Dedicated to boosting research and scholarship on the Muhammadiyah and strengthening this movement
Wednesday, July 28, 2010
Yang Tercecer dari Muktamar
Muktamar ke-46 Satu Abad Muhammadiyah telah usai. Muktamar yang untuk pertama kalinya dalam sepanjang sejarah Muhammadiyah setelah kemerdekaan RI tidak dihadiri secara langsung oleh Presiden RI itu juga telah usai memilih 13 (tiga belas) Pimpinan Pusat (PP) baru (tapi lama).
Dikatakan baru tapi lama karena memang—seperti telah diduga—tidak terjadi regenerasi disana. Muktamar yang penuh ingar-bingar dan menelan biaya Rp. 26 Milyar itu hanyalah menjadi ajang bagi pimpinan lama untuk, meminjam kata-kata Busyro Muqoddas (Ketua Komisi Yudisial) kepada Munir Mulkan (Komnas HAM), untuk memperpanjang SIM. Bahkan separuh lebih dari 13 PP lama memperpanjang SIM untuk ketiga dan keempat kalinya. SIM di sini singkatan dari surat izin mengemudikan Muhammadiyah.
Sinisme yang satiris itu sejatinya merupakan sebuah truisme belaka. Pasalnya, sistem pemilihan yang unik, rumit, dan berlapis-lapis itu memang sangat menguntungkan status quo. Atau jangan-jangan sistem itu sengaja dipertahankan memang untuk mempertahankan status quo. Betapa tidak! Jika dalam organisasi lain memilih pemimpin itu satu orang, persis seperti imam dalam salat berjamaah, maka dalam Muhammadiyah memilih pemimpin itu 13 orang alias secara ombyokan.
Bayangkan, dalam sidang tanwir, setiap anggota (164) memilih 39 nama. Dan dalam muktamar, setiap peserta (2.400 orang) memilih 13 nama. Tak terbayangkan peserta tanwir tidak akan menuliskan orang-orang lama dalam 39 nama, dan mustahil terjadi peserta muktamar tidak menuliskan incumbent stok lama tatkala memilih 13 nama dalam muktamar. Bener-bener sebuah sistem pro-status quo.
Tentu sistem pemilihan pimpinan secara ombyokan ini ada plusnya dan banyak minusnya. Salah satunya adalah menghindari kecenderungan one man show sang ketua umum, dan kukuhnya semangat kolektivisme kolegialisme. Tapi ketika di antara mereka tidak ada chemistry, maka yang terjadi adalah antagonisme internal yang berkepanjangan.
Alih-alih sebuah orkestra yang enak didengar, yang terjadi justru ketidakkompakan yang dibarengi langgengnya saling curiga dan rivalitas di antara mereka. Pasalnya, mereka secara sendiri-sendiri mengklaim mendapatkan mandat yang sama dari muktamar. Gelagat seperti ini sudah tampak pada rapat-rapat awal PP sekarang ini. Benih-benih ketidakpercayaan pada Din Syamsuddin mulai disemai dengan disodorkannya “traktat tidak berpolitik dan menjadi calon presiden 2014” yang harus ditandatanganinya. PP benar-benar melaksanakan perintah Buya Syafii Ma’arif (dan mungkin juga Prof.Amien Rais) untuk bersikap galak kepada Ketua Umum Din Syamsuddin. Walhasil, Din itu dicintai di bawah, tapi dicurigai di atas.
Laksana Abimanyu dalam epik Baratayudha, Din Syamsuddin pun menjadi mati kutu dikepung ke-12 orang PP lainnya. Tapi berbeda dengan Abimanyu Sang Senopati Pandawa yang siap perang ing aloga, sifat Din yang jauh dari fighter dan selalu menghindari benturan menjadikan dirinya madek mangu untuk bersikap. Bahkan sekadar menyodorkan Dr. Rizal Sukma dan Dr. Bahtiar Effendy, dua penasihat intelektual protagonisnya, untuk masuk PP pun tidak berani dia lakukan.
Sementara itu, sebagai ketua umum, Din tidak memiliki keberanian untuk menolak keinginan PP 13, yang semuanya hanya mau menjadi ketua-ketua bidang yang jauh dari majelis yang bersifat eksekutorial. Padahal, sangatlah meyakinkan mandat muktamar bagi mereka adalah untuk bekerja, bukan untuk menjadi dewan syuro.
Apalagi memperbarui struktur organisasi PP yang semakin anakronistik itu! Bayangkan, struktur organisasi yang menempatkan PP 13 layaknya ‘penasihat” dan menjadikan majelis/lembaga berada di luar PP yang nyata-nyata stagnan itu tetap juga dilanggengkan. Padahal jelas struktur itu tidak paralel dan relevan dengan tantangan dan visi Muhammadiyah di abad ke-2!
Mungkin keengganan untuk berubah ini terkait dengan usianya yang sudah senja, 100 tahun. Ibarat manusia, dalam usia ini sudah lemah, sakit-sakitan, dan meski belum terkena stroke sudah mulai menjadi beban lingkungannya. Tapi uniknya, persis kata Mitsuo Nakamura, antropolog Jepang spesialis Muhammadiyah, pimpinan Muhammadiyah sekarang malah cenderung narsistik alias terlalu senang dipuji, dan, ini tambahan dari saya: marah-marag kalau dikritik!
Maka, menunggu perubahan di sana adalah ibarat menunggu Godot dalam novel Samuel Beckett, Waiting for Godot (An Attendat Godot). Ketika Estragon berkata kepada Vladimir: ”charming spot. Inspiring prospects. Let’s go!” Vladimir menjawab:”we can’t.” Dan ketika Estragon menukas cepat:”why not?”, maka Vladimir menjawab dengan entengnya:”we are waiting for Godot”.
Sedangkan Si Godot memang tidak pernah datang, persis seperti menunggu perubahan di Muhammadiyah. Cuma sayangnya di PP muhammadiyah hasil muktamar ini tidak jelas siapa yang menjadi Estragon dan siapa yang menjadi Vladimir. Nah lo…Wallahualam.
Hajriyanto Y.Thohari,
Wakil Sekjen PP.Muhammadiyah 2000-2005.
Warisan Penuh Makna dari 100 tahun Muhammadiyah
Oleh : Wahyu Ari Wicaksono | 28-Jul-2010, 11:12:54 WIB
Judul Buku:
100 Wisdom of MUhammadiyah - Hikmah dan Mutiara Kata Muhammadiyah Sepanjang Masa.
Konsep, desain, dan tata letak: PlanB Studios
Kontributor isi:
HM. Amien Rais, dr. Ida Rochmawati, Msc, Sp.KJ, Aga Herman, Moh. Rif'an, Andri Fetty Aisha, Nana Romzana, Yachinta E.D.
Penerbit: PlanBooks, cetakan pertama, Juli 2010
KabarIndonesia - Buku yang merupakan salah satu seri motivasi persembahan untuk satu abad Muhammadiyah ini diterbitkan dengan maksud sebagai dokumentasi atas mozaik ilmu dari kekuatan keimanan dan ketakwaan tokoh-tokoh Muhammadiyah yang menggerakkan lisan dan perbuatan mereka yang semata-mata dengan niat ibadah.
Buku ini mampu tampil lebih unik karena dilengkapi dengan berbagai sketsa gambar yang mempertajam isi dari pernyataan para tokoh Muhammadiyah yang ada terhadap berbagai realita kehidupan, sejarah, keimanan, keyakinan, kepercayaan, kenegarawanan, kesetiaan, kepedulian, masa depan, dan masalah-masalah lainnya.
Tentang peringatan akan tantangan di masa depan misalnya, hal ini telah dipesankan secara tegas oleh tokoh Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan melalui kalimat peringatan pada dirinya sendiri namun berbias pada umat manusia secara keseluruhan. "Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya..." (KH Ahmad Dahlan).
Tak hanya mengingatkan tentang tantangan masa depan, buku ini juga banyak menngingatkan tentang kewajiban-kewajiban yang kita emban. Meskipun diungkapkan pada masa yang telah silam, tapi makna ungkapan-ungkapan tersebut mampu melampaui batas-batas zaman. Petuah-petuah dari KH Ahmad Dahlan, Jendral Sudirman, Buya Hamka, H. Darmo Tjahyono, KH. Ahmad Azhar Basyir, HA. Syafii Ma'arif, H. Kartono Kamadjaja, HM. Amien Rais, dan tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya benar-benar terasa aktual dan mampu memberikan masukan berarti bagi aktivitas kita sekarang.
"Memperbaiki urusan yang terlanjur salah dan disalahgunakan atau diselewengkan adalah merupakan kewajiban setiap manusia, terutama kewajiban umat Islam." (KH. Ahmad Dahlan)
"Dalam menghadapi keadaan yang bagaimana pun juga tetap jangan lengah, karena kelengahan dapat menyebabkan kelemahan, kelemahan menyebabkan kekalahan, berarti penderitaan (Panglima Besar Jendral Soedirman)
"Janganl;ah takut jatuh, karena yang tidak pernah memanjatlah yang tak pernah jatuh. Jangan takut gagal, karena yang tidak pernah gagal hanyalah orang yang tidak pernah mencoba melangkah. Jangan takut salah, karena dengan kesalahan yang pertama kita mendapat pengetahuan untuk mencari jalan yang benar pada langkah kedua." (Buya Hamka).
"Dalam mengarungi kehidupan, contohlah pohon pisang. Pohon pisang tidak pernah mati kecuali setelah berbuah. Dipangkas beberapa kalipun, ia akan tumbuh kembali. Namun sekali berbuah, pohon pisang mati sendiri. Semoga sebelum mati kita sudah banyak beramal sholeh." (H. Darmo Tjahyono).
"Ada tiga jenis manusia: manusia jahat, manusia biasa, dan manusia baik. Manusia jahat, sejak bangun tidur sudah berniat dan berbuat jahat. Sementara manusia biasa, tidak ingin berbuat dosa dan kejahatan, namun bila ia kepergok dengan godaan dosa dan kejahatan, ia tidak bisa menghindari. Sedangkan manusia baik sejak bangun pagi sudah berniat dan berbuat baik, dan jika kepergok dengan godaan dosa dan kejahatan, ia mampu menghindari."
(KH. Ahmad Azhar Basyir)
"Rendah hati adalah refleksi dari iman." (HA. Syafii Ma'arif).
Tentu saja sebagai buku kata-kata mutiara tokoh-tokoh Muhammadiyah, ungkapan-ungkapan yang dikutip dalam buku ini juga mampu menjadi refleksi, evaluasi dan motivasi bagi kalangan internal Muhammadiyah.
"Muhammadiyah pada masa sekarang ini berbeda dengan Muhammadiyah pada masa mendatang. Karena itu warga muda-mudi Muhammadiyah hendaklah terus menjalani & menempuh pendidikan serta menuntut ilmu pengetahuan di mana saja. Menjadilah dokter, sesudah itu kembalilah kepada Muhammadiyah. Jadilah meester, insinyur, lalu kembalilah kepada Muhammadiyah sesudah itu." (KH. Ahmad Dahlan).
"Pimpinan Muhammadiyah sebaiknya kyai yang intelektual atau intelektual yang kyai." (KH Ahmad Dahlan).
"Sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah. Kata-kata ini bukan untuk Muhammadiyah saja, tetapi juga untuk saya. Saya harap kalau dibaca lagi nama-nama anggauta Muhammadiyah yang 175.000 orang banyaknya, nama saya masih tercantum di dalamnya. Saya harap nama saya tidak dicoret dari daftar keanggautaan Muhammadiyah." (H. Ahmad Soekarno, 1957)
Muhammadiyah itu: yen dijiwit dadi kulit, dicethot dadi otot... setan ora doyan, dhemit ora ndulit... (dicubit malah menjadi kulit, dibetot malah menjadi otot... setan tidak bakal doyan, jin tidak akan menyentuh...) artinya, insan Muhammadiyah adalah pribadi-pribadi yang selalu bekerja dengan ikhlas, tahan banting, dan InsyaAllah tahan kritik dan cemooh manusia, serta tahan godaan setan.
(HM. Amien Rais).
Kearifan dari inti ajaran yang diyakini Muhammadiyah, benar-benar bisa kita rasakan dari kebijakan ungkapan-ungkapan tokoh-tokoh yang kata-katanya dikutip dalam buku ini. Misalnya kelapangan hati dan keterbukaan Muhammadiyah terhadap masalah-masalah yang kerap menjadi perdebatan dan dipermasalahkan oleh beberapa golongan yang ada.
"Tradisi itu buatan manusia dengan akal budinya, dengan perlambangnya, dengan fantasinya, dengan imajinasinya sesuai dengan zamannya. Oleh sebab itu tradisi niscaya akan bergeser sejalan dengan kecerdasan, logika, dan ketebalan beragama manusia di suatu zaman. Maka tradisi itu tidak perlu dimusuhi, diuber-uber lebih daripada musuh, namun perlu ditolerir sejauh tidak bertentangan dengan Islam." (H. Kartono Kamadjaja).
"Ada beberapa jenis kemarahan. Namun kemarahan yang paling indah adalah kemarahan kepada kebathilan. Ada beberapa jenis cinta. namun cinta pada kebenaran adalah cinta yang paling Indah."
"If we do our part, God will do His part." (HM Amien Rais).
"Para begawan tidak bisa berumah di atas angin, lebih-lebih tenggelam di bawah atap kantornya sendiri, tanpa melibatkan diri dalam agenda-agenda pemikiran dan aksi pencerahan bangsa." (HM Haedar Nashir).
"Kerapkali orangtua menyesali pemuda. Menuduhnya bekerja terburu-buru dan kurang pikir. Kerapkali orang muda menuduh orang tua lamban, lambat bertindak dan terlalu banyak berpikir. Alangkah sibuknya dunia kalau pimpinan hanya di tangan yang muda-muda, dan dunia akan membosankan karena lamban geraknya kalau yang memimpin hanya yang tua-tua. Gabungan di antara gelora semangat yang muda dengan renung pikiran yang tua itulah yang menimbulkan keseimbangan di dalam perjalanan hidup." (Buya Hamka).
Akhir kata, menyelami dan merenungi secara dalam 100 Mutiara Kebijakan yang tertulis dalam buku ini, maka kita pun akan mengamini apa yang dituliskan Amien Rais dalam kata pengantarnya bahwa para tokoh Muhammadiyah itu mengunggulkan keikhlasan, keberanian, kesederhanaan, keuletan, dan keyakinan akan masa depan yang lebih baik. Selamat satu abad Muhammadiyah.
Retrieved from: http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&jd=Resensi+Buku%3A+Warisan+Penuh+Makna+dari+100+tahun+Muhammadiyah&dn=20100728072853 (July 28, 2010)
Monday, July 26, 2010
“Ma Taf’al Al’an ya” Muhammadiyah
Oleh : Daoed Joesoef
Kehadiran Muhammadiyah saya jadikan objek studi perkembangan masyarakat muslim pada khususnya dan pengkajian kultur religius pada umumnya. Pendekatan yang dipakai adalah secara historis dan analitis. Dalam penalaran dipinjam beberapa tools of analysis dari Prof. Marcel Gauchet.
Pendekatan historis karena ormas Islam yang satu ini dibentuk untuk berkiprah merubah masyarakat dengan sadar dan sengaja, jadi tidak semata-mata terserah pada takdir. Jadi bersendikan satu keyakinan lain, yaitu keyakinan politik, di samping keyakinan religius. Keyakinan religius adalah suatu keyakinan pada otoritas masa lalu. Sedangkan keyakinan politik yang tampil untuk menandinginya adalah suatu keyakinan pada otoritas masa depan
Pendekatan analitis karena dalam gerakan semua ormas dan parpol Islam, tidak hanya Muhammadiyah, terjalin sepasang keyakinan, yaitu keyakinan religius dan keyakinan politik. Pengertian yang dikandung oleh pasangan keyakinan ini mencakup hakikat gerakan spirit dan gerakan masyarakat. Ia menggambarkan fakta penggerak masyarakat modern, yaitu proses keluar dari agama. Ia meliputi peralihan dari suatu masyarakat heteronom, yang distrukturkan oleh agama, ke masyarakat otonom, yang menyiapkan tatanan hukumnya sendiri dan memilih kepengurusan sendiri sebagai ideal.
Agama secara esensial adalah suatu gaya primordial keber-ADA-an, suatu cara menstrukturkan masyarakat human. Inilah yang dimaksud oleh pengertian “heteronom”. Dalam bingkai heteronomi ini keyakinan tersebut melibatkan organisasi kolektif. Ia percaya pada suatu supranatural, leluhur-pendiri, dewa pengatur atau Tuhan Yang Maha Esa-Sang Pencipta, yang memberikan kita tatanan hukum dari “tempat lain” dan dari “atas”. Sedangkan ketergantungan pada yang “tidak kasatmata” berarti sekaligus ketergantungan pada “masa lalu”. Tata heteronom dengan sendirinya berpembawaan kelampauan. Eksterioritas metafisik dari dasarnya berarti enterioritas temporal dari dasar tersebut. Berhubung tatanan hukum tadi secara esensial bagi kita adalah “given” dan “imposed”, kita menerimanya sebagai perintah dan meneruskannya persis sebagaimana yang kita terima. Maka dalam pengertian ini masyarakat agama disebut pula masyarakat tradisional.
Sewaktu KH Ahmad Dahlan membentuk gerakan Muhammadiyah, dia pada azasnya mengajak orang beragama tidak lagi beragama demi agama, tetapi melangkah keluar dan masuk ke masyarakat sambil memperbaharui kehidupan bersama ini. Masyarakat yang keluar dari agama adalah sebuah kehidupan bersama yang mengorganisir diri guna perubahannya sendiri demi mencapai keadaan yang lebih baik, sebuah masyarakat di mana seluruh kegiatan individual dan kolektif berorientasi ke masa depan, suatu masyarakat di mana politik dijadikan objek keyakinan, suatu keyakinan politik.
Maka ormas Muhammadiyah menggambarkan, melalui gerakan dan kiprahnya yang konsisten dan konsekuen, suatu peralihan dari suatu masyarakat yang heteronom, masa lalu, yang distrukturkan oleh agama, ke suatu masyarakat otonom, masa depan, yang menyiapkan tatanan hukumnya sendiri dan memilih kepengurusan sendiri sebagai ideal. Dengan kata lain, sebuah masyarakat yang membangun diri untuk membuat pemikiran diskursif tentang dirinya sendiri yang dapat lain daripada pemikiran religius dan keyakinan religius. Jenis pemikiran dan keyakinan baru ini bisa disebut ”ideologi”.
Ideologi
Orisinalitas pemikiran diskursif ini terletak dalam formulasi dan multiplisitas fungsinya. Ideologi menurut naturnya meramu tiga komponen. Pertama, berupa bagian yang rasional dari ideologi. Sebuah masyarakat yang bertekad menciptakan sendiri kegunaan selama eksis memerlukan suatu penjelasan tentang gerakan perbaikan dicetuskannya sebagai pembeda terhadap pembenaran transeden dari agama. Berarti penjelasan ini harus bersendikan suatu teori kemasyarakatan yang memperhitungkan faktor dan kekuatan yang menjelaskan dinamika gerakannya.
Kedua, masyarakat yang mengarah ke masa depan adalah sebuah masyarakat yang betul-betul perlu mengetahui ke arah apa/mana dinamika yang digerakkannya itu. Di sinilah letak keyakinan itu. Masa depan penuh tanda tanya. Ada ranah tidak kasatmata yang seperti halnya langit yang tidak kasatmata, sama-sama mengundang spekulasi dan keyakinan. Penjelasan rasional tentang masa lalu dan masa kini terjalin langsung dengan keyakinan akan masa depan, jadi dengan keyakinan dan harapan pada masa mendatang.
Ketiga, ide tentang masa lalu dan imaji tentang masa depan ini hadir di masa kini berupa opini politik jangka pendek, menengah dan panjang (program, proyek, janji). Perdebatan politik adalah silang pendapat mengenai perubahan yang mungkin dan perubahan yang dikehendaki. Setiap ideologi merupakan ramuan dari ketiga hal tadi, dalam proporsi yang berlainan menurut tempat dan waktu. Ia mengkombinasikan unsur-unsur dari teori sosial, dari prefensi politik dan dari kepastian tentang masa mendatang. Ia menyandingkan pretensi ilmiah, realisme politik dan mimpi profetis.
Jadi, ormas Muhammadiyah sebenarnya sudah berpolitik tanpa menyatakan dirinya “partai politik”. Sebab gerakan pembaruan dan kiprahnya sudah meliputi dua aspek dari politik, yaitu politik dalam artian “konsep” dan artian “kebijakan”. Maka itu, dalam perjalanannya ia pernah turut membentuk parpol Masyumi dan Parmusi. Sementara Ketua Pimpinan Pusatnya yang masih berfungsi mendirikan PAN dan ada parpol (PMB) yang mencalonkan Ketua Umumnya menjadi calon presiden menjelang Pemilu 2009. Aspek politik yang ketiga, yaitu politik dalam artian “arena” tidak disentuhnya karena organisasinya bukan merupakan pemain politik formal yang secara alami bertujuan merebut kekuasaan politik.
Kepemimpinan Organisasi
Dalam dunia religius prioritas ada pada kekuatan spirit selaku penguasa tata-tertib. Dalam dunia historis prioritas beralih ke masyarakat selaku penguasa gerakan. Ide tentang kepengurusan yang sah karenanya berubah total. Kepengurusan ormas bergerak hanya dari masyarakat pengikutnya sendiri, komunitas pengikutnya dan berfungsi memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Dengan kata lain, membalik diri menghadap ke masa depan meniscayakan adanya legitimasi kepengurusan yang liberal dan representatif. Liberal karena ia harus menghormati perbedaan antara masyarakat selaku sebuah penguasa kolektif dengan suatu invensi apa pun yang berlainan dengan itu. Representatif sebab kepengurusan itu harus benar-benar berasal dari masyarakat yang dicakupnya.
Bila demikian agak mengherankan mengapa “pemuda” tidak terwakili selayaknya dalam badan kepengurusan yang baru dari Muhammadiyah, pada jumlah mereka konon relatif besar. Bukankah “pemuda” yang merupakan “wajah” masa depan? Bahkan inkarnasi masa depan itu sendiri? Mengapa mereka tidak diberi kesempatan turut merintis jalan ke masa mendatang itu? Mengapa dulu-dulu, sebelumnya, pimpinan yang berlaku lalai, tidak menyiapkan mereka dengan baik hingga bisa diandalkan? Bukankah tugas mulia dan alami dari generasi tua menyiapkan generasi muda sebagai penggantinya yang sah?!
Tidak heran kalau lalu timbul kecurigaan di kalangan sementara anggota Muhammadiyah bahwa kedudukan pimpinan organisasi hanya merupakan sebuah tempat penantian ke penawaran kedudukan yang lebih berkuasa diluar organisasi, yaitu kekuasaan politik di tataran Negara-Bangsa atau jabatan pemerintahan yang sangat bergengsi dalam konteks nasional. Kecurigaan ini bukan tanpa alasan.
Walaupun sejak muktamar ke-38 di tahun 1971 Muhammadiyah secara organisatoris mengambil jarak dengan parpol, ketika Ketua PP Muhammadiyah di masa pascareformasi (M Amien Rais) mendirikan parpol (PAN), tidak ada protes keras dari dalam organisasi yang masih dipimpinnya. Protes yang berarti juga tidak ada dari ormas yang katanya menjauhi sepak terjang keparpolan ketika Ketua Umumnya (Din Syamsuddin) dicalonkan sebagai presiden dalam Pemilu 2009 oleh Partai Matahari Bangsa (PMB).
Berarti setiap waktu, kapan saja, seorang pejabat pimpinan Muhammadiyah selalu bisa meninggalkan begitu saja kedudukannya yang masih berlaku, pergi menerima jabatan kenegaraan dengan dalih “atas permintaan rakyat” atau “demi mengabdi Nusa dan Bangsa”, atau merangkap jabatan sampai saat muktamar berikutnya. Jadi ke luar berwajah “bescheiden” tetapi ke dalam mendambakan jabatan tinggi yang pura-pura ditolaknya.
Para tokoh Muhammdiyah yang berpura-pura ini sebaiknya memahami bahwa kalaupun ada parpol yang meminta kesediaannya dicalonkan menjadi Presiden atau Wapres atas nama parpol yang meminta, yang dibidik oleh parpol yang bersangkutan sejujurnya bukanlah kapasitasnya sebagai negarawan, tetapi massa dari pengikut Muhammadiyah yang polos dan berjumlah relatif besar. Itu saja, tidak lebih dan tidak kurang.
So…ma taf’al al’an ya Muhammadiyah – apa yang akan Anda lakukan sekarang, wahai Muhammadiyah?!
Penulis adalah alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
Sunday, July 25, 2010
Kado Seabad Muhammadiyah
Ribuan peserta dari berbagai daerah memadati Kota Gudeg. Selain memilih pucuk pimpinan organisasi untuk periode lima tahun berikutnya, muktamar membahas berbagai masalah internal keorganisasian, keindonesiaan dan keumatan, berikut peluang dan tantangannya pada masa mendatang.
Sudah barang tentu banyak ucapan selamat diberikan kepada Muhammadiyah dengan berbagai ekspresi yang berbeda-beda, sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya. Salah satunya dalam bentuk pemikiran seperti yang terhimpun dalam buku Satu Abad Muhammadiyah; Mengkaji Ulang Arah Pembaruan yang ditulis Dawam Rahardjo dan para penulis muda ini.
Buku ini bermula dari obrolan sederhana antara dua pemikir yang berbeda generasi, Dawam Rahardjo dan Moh. Shofan tentang perkembangan pemikiran Islam Indonesia, khususnya di lingkungan NU dan Muhammadiyah. Pada kesempatan itu, Shofan usul agar Dawam menuliskan pemikirannya soal Muhammadiyah, khususnya untuk menyambut perhelatan muktamar ke-46 dan momentum seabad Muhammadiyah.
Dawam kemudian mewujudkan pemikirannya dengan judul tulisan, Mengkaji Ulang Muhammadiyah sebagai Organisasi Islam Berorientasi Pembaruan. Tak pelak tulisan Dawam mendapat ruang publisitas dan ditanggapi anak-anak muda yang berasal dari beragam elemen -meski pada awalnya berharap agar anak-anak muda Muhammadiyah sendiri yang menanggapi. Secara keseluruhan, tulisan yang terhimpun dalam buku ini bermuara pada satu kesimpulan bahwa Muhammadiyah di usianya yang seabad telah mengalami disorientasi dari organisasi pembaruan menuju organisasi konservatif. Meskipun, ada sebagian penulis dalam buku ini yang masih malu-malu mengatakannya.
Seabad bisa dipahami sebagai periode abad kedua untuk Muhammadiyah. Suatu periode yang diharapkan bisa melampaui periode-periode sebelumnya yang telah melewati beragam dinamika zaman yang penuh perjuangan -baik di era perjuangan kemerdekaan pada masa kolonial, era setelah kemerdekaan pada masa Orde Lama dan Orde Baru, maupun era reformasi hingga kini. Fase terakhir ini bisa dibilang sebagai fase paling menentukan masa depan Muhammadiyah.
Atas dasar itu, para penulis mengusulkan agar dalam menghadapi pergantian abad menuju fase baru ini, Muhammadiyah diharapkan untuk merumuskan ulang orientasi dakwah dan tajdid yang telah menjadi fokus gerakannya selama ini. Dengan demikian, Muhammadiyah akan mampu melintasi zaman dengan penuh kesiapan dan rasa percaya diri untuk menghadirkan risalah Islam sebagai rahmatan lil-alamin.
Dalam tulisannya, Dawam melancarkan kritik kepada Muhammadiyah, paling tidak pada dua hal. Yakni, misi praksis Muhammadiyah dan misi teologisnya. Secara praksis, Muhammadiyah menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan. Di usianya yang seabad ini, Muhammadiyah tercatat memiliki belasan ribu sekolah TK-SMA, 167 perguruan tinggi, ratusan panti sosial, dan ribuan amal usaha lainnya, termasuk yang berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi rakyat di berbagai daerah.
Namun, menurut Dawam, tidak ada suatu konsep pendidikan distingtif di Muhammadiyah. Tidak ada konsep mengenai sistem pendidikan yang dikatakan sebagai konsep yang dianut oleh Muhammadiyah. Yang ada hanya wujud fisik atau suatu proyek sosial biasa yang dilakukan oleh banyak organisasi keagamaan dan Muhammadiyah salah satu di antaranya. Bahkan, Muhammadiyah hanyalah mengikuti, jika tidak boleh dibilang meniru, kegiatan-kegiatan yang sebelumnya dilakukan oleh misionaris Kristen (hlm. 8).
Dalam kritiknya itu, Dawam ingin menunjukkan bahwa konsep dan metodologi pendidikan yang selama ini dikembangkan Muhammadiyah salah satunya hanya dimotivasi untuk menandingi gerakan misionaris Kristen dalam mendirikan sekolah-sekolah umum yang berbasis klasikal. Artinya, yang dikembangkan Muhammadiyah tidak benar-benar murni milik Muhammadiyah sendiri, baik secara konseptual maupun metodologis. Muhammadiyah masih belum melakukan pembaruan sistem pendidikan yang integral sehingga pendidikan Islam masih bersifat dualitas antara pendidikan agama yang tradisional dan ilmu pengetahuan umum.
Secara teologis, menurut Dawam, Muhammadiyah mengalami konservatisisme yang akut, meski sejak awal organisasi ini menginjakkan kakinya pada pembaruan Muhammad Abduh. Tidak ada perhatian dari kalangan Muhammadiyah terhadap literatur-literatur para pemikir progresif-liberal kontemporer, misalnya, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abi Zaid, Abid Al-Jabiri, Mohamad Arkuon, dan Ashghar Ali Engineer. Hal itu menunjukkan betapa Muhammadiyah sudah mengalami krisis pemikiran progresif-liberal atau krisis epistemologis. Sejauh ini Muhammadiyah hanya mengembangkan metode ''bayani'' yang bertumpu pada kekuatan teks hingga akhirnya meninggalkan konteksnya.
Semboyan yang kerap didengungkan Muhammadiyah, ar-Rujû' ila al-Qur'ân wa as-Sunnah, kembali kepada Alquran dan sunah, telah menjadikan mereka kaum literalis atau tekstualis. Muhammadiyah lupa bahwa kembali pada ajaran Alquran dan sunah juga memiliki makna liberalnya, yaitu dengan cara menafsir kembali bunyi teks dengan tetap memperhatikan kebutuhan zaman. Hanya dengan cara demikian, Islam yang dikembangkan Muhammadiyah melalui konsep dakwah dan tajdidnya akan mendapat simpati publik dan sesuai dengan semangat khitah 1912 sebagai organisasi pembaruan.
Membaca buku ini, kita tidak sekadar disuguhi kritik tajam dari pemikiran Dawam Rahardjo. Lebih dari itu, kita akan mengetahui tanggapan dari kalangan anak muda terhadap tulisan Dawam itu. Yang pasti, kehadiran buku ini tidak perlu dipahami sebagai bentuk dari aktualisasi diri Dawam Rahardjo yang penuh dendam karena dia pernah dipecat dari Muhammadiyah. Sesungguhnya, Dawam tidak peduli ke mana Muhammadiyah akan diarahkan. Dia selama ini bersikap semata-mata karena tanggung jawab moral sebagai pemikir yang ingin menghantamkan gagasannya ke sana kemari dengan tetap berpijak pada data dan fakta yang ada. (*)
*) Mohamad Asrori Mulky , peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta
Judul Buku: Satu Abad Muhammadiyah; Mengkaji Ulang Arah Pembaruan
Penulis: M. Dawam Rahardjo dkk
Penerbit : Paramadina & LSAF
Cetakan : Pertama, Juni 2010
Tebal : xxxiv + 248 halaman
Saturday, July 24, 2010
Quo vadis ‘tajdid’ in Muhammadiyah
The Jakarta Post | Fri, 07/23/2010 4:38 PM | Opinion
M. Hilaly Basya
Din Syamsuddin has been elected as a chairman of Muhammadiyah for the 2010-2015 term. This is his second term in office. Some observers have said this fact indicates that most Muhammadiyah activists like the way Syamsuddin represents Muhammadiyah.
However, according to Dawam Rahardjo, Muhammadiyah became conservative and puritan under Syamsuddin’s leadership (Rahardjo, 2010).
Is it right that Muhammadiyah does not perform tajdid any more? This article would like to elaborate on the concept of tajdid (reformation) within Muhammadiyah.
In general, Muhammadiyah can be considered part of the Salafi movement. The basic ideas of Salafism — a return to the Koran and the sunnah and pure Islam — are propagated by Muhammadiyah as well.
However, Muhammadiyah differs from radical and fundamentalist Salafi movements.
According to Fathurahman Djamil, one of the methods adopted by Muhammadiyah is istislah (1995).
This method has enabled Muhammadiyah to be more progressive. The emergence of progressive Muhammadiyah scholars at the end of the 1990s was a direct result of this factor.
However, it is right that not all Muhammadiyah figures are progressive? Or that some are puritan and fundamentalist?
One of the factors leading Muhammadiyah figures to become puritan and fundamentalist is the concept of tajdid developed by Muhammadiyah.
Tajdid is defined by Muhammadiyah in two conceptions; purification and dynamization (Syamsul Anwar, 2005). The agenda of purification focuses on fighting against syncretism.
This agenda has been reflected in Muhammadiyah’s attempts to establish pure Islam, which is not infiltrated by local traditions. Islamic faith and ritual are domains that can be purified by Muhammadiyah.
The domain of dynamization is social life. The “modernist” label applied to Muhammadiyah was based on performance in this area.
Since its beginnings, Muhammadiyah developed innovative interpretations of certain verses, especially those relating to educational and social issues. The establishment of modern educational institutions and hospitals are some of the products of this creative interpretation.
Undeniably, later developments saw Muhammadiyah tending to be more puritan in its outlook, particularly following the penetration of Wahhabism in Indonesia. Many Muhammadiyah activists are interested in adopting Wahhabism. As a result of influence from Wahhabism, Muhammadiyah became more concerned with purification.
However, the dynamization movement in Muhammadiyah has not totally disappeared. Besides the increase in its puritan character, there have also been some progressive movements made by Muhammadiyah.
Many fatwas related to contemporary social problems were issued by the Majlis Tarjih of Muhammadiyah from the 1960s to the 1980s, especially related to economic and other public issues (Hooker, 2003:197-211). This indicates that to a certain extent Muhammadiyah has remained consistent in establishing tajdid in two dimensions.
In general, since the end of 1990s, Muhammadiyah has shown a more progressive nature than it had previously. The emergence and involvement of progressive scholars such as Amin Abdullah, Amien Rais, Munir Mulkhan, Syafii Maarif and Moeslim Abdurrahman on the board of the organization has colored the character of Muhammadiyah.
They have a tendency to respond contemporary social problems rather than ritual issues. It means that they have returned the Muhammadiyah movement to the early spirit of Muhammadiyah as developed by K.H. Ahmad Dahlan.
In 2000, the Majelis Tarjih released an exegesis concerning relationships between Muslims and non-Muslims (Syamsul Anwar, 2005: 38-39). Although the book is a product of Wacana Tarjih (a forum held by Majelis Tarjih Muhammadiyah to create innovative discourse to support Muhammadiyah in issuing fatwas) so that it does not bind the organization and its members, it has colored the nature and affected the religious mind set of Muhammadiyah.
During this time, the progressive Muhammadiyah scholars developed and combined the istislah method with hermeneutics. To some extent, istislah is similar to hermeneutics in that they both tend to interpret
and produce contextual meanings of a text.
The combination of istislah and hermeneutics enables these progressive scholars to reconstruct responsive interpretations concerning Islam and social problems.
This combining of istislah and hermeneutics was a characteristic of Amin Abdullah’s leadership of the Center Board of Majelis Tarjih. However, he was not the only member of the Majelis Tarjih to adopt this view; Muhammadiyah scholars such as Munir Mulkhan and Syamsul Anwar shared his approach.
In addition, other progressive Muhammadiyah scholars including Syafii Maarif, Moeslim Abdurrahman, Amien Rais and Hamim Ilyas also employed hermeneutic methods in interpreting Islamic doctrines, although they do not mention their tools explicitly. They are often called the liberal or progressive wing of Muhammadiyah.
Hermeneutics is one of the reasons why the rise of progressive Muhammadiyah scholars has attracted controversy, particularly from the conservative wing of Muhammadiyah. That is why most of these progressive scholars did not hold positions in Muhammadiyah under Syamsuddin’s previous term as leader (2005-2010), because the conservatives disliked their progressive thoughts. They assumed the progressive ideas produced by these scholars would contaminate Muhammadiyah.
For the conservative activists, the main objective of Muhammadiyah is to fight for the purification of Islam. Moreover, the conservatives prefer to fight for purification than social reform. Tajdid is defined by the conservative as purifying Islam from contamination.
It is clear that the concept of tajdid in Muhammadiyah could be performed ambiguously. The men behind Muhammadiyah have made significant contributions in determining whether to push for purification or dynamization. We hope the 46th Muktamar congress, held from July 3-8, 2010, in Yogyakarta served to provide plenty of inspiration to Muhammadiyah’s new board of leaders, and activists to critically evaluate its social reformation agenda.
The writer is a lecturer of Islamic Studies at UMJ and UHAMKA.
— JP
Thursday, July 22, 2010
What can we hope from Muhammadiyah?
What can we hope from Muhammadiyah?
The Jakarta Post | Wed, 07/21/2010 4:49 PM | Opinion
Amika Wardana
Muhammadiyah has just finished its national congress and Prof. Din Syamsuddin has been reelected to chair the organization for the first five years of its second century.
Some have commented that the result was expected, which means there were no surprises in this historic moment.
Since it developed from modernist-reformist interpretations of Islam, Muhammadiyah has had much success in programs dedicated to educating and improving the welfare of people in this country.
More recently it has also served to provide moral support in Indonesia’s fight against corruption, and has acted as an umbrella for other civil society organizations to monitor state policies.
What is likely to happen, then, given that Muhammadiyah has become overloaded with the expectations, hopes, wishes and beliefs put on the shoulders of every leader and member of this organization.
It is thus a bit unfair to put pressure on Muhammadiyah, particularly its newly elected leaders, when most parts of this country are running in different directions.
There are many questions as to whether Muhammadiyah can change in a positive direction to become more active in working either to serve society as a whole or to act as a sparring partner for government.
If we look back at the establishment of Muhammadiyah, during the Dutch and Japanese colonial periods, it was likely an accommodative and pragmatic organization that tendentiously did cooperate with the rulers in order to survive and achieve its main aims.
This organizational style had continued when it dealt with the repressive Soeharto regime of the mid 1980s.
The eventual decision to accept Pancasila as the sole ideology of Indonesia was clearly made to keep the organization alive.
While some Muhammadiyah leaders seem very critical of government policies, the organization as a whole will follow them.
Thousands of schools, and hundreds of hospitals and orphanages all need a lot of funding that is expected to come from government, which means Muhammadiyah cannot act independently as a civil society organization.
The programmatic success shown by Muhammadiyah over the past few decades can be interpreted as a result of lucrative pseudo-political lobbying carried out by its leaders to gain more funding and support from government.
However, as was seen in the 2004 and 2009 general elections, Mu-hammadiyah’s political role has declined after the remarkable contributions it made during the reformation era.
It seems it is out of favor with the current regime, as was seen in decisions to give traditional government positions, including that of the education minister, to the figures outside Muhammadiyah.
In terms of keeping a distance from politics and being ready to articulate criticism of the government, Muhammadiyah’s new role seems to have been reluctantly embraced, but while some of its leaders and youths have begun to campaign independently there is a dependency of Muhammadiyah on the state.
Because of its size and internal and external complexities, what kinds of changes can we expect
from this Islamic reformist organization?
The institutionalization of Muhammadiyah from a modernist movement into a bureaucratic organization, which was somehow adopted from imitating state structures, has had a profound impact on its internal dynamics and flexibility to handle the current social problems.
The writer is Phd student in sociology at the University of Essex, and the secretary of the Muhammadiyah special branch in the UK.
— JP
Copyright © 2010 The Jakarta Post - PT Bina Media Tenggara. All Rights Reserved.
Source URL: http://www.thejakartapost.com/news/2010/07/21/what-can-we-hope-muhammadiyah.html
Wednesday, July 21, 2010
Contesting the leadership of Muhammadiyah
Contesting the leadership of Muhammadiyah
The Jakarta Post | Tue, 07/20/2010 4:39 PM | Opinion
Ahmad Najib Burhani and Tuti Alawiyah
The 46th Congress of Muhammadiyah in Yogyakarta wrapped up on July 8. One of several issues hotly discussed or dominantly appeared during the congress was leadership.
Several newspapers covered controversial issues such as the involvement of former State Intelligence Agency (BIN) deputy chief Muchdi Purwopranjono as one of 39 candidates for the executive board members of Muhammadiyah and the disharmony between its chairman, Din Syamsuddin, and President Susilo Bambang Yudhoyono.
Muchdi was not elected as one of 13 executive board members of Muhammadiyah for 2010-2015. And the conflict between Syamsuddin and Yudhoyono did not distract the former from being reelected as the head of the country’s largest Islamic organization.
Other leadership issues which occurred during, and continued since then are the colorless nature of the new leadership and the objection of women in Aisyiyah for not being involved or inserted in the new leadership of Muhammadiyah. Compared to the previous leaderships of Amien Rais, Ahmad Syafii Maarif, and the first term of Syamsuddin, the present leadership is dominated by scholars from Islamic higher education (State Islamic Universities or UIN/IAIN). Only two of 13, namely Bambang Sudibyo, former minister of national education, and Dahlan Rais, brother of Amien Rais, who are not scholars of Islam. No physician, engineer, lawyer, businessman, economist, and Non-Government Organization (NGO) activist in the leadership.
The absence of women on the executive board of Muhammadiyah has been an issue for several decades.
As a recurrent topic in every congress of Muhammadiyah, this problem has never been completely resolved or settled. In the 1960s and 1970s, women had formally been given the chance to be leader of Muhammadiyah. Under Maarif’s leadership, Muhammadiyah employed affirmative action by giving a special quota for women to be elected in the executive board. Unfortunately, this policy was annulled at the end of his leadership.
This article will focus on the role of women in Muhammadiyah and in its leadership. What is the main burden or difficulty that hinders the inclusion of women on the executive board of Muhammadiyah?
The establishment of Aisyiyah, the sister organization of Muhammadiyah, in 1917 was under a modernist paradigm. Different from fundamentalist paradigms that confine women to domestic and reproduction life, modernist Muslims empower women and allow them to actively participate in social activities.
The role of women in leadership roles in society (as doctors, lawyers or judges) and education (to pursue highest level of education and to play in the system of education) is essential. Modernist people rescue women from exclusion, but their social role is still segregated from men.
Under this paradigm, a question should be raised: what is the membership status of women in Muhammadiyah? Do they have full membership? Culturally, they are perfect members of Muhammadiyah. When this organization claims that the total number of its followers is such and such, women are certainly included in this calculation.
But when there is an issue of employing affirmative action by providing a special quota for women in the leadership of Muhammadiyah, the common rejection of this policy is that women already have their own organization, Aisyiyah, which needs devotion and if they want to run for leadership in Muhammadiyah, they have to follow normal process of election. There is another way to increase the possibility of being elected to the leadership of Muhammadiyah, namely by merging Aisyiyah to Muhammadiyah.
Leadership of Muhammadiyah is constitutionally open to both male and female. However, since the number of female representatives who have the right to vote is very limited, women find it almost impossible to be elected. And since there is segregation of activities between male and female, the chance of women being elected as leaders of Muhammadiyah’s regional branches, thereby becoming representatives in the congress is also limited.
Therefore, although theoretically woman could be elected as the president of Muhammadiyah, culturally there is no such opportunity. This is the reason why some people believe that without affirmative action, woman would never become executive board of Muhammadiyah, or at least they have to wait 100 years.
Affirmative action is deemed to be able to resolve social, cultural and practical hurdles that face women’s involvement in Muhammadiyah leadership. When conditions to gain equal participation cannot be achieved, especially in an organization as old and as large as Muhammadiyah, certain circumstances that promote women’s participation might be the answer.
This action would also speed up social change in regard to women’s equal involvement in this organization. If the cultural and natural process is so difficult to be achieved, as shown in women’s leadership in Muhammadiyah almost in every level, the central executive board of Muhammadiyah can provide a model to embrace women’s groups in its leadership. This action, hopefully, can penetrate the changes to other lower levels of Muhammadiyah.
The next question is why should women become involved in Muhammadiyah leadership? Since the members of Muhammadiyah are both male and female, it is not fair to “culturally” exclude women from participating in decision making and executing programs. This is about equal rights and participation.
Women’s engagement on the executive board of Muhammadiyah might promote a more dynamic leadership and give leverage not only to other women but also to men, young, adult, and older adult by providing different perspectives to solve several important issues from social, economic, educational, to political problems.
With the involvement of woman in Muhammadiyah leadership, unequal participation and the strict division between male and female would be dissolved without necessarily merging Aisyiyah with Muhammadiyah.
Ahmad Najib Burhani and Tuti Alawiyah are PhD students at the University of California, Santa Barbara and the University of Texas, Austin.
— JP
Copyright © 2010 The Jakarta Post - PT Bina Media Tenggara. All Rights Reserved.
Source URL: http://www.thejakartapost.com/news/2010/07/20/contesting-leadership-muhammadiyah.html
Monday, July 19, 2010
The calming, tolerant voice of Muhammadiyah
New Straits Times, 2010/07/10
LAST week, Persyarikatan Muhammadiyah celebrated its 100th year of existence, using the Hijrah calendar. The second biggest Muslim organisation in the largest Muslim nation was established in 1912 in Jogjakarta. It claims to have 29 million members, second only to Nahdatul Ulama. But Muhammadiyah has impacted upon the religious, social and political lives of Indonesians in various ways over the past 10 decades.
In turbulent times like these, not only Indonesia but the Muslim world also needs a Muhammadiyah. It is a calming voice amidst the call for militancy, a moderating force in the civilisational clash between Islam and the West, and the acceptable face of tolerant Islam.
According to renowned Indonesian scholar Dr Azyumardi Azra, Muhammadiyah is built on two principles: a religious ormas (organisasi massa or mass movement) that is rooted in religion as a vehicle to achieve a civil society, and the principle of wasyatiyyah (the middle path).
For that, it has gained many friends and admirers. It is not an easy route when the Muslim world is engulfed in anger and despair. Despair among Muslims is an understatement in Indonesia. There are simply too many issues bedeviling them. Poverty is one and economic representation is another. But more importantly is the feeling of helplessness among Muslims as they watch their brethren being invaded, attacked and marginalised in other parts of the world.
Indonesia could easily be a breeding ground for radicalism had organisations like Muhammadiyah and Nahdatul Ulama played to the gallery. Luckily for Indonesia, the two largest Muslim groups are never in support of militancy and violence. In fact, they condemn terrorism in whatever form. Sadly, this fact is lost in translation when Western observers discuss religious groupings in the Muslim world. The wasyatiyyah principle is never adequately explained. Most would lump Muslim movements under one category -- that they are all hotbeds for Islamic fundamentalism.
Education has always been the core of Muhammadiyah activism. In fact, when K.H. Ahmad Dhalan founded the movement, he cared more about the education of pribumi (indigenous people) than anything else. Ahmad Dhalan (born in 1868) was an Islamic scholar trained in Saudi Arabia. It was in the Middle East that he was exposed to the ideas of "reformist" Muslims like Muhammad Abduh, Jamaluddin al Afghani and Muhammad Rashid Ridha. These thinkers bucked the trend, questioning the age-old wisdom of conservative ulama. Their thinking spread like wildfire in the Muslim world, igniting new discourses among the young and pitting the reformists against the traditionalists.
In Malaya, the "Kaum Muda" (Young Turks) in the form of Syed Sheikh Ahmad Al Hadi and gang came out with a powerful publication called Al Imam to steer Muslims to advancement and modernity and to discard the mindsets of the old. They believed in ijtihad rather than taqliq, which meant they were audacious enough to accept new interpretation of the Quran and Hadith rather than that by conservative ulama.
In Indonesia, when Ahmad Dhalan came back in 1888, he realised the only way to unshackle his people from the yoke of poverty and illiteracy was to build schools for them. He built the first one, Sekolah Ibtidaiyah Diniyah Islamiah, in 1911 even before he started Muhammadiyah. He built five more schools between 1913 and 1918. In 1919, the first secondary school, Hodge School Muhammadiyyah, was built. They were proper schools modelled after the Dutch schools, but with a different curriculum. In those days, only children of the ningrat (nobility) were admitted to Dutch-sponsored schools.
Muhammadiyah was given the green light as a formal organisation in 1914. Even then, it was only allowed to be active in Jogjakarta. That did not deter Ahmad Dhalan from including the empowerment of women, health- care and poverty eradication in the organisation's activities. In fact, Ahmad Dhalan started Aisyiyah, the women's wing, in 1917.
It was his stand to change the mindset of Muslims that warrants attention. For far too long Muslims were influenced by local customs and beliefs, some of which were in contradiction with the teachings of Islam. He urged his followers to discard khurafat (superstition) and syirik (idolatry) practices. In line with the logo of a glorious shining sun, Ahmad Dhalan wanted the organisation to be the pencerah (the light) of fellow Muslims. He believed in deeds, for Islam is about good deeds and exemplary followers.
According to him, "the teaching of Islam is to be humanised, to be done with respect and propriety, and should be able to address genuine universal and local issues".
It is interesting that Muslims in Indonesia allowed the emergence of madrasah and pesantren (traditional village-based schools) run by various charitable organisations and individuals, and these outfits survived alongside more organised institutions run by Muhammadiyah and Nahdatul Ulama.
In fact, the demarcation can be misleading sometimes. True, some of these religious schools propagate a more militant view of Islam but as a whole, they, too, take the wasyatiyyah path. Perception that these schools are like the madrasah in Pakistan and Afghanistan is far from the truth.
At the time of the demise of Ahmad Dhalan, Muhammadiyah had 4,000 members. By 1938, the organisation claimed to have 250,000 members, managed 834 mosques, 31 libraries and 1,774 schools. Today, Muhammadiyah is managing 12,000 schools and 167 institutions of higher learning. It has 345 hospitals and clinics and a bank, Bank Pengkreditan Rakyat.
Muhammadiyah certainly has come a long way. One thing is certain, Muhammadiyah stays clear of politics. True, its leaders did get involved in political activism as Muhammadiyah members played a critical role in ridding Indonesians of the influence of "Gestapu PKI", the movement led by Parti Komunis Indonesia in the mid-1960s.
As an ormas, it does not endorse any political party. When its leader, Amien Rais, founded Parti Amanat Nasional (National Mandate Party) and was one of the key critics of the Suharto regime, the organisation he led did not officially get involved. In fact, it was an unwritten agreement within the hierarchy that members "are free to join any political party" .
It is interesting to see how the latest muktamar or gathering (the 46th) will shape the new thinking in Muhammadiyah and how it addresses the issue of more assertive members. But at least by going back to where it was born, members will be reminded of the original spirit of the organisation as envisioned by Ahmad Dhalan.
Write to the Editor for editorial enquiry or Sales Department for sales and advertising enquiry.
Copyright © 2010 NST Online. All rights reserved.
Retrieved from: http://www.nst.com.my/nst/articles/21muha/Article/
Sunday, July 18, 2010
Muhammadiyah set to enter era of mobilization, excellence
Guest Speaker: Muhammadiyah set to enter era of mobilization, excellence
The Jakarta Post | Mon, 07/19/2010 4:33 PM |
Sri Wahyuni
Indonesia’s largest modernist Muslim organization, Muhammadiyah, concluded its centennial congress last week. To learn more about what the organization has planned for its second century, The Jakarta Post’s Sri Wahyuni spoke with Din Syamsuddin who was reelected as its chairman for the 2010-2015 term in office. The following are excerpts from the interview.
Question: Where will you take Muhammadiyah in the next five years?
Answer: As was agreed on by the congress, the five-year programs aim toward the realization of the 2015 strategic vision, which (focuses on) mobilization and the improvement of the quality and excellence of the organization.
Our task as leaders is to run the programs with the spirit and values mandated by the congress.
There has been demand to include women in the central board (PP). What your comment?
There is no standard ruling regarding the issue. If we decide to add more members to the PP, our orientation would be based more on the needs of the leadership body, and what its 13 elected members lack. We will definitely pick the best from the Muhammadiyah cadres, regardless of their gender. (Our selections) are based more on reasons.
What will be the main focus of programs for this period?
The fields of activities, the core businesses, will basically remain the same as they were previously, with enlightenment as the central theme. Muhammadiyah is a movement of enlightenment aiming to help create a well-educated nation.
However, having mobilization as its strategic vision, we are required to be able to crystallize the impacts of different fields of activities.
We are required to be able to move the activities from the bottom. That is why there is also a recommendation for there to be a Muhammadiyah university in each province.
There is also a recommendation to build Muhammadiyah Islamic boarding schools in each regency or municipality, to serve as breeding grounds for new cadres.
How would you position Muhammadiyah in the political world?
Our (platform) must not have a structural, organizational relationship with any of the political parties, so that no political party is Muhammadiyah and there is no political party within Muhammadiyah. We maintain the same distance with (all) political parties. Of course when we have many cadres in a political party, it will influence our closeness. But this is more because of friendship.
My concern is that many Muhammadiyah members may not realize we have our Denpasar platform (2002), which mandates that we intensify our role in nation building. This is what we call (politics for the sake of the nation). It requires us do something if there is something going wrong in our country. This is what makes us different. It’s not enough to run an anticorruption campaign by just talking. We need to do more.
Of course the challenges are different from one period to the next. During my previous term in office we faced a situation that previous (Muhammadiyah) chairmen had not faced.
— JP
Copyright © 2010 The Jakarta Post - PT Bina Media Tenggara. All Rights Reserved.
Source URL: http://www.thejakartapost.com/news/2010/07/19/guest-speaker-muhammadiyah-set-enter-era-mobilization-excellence.html
Wednesday, July 14, 2010
PP Muhammadiyah, Bekerjalah
Hajriyanto Y.Thohari
Muktamar Ke-46 Satu Abad Muhammadiyah telah usai. Muktamar yang menelan biaya Rp. 26 M (baca: dua puluh enam miliar rupiah) dengan segala kemegahan dan ingar-bingarnya itu juga telah mengesahkan program kerja persyarikatan di abad yang kedua. Muktamar yang untuk pertama kalinya dalam sepanjang sejarah Muhammadiyah pasca-kemerdekaan Republik Indonesia tidak dihadiri secara langsung oleh Presiden Republik Indonesia itu juga telah memilih Ketua Umum dan Anggota Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang berjumlah 13 (tiga belas) orang periode 2010-2015.
Sistem pemilihan yang unik, rumit, dan berlapis-lapis merupakan wujud dari sistem kepemimpinan Muhammadiyah yang kolektif kolegial. Jika dalam organisasi lain kepemimpinan kolektif hanyalah merupakan sifat dari sebuah sistem kerja dan pengambilan keputusan, maka di Muhammadiyah sistem kolektif kolegial dimanifestasikan dalam sistem pemilihan. Muktamar bukan hanya memilih seorang ketua umum, melainkan memilih seluruh anggota PP yang berjumlah 13 orang. Walhasil, ke-13 orang tersebut adalah sama dan sejajar (equal), yaitu orang-orang yang memiliki legitimasi politik yang sangat kuat karena sama-sama dipilih secara langsung oleh muktamar secara one man one vote value.
Dalam konteks ini, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa 13 anggota PP tersebut adalah kader dan orang-orang terbaik Muhammadiyah par excellence! Setidaknya demikianlah pandangan para peserta muktamar yang berjumlah 2.400 orang dari unsur pimpinan pusat, pimpinan wilayah, pimpinan daerah, pimpinan cabang, dan pimpinan organisasi otonom itu. Ke-13 orang PP yang primus inter pares (ada juga yang mengatakan primus inter minus malum) ini merupakan inti dan jiwa Muhammadiyah.
Ketua Umum bukanlah penanggung jawab tunggal gerakan. Ketua umum hanyalah figur yang “ditinggikan seranting dan dimajukan selangkah”. Kewajiban dan tanggung jawab ke-13 orang itu adalah sama dan sebangun. Jika salah, salahlah kesemuanya secara berjamaah dan jika benar, benarlah mereka secara bersama-sama. Jika kepemimpinan ini berhasil, maka itu merupakan keberhasilan kolektif dan jika gagal, itu merupakan kegagalan bersama juga. Betapapun uniknya, inilah hakikat dari kepemimpinan kolektif kolegial versi Muhammadiyah: sebuah sistem kolektif kolegial in optima forma.
Mandat untuk Bekerja
Sayang tidak banyak yang sadar—bahkan mungkin juga ke-13 orang yang terpilih itu—bahwa mereka sejatinya adalah pemegang mandat penuh muktamar. Sebagai mandataris muktamar, sungguh tugas mereka sangatlah berat. Bukan hanya mandat untuk bekerja keras melaksanakan program-program kerja yang disahkan oleh muktamar, melainkan juga memenuhi ekspektasi anggota akan keberhasilan dan kebesaran Muhammadiyah di masa datang. Walhasil, sejatinya gengsi, prestasi, dan reputasi Muhammadiyah untuk sebagian besar berada di pundak mereka.
Jadi kata kunci bagi PP adalah bekerja. Mereka dipilih oleh muktamar untuk bekerja, bukan untuk menjadi “dewan syura”. Memang mereka kadang-kadang harus memberi nasihat, tetapi mereka dipilih bukan untuk menjadi “penasihat Muhammadiyah”. Salah besar jika struktur organisasi PP nantinya menempatkan mereka di atas majelis atau badan sehingga mereka terhindar dari pekerjaan dan hanya ongkang-ongkang seperti layaknya penasihat.
Mandat dari muktamar adalah jelas dan terang benderang: untuk bekerja memimpin gerakan sebagai tanfidziyah atau eksekutif. Ibarat perusahaan, PP adalah dewan direksi, bukan komisaris, apalagi pemegang saham. Apa yang disebut dengan gerakan Muhammadiyah adalah terang benderang pula, yaitu dakwah melalui tablig, pendidikan, sosial, kesehatan, ekonomi, pengaderan, dan lain-lain.Dengan demikian konsekuensi dari itu semua adalah bahwa PP tidak bisa lagi mengurusi organisasi secara samben atau paruh waktu. Rasanya tidaklah mungkin sebuah gerakan sebesar ini hanya dipimpin oleh tokoh-tokoh yang bekerja paruh waktu, bahkan samben, dan apalagi berprinsip sak mlakune atau alon-alon waton kelakon. Sebuah gerakan sebesar ini pastilah memprasyaratkan sebuah kepemimpinan yang kuat dan berdedikasi penuh waktu. Sebab, mereka harus melanjutkan kepemimpinan yang risau akan nasib dan masa depan Muhammadiyah sendiri.
Jadilah Ketua Majelis/Badan
Ke-13 orang itu secara bersama-sama akan membagi tugas secara adil dan merata. Di samping ada yang menjadi ketua umum, sekretaris umum, bendahara umum, maka yang lainnya menjadi ketua-ketua majelis atau badan. Demikianlah yang terjadi pada masa lalu sampai dengan ketika periode terakhir kepemimpinan Pak AR Fachrudin menjadi Ketua PP. Muhammadiyah. Dulu Amien Rais, misalnya, disamping menjadi anggota PP Muhammadiyah (1985-1990), dia juga merangkap sebagai Ketua Majelis Tabligh. Itu yang betul.
Mulai periode 1990-1995, dengan dalih agar PP bisa berpikir lebih strategis dan tidak dibebani persoalan teknis administratif 13 anggota PP tidak merangkap sebagai ketua majelis/badan. Ketua-ketua majelis/badan kemudian diambilkan dari luar 13 PP itu. Kenyataannya, sistem ini tidak efektif dan efisien. Akibatnya, anggota PP 13 tidak jelas bidang kerja dan tanggung jawabnya, bahkan tidak pernah tune in dengan apa yang terjadi dan dilakukan majelis atau badan. Maka ke-13 anggota PP-lah yang pertama-tama harus bekerja secara konkret dengan terjun langsung sebagai ketua majelis atau badan.
Fakta menunjukkan bahwa selama ini majelis atau badan menjadi entitas tersendiri di luar PP. Bahkan dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, majelis atau badan hanyalah pembantu pimpinan. Akibatnya, rapat-rapat pleno PP yang hanya diikuti oleh 13 anggota tersebut seringkali tidak nyambung dengan persoalan yang dihadapi majelis atau lembaga. Hal semacam ini tidak akan terjadi jika 13 anggota PP sekaligus menjabat sebagai ketua-ketua majelis atau badan.
Memang berat melaksanakan mandat dan amanat kepemimpinan. Hal ini mestinya sudah disadari oleh mereka sejak mereka menyatakan kesediannya untuk menjadi calon PP. Janganlah menjadi pimpinan hanya karena semangat sesaat (obor blarak) atau sekadar rasa gemenyar ingin menjadi pimpinan. Kepemimpinan adalah nobless oblige, dalam kedudukan mulia ada tanggung jawab. Tanggung jawab PP. Muhammadiyah adalah bekerja. Bukankah mereka sendiri yang meminta pekerjaan tersebut? Maka wahai PP Muhammadiyah, bekerjalah. Kita sebagai anggota memberikan dukungan seraya mengucapkan selamat bekerja!
Penulis merupakan anggota Muhammadiyah dan Wakil Ketua MPR-RI.
Tuesday, July 13, 2010
Profil Pimpinan Muhammadiyah 2010-2015
Nurjanna Johantini Terpilih Pimpin Aisyiyah
Tribun Timur, Rabu, 7 Juli 2010 | 03:23 WITA
Makassar, Tribun - Meski muktamar sudah menetapkan 13 Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Periode 2010-2015 dari kalangan laki-laki pada Selasa (6/7) dini hari, namun peluang perempuan untuk masuk PP Muhammadiyah masih terbuka lebar.
Hingga tadi malam, ke-13 PP terlipih belum melakukan rapat formatur untuk menetapka Ketua Umum PP Muhammadiyah Periode 2010-2015. Namun, seorang anggota terpilih, Dahlan Rais, menyatakan bahwa hampir pasti Din Syamsuddin akan menjadi ketua umum kembali.Sesuai jadwal yang ada, penentuan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2010-1015 baru akan ditentukan besok setelah sidang pleno Muktamar Muhammadiyah menetapkan 13 nama anggota PP terpilih menjadi anggota tetap PP Muhammadiyah periode selanjutnya. Selain ketua umum, dalam sidang pleno besok juga akan ditetapkan Sekretaris Umum.
Disamping menentukan ketua umum dan sekretaris umum, tim formatur 13 orang ini juga memiliki hak untuk menambah anggota PP Muhammadiyah menjadi 15 atau 19 orang. Dalam hal ini, penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Ma'arif menyarankan agar dalam tambahan tersebut merekrut kalangan Muhammadiyah perempuan secara proporsional.
Selama satu hari ini, semua peserta mengikuti sidang komisi yang terbagi dalam lima komisi. Komisi A membahas tentang masalah umum termasuk laporan pimpinan pusat dan masalah keorganisasian. Komisi B membahas tentang program Muhammadiyah. Sedangkan komisi C membahas tentang revitalisasi gerakan dan komisi D membahas pernyataan pikiran memasuki abad kedua Muhammadiyah. Satu komisi lagi yakni komisi E membahas tentang rekomendasi dan isu-isu strategis, baik nasional maupun internasional. Sedangkan sidang pleno membahas hasil komisi akan dilaksanakan siang ini.
Sementara itu, pemilihan Ketua Umum PP Aisyiyah, tadi malam, menetapkan Nurjanna Johantini MSi sebagai ketua terpilih. Nurjanna adalah istri PP Muhamadiyah terpilih Haedar Nashir.
Sekretaris Eksekutif Muhammadiyah Sulsel, Haidir F Siagian, melaporkan, lokasi muktamar mulai disterilkan tadi malam karena Wakil Presiden Boediono akan datang menutup muktamar, Kamis (8/7) besok.(as kambie)
inilah profil Anggota PP Muhammadiyah terpilih
* Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin, M.A.
Lahir di Sumbawa Besar, 31 Agustus 1958. menjadi anggota Muhammadiyah sejak tahun 1985 dengan nomor anggota 563 653. Pendidikan: Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur (1975), Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1982), UCLA Amerika Serikat (MA, 1992, Ph.D, 1996). Pekerjaan: Guru Besar dan Dosen Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dirjen Binapenta Departemen Tenaga Kerja (1998-2000). Pengalaman organisasi: Ketua DPP IMM (1985-1986), Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah (1989-1993), anggota Majelis Hikmah PP Muhammadiyah (1990-2000), Wakil Ketua PP Muhammadiyah (2000-2005), Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2005-2010). Pengalaman lain: Wakil Sekretaris Dewan Penasehat ICMI Pusat, Sekretaris Umum MUI Pusat, dan Wakil Ketua Umum MUI Pusat.
Alamat: Kompleks Pejaten Elok F-2 Pejaten Jakarta 12510
* Drs. H. Muhammad Muqaddas, Lc., M.Ag.
Lahir di Yogyakarta, 26 November 1948, menjadi anggota Muhammadiyah sejak tahun 1971 dengan nomor anggota 459 170. Pendidikan: SR Muhammadiyah Yogyakarta, Pesantren Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur, Fakultas Adab IAIN Sunankalijaga Yogyakarta, Fakultas Dakwah Universitas Islam Madinah Arab Saudi, Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pekerjaan: Guru bahasa arab Mu'allimat Muhammadiyah Yogyakarta, Dosen Bahasa Arab Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Dosen Pendidikan Ulama Tajih UMY. Pengalaman organisasi: Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Yogyakarta periode 1990-1995, Pembina Bidang Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2000-2005, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2005-2010.
Alamat : Gambiran UH 5 / 250 Yogyakarta 55161
* Prof. Dr. H. Abdul Malik Fajar, M.Sc.
Lahir di Yogyakarta, 22 Februari 1939. menjadi anggota muhammadiyah sejak tahun 1983 dengan nomor anggota 547 305. Pendidikan: SDN Magelang (1953), PGAPN Magelang (1957), PGAAN (1959), S1 di IAIN Sunan Ampel (1972), S2 di FSU Amerika (1982). Pekerjaan: Guru Besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000. Menteri Agama RI, 1998-1999. Mendiknas RI. Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, 1983-2000. Rektor UM Surakarta, 1992-1996. Pengalaman Organisasi: Ketua PWM Jawa Timur, 1985-1990. ketua LPSDM PP Muhammadiyah, 1992-1995. Anggota PP Muhammadiyah tiga periode, 1995-2000.
Alamat: Jl. Tebet Mas Indah I/F-2 Jakarta Selatan 12810.
* Ahmad Dahlan Rais, MHum.
Dilahirkan di Solo pada tahun 1951, adik kandung mantan Ketua MPR Amien Rais ini menamatkan pendidikan dasarnya di Perguruan Muhammadiyah Solo. Gelar S1 diperoleh di IKIP Semarang dan pendidikan S2-nya diselesaikan di Universitas Gajah Mada. Saat ini bekerja sebagai dosen di Universitas Sebelas Maret dan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Menjadi anggota muhammadiyah sejak tahun 1982, pernah menjabat sebagai Ketua Umum PW Muhammadiyah Jawa Tengah periode 2000-2005. Diluar muhammadiyah, pernah dipercaya sebagai ketua MUI Jawa Tengah dan Penasehat Forum Persaudaraan bangsa Indonesia.
Alamat: Jl. Rambutan 15 Karangasem, Laweyan Surakarta.
* Dr Haedar Nashir MSi
Mantan Sekretaris PP Muhammadiyah periode 2000-2005 ini, dilahirkan di Bandung, 14 Juli 1963, sehari-hari bekerja sebagai Dosen di FISIPOL UMY. Menamatkan pendidikan dasar di Bandung, kemudian hijrah ke Yogyakarta untuk memperoleh gelar S1 di STPMD Yogyakarta. Gelar S2 dan S3 diperoleh di Fisipol UGM pada bidang Sosiologi. Menjadi anggota Muhammadiyah sejak tahun 1883 dengan nomor anggota 545549. Penulis buku "Muhammadiyah Gerakan Pembaruan" (2010) ini pernah menjadi Ketua PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah periode 1983-1986 dan Ketua Dep. Kader PP Muhammadiyah periode 1985-1990.
Alamat: Jl. Cit Ditiro No. 23 Yogyakarta
* Prof Dr Yunahar Ilyas Lc MAg
Putra Bukittinggi kelahiran 22 September 1956 ini menjadi anggota Muhammadiyah sejak tahun 1986. Menamatkan pendidikan dasar di Padang, dua gelar S1 diperoleh di Fak. Usluhuddin Universitas Ibnu Riyadh (1983) dan Fak. Tarbuyah IAIN Imam Bonjol tahun 1984. S2 dan S3 diselesaikan di Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 1996 dan 2004. Selama bermuhammadiyah, pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah periode 2000-2005 dan pada periode 2005-2010 menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah. Diluar muhammadiyah, tercatat sebagai salah satu unsur ketua di Majelis Ulama Indonesia Pusat. Sehari-hari, bekerja sebagai Dosen/Guru Besar di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sejak 1987.
Alamat : Jl. Lawu 45 Banten III Yogyakarta.
* Dr Abdul Mu'ti MEd
Dilahirkan di Kudus, 2 September 1968, menamatkan pendidikan dasarnya di kota yang sama tahun 1986. Gelar S1 diperoleh di Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang pada tahun 1991, jenjang selanjutnya diselesaikan di Flinders University, South Australia pada tahun 1996. Saat ini bekerja sebagai dosen IAIN Walisongo sejak 1993 dan merupakan salah satu Advisor di The British Council London sejak 2006. Tercatat sebagai anggota Muhammadiyah sejak 1994 dengan nomor anggota 750178, pernah mejabat sebagai Sekretaris PWM Jateng periode 2000-2002, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah periode 2002-2006, dan Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhamamdiyah 2005-2010.
Alamat: Jl. Talas V Rt 01/09 Pondok Cabe Ilir Pamulang Tangerang Selatan Banten
* Dr Agung Danarta MAg
Dilahirkan di Kulon Progo, 24 Januari 1968, sehari-hari bekerja sebagai dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. S1 diselesaikan di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sempat Hijrah ke Makassar untuk menyelesaikan pendidikan S2 di IAIN Alauddin Ujung Pandang dan kembali ke Yogyakarta untuk pendidikan S3 di UIN Sunan Kalijaga. Di ortom Muhammadiyah, pernah menjabat sebagai Ketua I PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah periode 1990-1993. Saat ini menjabat sebagai Ketua PW Muhammadiyah DIY periode 2005-2010.
Alamat: Dukuh MJ I/1421 Yogyakarta.
* Prof Dr Syafig A Mughni MA
Ketua PWM Jawa Timur periode 2005-2010 ini dilahirkan di Lamongan, 15 Juni 1954. Menamatkan pendidikan dasar di MI Muhammadiyah Lamongan dan MA 6 Tahun di Pesantren PERSIS Bangil. S1 diselesaikan di IAIN Surabaya, kemudian melanjutkan pendidikan di UCLA Amerika Serikat untuk meraih gelar S2 dan S3-nya. Pernah bekerja menjadi Dekan Fakultas Adab IAIN Surabaya, saat ini menjabat sebagai Rektor Unversitas Muhammadiyah Sidoarjo.
Alamat : Jl. Sudirman III/1 Taman Jenggala, Sidoarjo Jawa Timur.
* Dr Fatta Wibisono MA
Dilahirkan di Lamongan, 12 Januari 1958. Saat ini bekerja sebagai dosen di UIN Jakarta. Tercatat sebagai anggota Muhammadiyah sejak tahun 1987 dengan nomor anggota 587100, pernah menjabat sebagai Ketua Bidang Litbang DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah periode 1992-1995 dan anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah periode 2005-2010. S1 diselesaikan di IAIN Jakarta, S2 di IAIN Banda Aceh, dan meraih gelar Doktor di UIN Jakarta.
Alamat : Jl. Semanggi II No. 25-A Rt 003/03 Cempaka Putih Ciputat Tangerang Selatan Banten.
* M Goodwill Zubir
Putra Padang kelahiran 5 November 1962 ini tercatat sebagai anggota Muhammadiyah sejak 1995 dengan nomor anggota 625090. Direktur dari PT. Ummul Quraa Jakarta dan Komisaris PT. Nurhidayah Insani Jakarta, menamatkan pendidikan dasarnya di Padang dan meraih gelar sarjana di Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol Padang. Selama bermuhammadiyah, pernah tercatat sebagai Ketua Lembaga Dakwah Khusus PP Muhammadiyah 1995-2000 dan menjadi Sekretaris PP Muhammadiyah periode 2000-2005 dan 2005-2010. juga pernah menjadi anggota LSF Nasional Jakarta.
Alamat : Jl. Duta Lestari I No. 27 Duta Harapan Bekasi Utara
* Prof Dr Bambang Sudibyo
Mantan Mendiknas Kabinet Indonesia Bersatu jilid I, dilahirkan di Temanggung, 8 Oktober 1952. Sebelumnya pernah menjadi Menteri Keuangan era Presiden Gus Dur. Sarjana Ekonomi UGM Yogyakarta, menyelesaikan program Magister di University of North Carolina dan S3 di University of Kentucky. Tercatat sebagai anggota Muhammadiyah sejak tahun 1995 dengan nomor anggota 748743, pernah menjabat sebagai Bendahara PP Muhammadiyah periode 2000-2010 setelah pada periode sebelumnya menjabat sebagai Anggota Majelis Tarjih. Saat ini bekerja sebagai Dosen di Universitas Gajah Mada Fakultas Ekonom sejak 1978.
Alamat : Panglima Polim XII No. 18 Jakarta Selatan
* Syukriyanto AR MHum
Dilahirkan di Kulon Progo, 20 April 1946, Dosen Fak. Dakwah UIN Sunan Kalijaga ini tercatat sebagai anggota Muhammadiyah sejak 1965 dengan nomor anggota 234642. selama bermuhammadiyah, tercatat pernah menjabat sebagai Ketua PW Ikatan Pelajar Muhammadiyah DIY periode 1970-1972 dan Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah 2005-2010. Meraih gelar S1 di IAIN Sunan Kalijaga dan S2 di UGM.
Pekerjaan saat ini adalah dosen Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Alamat : Jl. Mangga No. 58 Perum Wirokerten Indah Banguntapan Bantul Yogyakarta.
Status quo in Muhammadiyah
The Jakarta Post | Tue, 07/13/2010 4:36 PM | Opinion
Al Makin
There is no doubt that Muhammadiyah, as a social religious organization like Nahdlatul Ulama (NU), has played a significant role in building the nation’s cha-racter. Muhammadiyah’s contribution in education and public service has been written with a golden pen in the pages of Indonesian history.
However, after the reformasi period — in which political parties have taken a greater role in the national leadership — mass social organizations, such as Muhammadiyah and NU, have had to reorient their visions and missions.
Unlike in the New Order period, in which the military dominated national leadership and the birth of leaders from civil society were hampered, the reform period welcomed civil leaders to appear in the stage. Against this backdrop, Muhammadiyah has to reconsider its position in the national arena — whether the organization should play a role similar to that of political parties or recommit to education and public service by, consequently, distancing itself from short-term political maneuvers.
However, from the organization’s recent national congress held in Yogyakarta the aforementioned mission seems unclear.
The top tier of Muhammadiyah remains in the hands of Din Syamsuddin, a former Golkar activist who has never managed to completely cut ties with politics. Perhaps, due to his pragmatic political consideration, Syamsuddin’s position in the eyes of the public is often ambiguous, if not confusing.
For instance, in a move likely to detract votes from the National Mandate Party (PAN), established by former Muhammadiyah chairman and the head of parliament respectively Amien Rais, Syamsuddin lent weight to the birth of the Nation’s Sun Party (PMB), which failed to reach the threshold at the last general election. And in an apparent attempt to widen his audience among various Muslim groups, Syamsuddin attended and spoke at the “caliphate conference” held by the hardline HTI (Hizbut Tahrir Indonesia).
Lately, Syamsuddin has delivered statements on Muhammadiyah’s position vis-à-vis the administration of President Susilo Bambang Yudhoyono. Literally, the content of the message seems trivial. However, the implication of the statement seems to suggest that the government should take Muhammadiyah into account in the government’s political decisions, which would effectively place the organization in the position of a political party.
It is true that Muhammadiyah has given birth to the motor of reforms, Amien Rais. In this way, this religious organization played a role which political parties during the New Order Golkar, PPP (United Development Party), and PDI failed to take. The three political parties did not initiate reforms, far less recommend that Soeharto, who ruled the country for more than three decades, step down. It was social leaders outside politics such as Amien Rais, Abdurrahman “Gus Dur” Wahid , Nurcholish Madjid, Gunawan Muhammad, Sri Bintang Pamungkas, Emha Ainun Nadjib, and many other intellectuals who led Indonesia to reform.
However, after reformasi was carried out, daily political agenda was rightfully returned to political parties, whose performance unfortunately is still disappointing.
Social religious organizations, such as NU and Muhammadiyah, should return to “barracks” to guide the Islamic community with the spirit that Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) and Hasyim Asy’ari (NU) projected.
The two leaders, together with their colleagues, founded the two organizations without hoping for immediate political reward or positions from the Dutch colonial government.
For the sake of religiosity and the betterment of the fate of the country’s Muslims, the two organizations were established and later infused with politics.
Now, with Din Syamsuddin at the helm, many wonder whether political pragmatism will prevail in Muhammadiyah in the next term. If so, the status quo will win. Serious change in the direction of the organization is hard to expect.
Muslims, on the other hand, are hoping the presence of religious leaders with sincerity and vision, who forget short-term political gains. Otherwise, the community would fall prey of radical ideologies, which have never based their dogma on the Indonesian way of life. Ironically, radical ideologies have slowly but surely penetrated into the body of Muhammadiyah. Some with radical ideologies have room to broadcast their ideas in the organization. They often attacked their fellows in the organization with the brand of being “too liberal”. Radicals have also taken over certain mosques, leaving some Muhammadiyah activists to keep complaining.
Muhammadiyah has enough capital with intellectuals, facilities and other resources. Muhammadiyah, together with NU, can fight back. Forgetting rivalries which often marred the old days, the two should share the fight against the new common enemy, radicalism.
Muhammadiyah together with other organizations of same and different faiths should always stay in the front row to continue the task of protecting this nation’s diverse cultures, religions and ethnicities.
Din Syamsuddin, who wore a complete traditional Javanese suit and hat during the opening ceremony at the Mandala Krida Stadium in Yogyakarta, reminded us that Muhammadiyah is the sun which enlightens the earth. He should be reminded that in this galaxy there are millions stars, including the suns, which exist side by side in harmony. Any crash or collision would mean the end of the world as we know it.
The writer is a lecturer at Sunan Kalijaga State Islamic University, Yogyakarta.
— JP
Copyright © 2010 The Jakarta Post - PT Bina Media Tenggara. All Rights Reserved.
Source URL: http://www.thejakartapost.com/news/2010/07/13/status-quo-muhammadiyah.html
Monday, July 12, 2010
Percikan Renungan Buya Syafii
Judul Buku : Al-Qur’an dan Realitas Umat
Penulis : Ahmad Syafii Maarif
Penerbit : Penerbit Republika
Cetakan : 1 (pertama) , 2010
Tebal : viii + 218 halaman
Peresensi : Muhammad Itsbatun Najih *)
KOMPAS.com — Membincangkan jurang perbedaan antara teks suci dan realitas pemeluknya menjadi sesuatu yang teramat pelik. Penafsiran tunggal atas suatu teks suci oleh kalangan tertentu kerap menimbulkan bingkai pembenaran sepihak kemudian menghukum sebagian yang lain sebagai salah dan menyimpang.
Praktik keagamaan seperti itu akan melahirkan suasana yang menakutkan. Penafsiran tunggal dan picik serta cara keagamaan yang kaku inilah yang dikritik oleh Ahmad Syafii Maarif, seorang cendekiawan Muslim, lewat kumpulan tulisannya di kolom "Resonansi" harian umum Republika yang akhirnya dibukukan.
Fungsi Al Quran menjadi semakin tidak jelas yang diakibatkan oleh perilaku umat islam sendiri. Hal ini dikarenakan masih saja ada unsur-unsur subyektivisme masing-masing kelompok keagamaan untuk mengangkangi kebenaran relatif atas kebenaran absolut. Bukankah menurut Al Quran risalah kenabian berfungsi sebagai rahmat semua alam semesta (hlm 3).
Di tengah tidak padunya antara ajaran Al Quran dan perilaku pemeluknya (baca: sebagian), ternyata masih juga ada orang-orang yang patut dijadikan suri tauladan dalam mengamalkan ajaran universal Al Quran.
Adalah Tugimin, yang kesehariannya bertugas sebagai abdi Tuhan pada masjid Syuhada di Yogyakarta. Sudah setengah abad beliau mengabdi di masjid tersebut untuk memperlancar kegiatan masjid semisal membersihkan masjid, membayar listrik, dan air, serta lain sebagainya. Semua itu beliau lakukan dengan imbalan ala kadarnya.
Kemudian ada Asrori, penjual plastik dan racun tikus yang menempuh jarak 30 km per hari dengan sepeda tuanya. Penghasilannya tak seberapa untuk menghidupi istri dan empat anaknya. Namun, Asrori begitu peduli terhadap pendidikan mereka. Semuanya sekolah kecuali yang terkecil yang masih berusia 2 tahun. Prinsipnya sederhana dalam menyikapi hidup: Asal bergerak (bekerja), Allah pasti memberi imbangan.
Ada juga Parmin, kelahiran Wonosari. Profesinya sebagai tukang asah pisau. Berkeliling ke sana-kemari. Semangatnya sekuat baja. Prinsipnya: Asah pisau, asah gunting (selalu bekerja, tidak mau berpangku tangan). Jumlah pendapatannya Rp 25.000. Pendapatan itu ia alokasikan untuk kebutuhan primer, tabungan, dan sumbangan sosial.
Dari Parmin, kita bisa belajar bahwa di tengah terbatasnya lapangan pekerjaan dan meledaknya pengangguran terdidik, sosok Parmin pantas menjadi sosok inspiratif. Meskipun Parmin hanya mengecap pendidikan sekolah dasar saja (hlm 101).
Dalam buku setebal 218 halaman tersebut juga diulas tentang sepak terjang orang-orang yang selama ini telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Merekalah yang menyebarkan pesan universal Al Quran dengan damai.
Sebut saja Prof Hamka (Buya Hamka) tentang buah pemikirannya dalam ragam bahasan, dari sastra sampai masalah tafsir Al Quran. Karyanya begitu banyak dan sampai sekarang masih terus dikaji.
Ada juga Ajip Rosidi tentang keprihatinannya pada perkembangan bahasa Indonesia, wartawan senior Rosihan Anwar tentang perjuangannya pada perkembangan pers di Indonesia, dan cendekiawan Jawa, Prof Mohammad Saleh Mangundiningrat, tentang pengabdiannya kepada masyarakat Indonesia.
Kalau buku tersebut dianggap sebagai produk cendekiawan lulusan Barat, bukan berarti Buya Syafii lantas bersikap subyektif dan "merunduk" pada Amerika Serikat. Hal tersebut merupakan dugaan yang salah besar. Ada banyak bagian tema yang tersaji yang secara khusus mengkritik dengan sangat pedas terhadap kebijakan Gedung Putih.
Kritikan Buya Syafii terutama tertuju terhadap kebijakan pemerintahan George W Bush dalam memutuskan agresi ke Irak. Alasan Irak mempunyai senjata pemusnah massal dianggap hal yang mengada-ada. Justru faktor minyaklah yang menjadi semangat Amerika Serikat menghajar Irak.
Tak cuma itu, Amerika Serikat juga bersikap tidak adil dalam hal nuklir. Negara adidaya tersebut terus mengecam Iran dalam usaha pengayaan uraniumnya yang disinyalir untuk membangun persenjataan nuklir. Ini bertolak belakang dengan sikap Amerika Serikat mendukung Israel dalam hal pengembangan persenjataan nuklir.
Bagi sebagian kalangan yang selalu mendengungkan anti-Barat, anti-Amerika, Buya Syafii menilai sikap tersebut kurang patut. Beliau cantumkan beberapa warga Amerika yang sangat kritis terhadap kebijakan Bush.
Sebut saja misalnya Jimmy Carter, Noam Chomsky, Emanuel Todd, Francis Fukuyama, dan Stiglitsz. Pesan yang ingin disampaikan Buya Syafii adalah jangan terlalu anti Amerika. Toh, masih banyak warganya yang kritis terhadap sikap pemerintahannya.
Tentang Islamofobia, wabah ini muncul karena segelintir Muslim yang melakukan aksi-aksi kekerasan seperti menyebar teror dan melakukan bom bunuh diri. Dengan demikian, ada ketakutan dan kecurigaan masyarakat Barat pada Islam. Salah satu cara menghapus Islamofobia ini adalah Muslim menghindari praktik-praktik kekerasan tersebut seperti aksi bom bunuh diri. Dari sinilah diharapkan ada kepekaan dan kesadaraan dari mereka (Barat) bahwa Islam memang mencintai perdamaian (hlm 67).
Alhasil, tulisan-tulisan ringkas Buya Syafii dalam buku tersebut telah memberikan oase tersendiri di tengah sikap kekakuan beragama dan mengingatkan tingkah kita semua melalui nukilan-nukilan pelajaran hidup dari orang-orang hebat seperti yang ada di atas agar selalu bersyukur dan berlaku santun.
*) Penikmat buku, tinggal di Yogyakarta
Sunday, July 11, 2010
Survey: Menilik Peran Sosial Muhammadiyah
BI PURWANTARI
Menjelang usia satu abad, Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam di Indonesia dinilai memainkan peran sosial yang penting di masyarakat. Jejak Muhammadiyah tertancap kuat di berbagai bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, maupun sosial. Namun, publik khawatir institusi ini akan menjadi alat partai politik.
Sejarah pendirian Muhammadiyah tahun 1912, organisasi ini berkaitan dengan ide pembaruan Islam. Ide yang digagas KH Ahmad Dahlan itu mencakup bidang yang luas, mulai dari praktik beragama hingga praktik sosial kemasyarakatan. Dalam praktik beragama, misalnya, Ahmad Dahlan memelopori pelurusan arah kiblat berdasarkan ilmu falak (astronomi), pengorganisasian zakat, haji, serta shalat Idul Fitri dan Idul Adha di lapangan. Pendirian masjid dan mushala di tempat umum dan perkantoran juga adalah salah satu buah pemikiran Ahmad Dahlan (Abdul Munir Mulkhan, Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan, 2010).
Jejak kearifan praktik sosial kemasyarakatan ditandai sikap terbuka Ahmad Dahlan menyerap puncak peradaban tanpa memandang bangsa dan agama pengemban peradaban itu. Berbagai aksi sosial yang dikembangkan banyak terinspirasi pengalaman orang Kristiani dan warga Belanda, Inggris, atau Portugis. Pendirian rumah sakit, panti sosial, taman pustaka, penerbitan, serta sekolah modern merupakan karya yang terinspirasi oleh pengelolaan kehidupan sosial dan kesehatan kaum non-Muslim (Abdul Munir Mulkhan, 2010).
Tak bisa dilupakan pula bagaimana Ahmad Dahlan menggerakkan perempuan memperoleh ilmu dan melakukan aksi sosial di luar rumah. Kaum perempuan didorong meningkatkan kecerdasan melalui pendidikan formal dan nonformal seperti pengajian dan kursus. Pada 1922 berdiri perkumpulan perempuan yang kelak diberi nama Aisyiah. Satu lompatan nilai sosial terjadi ketika Siti Walidah, istri Kiai Dahlan, tanpa suami, menghadiri undangan Musyawarah Ulama di Serambi Masjid Besar Solo dalam kapasitasnya sebagai ulama perempuan.
Kini, Muhammadiyah adalah salah satu gerakan Islam terbesar di Indonesia yang diorganisasikan secara modern. Unit kegiatannya tersebar merata ke seluruh pelosok negeri yang meliputi pendidikan, kesehatan, santunan sosial, hingga kegiatan ritual ibadah dan pengajian. Menurut buku Profil Muhammadiyah (2000), saat ini terdapat tak kurang dari ribuan taman kanak-kanak, 2.907 SD/madrasah ibtidaiyah, 1.731 SLTP/madrasah tsanawiyah, 929 SLTA/madrasah aliyah, 55 pesantren, lebih dari 184 perguruan tinggi, 312 lembaga pelayanan kesehatan, 240 panti asuhan, 19 Bank Perkreditan Rakyat (BPR), lebih dari 800 koperasi, dan 190 Baitulmaalwat Tamwil.
Gambaran itu memperlihatkan Muhammadiyah memiliki peran sosial yang kuat. Peran sosial inilah yang dirasakan masyarakat, seperti tergambar dalam jajak pendapat yang digelar Litbang Kompas pada 30 Juni hingga 2 Juli 2010. Hasil jajak pendapat menampilkan evaluasi dan ekspektasi masyarakat terhadap kiprah Muhammadiyah.
Praktik sosial menonjol yang terungkap terutama adalah keberhasilan Muhammadiyah dalam pelayanan pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Sebagian besar responden (71 persen) menyatakan, Muhammadiyah berhasil turut serta membantu memajukan kualitas pendidikan masyarakat. Secara khusus, 73,1 persen responden mengakui Muhammadiyah berhasil dalam menyampaikan visi keislaman dalam pendidikan. Di bidang ekonomi dan kesehatan hampir separuh jumlah responden (43,7 persen dan 42,5 persen) setuju, Muhammadiyah membantu memajukan perekonomian dan menyediakan pelayanan kesehatan yang berkualitas untuk masyarakat.
Namun, responden memberikan catatan khusus menyangkut kiprah Muhammadiyah dalam memerhatikan kepentingan rakyat kecil. Terdapat 42,5 persen responden yang menyatakan Muhammadiyah belum berhasil membela kepentingan perekonomian rakyat kecil dan 46,4 persen yang mengungkapkan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan Muhammadiyah belum menjangkau masyarakat bawah.
Lembaga independen
Perjalanan Muhammadiyah yang hampir satu abad tak luput dari persinggungannya dengan kondisi politik bangsa. Era reformasi menjadi penanda khusus karena saat itu beberapa tokoh Muhammadiyah turut membidani lahirnya Partai Amanat Nasional (PAN). Dalam perjalanannya, dukungan terhadap PAN terus menurun, bahkan beberapa tokoh Muhammadiyah mencabut dukungannya dan mendirikan Partai Matahari Bangsa (PMB) pada 2006.
Dinamika politik ini tak bisa mengubah Muhammadiyah sebagai organisasi independen yang tidak mau terikat pada satu parpol pun. Hal ini tecermin pula dalam jajak pendapat yang merekam ekspektasi publik berkaitan dengan hubungan Muhammadiyah dan partai.
Jajak pendapat ini mengungkap bagian terbesar responden (51,2 persen) menyatakan tidak perlu dibentuk sebuah partai yang secara khusus mewadahi kepentingan dan gagasan Muhammadiyah. Bahkan, dengan tegas sebagian besar (83,9 persen) responden menyatakan Muhammadiyah harus tetap mempertahankan eksistensinya sebagai organisasi independen. Pola penyikapan seperti ini didorong oleh kekhawatiran sebagian responden (53,5 persen), Muhammadiyah akan sekadar menjadi alat partai untuk merebut kekuasaan.
Ulama dan akademisi
Pada 3-8 Juli 2010 Muhammadiyah menggelar muktamar yang ke-46 di Yogyakarta. Pada kesempatan ini pula akan dipilih pemimpin baru yang akan membawa organisasi ini mengarungi satu abad lebih perjalanannya. Bagi publik, sebuah organisasi keagamaan sebesar Muhammadiyah selayaknya dipimpin sosok yang memiliki beberapa kriteria tersendiri.
Sosok ulama, tak pelak, menjadi syarat utama terpenting yang dikemukakan separuh responden (50 persen). Kriteria penting kedua bagi publik adalah latar belakang akademik yang dimiliki seorang ketua Muhammadiyah. Tak kurang dari 19,7 persen responden menyatakan calon pemimpin Muhammadiyah seyogianya juga seorang akademisi. Hal ini dipastikan mengacu pada sosok pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, tokoh intelektual pembaru yang membawa gagasan bernas melampaui zamannya. Intelektualitas tidak terbatas pada bidang agama, tetapi juga memasuki ranah sosial politik kemasyarakatan.
Ekspektasi publik juga disandarkan kepada generasi muda untuk memimpin Muhammadiyah di masa datang, seperti terekam dalam pendapat 9,9 persen responden. Pilihan terhadap kaum muda berkait erat dengan upaya kaderisasi yang sejak lama dilakukan Muhammadiyah.
Pemimpin baru Muhammadiyah nantinya akan menghadapi tantangan baru. Tantangan ini utamanya menyangkut arah organisasi, apakah akan dibawa kepada institusi yang berjiwa eksklusif atau semakin inklusif membuka diri seperti harapan hampir seluruh responden jajak pendapat ini (94,7 persen).
(Litbang Kompas)
Saturday, July 10, 2010
Relasi Muhamadiyah, Agama, dan Negara
MUKTAMAR Seabad Muhammadiyah yang dilaksanakan pada 3-8 Juli 2010 di Yogyakarta, merupakan hajatan akbar dan momen strategis untuk menata kembali relasi antara Muhammadiyah, agama dan negara. Muktamar yang bertemakan “Gerak Militansi Zaman Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama” ini, setidak-tidaknya mampu menunjukkan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi atau gerakan pembaruan Islam modern yang juga mengangkat harkat masyarakat akar rumput.
Kaitannya dengan ini, Muhammadiyah mempunyai lima fondasi dasar yang sangat kuat dan penting yang disebut sebagai gerakan Islam berkemajuan. Pertama, tauhid yang murni, sebagai sumber kekuatan hidup yang membentuk manusia berjiwa merdeka. Kedua, memahami Alquran dan sunah secara mendalam. Ketiga, melembagakan amal saleh yang fungsional dan solutif. Keempat, berorientasi kekinian dan masa depan, dalam artian memahami dengan baik realitas kekinian untuk merancang masa depan yang lebih baik. Kelima, bersikap toleran, moderat, dan suka bekerja sama, sehingga Muhammadiyah mudah diterima dimana-mana.
Titik fokus pembahasan buku ini adalah pada fondasi keempat yaitu, Muhammadiyah yang berorientasi kekinian dan masa depan. Bagi penulis, Muhammadiyah adalah sebuah gerakan yang mampu menjembatani antara keinginan warga modern dan masyarakat bawah (wong cilik). Karena itu kemungkinan ini menjadi fondasi awal bagi Muhammadiyah untuk merealisasikan lima fondasi itu. Tentu hal ini adalah sebagai upaya untuk memperkuat relasi antara Muhammadiyah, agama dan negara (halaman 38).
Dalam hubungan dengan agama, tampak jelas ketika Muhammadiyah menobatkan diri sebagai gerakan pembaruan Islam. Sebagaimana dasarnya, gerakan pembaruan Islam lahir sebagai respons terhadap kondisi internal umat muslim dan sekaligus kondisi eksternal berupa imperialisme-kolonioalisme Barat yang mencengkeram dunia Islam. Kondisi internal terutama dalah kemunduran dunia Islam sebagai akibat dari krisis keagamaan, sosial-politik, dan ilmu pengetahuan. Adapun kondisi eksternal, penjajah kebudayaan, dan kebudayaan Barat terhadap orang muslim membawa serta kebudayaan dan peradaban barat, baik yang bernilai positif (seperti iptek) maupun yang negatif (ideologi dan gaya hidup).
Gerakan pembaruan Islam modern telah ditetapkan dasar-dasarnya oleh tokoh pembaharu Islam pra-modern seperti Ibnu Taimiyah dan Muhammad Ibn Abdul Wahab. Gerakan pembaruan Islam modern dapat dipilahkan dalam tiga bidang, yakni modernisme intelektual dengan tokoh utama Sayyid Khan dan Syaikh Muhammad Abduh, modernisme politik dengan tokoh Sayyid Jamaluddin Al-Afghani, dan modernisme sosial yang dilakukan oleh Sayyid Amir Ali dan Muhammad Iqbal (halaman 18). Posisi untuk memperkuat relasi Muhammadyah dan agama ini, ditunjukkan dengan sikap modernitasnya dalam gerakan keislaman.
Pembaru
Salah satu sebab mengapa Muhammadiyah mengambil jalan sebagai gerakan pembaru Islam modern ini tidak lepas dari KH Ahmad Dahlan sebagai pediri Muhammadiyah yang bergumul dengan tokoh-tokoh pembaharu Islam, baik pramodern maupun modern. Tidak haran kalau komitmen dakwah Muhammadiyah untuk menegakkan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dengan landasan Alquran dan sunah dengan motif Islam modern. Ini menjadi bukti bahwa posisi Muhammadiyah sebagai salah satu gerakan pembaharuan Islam modern yang paling berpenggaruh tidak hanya di Indonesia, tapi juga di dunia Islam.
Selain itu, relasi Muhammadiyah dengan negara juga ditunjukkan dalam buku ini. Kendati Muhammadiyah bukan organisasi politik ataupun partai politik, tapi kontribusi Muhammadiyah terhadap politik keislaman juga tidak sedikit. Hal itu ditunjukkan melalui keterlibatanh elite tokoh pimpinanya, yakni KH Ahmad Dahlan pada masa penjajahan Belanda, KH Mas Mansur dan Haji Rasul pada waktu pendudukan Jepang, KH Abdul Kahar Muzakkiar, Sudirman, Mr Kasman Singodirejo, HAMKA, KH AR Facruddin hingga Prof Dr HM Amien Rais dan Prof Dr A Syafii Maarif. Beberapa tokoh di atas telah memberikan kontribusi politik kepada negara dengan berpegang pada budaya politik Muhammadiyah yang amar ma’ruf nahi munkar (halaman 98).
Seperti yang digambarkan penulis, model politik yang ditawarkan oleh Muhammadiyah adalah sebagaimana yang disebut oleh Amien Rais sebagai high politic, berisisi beberapa prinsip seperti doktrin dakwah amar ma’ruf wa nahi munkar, sikap demokratis, sisi egaliter, kecenderugan pada musyawarah (konsensus), sikap akomodatif dan kooperatif, serta partisipatif dan terbuka. Sekali lagi, buku ini telah mengungkap banyak hal terkait relasi antara Muhammadiyah, agama, dan negara.
Secara komprehensif, buku ini menyajikan banyak hal terkait dengan Muhammadiyah masa depan. Bisa dikatakan penulis telah membuka gerbong untuk masuk menuju masa depan Muhamadiyah melalui fakta-fakta mutakhir Muhammadiyah. Buku ini wajib dibaca oleh para muktamirin (peserta muktamar) Muhammadiyah kali ini.
==================================
Judul: Relasi Muhammadiyah, Agama, dan Negara, Kontribusi Muhammadiyah dalam Perspektif Sejarah
Penulis: Drs Suwarno MSi
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2010
Tebal: 262 halaman