Di dalam setiap penulisan riwayat hidup Soedirman, selalu terselip soal babak ia masuk kepanduan Muhammadiyah, Hisbul Wathan, pada awal 1930-an. Sedianya babak hidup Soedirman yang ini menjadi amat menarik. Karena gerakan kepanduan di Indonesia di awal abad ke-20 ternyata memiliki muatan politis nasionalisme yang kental. Karena itu, tidak berlebihan kiranya kalau kita menyebut babak kepanduan Hisbul Wathan ini adalah salah satu faktor yang membentuk karakter nasionalisme Soedirman.
Kepanduan di Indonesia dibawa dua tokoh penjajah Belanda, PJ Smith dan Mayor de Jager, pada 1913-1914. Tujuan mereka saat itu untuk melatih anak-remaja Belanda usia 12-18 tahun menjadi warga negara yang baik, disiplin, berkarakter bela Ratu Belanda, bela tanah air Belanda, gemar menolong, cinta lingkungan. Organisasi pandu awal diberi nama Nederlandsche-Indische Padvindersvereeniging (NIPV).
Dalam tulisannya yang merangkum gerakan kepanduan di Indonesia, "Padvinders, Pandu, Pramuka: Youth and State in the 20th Century Indonesia (2011)" pengajar antropologi UGM Pujo Semedi mengatakan, ada perbedaan yang mencolok soal latar sosial kepanduan di Indonesia saat itu dengan di Eropa. Kepanduan di Eropa menyeruak di tengah situasi antarnegara saling perang dan generasi muda yang gamang bin galau menghadapi hidup di tengah perang.
Sementara di Indonesia, terutama di tingkat lokal nanti akan terlihat, kepanduan justru amat kental dibayangi atmosfer kebangkitan nasional dan perlawanan melawan penjajah Belanda. Dari kepanduan gaya Belanda ini, tokoh-tokoh nasional saat itu melihat ada kesempatan yang baik untuk menanamkan nilai-nilai awal nasionalisme ke generasi muda prakemerdekaan.
Lahirlah Javaansche Padvinders Organisatie (JPO) pada 1916. Yang memelopori adalah Pangeran Mangkunegara VII di Surakarta. Sesuai dengan namanya, setiap anggota pandu JPO harus setia kepada keraton, kepada Sri Sultan, dan kepada Tanah Jawa. Anggota JPO saat itu terbatas di lingkaran keraton. Saban Ahad mereka dijadwalkan berlatih di halaman depan keraton. Latihannya mencakup baris-berbaris, pertolongan kecelakaan, tali-temali, membaca peta, dan kepanduan dasar lainnya. Para pandu anak-remaja yang diberi seragam itu berlatih terbuka, dapat dilihat oleh warga yang lalu lalang di depan pagar keraton.
Pandu nasionalisme dan agamis
Dalam riwayat resmi Hisbul Wathan yang dirilis oleh Muhammadiyah dan organisasi itu sendiri dikisahkan, latihan kepanduan JPO ini menarik minat pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Suatu waktu pada 1916, usai kembali dari pengajian Sidiq Amanah Fathonah Tabligh di Surakarta yang rutin diadakan di kediaman KH Imam Mukhtar Bukhari, lewatlah rombongan KH Ahmad Dahlan di depan halaman Mangkunegaran. Ia melihat bagaimana pandu-pandu muda JPO berlatih berbaris. Ini memberinya ide.
KH Ahmad Dahlan ingin agar peserta didik Muhammadiyah pun memiliki kegiatan serupa untuk mengembangkan perjuangan, syiar Islam, berbakti kepada Allah SWT, mendidik disiplin, dan menyehatkan raga. Sampai di Yogyakarta, KH Ahmad Dahlan secara khusus membahas untuk membentuk kepanduan Muhammadiyah. Ia memanggil dua pengajar yakni Sumodirjo dan Sarbini untuk merintis gerakan kepanduan Muhammadiyah. Sarbini kebetulan bekas opsir Belanda yang pernah merasakan pendidikan tentara.
Dengan sederhana, mulailah keduanya melatih pemuda Muhammadiyah kepanduan di halaman sekolah di Suronatan. Baris-berbaris, pertolongan kecelakaan, olahraga. Latihan ini masuk ke dalam aktivitas di luar sekolah Muhammadiyah. Tidak butuh lama, pemuda kauman yang melihat siswa Muhammadiyah berlatih kepanduan banyak yang tertarik. Guru-guru pun ikut berlatih. Pada 1918, akhirnya Muhammadiyah memiliki Padvinders Muhammadiyah, yang kemudian diganti dengan nama Hisbul Wathan (cinta Tanah Air) pada 1921, terinspirasi oleh gerakan perjuangan Partai Wathan yang beraliran antikolonialisme di Mesir.
Muhammadiyah dan Boedi Oetomo adalah dua organisasi massa yang ketika itu mengikuti Pangeran Mangkunegara VII membentuk kepanduan. Dengan demikian, pada saat itu sudah muncul kepanduan lokal, yakni JPO, Hisbul Wathan, Nationale Padvinderij (milik Boedi Oetomo), dan kemudian Java Padviderij (milik Jong Java). Secara senyap, inilah cara-cara awal pergerakan prakemerdekaan mendidik generasi muda ketika itu untuk mencintai Tanah Air dan melawan penjajahan. Karena situasi politiknya belum memungkinkan untuk membuat perlawanan langsung.
Semboyan Hisbul Wathan pada waktu itu adalah setia kepada ulil amri, sungguh berhajat akan menjadi orang utama, tahu akan sopan santun dan tidak akan membesarkan diri, boleh dipercaya, bermuka manis, hemat dan cermat, penyayang, suka pada sekalian kerukunan, tangkas, pemberani, tahan, serta terpercaya, kuat pikiran, menerja segala kebenaran, ringan menolong dan rajin.
"Membantu orang-orang tua dan guru guru dalam mendidik dan anak-anak dan supaya kelakuannya menjadi orang Islam yang berarti (sempurna) ialah orang yang berbudi pekerti baik, berbadan sehat, berguna bagi diri sendiri dan bagi umum, takwa kepada Allah, artinya menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya." seperti dikutip dari Pasal 2 Boekoe Peratoeran Hizboel Wathan.
Sementara muatan nasionalisme terangkum di dalam kode kehormatan Hizbul Wathan seperti Pasal 1 Janji Pandu Hizbul Wathan yang berbunyi: "Setia menjalankan kewajibanku terhadap Tuhan dan UU tanah airku."
Secara umum, ada tiga kegiatan yang harus diikuti Soedirman sebagai pandu Hizbul Wathan. Pertama adalah program pendidikan rohani sebagai wahana pembentukan karakter. Kedua, pendidikan jasmani untuk pengembangan kesehatan dan fisik. Ketiga program karya bakti sebagai wujud pengamalan pandu. Untuk yang terakhir ini, Soedirman diharuskan aktif di Majelis Penolong Kesengsaraan Oemat (PKO) Muhammadiyah yang bergerak dalam bidang mengumpulkan zakat, menyelenggarakan shalat Id, menyembelih hewan kurban dan membagikannya ke warga, ketertiban warga, dan lainnya. Inilah atmosfer yang dimasuki oleh remaja Soedirman pada pertengahan 1930-an.
Dalam biografi resmi yang dirilis Pusat Sejarah TNI disebutkan: "Melalui kegiatan Hizbul Wathan bakat-bakat kepemimpinan Soedirman terlihat. Ia menjadi pandu yang disiplin, militer, dan bertanggung jawab, cinta terhadap alam."
Dalam satu kisah perkemahan pandu Hizbul Wathan di lereng Batur di daerah Dieng Wonosobo, di versi lain disebutkan perkemahan dilakukan di lereng Gunung Slamet, terlihat bagaimana remaja Soedirman bersikap menghadapi situasi dan kondisi yang ekstrim. Menjelang malam, turun hujan deras. Udara menjadi sangat dingin. Para pandu rekan Soedirman yang tak kuat dingin meminta izin untuk pindah tenda atau turun ke rumah penduduk. Soedirman tetap di dalam tendanya. Satu rekan Hizbul Wathan yang bertugas jaga malam mengatakan sempat mendengar lantunan ayat Kursi dari dalam tenda Soedirman. Setelah itu, ia terlihat mengenakan baju hangat dan menunaikan shalat malam.
Dalam buku Soedirman Seorang Panglima Seorang Martir (2012) ditegaskan watak disiplin dan tanggung jawab yang Soedirman miliki hingga menjadi Panglima Besar awalnya memang dipupuk di kepanduan Hisbul Wathan. Di sini, Soedirman berprestasi dari seorang pandu pemula menjadi ketua pandu Hisbul Wathan Cilacap dan Menteri Daerah Hisbul Wathan Banyumas.
https://republika.co.id/berita/selarung/tuturan/19/01/24/pltp4x282-kepanduan-muhammadiyah-membentuk-karakter-jenderal-soedirman
No comments:
Post a Comment