Suara Pembaruan, 24 Juli 2010
Oleh : Daoed Joesoef
Kehadiran Muhammadiyah saya jadikan objek studi perkembangan masyarakat muslim pada khususnya dan pengkajian kultur religius pada umumnya. Pendekatan yang dipakai adalah secara historis dan analitis. Dalam penalaran dipinjam beberapa tools of analysis dari Prof. Marcel Gauchet.
Pendekatan historis karena ormas Islam yang satu ini dibentuk untuk berkiprah merubah masyarakat dengan sadar dan sengaja, jadi tidak semata-mata terserah pada takdir. Jadi bersendikan satu keyakinan lain, yaitu keyakinan politik, di samping keyakinan religius. Keyakinan religius adalah suatu keyakinan pada otoritas masa lalu. Sedangkan keyakinan politik yang tampil untuk menandinginya adalah suatu keyakinan pada otoritas masa depan
Pendekatan analitis karena dalam gerakan semua ormas dan parpol Islam, tidak hanya Muhammadiyah, terjalin sepasang keyakinan, yaitu keyakinan religius dan keyakinan politik. Pengertian yang dikandung oleh pasangan keyakinan ini mencakup hakikat gerakan spirit dan gerakan masyarakat. Ia menggambarkan fakta penggerak masyarakat modern, yaitu proses keluar dari agama. Ia meliputi peralihan dari suatu masyarakat heteronom, yang distrukturkan oleh agama, ke masyarakat otonom, yang menyiapkan tatanan hukumnya sendiri dan memilih kepengurusan sendiri sebagai ideal.
Agama secara esensial adalah suatu gaya primordial keber-ADA-an, suatu cara menstrukturkan masyarakat human. Inilah yang dimaksud oleh pengertian “heteronom”. Dalam bingkai heteronomi ini keyakinan tersebut melibatkan organisasi kolektif. Ia percaya pada suatu supranatural, leluhur-pendiri, dewa pengatur atau Tuhan Yang Maha Esa-Sang Pencipta, yang memberikan kita tatanan hukum dari “tempat lain” dan dari “atas”. Sedangkan ketergantungan pada yang “tidak kasatmata” berarti sekaligus ketergantungan pada “masa lalu”. Tata heteronom dengan sendirinya berpembawaan kelampauan. Eksterioritas metafisik dari dasarnya berarti enterioritas temporal dari dasar tersebut. Berhubung tatanan hukum tadi secara esensial bagi kita adalah “given” dan “imposed”, kita menerimanya sebagai perintah dan meneruskannya persis sebagaimana yang kita terima. Maka dalam pengertian ini masyarakat agama disebut pula masyarakat tradisional.
Sewaktu KH Ahmad Dahlan membentuk gerakan Muhammadiyah, dia pada azasnya mengajak orang beragama tidak lagi beragama demi agama, tetapi melangkah keluar dan masuk ke masyarakat sambil memperbaharui kehidupan bersama ini. Masyarakat yang keluar dari agama adalah sebuah kehidupan bersama yang mengorganisir diri guna perubahannya sendiri demi mencapai keadaan yang lebih baik, sebuah masyarakat di mana seluruh kegiatan individual dan kolektif berorientasi ke masa depan, suatu masyarakat di mana politik dijadikan objek keyakinan, suatu keyakinan politik.
Maka ormas Muhammadiyah menggambarkan, melalui gerakan dan kiprahnya yang konsisten dan konsekuen, suatu peralihan dari suatu masyarakat yang heteronom, masa lalu, yang distrukturkan oleh agama, ke suatu masyarakat otonom, masa depan, yang menyiapkan tatanan hukumnya sendiri dan memilih kepengurusan sendiri sebagai ideal. Dengan kata lain, sebuah masyarakat yang membangun diri untuk membuat pemikiran diskursif tentang dirinya sendiri yang dapat lain daripada pemikiran religius dan keyakinan religius. Jenis pemikiran dan keyakinan baru ini bisa disebut ”ideologi”.
Ideologi
Orisinalitas pemikiran diskursif ini terletak dalam formulasi dan multiplisitas fungsinya. Ideologi menurut naturnya meramu tiga komponen. Pertama, berupa bagian yang rasional dari ideologi. Sebuah masyarakat yang bertekad menciptakan sendiri kegunaan selama eksis memerlukan suatu penjelasan tentang gerakan perbaikan dicetuskannya sebagai pembeda terhadap pembenaran transeden dari agama. Berarti penjelasan ini harus bersendikan suatu teori kemasyarakatan yang memperhitungkan faktor dan kekuatan yang menjelaskan dinamika gerakannya.
Kedua, masyarakat yang mengarah ke masa depan adalah sebuah masyarakat yang betul-betul perlu mengetahui ke arah apa/mana dinamika yang digerakkannya itu. Di sinilah letak keyakinan itu. Masa depan penuh tanda tanya. Ada ranah tidak kasatmata yang seperti halnya langit yang tidak kasatmata, sama-sama mengundang spekulasi dan keyakinan. Penjelasan rasional tentang masa lalu dan masa kini terjalin langsung dengan keyakinan akan masa depan, jadi dengan keyakinan dan harapan pada masa mendatang.
Ketiga, ide tentang masa lalu dan imaji tentang masa depan ini hadir di masa kini berupa opini politik jangka pendek, menengah dan panjang (program, proyek, janji). Perdebatan politik adalah silang pendapat mengenai perubahan yang mungkin dan perubahan yang dikehendaki. Setiap ideologi merupakan ramuan dari ketiga hal tadi, dalam proporsi yang berlainan menurut tempat dan waktu. Ia mengkombinasikan unsur-unsur dari teori sosial, dari prefensi politik dan dari kepastian tentang masa mendatang. Ia menyandingkan pretensi ilmiah, realisme politik dan mimpi profetis.
Jadi, ormas Muhammadiyah sebenarnya sudah berpolitik tanpa menyatakan dirinya “partai politik”. Sebab gerakan pembaruan dan kiprahnya sudah meliputi dua aspek dari politik, yaitu politik dalam artian “konsep” dan artian “kebijakan”. Maka itu, dalam perjalanannya ia pernah turut membentuk parpol Masyumi dan Parmusi. Sementara Ketua Pimpinan Pusatnya yang masih berfungsi mendirikan PAN dan ada parpol (PMB) yang mencalonkan Ketua Umumnya menjadi calon presiden menjelang Pemilu 2009. Aspek politik yang ketiga, yaitu politik dalam artian “arena” tidak disentuhnya karena organisasinya bukan merupakan pemain politik formal yang secara alami bertujuan merebut kekuasaan politik.
Kepemimpinan Organisasi
Dalam dunia religius prioritas ada pada kekuatan spirit selaku penguasa tata-tertib. Dalam dunia historis prioritas beralih ke masyarakat selaku penguasa gerakan. Ide tentang kepengurusan yang sah karenanya berubah total. Kepengurusan ormas bergerak hanya dari masyarakat pengikutnya sendiri, komunitas pengikutnya dan berfungsi memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Dengan kata lain, membalik diri menghadap ke masa depan meniscayakan adanya legitimasi kepengurusan yang liberal dan representatif. Liberal karena ia harus menghormati perbedaan antara masyarakat selaku sebuah penguasa kolektif dengan suatu invensi apa pun yang berlainan dengan itu. Representatif sebab kepengurusan itu harus benar-benar berasal dari masyarakat yang dicakupnya.
Bila demikian agak mengherankan mengapa “pemuda” tidak terwakili selayaknya dalam badan kepengurusan yang baru dari Muhammadiyah, pada jumlah mereka konon relatif besar. Bukankah “pemuda” yang merupakan “wajah” masa depan? Bahkan inkarnasi masa depan itu sendiri? Mengapa mereka tidak diberi kesempatan turut merintis jalan ke masa mendatang itu? Mengapa dulu-dulu, sebelumnya, pimpinan yang berlaku lalai, tidak menyiapkan mereka dengan baik hingga bisa diandalkan? Bukankah tugas mulia dan alami dari generasi tua menyiapkan generasi muda sebagai penggantinya yang sah?!
Tidak heran kalau lalu timbul kecurigaan di kalangan sementara anggota Muhammadiyah bahwa kedudukan pimpinan organisasi hanya merupakan sebuah tempat penantian ke penawaran kedudukan yang lebih berkuasa diluar organisasi, yaitu kekuasaan politik di tataran Negara-Bangsa atau jabatan pemerintahan yang sangat bergengsi dalam konteks nasional. Kecurigaan ini bukan tanpa alasan.
Walaupun sejak muktamar ke-38 di tahun 1971 Muhammadiyah secara organisatoris mengambil jarak dengan parpol, ketika Ketua PP Muhammadiyah di masa pascareformasi (M Amien Rais) mendirikan parpol (PAN), tidak ada protes keras dari dalam organisasi yang masih dipimpinnya. Protes yang berarti juga tidak ada dari ormas yang katanya menjauhi sepak terjang keparpolan ketika Ketua Umumnya (Din Syamsuddin) dicalonkan sebagai presiden dalam Pemilu 2009 oleh Partai Matahari Bangsa (PMB).
Berarti setiap waktu, kapan saja, seorang pejabat pimpinan Muhammadiyah selalu bisa meninggalkan begitu saja kedudukannya yang masih berlaku, pergi menerima jabatan kenegaraan dengan dalih “atas permintaan rakyat” atau “demi mengabdi Nusa dan Bangsa”, atau merangkap jabatan sampai saat muktamar berikutnya. Jadi ke luar berwajah “bescheiden” tetapi ke dalam mendambakan jabatan tinggi yang pura-pura ditolaknya.
Para tokoh Muhammdiyah yang berpura-pura ini sebaiknya memahami bahwa kalaupun ada parpol yang meminta kesediaannya dicalonkan menjadi Presiden atau Wapres atas nama parpol yang meminta, yang dibidik oleh parpol yang bersangkutan sejujurnya bukanlah kapasitasnya sebagai negarawan, tetapi massa dari pengikut Muhammadiyah yang polos dan berjumlah relatif besar. Itu saja, tidak lebih dan tidak kurang.
So…ma taf’al al’an ya Muhammadiyah – apa yang akan Anda lakukan sekarang, wahai Muhammadiyah?!
Penulis adalah alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
No comments:
Post a Comment