh hari Rabu 1 Maret 2034 M. Lalu kapan orang Indonesia puasa Arafah: Selasa atau Rabu?
Jadi kriteria Kiyai Maman Abdurrahman Ks tidak bisa memecahkan masalah penyatuan penanggalan Islam. Apalagi kriteria dengan satu parameter tunggal, yaitu ketinggian, dalam kajian astronomi sama sekali bukan kriteria yang baik.
Fenomena puasa Arafah ini menuntut kita harus melakukan penyatuan kalender Hijriah secara lintas negara (secara global), tidak cukup penyatuan regional atau lokal (dalam satu negara) saja. Hal itu karena walaupun dalam satu negara telah disatukan kalendernya, maka masih tetap timbul masalah penting, yaitu bagaimana dengan pelaksanaan puasa Arafah ketika jatuhnya tanggal 9 Zulhijah tidak sama antara Mekah dan negeri bersangkutan.
Dalam keprihatinan karena kekacauan kalender Hijriah selama ini, usaha-usaha penyatuan telah dilakukan. “Temu Pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam” telah menyepakati satu perangkat syarat validitas kalender Islam global. Syarat-syarat validitas tersebut kemudian diterjemahkan menjadi rumus-rumus kalender. Dalam “Temu Pakar II” itu disepakati empat rumusan kalender. Keempat rancangan kalender tersebut kemudian diuji tingkat konsistensinya selama satu abad, hingga akhir tahun 2100. Nanti kalender yang tingkat inkonsistensi paling rendah akan dijadikan kalender Islam internasional yang ditawarkan kepada umat Islam. Keempat rancangan tersebut adalah (1) kalender terpadu dengan kaidah ijtimak seblum pikul 12:00 WU (waktu universal); (2) kalender Libia dengan kaidah ijtimak sebelum fajar di titik T; (3) kalender Diallo dengan kaidah ijtimak sebelum zawal di Mekah; dan kalender Ummul Qura dengan kriteria wujudul hilal.
Perlu dicatat bahwa tidak ada dari kalender-kalender itu yang jumlah hari bulannya 29 hari semua sebagaimana dikuatirkan oleh Kiyai Maman. Semoga proses uji validitas kalender ini akan cepat selesai.
[1]Diterbitkan di Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah, 2008, h. 115-147.
[2]Diterbitkan di Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammdiyah, 2009 (edisi ke-2), h. 79-87.
[3]Catatan: Hadis Kuraib yang disebut Kiyai Maman dibahas panjang lebar mengenai kesahihannya, tahun berapa terjadinya, tinggi hilal yang dilihat Kuraib serta perdebatan fukaha tentang masalah matlak yang timbul dari hadis itu dalam buku Syamsul Anwar, Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi dan Beberapa Kajian Lain Hadis, dalam proses terbit di Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah, Bab 3, h. 91-143. Sebenarnya di Damaskus pada tahun 53 H seperti diklaim Kiyai Manan di atas, sesungguhnya tinggi titik pusat bulan Bulan pada sore Kamis (malam Jumat) 18 Agustus 673 M (jelang Ramadan 53 H) baru 00º 08’ 31”, jadi masih sangat rendah sehingga tidak mungkin dilihat dan tidak sesuai dengan deskripsi Kuraib yang menyatakan bahwa bulan terlihat oleh banyak orang yang berarti sudah amat tinggi. Oleh karena itu kasus Kuraib bukan tahun 53 H, melainkan menurut penulis adalah tahun 35 H (Kamis sore 03 Maret 656).
[4]Teks aslinya berbunyi, عن جابر عن رسول الله صلى الله عليه و سلم أنه قال لكل داء دواء ، فإذا أصيب دواء الداء برأ بإذن الله عز وجل . Lihat Muslim, ¢a¥³¥ Muslim (Beirut: D±r al-Fikr, 1992/1414), II: 359, hadis no. 2204.
[5]Syamsul Anwar, “Perkembangan Upaya Penyatuan Kalender Hijriah Internasional,” dipresentasikan dalam “Seminar Nasional Penentuan Awal Bulan Kamariah di Indonesia: Merajut Ukhuwwah di Tengah Perbedaan,” diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, hari Kamis s/d Ahad, 29 Zulkaidah s/d 2 Zulhijah 1429 H / 27-30 Desember 2008 M, h. 2.
[6]Ibid., h. 3-4.
[7]Dikutip dari Dir±s±t ¦aula Tau¥id al-A‘y±d wa al-Maw±sim ad-D³niyyah(Ttp: Mansyr±t Majalah al-Hid±yah, 1981), h. 134.
[8]Jam±ludd³n ‘Abd ar-R±ziq, at-Taqw³m al-Qamar³ al-Isl±m³ al-Muwah¥ad (Rabat: Marsam, 2004), h. 51.
[9]Dimuat dalam az-Zu¥ail³, al-Fiqh al-Isl±m³ wa Adillatuh (Damaskus: D±r al-Fikr, 1425/2004), VII: 5102.
[10]Syamsul Anwar, “Perkembangan Upaya Penyatuan Kalender Hijriah Internasional,”h. 4.
[11]Ibid., h. 8-9.
[12]An-Nawaw³, Syar¥ ¢a¥³¥ Muslim (Beirut: D±r Ihy±’ at-Tur±£ al-‘Arab³, 1392), VII: 197.
[13]Rasy³d Ri«± dkk., Hisab Bulan Kamariah, 81. Catatan: Yang dimaksud dengan “untuk penolakan rukyat dan sekaligus penetapannya” adalah bahwa hisab dijadikan ukuran apakah suatu rukyat diterima atau ditolak, sehingga kalau ada klaim rukyat, sementara menurut hisab mustahil, maka rukyat itu ditolak.
Retrieved from: http://www.muhammadiyah.or.id/id/artikel-penyatuan-kalender-islam-secara-global-bagai-pungguk-merindukan-bulan--detail-18.html
Assalamu'alaikum wr. wb.
ReplyDeleteMohon maaf, Pak. saya hanya orang awwam yang merindukan persatuan ummat islam, terutama dalam melaksanakan syiar-syiar islam yang demikian besar pengaruhnya bagi kehidupan ummat islam sendiri dan juga merupakan sumber dakwah bagi kalangan non muslim.
Ada hal yang menarik dari negara-negara lain seperti Arab Saudi, Mesir, Malaysia dan bahkan kaum muslimin yang tinggal di negara kafir. Saya yakin, disana juga banyak ahli hisab dan ahli rukyat (termasuk juga ulama-ulama yang mumpuni) yang masing-masing tentu juga bisa berbeda dalam ijtihad mereka terhadap metode dan kriteria penentuan awal bulan. Namun tidak kita temukan adanya perbedaan hari penetapan awal dan akhir bulan di kalangan mereka, sehingga nampak sekali persatuan yang solid di kalangan kaum muslimin. Saya melihat, bahwa "mereka tidak berbeda bukan karena tidak ada perbedaan di antara mereka, tetapi mereka tidak berbeda karena tidak ingin terjadi perbedaan (perpecahan) di antara mereka".
Sayangnya, terkadang kita sulit mengambil pelajaran dari sikap para ulama yang dengan ikhlas dan lapang dada mau mempertemukan pendapatnya yang berbeda dengan pendapat ulama yang lain untuk menuju satu titik penyatuan. Meskipun beliau terkadang harus mengesampingkan hasil ijthadnya yang tentu saja dengan penuh keyakinan ia pegangi sebagai sebuah kebenaran.
Dan saat lebaran kemarin (juga lebaran-lebaran lain yang berbeda-beda), saya yakin, tidak ada orang islam (yang masih tertanam iman dihatinya) yang tidak merasa sedih dan gelisah dengan carut-marutnya ummat islam di negeri kita (termasuk orang Muhammadiyah sendiri). Bayangkan, hanya dinegara kita shalat ied dilakukan berbeda-beda selama 4 hari. Pertanyaannya, mungkinkah Allah menjadikan 1 syawal 2 sampai 4 hari pada wilayah yang sama? Siapakah yang bisa menjawab ini?
Kalaupun mungkin perjalanan masih panjang dan berliku untuk penyatuan secara global. Namun tidak bisakah kita bersatu dalam satu wilayah hukum (Indonesia, misalnya, agar kita bisa menunjukkan bahwa ummat islam adalah ummat yang menjunjung tinggi persatuan dan berkasih sayang diantara mereka? Agar kami orang awwam ini pun bisa bangga kepada para pemimpin kami yang selalu ikhlas dalam berbuat demi kebaikan ummat. Atau kami justeru harus meniru bahwa kita harus tetap pada pendirian kita pada hal apapun, termasuk produk-produk ijtihadiyah para ulama yang kita taklid-i?
Misalnya,ketika shalat tarawih imam 2 rakaat, tetapi kami yakin 4 rakaat yang benar, maka kami tetap harus berdiri menyelesaikan 4 rakaat meskipun imam sudah salam.
Aduh, jadi melebar kemana-mana. Intinya, kalau saya boleh usul, alangkah baiknya kalau kita masing-masing introspeksi, meninjau kembali kriteria yang selama ini kita yakini (rukyat, imkanur-rukyat atau pun wujudul hilal). Kita urai kembali kebaikan dan keburukannya, manfaat dan mafsadhatnya, positif dan negatifnya, kemudian kita duduk bersama dan mencari satu solusi terbaik bagi ummat. Ya, bagi ummat, bukan hanya bagi golongan kita sendiri.
Mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Terima kasih atas tanggapannya. Perbedaan tanggal hari raya itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain. DI Amerika, ISNA (Islamic Society of North AMerica) menetapkan Hari Raya hari Selasa (30 Agustus), tp banyak masjid lokal, seperti di Austin TX, yang memilih hari Rabu (31 Agustus). Memang idealnya sama. Pada malam takbiran di Austin, Texas, yg dihadiri para pemeluk agama lain, banyak dari orang Kristen itu yg bingung dan heran dan kemudian bertanya, mengapa terjadi perbedaan Hari Raya?
ReplyDeleteSaudaraku seiman, Bapak Najib Burhani, Terima kasih atas kebaikan tutur kata bapak kepada saya yang awwam ini.
ReplyDelete"Memang idealnya sama..." Saya kagum dengan kebesaran hati bapak untuk menuliskan kata-kata itu, karena tidak sedikit saudara kita yang sering terjerumus dalam ke-taklid-an terhadap suatu pendapat tanpa mau untuk tabayyun.
Kalau di Amerika, Australia, Belanda dll terjadi perbedaan, (saya berhusnudzon) mungkin itu dikarenakan mereka hidup dinegeri non muslim, sehingga sulit bagi mereka mendapatkan fasilitas yang memadai untuk bisa leluasa musyawarah atau hal-hal lain yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan "kondisi yang ideal" seperti yang bapak katakan tadi. Tetapi bagaimana dengan kita yang ada di Indonesia? Yang setiap 5 waktu adzan berkumandang sedemikian kerasnya, yang ribuan masjid dan mushola tersebar di setiap penjuru kampung, bahkan pemerintah tidak melarang dan mau menyediakan sarana dan prasarana apapun yang ummat islam butuhkan untuk musyawarah, seminar, simposium, pembentukan badan apapun yang kita butuhkan untuk penyatuan ummat islam. Hanya saja, mengapa pemimpin-pemimpin ummat islam, terkesan (mudah-mudahan ini prasangka saya saja) tidak mau memanfaatkan itu semua? Ataukah mungkin ada perasaan lain yang sulit bagi kita untuk urun rembug?
Sehingga ada seorang teman saya berkata, kaum nasrani saja bisa bersatu dalam hari natal mereka, padahal tidak ada dalil atau pun bukti otentik,yang dapat dipertanggungjawabkan, yang menunjukkan bahwa pada tanggal tersebut adalah hari kelahiran Yesus. Mengapa justeru kita yang memiliki petunjuk yang sangat lengkap (baik teoritis maupun prakteknya) tetapi justeru tidak bisa lebih baik dari mereka?
wallahu'alam.
Terima kasih.
Keyakinan itu tidak bisa dipaksakan. Ketika satu kelompok atau pemerintah memaksakan satu keyakinan tertentu, biasanya akan disebut authoritarian. Dulu pernah terjadi dg peristiwa mihna (inquisition), ketika Mu'tazilah memaksakan keyakinannya bahwa Qur'an itu makhluk, bukan Khalik. Karena pemaksaan ini, Imam Ibn Hanbal disiksa. Itu terjadi ketika pemerintah keluar dari fungsinya sebagai pelindung semua keyakinan. Intinya, jangan sampai terjadi adanya pemaksaan keyakinan.
ReplyDelete