Monday, November 23, 2009

Membendung Radikalisme, Membangun Moderatisme

Selasa, 14 Oktober 2003

Oleh Hery Sucipto

Dua ormas Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah, selama tiga hari (13-15 Oktober) menggelar konferensi internasional bertajuk "Strategi Dakwah Menuju Umatan Washatan dalam Menghadapi Radikalisme".

Lembaga Dakwah NU dan Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus Muhammadiyah, dua badan otonomi milik NU dan Muhammadiyah menjadi pelaksana hajatan konferensi internasional itu. Konferensi diikuti sekitar 150 peserta, meliputi tokoh agama, ulama, dan intelektual dari 10 negara di Asia Tenggara dan utusan dari beberapa negara di Timur Tengah.

Rasanya kita sepakat bila radikalisme menjadi musuh bersama umat manusia saat ini. Sejak peledakan dua menara kembar WTC di Amerika, banyak kalangan menilai bahwa radikalisme, baik sosial maupun yang mengatasnamakan agama tertentu, mencapai puncaknya dengan runtuhnya simbol ekonomi dunia itu oleh kelompok tak bertanggung jawab. Radikalisme yang melahirkan sikap dan tindakan kekerasan dan terorisme juga telah menelan banyak korban tak berdosa warga negeri ini, juga tak sedikit korban di belahan negara lain.

Akar radikalisme
Sejauh ini, banyak pengamat menyebutkan bahwa aksi kekerasan dan terorisme yang ditimbulkan akibat radikalisme sebagai tidak berdiri sendiri. Ada mata rantai berkesinambungan yang saling terkait satu sama lain. Setidaknya, ada dua akar mendasar yang menyebabkan lahirnya radikalisme juga aksi kekerasan sosial. Yang pertama, kenyataan hegemoni negara adidaya atas negara Dunia Ketiga, juga negara mayoritas berpenduduk Muslim. Hingga saat ini kebijakan Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara maju lain terus melahirkan paradoks dan penentangan banyak negara, khususnya yang berkait dengan kebijakan AS di Timur Tengah.

Sudah menjadi rahasia umum bila sejauh ini pelbagai kebijakan Pemerintah AS selalu memihak kepentingan Israel. Konflik berkepanjangan antara Israel-Palestina dan beberapa negara lain di kawasan penuh gejolak itu sedikit banyak dipicu ketidakadilan kebijakan AS dalam menyelesaikan konflik panas itu. AS selalu memveto resolusi PBB berkaitan dengan penyelesaian damai di Timur Tengah bila resolusi itu mengancam kepentingan dan eksistensi Israel.

Ketidakadilan global kebijakan AS inilah yang akhirnya memicu tindak kekerasan dan aksi terorisme sebagian warga Palestina. Hanya kekerasan dalam bentuk bom bunuh dirilah yang dapat dilakukan rakyat Palestina guna melawan Israel dan hegemoni AS. Demikian halnya hegemoni AS di negara Dunia Ketiga lainnya yang tak jarang melahirkan kebencian dan aksi kekerasan warga setempat. Sikap ini tak akan terjadi bila kebijakan negara adidaya benar-benar populis dan memihak keadilan.

Kedua, radikalisme dan fundamentalisme juga diakibatkan oleh pola pemahaman terhadap ajaran agama yang simplistis (menyederhanakan ajaran), tidak komprehensif, dan cenderung tekstualistis. Pemikir Mesir, Nasr Hamid Abu Zeid, jauh hari telah mensinyalir fenomena pemahaman yang sempit ini sebagai pemahaman agama yang "tertutup". Dalam karyanya, Naqd Khitib Al-Dini (1995), Abu Zeid menulis sedikitnya ada lima pola keberagamaan yang tertutup. Salah satu di antaranya adalah menyatukan antara agama dan pemikiran (pemahaman) keagamaan. Jarak pemisah antara agama dan hasil pemahaman manusia (ijtihad) terhadap agama, urai Abu Zeid, tidak dipisahkan secara jelas. Akibatnya, bila ada pemahaman lain yang bertentangan dengan pemahamannya dianggap melanggar agama.

Pemahaman inilah yang lalu melahirkan apa yang disebut sebagai fanatisme beragama. Bila kita mencermati dinamika dan perkembangan kehidupan beragama dalam dua tahun terakhir, dengan amat mudah kita menemukan fenomena Amrozi cs yang dengan konyol melakukan tindak kekerasan dan teror sebagai bagian jihad dan dakwah. Sudah tentu akal sehat mana pun tidak bisa menerima klaim seperti ini.

Islam sendiri secara tegas memerintahkan umatnya untuk berdakwah atau menyampaikan pesan agama dengan jalan dan cara yang baik. Misi agama yang damai tidak bisa dibumikan dengan cara kekerasan. Begitu pula dengan agama lainnya, saya kira tak satu pun yang membenarkan terorisme dan aksi kekerasan. Agama justru mengutuk tindak gegabah tersebut. Sikap dan tindakan seperti ini diakui sebagai akibat dari pemahaman agama yang tertutup yang melahirkan fanatisme beragama.

Moderasi beragama
Berbagai perkembangan tak menguntungkan ini jelas harus segera diakhiri. Segenap umat beragama bertanggung jawab moral bersama guna mengembalikan tatanan sosial yang damai sehingga pesan agama yang sejatinya untuk kedamaian dan kesejahteraan manusia tak berubah menjadi laknat bagi kehidupan sosial manusia.

Kaum ulama dan tokoh agama, sebagai bagian terpenting konstelasi sosial dan pihak yang diyakini memiliki pengaruh dan otoritas sosial yang kuat dalam masyarakat, menjadi tumpuan kerja-kerja mulia menciptakan tatanan damai dan kehidupan keberagamaan yang toleran. Moderasi umat dalam beragama, dengan demikian, menjadi syarat mutlak tercapainya kehidupan damai di tengah pluralitas masyarakat Indonesia saat ini. Moderasi juga akan mencegah pemahaman yang tertutup dan simplistis yang berakibat pada fatalisme dan fanatisme beragama.

Hemat saya, moderasi umat dan beragama ini dapat didasarkan pada dua hal. Pertama, secara diskursif, gerakan moderasi umat diyakini sebagai penopang bagi terciptanya harmonisasi sosial masyarakat di era multikultural. Karena bagaimana pun, multikulturalisme adalah suatu kenyataan historis di dalam masyarakat yang mesti disikapi secara baik. Di sinilah eksklusivitas beragama yang diyakini secara total sebagai kebenaran agama (religious truth) bisa menjadi batu sandungan ideologis untuk menyampaikan pesan perdamaian. Itu sebabnya pendidikan pluralis tetap menjadi prioritas utama dalam menjembatani doktrin eksklusif yang selama ini diyakini umat.

Dan yang kedua, secara praksis, praktik kehidupan beragama yang masih mendikotomikan klaim kebenaran dan keselamatan di dalam masing- masing umat agama mesti dikikis habis agar tidak terjadi sikap saling menyalahkan antara satu agama dan agama lainnya. Bukankah problem pluralisme kerap kali disebabkan oleh fanatisme kebenaran agama yang menimbulkan sikap radikal. Karena itulah, upaya konkret untuk membangun toleransi antarumat beragama mesti terus dilakukan sebagai bagian dari proses sosial yang berkelanjutan.

Dalam konteks inilah saya kira lembaga dakwah NU dan Muhammadiyah sangat tepat menyelenggarakan konferensi internasional ini sebagai upaya serius untuk mencegah dan membendung tumbuh-berkembangnya radikalisme dan selanjutnya menstimulus bagi terbangunnya masyarakat dan umat yang moderat (ummatan washatan). Lahirnya umat yang washatan (moderat) secara jelas juga diamanatkan dalam Al Quran untuk menjadi jembatan bagi rahmatan lil ’alamin (rahmat sekalian alam). Sebagai dua ormas terbesar di negeri ini, NU dan Muhammadiyah sangat potensial dan menjadi harapan bagi mewujudkan cita-cita itu dalam rangka membangun tatanan sosial yang berkeadaban, inklusif, dan toleran.

Hery Sucipto Alumnus Al Azhar Mesir, peneliti Maarif Institute for Culture & Humanity, dan aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)

No comments:

Post a Comment