GATRA, 28 Juli 2010
Muktamar ke-46 Satu Abad Muhammadiyah telah usai. Muktamar yang untuk pertama kalinya dalam sepanjang sejarah Muhammadiyah setelah kemerdekaan RI tidak dihadiri secara langsung oleh Presiden RI itu juga telah usai memilih 13 (tiga belas) Pimpinan Pusat (PP) baru (tapi lama).
Dikatakan baru tapi lama karena memang—seperti telah diduga—tidak terjadi regenerasi disana. Muktamar yang penuh ingar-bingar dan menelan biaya Rp. 26 Milyar itu hanyalah menjadi ajang bagi pimpinan lama untuk, meminjam kata-kata Busyro Muqoddas (Ketua Komisi Yudisial) kepada Munir Mulkan (Komnas HAM), untuk memperpanjang SIM. Bahkan separuh lebih dari 13 PP lama memperpanjang SIM untuk ketiga dan keempat kalinya. SIM di sini singkatan dari surat izin mengemudikan Muhammadiyah.
Sinisme yang satiris itu sejatinya merupakan sebuah truisme belaka. Pasalnya, sistem pemilihan yang unik, rumit, dan berlapis-lapis itu memang sangat menguntungkan status quo. Atau jangan-jangan sistem itu sengaja dipertahankan memang untuk mempertahankan status quo. Betapa tidak! Jika dalam organisasi lain memilih pemimpin itu satu orang, persis seperti imam dalam salat berjamaah, maka dalam Muhammadiyah memilih pemimpin itu 13 orang alias secara ombyokan.
Bayangkan, dalam sidang tanwir, setiap anggota (164) memilih 39 nama. Dan dalam muktamar, setiap peserta (2.400 orang) memilih 13 nama. Tak terbayangkan peserta tanwir tidak akan menuliskan orang-orang lama dalam 39 nama, dan mustahil terjadi peserta muktamar tidak menuliskan incumbent stok lama tatkala memilih 13 nama dalam muktamar. Bener-bener sebuah sistem pro-status quo.
Tentu sistem pemilihan pimpinan secara ombyokan ini ada plusnya dan banyak minusnya. Salah satunya adalah menghindari kecenderungan one man show sang ketua umum, dan kukuhnya semangat kolektivisme kolegialisme. Tapi ketika di antara mereka tidak ada chemistry, maka yang terjadi adalah antagonisme internal yang berkepanjangan.
Alih-alih sebuah orkestra yang enak didengar, yang terjadi justru ketidakkompakan yang dibarengi langgengnya saling curiga dan rivalitas di antara mereka. Pasalnya, mereka secara sendiri-sendiri mengklaim mendapatkan mandat yang sama dari muktamar. Gelagat seperti ini sudah tampak pada rapat-rapat awal PP sekarang ini. Benih-benih ketidakpercayaan pada Din Syamsuddin mulai disemai dengan disodorkannya “traktat tidak berpolitik dan menjadi calon presiden 2014” yang harus ditandatanganinya. PP benar-benar melaksanakan perintah Buya Syafii Ma’arif (dan mungkin juga Prof.Amien Rais) untuk bersikap galak kepada Ketua Umum Din Syamsuddin. Walhasil, Din itu dicintai di bawah, tapi dicurigai di atas.
Laksana Abimanyu dalam epik Baratayudha, Din Syamsuddin pun menjadi mati kutu dikepung ke-12 orang PP lainnya. Tapi berbeda dengan Abimanyu Sang Senopati Pandawa yang siap perang ing aloga, sifat Din yang jauh dari fighter dan selalu menghindari benturan menjadikan dirinya madek mangu untuk bersikap. Bahkan sekadar menyodorkan Dr. Rizal Sukma dan Dr. Bahtiar Effendy, dua penasihat intelektual protagonisnya, untuk masuk PP pun tidak berani dia lakukan.
Sementara itu, sebagai ketua umum, Din tidak memiliki keberanian untuk menolak keinginan PP 13, yang semuanya hanya mau menjadi ketua-ketua bidang yang jauh dari majelis yang bersifat eksekutorial. Padahal, sangatlah meyakinkan mandat muktamar bagi mereka adalah untuk bekerja, bukan untuk menjadi dewan syuro.
Apalagi memperbarui struktur organisasi PP yang semakin anakronistik itu! Bayangkan, struktur organisasi yang menempatkan PP 13 layaknya ‘penasihat” dan menjadikan majelis/lembaga berada di luar PP yang nyata-nyata stagnan itu tetap juga dilanggengkan. Padahal jelas struktur itu tidak paralel dan relevan dengan tantangan dan visi Muhammadiyah di abad ke-2!
Mungkin keengganan untuk berubah ini terkait dengan usianya yang sudah senja, 100 tahun. Ibarat manusia, dalam usia ini sudah lemah, sakit-sakitan, dan meski belum terkena stroke sudah mulai menjadi beban lingkungannya. Tapi uniknya, persis kata Mitsuo Nakamura, antropolog Jepang spesialis Muhammadiyah, pimpinan Muhammadiyah sekarang malah cenderung narsistik alias terlalu senang dipuji, dan, ini tambahan dari saya: marah-marag kalau dikritik!
Maka, menunggu perubahan di sana adalah ibarat menunggu Godot dalam novel Samuel Beckett, Waiting for Godot (An Attendat Godot). Ketika Estragon berkata kepada Vladimir: ”charming spot. Inspiring prospects. Let’s go!” Vladimir menjawab:”we can’t.” Dan ketika Estragon menukas cepat:”why not?”, maka Vladimir menjawab dengan entengnya:”we are waiting for Godot”.
Sedangkan Si Godot memang tidak pernah datang, persis seperti menunggu perubahan di Muhammadiyah. Cuma sayangnya di PP muhammadiyah hasil muktamar ini tidak jelas siapa yang menjadi Estragon dan siapa yang menjadi Vladimir. Nah lo…Wallahualam.
Hajriyanto Y.Thohari,
Wakil Sekjen PP.Muhammadiyah 2000-2005.
Sungguh menarik mengikuti analisis Mas Hajriyanto. Saya melihat, sebagaimana NU, Muhammadiyah adalah pewaris sah republik ini, dan ke depan, saya sangat berharap Muhammadiyah dan NU bisa menjadi kekuatan moral yang mampu melakukan kritik terhadap negara demi kebaikan, keutuhan, kelestarian, dan kemajuan bangsa; tidak hanya sibuk dengan program organisasional yang tercerai dari konteks kebangsaan.
ReplyDeleteBeberapa waktu lalu, saya menghapus komentar 4 paragraf yang ingin saya post-kan di sini. Apalagi kalau bukan tentang kegelisahan saya secara pribadi melihat Muhammadiyah. Kegelisahan yang setelah saya pikir, menjadi sesuatu yang tidak penting lagi. Tidak penting karena kegelisahan akan tetap menjadi kegelisahan yang tak berujung dan juga entah kapan terjawab.
ReplyDeleteTantangan terbesar Muhammadiyah saat ini bukanlah tentang kondisi kebangsaan, tantang terbesar itu justru datang dari dalam diri Muhammadiyah sendiri. Yang beusia 100 tahun itu hanya kertas akta pendirian Muhammadiyah-nya, tapi bukan usia kedewasaan dan pembaharuan pimpinan dan kadernya.
Saya senang sekali membaca tulisan Mas Hajri "Yang Tercecer dari Muktamar." Sejak Muktamar usai, saya menunggu-nunggu adanya tulisan yang punya greget yang menguraikan tentang Muktamar. Itu tidak saya temukan sampai saya baca tulisan Mas Hajri.
ReplyDeleteSaya sedih nama Pak Sudibyo Markus tidak masuk dalam pimpinan 13. Ada perasaan aneh melihat hampir semua pimpinan 13 adalah scholars of Islam, tidak ada dokter, insinyur, ekonom, dll. Padahal kegiatan Muhammadiyah bukan hanya mengurus khutbah Jum'ah.