Saturday, January 2, 2010

Memotong Akar Terorisme dan Gerakan Islam Transnasional (3) (Tantangan dan Agenda Strategis bagi Muhammadiyah)

Suara Muhammadiyah, [11 November, 2009]

-
AM HENDROPRIYONO
Mantan Kepala Badan Intelijen Negara RI

-

Muhammadiyah seperti halnya dengan NU sudah sejak awal bekerja keras untuk mengembangkan sebuah Islam yang ramah terhadap siapa saja. Bahkan terhadap kaum tidak beriman sekalipun, selama semua pihak saling menghormati perbedaan pandangan. Tetapi bencana bisa saja terjadi bila pemeluk agama kehilangan daya nalar, kemudian menghakimi semua orang yang tidak sefaham dengan aliran pemikiran mereka yang monolitik. Contoh dalam berbagai unit peradaban umat manusia tentang sikap memonopoli kebenaran ini tidak sulit untuk dicari. Darah pun sudah banyak tertumpah akibat penghakiman segolongan orang terhadap pihak lain karena perbedaan penafsiran agama atau ideologi. Fenomena semacam ini dapat dijumpai di berbagai negara, baik di negara maju, maupun di negara berkembang, tidak saja di dunia Islam. Apa yang biasa dikategorikan sebagai golongan fundamentalis berada dalam kategori ini. Di Amerika misalnya kita mengenal golongan fundamentalis Kristen yang di era Presiden George W. Bush menjadi pendukung utama rezim neo-imperialis ini. Di dunia Islam, secara sporadis sejak beberapa tahun terakhir gejala fundamentalisme ini sangat dirasakan. Yang paling ekstrem di antara mereka mudah terjatuh ke dalam perangkap terorisme. (Maarif, Achmad Syafii, 2009. Prolog dalam Ilusi Negara Islam, halaman 8, Jakarta)

Di lingkungan Muhammadiyah pernah terjadi diskursus yang mendalam tentang infiltrasi aliran keras asing transnasional. Sinyalemen tersebut semula disampaikan oleh Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan pada tahun 2005 dengan menulis keprihatinannya dalam Suara Muhammadiyah. (Abdul Munir Mulkhan, 2006. “Sendang Ayu: Pergulatan Muhammadiyah di Kaki Bukit Barisan, “Suara Muhammadiyah, 2 Januari, Jakarta.) Artikel ini menyulut diskusi serius tentang infiltrasi garis keras di lingkungan Muhammadiyah yang sudah terjadi di banyak tempat, dengan cara-cara yang kasar (paksaan). Farid Setiawan membicarakan infiltrasi garis keras ke dalam Muhammadiyah secara lebih luas dalam dua artikel di Suara Muhammadiyah. Yang pertama, “Ahmad Dahlan Menangis” merupakan tanggapan terhadap Tulisan Abdul Munir Mulkhan. (Setiawan, Farid, 2006. “Ahmad Dahlan Menangis (Tanggapan terhadap Tulisan Abdul Munir Mulkhan),” Suara Muhammadiyah, 20 Februari, Jakarta). Artikelnya yang kedua, “Tiga Upaya Mu’allimin dan Mu’allimat,” Farid mengungkapkan bahwa produk pola kaderisasi yang dilakukan telah membentuk diri serta “jiwa para kadernya menjadi seorang yang berpemahaman Islam yang ekstrem. (Setiawan, Farid, 2006. “Tiga Upaya Mu’allimin dan Mu’allimat,” Suara Muhammadiyah, 3 April.) Di tengah panasnya polemik itu, Dr. Haedar Nashir mengklarifikasi isu-isu dimaksud dalam sebuah bukunya yang berjudul Manifestasi Gerakan Tarbiyah: Bagaimana Sikap Muhammadiyah? (Nashir, Haedar, 2007. Manifestasi Gerakan Tarbiyah: Bagaimana Sikap Muhammadiyah? Cet. Ke-5 (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah). Namun Alhamdulillah, dengan sangat bijak akhirnya, jajaran kepemimpinan Muhammadiyah dapat menyelesaikan persoalan internal tersebut, melalui cara-cara Muhammadiyah yang moderat dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi.

Dalam konteks global masalah ekstremitas ini juga dibahas di Saudi Arabia. Dalam ‘Dialog Nasional’ ke II yang diprakarsai oleh Raja Abdullah bin Abdul Aziz pada tahun 2004 di Makkah Al Mukarromah, Prof. DR. Sayyid Muhammad bin Alawy al-Maliky al-Hassaniy menyatakan, bahwa tindakan teror dan penstigma-’kafir’-an yang terjadi dengan mengatas namakan agama harus dihentikan. Mengapling surga dan neraka untuk orang-orang yang mereka kehendaki dengan seenaknya, serta semboyan mati syahid bagi siapa saja yang ikut dan menjadi simpatisan mereka, harus segera diberantas. (Al Hassaniy, Abuya Prof. Dr. As Sayyid Muhammad bin Alawi, 1424 H (2003 M). Ekstrem Dalam Pemikiran Agama, Pengaruhnya pada Kemunculan Terorisme dan Anarkisme. Terjemahan KH M Ihya’ Ulumiddin, 2006. halaman 12-13. Editor : HM Junaedi Sahal Sag, M llyas Spd. Surabaya, indonesia. Judul asli : Al Ghuluw wa Atsaruhu fi! Irhab wa Ifsad Al Mujtama’, Makkah Al Mukarromah, Saudi Arabia). Prof Dr Al-Hassaniy dari Universitas Ummul Qurra ini adalah keturunan dari Nabi Muhammad saw melalui cucunda Imam Hassan. Beliau wafat pada 15 Ramadlan 1425H atau 29 Oktober 2004 M sebagai seorang ahli tafsir (penjelasan Al-Qur’an), hadits (sabda Nabi saw), fikih (hukum), akidah (keyakinan) dan tarikh (sejarah), yang sangat dijunjung tinggi oleh para ulama di Makkah. (Ulumiddin, KH M Ihya’, 2006. Ekstrem dalam Pemikiran Agama, Kajian Abuya Prof Dr As Sayyid Muhammad bin Alawi al Malikiy al Hassaniy (terjemahan) dalam Dialog Nasional ke II di Makkah Al Mukarromah).

Orang-orang ekstrem itu mengaku sebagai pengikut Imam al Mujahid Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Mereka menjadikan beliau sebagai pintu atas segala perilaku buruk dan sebagai sandaran hukum atas pola pikir mereka. Kemudian mereka melabeli pola pikir itu dengan nama besar Muhammad bin Abdul Wahab dan menakut-nakuti segenap manusia dengan berlindung dibawah pedangnya. Sangat banyak fatwa dari Syekh Muhammad bin Abdul Wahab yang menyanggah mereka, yang telah membunuh orang lain serta meng’kafir’kan siapa saja yang mereka kehendaki. Muhammad bin Abdul Wahab berkata di dalam surat yang dikirimkan kepada penduduk al Qashim (Al Hassaniy, Abuva Prof. DR. As Sayyid Muhammad bin Alawi, 1424 H (2003 M): Ekstrem Dalam Pemikiran Agama, Pengaruhnya pada Kemunculan Terorisme dan Anarkisme. Terjemahan KH M Ihya’ Ulumiddin, 2006. halaman 52. Editor : HM Junaedi Sahal SAg, M llyas Spd. Surabaya, Indonesia. Judul asli : Al Ghuluw wa Atsaruhu fit Irhab wa Ifsad Al Mujtama’, Makkah Al Mukarromah, Saudi Arabia.): “Allah SwT Maha Mengetahui, bahwa laki-laki Sulaiman bin Sahim itu telah berdusta atas namaku, dengan beberapa perkara yang tidak pernah aku katakan, bahkan tidak pernah terlintas dalam hatiku. Diantaranya kata dia, aku mengaku sebagai mujtahid (pemberi keputusan/ketentuan terhadap hal yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits), yang tidak ber-taqlid (menjadi pengikut atau penganut) dan bahwa aku telah mengkafirkan orang yang ber-tawasul (mengambil perantara) dengan orang-orang sholeh dan aku mengharamkan ziarah ke makam Rasulullah saw atau kedua orangtua dan lain-lain. Maha Suci Engkau ya Allah, ini adalah suatu kedustaan yang besar”.

Ada lagi surat yang dikirim oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab lainnya kepada As-Suwaidi, seorang ulama Iraq, sebagai jawaban atas surat yang diterimanya. “Sungguh menyebarkan kebohongan adalah hal yang memalukan bagi orang yang berakal, apalagi mengadakan kebohongan itu sendiri. Adapun yang anda katakan bahwasanya aku telah mengkafirkan segenap manusia kecuali pengikutku, sungguh mengherankan. Bagaimana hal ini bisa terpikirkan oleh orang yang berakal? Apakah pantas seorang Muslim berkata demikian? Adapun yang anda katakan bahwa aku berkata: ‘Andai aku mampu menghancurkan kubah Nabi saw niscayakan aku hancurkan. Juga tentang kitab Dalailul Khairot, bahwa aku melarang untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad saw.’ Hal itu semua adalah dusta belaka dan seorang Muslim tidak akan berkeyakinan adanya hal yang lebih mulia daripada kitab Allah (Al-Qur’an).” (Al Hassaniy, Ibid, halaman 48)

Menurut Al-Hassaniy, pada masa kehidupan Rasulullah saw hampir tidak terjadi ghuluw (berlebihan) dalam ber-akidah (berkeyakinan), kecuali hanya pada beberapa orang sahabat saja. Namun, ketika Rasulullah saw mendengarnya, beliau dengan cepat memadamkan serta kemudian menyingkirkannya pada waktu itu juga. (Al-Hassaniy, Ibid, halaman 54.) Sikap dan sisi pandang (ittijaah) yang diambil dan dianut para sahabat itu (yang disebut dalam Hadits riwayat Anas ra) tidak diakui dan segera ditangani oleh Nabi saw dengan memberi penjelasan langsung, bahwa sikap dan sisi pandang demikian merupakan bentuk ghuluw (ekstrem). Selanjutnya Nabi saw memberikan bimbingan, bahwa esensi takut dan takwa kepada Allah bukanlah dengan bersikap ekstrem, terlalu atau teledor, melainkan dengan sikap yang seimbang terhadap aneka ragam tuntutan (mathoolib). (Al-Hassaniy, Ibid, halaman 23).
Dalam konteks Indonesia ‘seimbang’ disini mengandung arti ‘moderat’ yang bukan hanya bersifat toleran, tetapi lebih pada kesanggerahan. (Istilah Universal ‘toleran’ artinya : tenggang rasa (Jawa: tepa-selira) kerap bernuansa sebagai pernyataan yang simpatik dari fihak superior kepada inferior atau dari fihak majoritas kepada minoritas. Berbeda dengan ‘Kesanggerahan’ yang merupakan istilah dalam Filsafat Pancasila, sebagai suatu pernyataan dari fihak yang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan fihak lain). Hanya dengan bersikap demikian, maka umat Islam dapat menghindarkan konsep universal Islam sebagai hal yang paradoksal dengan perubahan dan perkembangan zaman.

Perdamaian di dunia tidak mungkin akan terjadi, jika dalam masyarakat global terdapat konsep-konsep universal yang bersifat paradoksal. Keadaan yang paradoksal selalu memicu terjadinya benturan, yang akhirnya menuai terorisme. Ketertiban dan kedamaian umat hanya akan tercapai, jika tesis liberal demokrasi pada tataran praksis dapat terlaksana secara etis dan konsep Islam universal dapat terlaksana secara moderat sesuai dengan fitrah nya. Hanya dengan dialog antara tesis dan antitesis yang demikian, maka proses dialektika filsafat universal, dapat melahirkan sintesis berupa perdamaian dunia yang berdasarkan pada hak manusia yang sama atas bumi ini. Peradaban sebagaimana kebudayaan hams terbuka, agar selalu valid (berlaku) pada setiap perubahan, karena tidak ada sesuatu yang abadi di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri. Dalam setiap dialog, kedua belah fihak mesti berubah. Hegel bicara tentang dialektika. Dalam proses tesis, antitesis dan sintesis yang menjadi tesis baru, masing-masing fihak saling menyangkal atau saling mengoreksi. Tetapi saling menyangkal itu bukan berarti saling meniadakan. Dialektika berarti bahwa kebenaran masing-masing posisi dibersihkan dari segi-segi yang tidak benar. Antitesis hidup dari ke­benaran tesis yang disangkalnya, dan sintesis mempertahankan kebenaran posisi antitesis yang ditolaknya. (Suseno, Franz Magnis, 2006. Berebut Jiwa Bangsa, Penerbit Buku Kompas, Jakarta).

Perubahan baik apa pun tidak akan terjadi selain dilakukan oleh masyarakat sendiri dan langkah awal masyarakat kita kearah ini sudah dilakukan, dengan Keputusan MUI nomor 3 tahun 2004 tentang terorisme. Selanjutnya Muhammadiyah sebagai organisasi nasional pengibar panji-panji intelektual Islam, juga telah mengeluarkan Surat Keputusan Pengurus Pusat No 149/Kep/IO/B/2006 yang pada hakikatnya menyelamatkan Persyarikatan dari infiltrasi aliran keras transnasional, karena bertentangan dengan visi dan misi luhur Muhammadiyah sebagai organisasi Islam moderat. Kini langkah berikutnya yang cukup mendesak yaitu tindakan pada tataran nasional, untuk mendepak keluar aliran keras ala khawarij yang sedang dalam tahap pembentukan dan pengembangan (TukBang) nya di negara kita. Upaya pemerintah melibatkan ulama dalam penanggulangan masalah terorisme merupakan hal yang baik, agar jangan sampai perang melawan terorisme diseret menjadi perang melawan Islam dan mengadu domba antarumat Islam. (Hussaini, Adian, 2005. Simpang Siur Radikalisme, Artikel dalam harian Republika edisi Kamis 1 Desember, Jakarta.)

Tantangan dan Agenda Strategis Muhammadiyah
Ancaman (tahdiid) nasional yang kita hadapi kini adalah kondisi instabilitas yang menyuburkan sifat ghuluw (ekstrem) dan tathorruf (berlebihan). Tantangan serius bagi Muhammadiyah untuk mempertahankan moderasinya, dalam dakwah dan amal di bawah bayang-bayang tahdiid tersebut perlu dijawab, melalui strategi:

1. Secara internal Muhammadiyah meningkatkan disiplin organisasi, dengan cara terus-menerus membangun kesepakatan-kesepakatan baru yang relevan terhadap perkembangan keadaan aktual. Organisasi Muhammadiyah tidak selayaknya dijadikan kendaraan politik bagi orang-orang yang berpikiran pragmatis. (Muqoddas, Muhammad, 2008. Saya Menolak Muhammadiyah Jadi Kendaraan Politik, Pernyataan dalam acara pengajian Majelis Tabligh dan Dakwah di Gedung Dakwah Muhammadiyah pada 10 Mei di Jakarta). Dengan tingginya disiplin organisasi, akan lebih mudah terbangun perasaan ikatan jiwa korsa dan profesionalisme para pengurus dalam mengemban visi dan misi Muhammadiyah.

2. Menyesuaikan dengan seruan Ketua Umum Muhammadiyah (Ketua Umum Muhammadiyah: Din Syamsuddin) pada awal Januari yang lalu, tentang perlunya dilakukan pembaharuan terhadap amal usaha Muhammadiyah, agar manfaatnya bisa dirasakan seluruh umat manusia di Indonesia. Dihadapkan dengan hakikat ancaman yang dihadapi Indonesia, Muhammadiyah layak memelopori gerakan intelektual nasional, dengan sasaran strategis lahirnya Undang-Undang Anti Kekerasan.

3. Inisiatif perlu diambil oleh Muhammadiyah untuk terselenggaranya suatu ‘Dialog Internasional’ di Indonesia, antara aliran-aliran yang ada di dunia Islam. Dialog tersebut perlu untuk mencari solusi, terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi tiap-tiap bangsa dan agama Islam yang rakhmatan lil ’alamin.

Agenda strategis Muhammadiyah tersebut dilaksanakan secara bertahap, bertingkat dan berlanjut, dengan tujuan mencapai perdamaian dunia yang berdasarkan atas Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab serta Keadilan Universal.l

Categories : NOV 2009 | SM 22-09

No comments:

Post a Comment