Pikiran Rakyat, Sabtu 8 Juli 2000
Oleh Prof. Dr. Nurcholish Madjid
MUHAMMADIYAH merupakan contoh menarik tentang sebuah konsekuensi pendidikan yang tidak disengaja, dalam hal ini pendidikan modern (Belanda). Bermula sebagai bagian dari Politik Etis (1901), pendidikan modern Belanda diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial dengan tujuan ganda: memberikan kesempatan kepada pribumi untuk berpartisipasi dalam peradaban modern dan untuk menjinakkan gerakan liar kemerdekaan Indonesia. Implikasi dari tujuan pendidikan hourgrojeian itu (dari kata Snouck Hourgrounje, red) adalah bahwa semakin banyak orang Indonesia yang mengikuti pendidikan modern, semakin luas partisipasi mereka dalam agenda noblesse oblige (kewajiban mulia, red) kaum kulit putih untuk memberadabkan bangsa barbar non-kulit putih.
Tetapi hasilnya ternyata membawa berkah berganda. Di satu pihak, pemerintahan kolonial mulai melihat munculnya kelas terdidik birokrat yang taat kepada pemerintah, tapi di lain pihak ada konsekuensi sampingan. Gerakan nasionalis modern tumbuh dari sistem tersebut, salah satunya adalah Muhammadiyah. Yang lainnya adalah Budi Utomo dan Syarikat Dagang Islam/Syarikat Islam.
Adalah sebuah hikmah ganda, bahwa lahirnya gerakan reformasi Islam seperti Muhammadiyah disambut baik pemerintahan kolonial (sebuah perangko diluncurkan pemerintah kolonial untuk menghormati "pelayanan baik" Muhammadiyah kepada pemerintahan Belanda). Tapi pada saat yang sama, Muhammadiyah dikhawatirkan menjadi ujung tombak gerakan modernis Islam seperti yang terjadi di Mesir dengan tokohnya Jamaluddin al-Afghani, atau seperti yang dilakukan Muhammad Abduh dan Rashid Ridha di Timur Tengah yang akhirnya menjadikan kolonialisme sebagai sasaran nasionalisme radikal.
Sisi lain dari peranan Muhammadiyah dapat dilihat dari kenyataan bahwa, sejalan dengan ide reformasinya, ia memulai agenda sosial keagamaan dengan mendirikan sekolah-sekolah tipe Belanda seperti HIS, MULO, dan AMS, bukannya model pesantren yang telah lama berakar. Bahkan sistem madrasah telah dan masih digunakan secara terbatas. Dengan sifat program pendidikan seperti itu, gerakan Muhammadiyah lebih berafinitas kepada elit kolonial, khususnya elit tradisional Jawa, yaitu priyayi dan golongan birokrat kolonial.
Situasi seperti ini tentu saja mendapatkan reaksi dari mayoritas ulama yang menentang introduksi sekolah-sekolah Belanda. Para cendekiawan, ulama, maupun pemimpin sosial keagaan "tradisional" (yang oleh pemerinah Belanda disebut sebagai volk) bereaksi keras menentang "Politik Etis" dan mengkounternya dengan mendirikan berbagai pesantren. (Ulama sering disalahartikan sebagai sosok seperti pendeta, padahal dalam Islam tidak ada kelas yang memiliki otoritas "gerejani").
Lembaga pesantren telah lama berdiri dalam berbagai budaya, seperti Al-Zaytunah dan Al-Azhar di dunia Arab dan Deoband di India. Di Indonesia ia dianggap sebagai kelanjutan dari "padepokan," sedangkan di dunia internasional ia merupakan kelanjutan dari zawiyah, ribat, khaniqah, dan bahkan funduq (yang kemudian diindonesiakan menjadi "pondok", yang asal katanya adalah bahasa Arab yang meminjam bahasa Yunani/Syriac "phandakiyum" (yang artinya rumah kecil untuk menginap sementara). Namun pondok atau pesantren besar di Jawa seperti Tebuireng, Tambakberas, Rejoso, Lirboyo, Jampes di kompleks Jombang-Kediri telah berdiri pada awal abad ke-20 dan bukan sebagai penyeimbang sistem dan konsep pendidikan Belanda.
Pesantren-pesantren ini kemudian berhimpun dalam gerakan nasionalis lainnya yaitu Nahdatul Ulama (NU). Fakta ini pada tingkat tertentu bisa menjelaskan mengapa ada perbedaan (rupture) antara Muhammadiyah dengan NU sejak awal pergerakan keduanya, dan masih terasa hingga kini.
**
BANYAK wajah Muhammadiyah, tapi tentu saja yang paling menonjol adalah wajah reformisnya. Sifat reformis pergerakannya disimbolisasikan dalam sebutan "Muhammadiyah" itu sendiri. Berbagai pengamat menilai penyebutan nama "Muhammadiyah" bisa mengundang berbagai masalah karena bisa saja berarti bahwa para pengikut Muhammadiyah menyembah Muhammad yang sebetulnya "hanya" seorang rasul, seorang manusia biasa yang tidak memiliki kualitas ketuhanan. Tapi tentu saja bukan begitu maksud para pendiri Muhammadiyah. Nampaknya apa yang mereka maksudkan, sesuai dengan misi reformasinya, adalah mengajak semua Muslim untuk tidak terperangkap dalam "madzhabisme" seperti Jafariyah, Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, Hanbaliyah dll, dan tidak terpaku pada person seperti pada gerakan Sufi, misalnya Qadariyah, Naqshabadiyah, Tijaniyah dll.
Jadi, terminologi "Muhammadiyah" secara langsung dimaksudkan sebagai pembebasan kaum Muslim dari partikularisme madzhab dan mengajak mereka kembali kepada ajaran murni Rasul Muhammad yang bersumber pada Qur'an dan Sunnah. Konsekuensi positif dari pembebasan religius ini adalah berupa kesiapan warga Muhammadiyah untuk menerima apapun yang baik dan berguna untuk kemanusiaan, seperti ilmu dan pengetahuan, dari manapun sumbernya dan kapanpun datangnya, dan memandangnya sebagai harta warisan kemanusiaan.
Salah satu spirit dasar ajaran Rasulullah, seperti yang dirumuskan ulama klasik, terutama Syafiiyah adalah :"Pada prinsipnya segala ritual yang non-religius dihalalkan kecuali jika ada dalil yang menyatakan sebaliknya (Al-asl fi al-ashya [ghayr al-'ibadah] al-ibahah illa idza ma dalla al-dalil 'ala khilafi-hi)". Ada juga prinsip lain yang merupakan sisi lain dari mata uang yang sama dengan prinsip ini: "Pada prinsipnya segala ritual keagamaan adalah diharamkan kecuali kalau dinyatakan sebaliknya" (Al-asl al-ibadah al-tahrim illa idza ma dalla al-dalil 'ala khilafi-hi).
Tak diragukan lagi, butir-butir di atas merupakan sumbangan besar Muhammadiyah sebagai gerakan reformis. Tapi ketika menjalankan peran reformisnya kemudian, Muhammadiyah mengalami tantangan serius tentang bagaimana mengatasi citra organisasi yang (ironisnya) "dogmatik" dibandingkan dengan NU yang lebih "liberal" dan "fleksibel", menurut majalah Time edisi terakhir. Nampaknya warga Muhammadiyah harus mentrasedensi diri di atas "Muhammadiyah" yang sekarang justru terkesan kuat sebagai Ja'fariyah, Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, Hanbaliyah, Qadariyah, Naqshabandiyah, Tijaniyah, dll, dengan dua sisi positif dan negatifnya. Dengan kata lain, "Muhammadiyah" telah tumbuh menjadi madzhab baru lainnya. Suatu cara berpikir yang oleh para pendirinya ingin dihapuskan dari ummat.
Maka, betapapun besarnya pujian yang diterimanya sebagai sebuah organisasi yang sukses membawa umat Islam Indonesia ke arah modernitas, Muhammadiyah kini menghadapi tugas berat untuk meningkatkan proses demokratisasi ummat dan bangsa dengan jalan membangun egalitarianisme, toleransi, pluralisme, inklusivisme, moderasi, dan humanisme universal yang sejati. Semua prinsip ini, yang sudah dipahami para pimpinan Muhammadiyah, secara eksplisit sudah digariskan dalam Qur'an dan Sunnah, tanpa keraguan sedikitpun. Karena Muhammadiyah masih dalam bungkus Asyariyah (sesuatu yang tidak sepenuhnya paralel dengan paham Al-Afghani, Abduh dan Ridha, untuk tidak menyebut Ibnu Taymiyah), maka warga Muhammadiyah dihadapkan pada beban untuk mengembangkan Kalam untuk merespon tuntutan pembangunan kemanusiaan, karena Kalam klasik pada kadar tertentu adalah merupakan respon kaum muslimin terhadap tantangan pada masanya. Wallahu
alam.***
Prof. Dr. Nurcholish Madjid, adalah Rektor Universitas Paradina Mulya
No comments:
Post a Comment