Seputar Indonesia,14 Juli 2010
Hajriyanto Y.Thohari
Muktamar Ke-46 Satu Abad Muhammadiyah telah usai. Muktamar yang menelan biaya Rp. 26 M (baca: dua puluh enam miliar rupiah) dengan segala kemegahan dan ingar-bingarnya itu juga telah mengesahkan program kerja persyarikatan di abad yang kedua. Muktamar yang untuk pertama kalinya dalam sepanjang sejarah Muhammadiyah pasca-kemerdekaan Republik Indonesia tidak dihadiri secara langsung oleh Presiden Republik Indonesia itu juga telah memilih Ketua Umum dan Anggota Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang berjumlah 13 (tiga belas) orang periode 2010-2015.
Sistem pemilihan yang unik, rumit, dan berlapis-lapis merupakan wujud dari sistem kepemimpinan Muhammadiyah yang kolektif kolegial. Jika dalam organisasi lain kepemimpinan kolektif hanyalah merupakan sifat dari sebuah sistem kerja dan pengambilan keputusan, maka di Muhammadiyah sistem kolektif kolegial dimanifestasikan dalam sistem pemilihan. Muktamar bukan hanya memilih seorang ketua umum, melainkan memilih seluruh anggota PP yang berjumlah 13 orang. Walhasil, ke-13 orang tersebut adalah sama dan sejajar (equal), yaitu orang-orang yang memiliki legitimasi politik yang sangat kuat karena sama-sama dipilih secara langsung oleh muktamar secara one man one vote value.
Dalam konteks ini, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa 13 anggota PP tersebut adalah kader dan orang-orang terbaik Muhammadiyah par excellence! Setidaknya demikianlah pandangan para peserta muktamar yang berjumlah 2.400 orang dari unsur pimpinan pusat, pimpinan wilayah, pimpinan daerah, pimpinan cabang, dan pimpinan organisasi otonom itu. Ke-13 orang PP yang primus inter pares (ada juga yang mengatakan primus inter minus malum) ini merupakan inti dan jiwa Muhammadiyah.
Ketua Umum bukanlah penanggung jawab tunggal gerakan. Ketua umum hanyalah figur yang “ditinggikan seranting dan dimajukan selangkah”. Kewajiban dan tanggung jawab ke-13 orang itu adalah sama dan sebangun. Jika salah, salahlah kesemuanya secara berjamaah dan jika benar, benarlah mereka secara bersama-sama. Jika kepemimpinan ini berhasil, maka itu merupakan keberhasilan kolektif dan jika gagal, itu merupakan kegagalan bersama juga. Betapapun uniknya, inilah hakikat dari kepemimpinan kolektif kolegial versi Muhammadiyah: sebuah sistem kolektif kolegial in optima forma.
Mandat untuk Bekerja
Sayang tidak banyak yang sadar—bahkan mungkin juga ke-13 orang yang terpilih itu—bahwa mereka sejatinya adalah pemegang mandat penuh muktamar. Sebagai mandataris muktamar, sungguh tugas mereka sangatlah berat. Bukan hanya mandat untuk bekerja keras melaksanakan program-program kerja yang disahkan oleh muktamar, melainkan juga memenuhi ekspektasi anggota akan keberhasilan dan kebesaran Muhammadiyah di masa datang. Walhasil, sejatinya gengsi, prestasi, dan reputasi Muhammadiyah untuk sebagian besar berada di pundak mereka.
Jadi kata kunci bagi PP adalah bekerja. Mereka dipilih oleh muktamar untuk bekerja, bukan untuk menjadi “dewan syura”. Memang mereka kadang-kadang harus memberi nasihat, tetapi mereka dipilih bukan untuk menjadi “penasihat Muhammadiyah”. Salah besar jika struktur organisasi PP nantinya menempatkan mereka di atas majelis atau badan sehingga mereka terhindar dari pekerjaan dan hanya ongkang-ongkang seperti layaknya penasihat.
Mandat dari muktamar adalah jelas dan terang benderang: untuk bekerja memimpin gerakan sebagai tanfidziyah atau eksekutif. Ibarat perusahaan, PP adalah dewan direksi, bukan komisaris, apalagi pemegang saham. Apa yang disebut dengan gerakan Muhammadiyah adalah terang benderang pula, yaitu dakwah melalui tablig, pendidikan, sosial, kesehatan, ekonomi, pengaderan, dan lain-lain.Dengan demikian konsekuensi dari itu semua adalah bahwa PP tidak bisa lagi mengurusi organisasi secara samben atau paruh waktu. Rasanya tidaklah mungkin sebuah gerakan sebesar ini hanya dipimpin oleh tokoh-tokoh yang bekerja paruh waktu, bahkan samben, dan apalagi berprinsip sak mlakune atau alon-alon waton kelakon. Sebuah gerakan sebesar ini pastilah memprasyaratkan sebuah kepemimpinan yang kuat dan berdedikasi penuh waktu. Sebab, mereka harus melanjutkan kepemimpinan yang risau akan nasib dan masa depan Muhammadiyah sendiri.
Jadilah Ketua Majelis/Badan
Ke-13 orang itu secara bersama-sama akan membagi tugas secara adil dan merata. Di samping ada yang menjadi ketua umum, sekretaris umum, bendahara umum, maka yang lainnya menjadi ketua-ketua majelis atau badan. Demikianlah yang terjadi pada masa lalu sampai dengan ketika periode terakhir kepemimpinan Pak AR Fachrudin menjadi Ketua PP. Muhammadiyah. Dulu Amien Rais, misalnya, disamping menjadi anggota PP Muhammadiyah (1985-1990), dia juga merangkap sebagai Ketua Majelis Tabligh. Itu yang betul.
Mulai periode 1990-1995, dengan dalih agar PP bisa berpikir lebih strategis dan tidak dibebani persoalan teknis administratif 13 anggota PP tidak merangkap sebagai ketua majelis/badan. Ketua-ketua majelis/badan kemudian diambilkan dari luar 13 PP itu. Kenyataannya, sistem ini tidak efektif dan efisien. Akibatnya, anggota PP 13 tidak jelas bidang kerja dan tanggung jawabnya, bahkan tidak pernah tune in dengan apa yang terjadi dan dilakukan majelis atau badan. Maka ke-13 anggota PP-lah yang pertama-tama harus bekerja secara konkret dengan terjun langsung sebagai ketua majelis atau badan.
Fakta menunjukkan bahwa selama ini majelis atau badan menjadi entitas tersendiri di luar PP. Bahkan dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, majelis atau badan hanyalah pembantu pimpinan. Akibatnya, rapat-rapat pleno PP yang hanya diikuti oleh 13 anggota tersebut seringkali tidak nyambung dengan persoalan yang dihadapi majelis atau lembaga. Hal semacam ini tidak akan terjadi jika 13 anggota PP sekaligus menjabat sebagai ketua-ketua majelis atau badan.
Memang berat melaksanakan mandat dan amanat kepemimpinan. Hal ini mestinya sudah disadari oleh mereka sejak mereka menyatakan kesediannya untuk menjadi calon PP. Janganlah menjadi pimpinan hanya karena semangat sesaat (obor blarak) atau sekadar rasa gemenyar ingin menjadi pimpinan. Kepemimpinan adalah nobless oblige, dalam kedudukan mulia ada tanggung jawab. Tanggung jawab PP. Muhammadiyah adalah bekerja. Bukankah mereka sendiri yang meminta pekerjaan tersebut? Maka wahai PP Muhammadiyah, bekerjalah. Kita sebagai anggota memberikan dukungan seraya mengucapkan selamat bekerja!
Penulis merupakan anggota Muhammadiyah dan Wakil Ketua MPR-RI.
No comments:
Post a Comment