Tuesday, July 6, 2010

Muhammadiyah dan Arus Politik

Kompas, Sabtu, 3 Juli 2010 | 02:45 WIB

Oleh M Alfan Alfian

Muktamar Satu Abad Muhammadiyah yang digelar di Yogyakarta, 3-8 Juli 2010, ini menyisakan pertanyaan mendasar menyangkut bagaimana hubungannya dengan politik kekinian.

Terkait dengan hal itu, beberapa otokritik telah dilancarkan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah. Abdul Munir Mulkhan, misalnya, melihat akhir-akhir ini Muhammadiyah mulai terperangkap pada isu kekuasaan yang membuatnya kurang peduli pada nasib mereka yang terpinggirkan (Kompas, 30/6).

Otokritik tersebut mewakili suatu arus utama yang menolak Muhammadiyah terlibat terlalu jauh dalam politik praktis. Penilaian demikian tampaknya lebih dialamatkan pada elite Muhammadiyah yang secara langsung atau tidak suka bermanuver politik. Muhammadiyah sendiri tidak mengharamkan politik, bahkan menganjurkan para kadernya untuk paham politik. Juga, tidak melarang kadernya berkiprah di partai-partai politik.

Yang lebih banyak disorot adalah sikap politik Muhammadiyah dalam merespons soal-soal politik praktis. Berbagai pihak akan melihat, merasakan, dan memberi penilaian atas ke manakah kecenderungan politik Muhammadiyah dari sikap politik elite- elitenya. Organisasinya boleh jadi selalu berlabel independen, te- tapi subyektivitas politik elitenya sering terasa menonjol.

Arus pendapat lain, sebagaimana terekam dari diskusi hubungan Muhammadiyah dan politik di Universitas Muhammadiyah, Jakarta, belum lama ini adalah agar justru sebaliknya, Muhammadiyah memfasilitasi kader-kader strategisnya yang terjun dalam politik praktis. Konsekuensinya, tidak menjadi soal manakala pengurus teras partai politik merangkap pengurus penting Muhammadiyah, asal aturannya jelas. Dengan demikian, Muhammadiyah menjadi terminal pengelolaan sumber daya politiknya secara berkualitas.

Yang penting, sikap Muhammadiyah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan tidak membelok ke arah politik praktis. Checks and balances akan dapat terjadi ketika kader-kader politik Muhammadiyah akan saling mengimbangi satu sama lain sehingga tidak lahir suatu keputusan politik praktis yang konfliktual.

Adalah wajar, manakala segenap elemen bangsa membahas politik, yang berarti juga pengaruh kekuasaan. Muhammadiyah tumbuh dalam suasana sosial politik yang terus berjalan secara dinamis. Pada masa organisasi ini didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, 1912, gelora politik antikolonial sangat terasa. Kendati perlawanan antikolonial itu tidak dengan pendekatan politik praktis, melainkan politik kultural.

Politik nilai

Sejak dulu, Muhammadiyah lebih dikenal organisasi Islam yang melakukan gerakan transformasi kultural, dengan berbagai jenis unit aktivitas amal usaha. Muhammadiyah adalah gerakan dakwah yang bercorak pembaru, memiliki keprihatinan yang tinggi terhadap umat yang masih banyak berposisi terpinggirkan (kaum mustadh’afin).

Politik Muhammadiyah adalah politik nilai, membela kepen- tingan kaum marjinal, kesejahte- raan, dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Tentu menjadi beban berat para kadernya untuk mengemban dan mengaktualisasikan nilai-nilai itu.

Arus politik memang kuat sekali pada era reformasi ini. Para tokoh Muhammadiyah sendiri selama ini telah melakukan beberapa eksperimentasi (ijtihad) politik dengan mendirikan partai politik. Yang menonjol adalah berdiri dan eksisnya Partai Amanat Nasional (PAN) yang dimotori M Amien Rais.

PAN termasuk salah satu partai yang lolos ketentuan parliamentary threshold di DPR. Namun, eksperimentasi Partai Matahari Bangsa (PMB) yang dibidani kalangan muda Muhammadiyah belum berhasil dalam kontestasi demokrasi elektoral.

Corak pilihan politik kader Muhammadiyah memang plural. Pilihan mereka tidak hanya tertuju ke partai Islam, baik yang bersimbol atau berbasis massa Muslim, tetapi juga pada partai- partai tengah yang bercorak catch-all. Pluralitas pilihan politik kader Muhammadiyah tersebut sangat terkait dengan corak Muhammadiyah sendiri yang rasional-moderat. Soliditas politiknya tampak tak serekat jemaah NU yang bernaung di bawah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), walaupun partai tersebut elitenya terpecah-pecah.

Modernitas gerakan Muhammadiyah lebih mengemuka pada wilayah state of mind, bukan pada tradisionalitas patronase kultural atau politik. Inilah yang menyebabkan ”fatwa politik” petinggi Muhammadiyah tidak mudah untuk begitu saja ditaati.

Akhirnya, semoga Muhammadiyah, tepatnya elite-elitenya, dapat membawa jati diri Muhammadiyah, untuk tidak ikut larut dalam ingar-bingar politik praktis yang konfliktual.

M ALFAN ALFIAN Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta; Anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah

No comments:

Post a Comment